Lencana Facebook

Minggu, 09 Mei 2010

Menanti masa Panen (2)

Berikutnya datang pula ke tempat yang sama seorang tuna netra yang sudah renta, sesudah minum iapun melepas lelah tak jauh dari sumur. Beberapa waktu kemudian, lelaki penunggang kuda muncul kembali mencari uncangnya yang ketinggalan yang berisi 1000 dinar. Dapat diduga, terjadi pertengkaran antara sipenunggang kuda dengan tuna netrayang renta itu dengan akhir yang fatal, si tuna netra dipenggal oleh sipenunggang kuda. Mempersaksikan semua kejadian itu lagi-lagi bathin Musa as bertanya-tanya. Jawaban yang pasti, kemudian dating dari Allah swt lewat malaikat Jibril as.”Bahwa sipenunggang kuda dahulunya pernah berhutang kepada orang tua sibocah, maka apa yang diambil sibocah adalah haqnya. Sedangkan situna netra dikala masih muda dan sehat adalah preman yang dahulu membunuh ayah si bocah. Jadi wajar saja jika iapun menemui ajal lewat tangan si penunggang kuda. Antara akibat dan penyebabnya telah berselang belasan tahun dan sangat bias jadi mereka telah melupakan peristiwa itu” . Tutur Allah swt. Kisah yang lebih orisinil dari Musa bisa dilihat ketika Musa berguru kepada Nabi Hidr/Khaidir as. Al Quran dengan jelas mengisahkannya dalam surat ayat Al Kahfi 66-82..
Fakta riwayat dan ayat-ayat di atas semestinya mampu membangunkan satu keyakinan dalam bathin kita bahwa “Wa’aqibatu lil muttaqien”. akibat yang manis itu hanya akan diterima oleh mereka yang berpredikat taqwa, satu predikat terbaik dari sisi Allah swt baik kini maupun nanti. Ketulusan dan kesabaran memang diperlukan. Penderitaan, kesulitan bukanlah sesuatu yang bernilai, itu sebabnya tidak diantara kita yang mau menderita dan sulit. Namun fakta banyak berbicara, berapa banyak orang yang bernilai dikarenakan karena senantiasa tulus, sabar untuk mengharungi penderitaan dan kesulitan itu. Tidak ada manusia bernilai tanpa melalui suatu penyebab dan penyebab itu adala kemuliaan Budi.


Iman dan budi pekerti adalah ibarat dua sisi mata uang. Mata uang itu hanya berdaya beli ketika kedua sisinyamasih lengkap. Ketika salah satu dari kedua sisinya koyak atau sompel, maka uang itu tak bias membeli apapun. Baiknya budi pertanda iman seseorang itu baik pula. Hampanya iman akan melahirkan aneka kelakuan tercela. Zaman sekarang ini sering kita persaksikan manusia yang taat dalam kedurhakaan atau durhaka dalam ketaatan. Satu sisi ia rajin beibadah bahkan termasuk yang sunah-sunah, namun disisi lain ternyata kesalehan individualnya tidak membias kepada kesalehan social. Sepertinya semua ibadahnya tidak menyambung dengan budinya.
Adalah salah besar jika kebaikan ibadahnya percuma, sebab sedangkan beribadahpun kelakuannya masih seperti itu, bagaimana pula jika tidak beribadah sama sekali. Barangkali akan lebih kacau kelakuannya. Bocah dalam kisah di atas, pasti tidak menyadari bahwa isi uncang itu adalah dinar upah dari almarhum ayahnya yang terlambat dibayar. Si buta renta tidak menyadari bahwa terbunuhnya dirinya sebagai imbalan dari masa lalunya. Si penunggang kudapun tidak sadar bahwa uncang itu sebenarnya jatuh ketangan orang yang tepat. Di balik semua kejadian itu ternyata ada sang Sutradara yang Maha Mencatat, Maha Adil yakni allah swt.
Justru itu, barangkali sangat wajar sekali masa-masa lalu dijadikan bahan renungan, sekaligus mengamati kejadian-kejadian yang sedang terjadi pada keseharian yang kita lalui. Kesadaran seperti ini sangat bias jadi akan membuahkan rasa takut. Takut menerima balasan dari buah yang ditanam di masa lalu. Seorang mukmin melihat dosanya, ibarat bukit yang akan runtuh dan bakal menimpanya. Adakah tempat pelarian yang paling indah dan aman kecuali kepada Allah swt.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops