Lencana Facebook

Kamis, 12 Oktober 2017

My Live, My Adventure I

Pengantar
Alhamdulillah, sebagai seorang Muslim dapat memenuhi panggilan nabiullah Ibrahim AS melaksanakan rukun Islam ke-5 adalah hal yang sangat sangat diharapakan oleh mereka yang mengaku muslim dan beriman. Atas izinNya, melalui titipan rezeqiNya kepada hambaNya almarhumah Dwi Puspita Rahyunie, SPd penulis dapat berangkat. Berawal dari almarhumah sembuh dari demamnya, di kursi/sofa tamu, almarhumah menyampaikan keinginannya untuk memenuhi panggilan Nabiullah Ibrahim AS, melaksanakan rukun islam ke-5, menunaikan ibadah Haji. Niat itu direalisasikan dengan membuka pendaftaran melalui tabungan Haji di BRI Syariah Cabang Binjai dan tercatar di Kantor Departemen Agama Kota Binjai tanggal 10 Februari 2010. Waktu berlalu, dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam ke hari, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun.  Tanggal 12 Februari 2012,  isteri tercinta yang telah melahirkan 3 putra Fadlun Rahmandika, Teguh Maliki Ramadhan dan Fajrul Azmi Syahputra diambil pemiliknya. Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. Insya Allah, husnul khatimah. Bersepakatlah kami, saya beserta anak-anak siapa yang akan menggantikan posisi beliau untuk berangkat melaksanakan rukun Islam ke lima. Berharap posisi Beliau dapat digantikan secara otomatis. Setelah berbagai masukan, saran dan usul akhirnya disepakati bahwa posisi almarhumah, mama mereka digantikan oleh si Bungsu Fajrul Azmi Syahputra. Ternyata peraturan yang berlaku tidak memungkinkan. Untuk berangkat bareng, tidak bisa. Uang harus diambil, daftar ulang dan masuk daftar tunggu !.
Untuk menimba ilmu perihal latihan manasik haji, penulis mendaftar di IPHI, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Gratis !. Fasilitas pertemuan yang digunakan Aula Pemko Binjai. Pelaksanaan latihan manasik haji, tiap hari minggu dan dimulai setahun sebelum keberangkatan. Banyak ilmu yang didapat. Gambaran prosesi ibadah sudah terbayang-bayang di mata. Ya Allah… nikmatnya !. Untuk memaksimalkan pelaksanaan ibadah, pemerintah merasa perlu membentuk beberapa regu dari sekian banyak jemaah. Satu ragu terdiri dari 11 orang, 1 ketua regu (karu) dengan 10 anggota. Setiap 4-5 regu dipimpin kepala rombongan (karom). Penulis terpilih sebagai salah seorang karu. Masuk dalam rombongan kami, kloter 15 Mess, Wakil Walikota Binjai, Timbas Tarigan bersama isteri dengan karunya ustadz Khairul Amrin Siregar. Bahasa arabnya bagus !. Rombongan kami masuk dalam gelombang ke dua. Artinya, jemaah ke Mekkah, kemudian ke Madinah. Bagi mereka yang gelombang pertama, tidak ada masalah dalam hal miqat makani. Mereka ke Madinah dulu, miqat makani di Birr Ali kemudian melanjutkan ke Mekkah. Selesai. Tidak ada khilafiah. Untuk gelombang kedua, saat latihan manasik terjadi 2 pendapat. Pendapat pertama, harus di Yalamlam. Berihram harus di pesawat. Tidak di Bandara. Waktu yang terbatas dan lain sebagainya. Jangan sampai uang puluhan juta tersia-siakan karena prosesi awal perihal miqat dan berihram sudah tidak benar. Demikian alas an yang membenarkan miqot harus di Yalamlam, berihram sudah di pesawat. Pendapat kedua, dibenarkan miqat di Bandara, berihram di Bandara. Wajar saja, jemaah pada bingung. Jemaah yang latihan manasik di IPHI tidak ada pembimbing khusus. Karena mereka adalah jemah mandiri. Mereka hanya tahu ketua regu. Berbeda dengan yang latihan manasik selain IPHI. Mereka dikenai biaya dengan harapan yang dibiayai ikut mendampingi sampai ke tanah suci. Beruntung, bagi jemaah anggota Muhammadiyah ada majelis tarjih. Beberapa hari sebelum keberangkatan, penulis bersama kawan-kawan, Hendra Jones, Yundiser dan Khairul Amrin mengundang khusus ketua majelis tarjih PDM Binjai, Buya Sufriady Hasan Basri. Dari referensi yang ada termasuk putusan ulama di lingkungan Majelis Tarjih, miqat dan ber ihrom untuk gelombang ke dua dibenarkan di Bandara King Abdul Aziz. Bahkan hal tersebut sudah menjadi keputusan secara kelembagaan. Muhammadiyah melihat dan memutuskan King Abdul Aziz bisa menjadi miqat maqani dan berihram.   
Keberangkatan Menuju Tanah Suci
Akhirnya 18 September 2014 penulis beserta rombongan berangkat dengan  Garuda nomor GA-3115 pukul 16.30 dari Bandara Polonia, Medan. Dilepas anak-anak dan ibunya, Lilis Erni Pilli, penulis diantar sampai pendopo Umar Baki sehari sebelumnya. Rombongan beristirahat di asrama haji untuk persiapan finalisasi sebelum keberangkatan. Beberapa waktu sebelumnya, rombongan KBIH IPHI sempat merasakan manasik, langsung praktek. Bagaimana berihram yang benar, dimana posisi awal tawaf, di mana maqam Ibrahim, minum zam-zam dan melaksanakan sa’i, safa-marwa-safa-marwa. Dalam pembagian kelompok, penulis dipercaya menjadi ketua regu/karu. Malam sebelum keberangkatan, seluruh jemah dikumpulkan di aula. Kepada merea dibagikan living cost. Biaya hidup selama berhaji di haromain. Sebagai karu dan karom juga mendapat tambahan karena mereka dianggap sebagai petugas yang ditunjuk oleh Pemerintah. Bagi jemaah haji gelombang pertama, penentuan di mana awal miqat tidak ada masalah. Pesawat yang membawa jemaah ke Madinah terlebih dahulu, mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah, mereka mengawali ihram dari Birr Ali. Tidak satupun yang tidak sepakat. Tidak demikan dengan mereka yang tergabung dalam gelombang ke dua. Penentuan awal miqat masih menjadi perbedaan termasuk di kalangan pimpinan persyarikatan Muhammadiyah. Meski sudah ada keputusan tarjih terhadap masalah ini yang membolehkan Bandara King Abdul Aziz (KAA) Jeddah bisa menjadi tempat miqat. Paling tidak itulah yang penulis lihat dan rasakan. Sebelum berangkat, ketika masih mengikuti manasik untuk persiapan keberangkatan para pembimbing di KBIH IPHI Binjaipun ada 2 versi. Miqat harus di Yalamlam, dalam arti di pesawat sudah harus dalam keadaan berihram. Bagi yang berfaham seperti ini menekankan jangan sampai nilai rupiah ibadah haji yang lumayan besar, yang sudah dikeluarkan sia-sia karena tidak diterimanya ibadah haji kita. Waktu yang tersedia di bandara tidak memungkinkan jemaah untuk mandi, berihram dan sholat 2 rakaat !. Padahal menurut konfirmasi crew pesawat, tidak dapat dipastikan apakah benar saat kita berniat ketika berihram posisi pesawat persis di Yalamlam. Kecepatan pesawatpun menjadi pertimbangan untuk membenarkan berihram harus di pesawat dengan alas an harus di Yalamlam. Bagi mereka berfaham boleh miqat di Bandara, sedikit longgar !. Karena tidak harus krasak krusuk berihram di pesawat. Apalagi saat harus ke toilet pesawat dengan kapasitas ruangan toilet sedemikian rupa.  Seminggu sebelum berangkat, penulis dan 3 kawan lain dari persyarikatan membahas boleh tidaknya mengambil miqat di bandara. Terlibat dalam diskusi ini, ketua Majelis Tarjih dan tajdid  PD Muhammadiyah Binjai, H. Supriady Hasan Basri. Berpedoman referensi yang ada, termasuk keputusan tarjih, disepakati bolehnya miqat di bandara. Kenyataannya, dua diantara kami toh masih berihram juga di pesawat !. Jadilah dalam pesawat itu, rombongan Gelombang ke-2, kloter 15 MES  terdiri dari Binjai, Medan dan Tanjungbalai 2 versi, sebahagian berihram di pesawat (sebahagian besar rombongan Binjai) dan sebahagian yang lain di Bandara. Rombongan jemaah haji Medan, pimpinan Dr. Maratua Simanjuntak  awalnya juga berkeinginan ihram di pesawat, tapi setelah diberi penjelasan oleh Al Ustadz Irwan Syahputra (Sekretaris PW Muhammadiyah, Sumatera Utara) yang bertugas sebagai wakil pimpinan kloter, Beliau turut. Beliau dan rombongan yang dibawanya, berihram di Bandara. Sementara jemaah Tanjung Balai semua berihram di Bandara.  Penulis, yang menjadi karu 8 juga memberikan penjelasan kepada teman-teman satu regu, bolehnya berihram di Bandara. Alhamdulillah, semua mereka turut. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, petugas di pesawat mengingatkan penumpang yang menggunakan fasilitas kamar mandi/toilet pesawat ketika mereka bersiap memakai ihram.
Mendarat dinihari di bandara, masya allah, penulis cari posisi, sujud syukur !. Tidak disangka, seorang cleaning service di mesjid taqwa Muhammadiyah kebun lada Binjai menginjakan kakinya di bandara King Abdul Aziz, Jeddah.  Setelah mengurus perlengkapan anggota, penulis  memperhatikan banyaknya jemaah yang mendarat dari berbagai penjuru dunia. Ada yang sudah dalam keadaan berihram ada pula yang masih utuh berpakaian biasa. Sedikit lebih mudah, kopor bawaan kawan-kawan yang jadi tanggung jawab penulis gampang ditandai karena penulis tambahkan kain/kacu warna hijau sisa dari Muktamar Muhammadiyah 2010 yang penulis ditunjuk sebagai ketua penggembiranya. Fasilitas MCK yang nyaman siap digunakan. Bahkan sampai untuk berihram, kemudian sholat dua rakaat di dalam tenda super besar, layaknya musholla di Indonesia dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa khawatir diburu waktu. Bahkan  dengan beberapa teman yang berihram di bandara sebelumnya  kami masih sempat memesan minuman dan menikmati teh hangat ala bandara beratapkan langit. Seperti juga disekitar bandara KNIA (Medan), Soeta (Jakarta) atau Minangkabau Internasioanl Airport, di sekitar bandara King Abdul Aziz juga terdapat kedai-kedai yang menawarkan minuman. Dari mulai yang ringan sampai yang berat. Waktu panjang masih tersisa.
Labbaik allahumma labbaik. Labbaikala syarikalaka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulk laa syarikalak. Kloter 15 gelombang kedua yang penulis masuk dalam rombongan, tidak terdaftar dalam peta persebaran funduuk. Tidak ada dalam persebaran hotel. Dalam peta persebaran hotel, hanya sampai kloter 14 MES. Pimpinan kloter sendiri, Drs. H. Baharuddin Damanik tidak tau dimana penginapan kami. Dimana dibawa petugas, ikut saja. Menjelang waktu shubuh, bus rombongan yang membawa kami memasuki area Hotel Arkan Bakkah di daerah Mahbas Jinn, tidak jauh dari terowongan ke masjidil haram dan juga sekitar 2-3 km ke jamaraat.
(Di terowongan mahbass jinn, sebelah kiri hotel Arkan Bakkah)
Subhanallaah, rombongan kami adalah tamu pertama yang memasuki hotel itu. Ternyata hotel itu, hotel yang baru selesai di bangun, bahkan di sana sini beberapa pekerja kulit hitam masih melakukan finishing, poles sana poles sini. Karena kami tamu pertama, penyambutan jadi istimewa. Makanan ringan dan minuman segar telah tersedia. Disediakan khusus untuk kami. Dalam kesempatan lain, al ustadz Dr. Maratua Simanjuntak (ketua forum kerukunan umat beragama Sumatera Utara) yang masuk dalam rombongan kloter 15 MES, yang sudah berulang kali ke Mekkah, mengaku inilah tempat yang dirasakan paling mewah. Beberapa teman dari kloter lain juga mengakui hal demikian. Fasilitas hotel luar biasa. Di kamar mandi, perlengkapan untuk mandi tersedia, lengkap. Di kamar tidur, di dalam kulkas minuman soft drink dan buah tersedia. Cukup banyak. Walaupun satu kamar, 5-6 orang, tapi diimbangi dengan fasilitas yang ada. Bahkan di kamar mandi tersedia shampoo, sabun dan deterjen.  Selama di hotel, untuk minuman soft drink tidak pernah kehabisan. Aqua galon tersedia di depan pintu masuk. 1 galon setiap tiga kamar !. Di lantai paling atas, puluhan mesin cuci baru dikeluarkan dari kotaknya tersedia. Petugas cleaning service membersihkan tempat cuci stand bye untuk mengeringkan genangan air buangan cucian. Petugasnya berkulit hitam.  Beberapa kali penulis menikmati sholat malam di lantai paling atas hotel Arkan Bakkah. Beratapkan langit, menikmati nikmat Allah swt yang sungguh tidak terkira !. Menikmati sunrise, matahari terbit di timur dan sunset matahari terbenam di barat kota Mekkah. Subhanallaah. Dari puncak hotel Arkan bakkaah, pemandangan kota Mekkah dengan tanahnya yang berbukit dan tandus serta gedung pencakar langit terlihat sejauh mata memandang. Cuma jam gadang mesjidil haram tidak kelihatan. Fasilitas wi fi yang lancar. Membuat setiap kesempatan yang ada, diisi kadangkala dengan berselancar di dunia maya.
Umroh awal dilaksanakan segera selesai melepas lelah. Penulis dan kawan-kawan dipandu langsung oleh wakil kloter ustadz Irwan Syahputra. Berjalan lancar. Suasana menjelang dinihari.  
Pertama sekali menatap Ka’bah, tidak terasa air mata membasahi pipi. Hati dan jiwa tergetar menatap bangunan agung. Subhanallah. Prosesi tawaf yang dilaksanakan baru pertama sekali dilaksanakan sebaik mungkin. Putaran demi putaran membawa penulis mendekati rumah agung baitullah. Ka’bah. Banyaknya jemaah yang melaksanakan tawaf tidak memungkinkan penulis menyentuh batu mulia, hajarul aswad. Demikian juga mengambil posisi di Hijr Ismail. Sgolah dua rakaat di belakang maqam Nabiullah Ibrahim as pun sebisanya, posisinya menurut perkiraan. Tahallul usai melaksanakan sa’I di lokasi masa’I berjalan lancar. Alhamdulillah. Usai melaksanakan tawaf qudum, istirahat kembali ke hotel Arqan Bakkah.
Kali kedua, bareng teman penulis kembali tawaf. Seperti ada yang tidak beres. Tapi karena dalam situasi bertawaf, sesuatu itu tidak jadi perhatian. Air mata masih meleleh. Waktu menjelang masuk shubuh. Disela kesibukan mencari posisi, seorang jemaah menawarkan kami di sisi beliau. Alhamdulillah. Dengan kesungguhan yang ada, atas izin Allah tangan mungil penulis sempat mengusap piringan hajar aswad. Kami juga sempat melaksanakan sholat dua rakaat di Hijr Ismail. Walaupun untuk memperoleh itu, harus mengikhlaskan diri disikut sana, di sikut sini. Bahkan kepala teman penulis sempat tidak kelihatan. Penulis sempat ketakutan, sempat histeris. Khawatir kalau si teman kepalanya diinjak-injak orang. Ketika keluar dari pintu masa’I, Ya Allaaah, dompet penulis hilang. Astaghfirullah. Pucat. Gemetar. Sampai ke hotel, apa yang penulis rasakan, penulis sampaikan ke karom satu di mana ada bapak wakil walikota. Pinjam uang, untuk bekal. Jika ingin ke Masjidil Haram, kadang naik bus. Stasiun akhirnya persis di seberang hotel kami sebelum masuk terowongan berakhir di stasiun menjelang masjidil haram. Di sisi kanannya ada rumah Nabi yang sekarang berfungsi sebagai perpustakaan. Kalau ingin berbelanja atau ke mesjid Jinn di dekat hotel, kadang melalui pintu belakang hotel. Menuruni jalan cukup terjal. Berjalan kaki mengamati daerah sekeliling. Mengisi kegiatan menjelang wukuf di ‘Arafah dimanfaatkan untuk mengetahui situasi sekitar masjidil haram. Terbersit di hati, tidak akan tersesat. Astaghfirullaah. Allah berkehendak lain. Hamba keluar di daerah asing. Bingung. Tanya sana. Tanya sini. Berhenti sebentar. Tafakkur. Istighfar. Timbullah hidayah. Masuk kembali ke masjidil haram. Lihat penunjuk arah. Masa’i. karena selama ini penulis keluar melalui pintu sisi kanan masa’i. Plong. 
Berkunjung ke Gua Hira’ dan Jamarat
Oleh wakil pimpinan kloter 15 MES, ustadz Irwan Syahputra  penulis ditawari ikut rombongan Beliau ke gua hira’. Pukul 03.00 dinihari kumpul di lobby hotel Arkan Bakkah. Bersama kami, turut serta bapak Timbas Tarigan (wakil walikota Binjai), ustadz Khairul Amrin  dan 1 teman yang lain. Dari seberang hotel, naik bus gratis ke masjidil haram. Berjalan kaki di sisi kanan masjidil haram sampai ke jalan raya, kemudian kami naik taxi. Jarak yang hanya 6-7 km ditempuh dalam waktu singkat. Supirnya dari Afghanistan.  Jabal nur (Gunung Cahaya) yang di puncaknya terletak gua hira’ termasuk tempat favorit yang dikunjungi jemaah yang melaksanakan ibadah haji dan atau umroh. Disinilah Muhammad dilantik menjadi Nabi dan RasulNya. Segera setelah Jibril as menyampaikan wahyu surat al alaq 1-5. Saat itu usia Beliau, Nabi Muhammad saw sekitar 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kalender Qamariyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kalender Syamsiyah. Tinggi puncak gunung cahaya diperkirakan sekitar 200 meter dikelilingi gunung dan bukit batu yang curam. Gua hira’ sendiri terletak di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit dengan ketinggian sekitar 2 meter. Karena kurang berkoordinasi, pendakian dilaksanakan sendiri-sendiri. Jalan menuju puncak sudah dikondisikan sedemikian rupa. Ada anak tangga sedemikian rupa yang dibuat oleh mereka kaum pendatang yang umumnya berkulit hitam. Tua muda, silih berganti. Ada yang turun, tidak sedikit pula yang naik. Menjelang puncak, di kiri kanan akan kita jumpai orang-orang berkulit hitam yang cacat. Mereka kaum pendatang yang karena sesuatu dan lain hal dibuat cacat. Hidup mereka dari mengemis. Menjelang puncak, penulis masih berpapasan dengan bapak Timbas Tarigan yang beristirahat. Tidak lama sampai di puncak, sayup kedengaran azan shubuh. Dengan kondisi seadanya, penulis berbaur dengan pengunjung lain melaksanakan shubuh berjemaah. Situasi masih gelap gulita. Gua hira masih harus turun sedikit ke bawah.
(Selangkah lagi, Gua Hira’)
Berjalan perlahan tanpa penerangan. Puluhan manusia mencari posisi masing-masing. Ketika sampai ke lorong sempit menjelang gua, penulis mengurungkan niat untuk masuk. Situasi gelap gulita membuat nyali penulis tidak cukup berani untuk masuk. Terpaksa penulis bertahan. Menunggu sampai waktu dan situasi sedikit agak terang. Disela penantian, ustadz Irwan Syahputra memanggil penulis. Mengajak ke ruang yang lebih terbuka di sisi lain di gunung cahaya. Seiring dengan terbitnya matahari, dikejauhan terlihat jam gadang masjidil haram. Makin terang, makin jelas lingkungan jabal nur. Jabal yang terdiri dari bebatuan besar dan tandus. Banyak jemaah haji yang memanfaatkan momen muculnya matahari dari timur. Tua muda, lelaki dan perempuan berbaur mengambil posisi di puncak yang tidak begitu luas. Cahayanya perlahan menyapu kabut dan memperjelas jam gadang di Masjidil Haram. Kesempatan langka itu dimanfaatkan pengunjung untuk berfoto. Seorang fotographer (kelihatannya dari Indonesia) berkali-kali mengambil moment yang menurutnya luar biasa. Posisi berdiri di antara kecuraman jabal Nur benar-benar diperhatikannya.
(Puncak Jabal Nur)
Sulit dibayangkan, bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalani rutinitas keseharian beliau di sini dengan hanya berjalan kaki dari rumah beliau yang sekarang menjadi perpustakaan. Paling tidak 8-9 km jalan yang tandus dan tebing batu yang curam harus beliau lalui untuk mencari petunjuk Allah swt. Mengasingkan diri sebagai protes melihat sikap jahiliyah masyarakat di lingkungannya. Setelah mengalami perjuangan lumayan melelahkan, penulis sampai juga ke lubang gua. Penulis harus puas dengan hanya melihat, melongok sedikit situasi di dalam gua. Karena masing masing pengunjung berusaha untuk masuk. Ketika turun, penulis menemukan seekor kambing kecil. Ajaib, kambingnya sangat jinak. Malah penulis sempat foto bareng kambing. Rombongan berangkat 5 orang, yang pulang ke hotel barengan 3 orang dan dua lainnya, masing-masing.
Dikesempatan lain, dengan rombongan berbeda penulis dengan kawan kawan berkunjung ke jamaraat. Hanya dengan berjalan kaki, lokasi jamaraat di sebelah kanan hotel Arkan Bakkah tempat kami menginap. Situasi sepi. Hanya beberapa pengunjung terlihat menikmati arsitek bangunan jamaraat. Memasuki area jamaraat, kami turun menggunakan eskalator untuk sampai ke tingkat lebih bawah.
(Bersama Timbas Tarigan, wakil walikota Binjai, di Jamaraat)
Situasi lingkungan berubah, dari modal bahasa yang dikuasai oleh salah seorang teman, kami kembali ke hotel Arkan Bakkah. Kami datang di lantai dua jamaraat dan pulang dari lantai dasar !.  Selama di Mekkah, usai pelaksanaan haji, kegiatan sholat di Mesjidil Haram, kadang shubuh sampai zhuhur. Kadang Ashar-Magrib. Kadang di dalam area Masjil Haram,  di ruangan luas yang telah disediakan hotel. Kadang di mesjid dekat terowongan di daerah mahbass jin, di luar. Sekali waktu, karena usai sholat yang keluar ratusan jemaah dan saling dahulu mendahului untuk mendapatkan bus,  penulis mencoba jalan memutar. Penulis ambil jalan memutar dari sisi kiri rumah nabi, terus kebelakangnya melalu jalan setapak sampai akhirnya tiba di stasiun bus. Walau agak jauh, tapi tidak perlu berdesak-desakan.
Menjelang dan sesudah pelaksanaan wukuf di Arafah ada juga diantara teman teman  rombongan yang melaksanakan umroh berkali-kali. Beralasan, aji mumpung. Mumpung ada kesempatan. Orangtuanya yang sudah meninggalpun mereka umrohkan. Begitulah keyakinan mereka. Penulis sendiri, kalau tidak diberi tahu ustadz Irwan Syahputra, juga mau jadi Pak Turut. Pelaksanaan wukuf di Arafah pada haji tahun 2014 itu bersamaan dengan hari Jum’at. Di Indonesia dikenal dengan haji akbar. Hal ini membuat situasi di Arafah semakin ramai, karena penduduk pribumipun ikut melaksaksanakan wukuf di Arafah. Jarang ditemukan wukuf di Arafah bersamaan dengan hari Jum’at. Jika hari hari biasa pelaksanaan wukuf, penduduk pribumi banyak berliburan ke luar negeri. Tapi tidak, jika pelaksanaan wukuf jatuh hari jum’at. Tanggal 8 Zhulhijjah pagi hari, di depan hotel kami sudah banyak orang berjalan kaki menuju arafah. Hujan sempat membasahi bumi Mekkah. Tidak lama !. Sementara rombongan kami bakda ashar bersiap siap menuju arafah.  Ini kali ke dua, penulis  ke Arafah. Sebelumnya, sekedar berziarah sesuai schedule yang telah ditetapkan dalam buku panduan. Sebagai bagian dari hak peserta ibadah haji. Disaat tengah hari, panas menyengat. Tidak sedikit para jemaah mendaki sampai ke puncak jabal rahmah. Berbagai tingkah laku manusia bisa dilihat, mulai dari berdoa menghadap tugu sampai tindakan kanibal, menulisi dinding batu di sekitar jabal. Walaupun berjarak sekitar 25 km dari Mekkah, karena kepadatan arus lalu lintas, waktu yang ditempuh jadi cukup lama. Di Padang Arafah, hanya berbalut dua helai kain ihram yang sudah dipakai sejak keberangkatan dari hotel. Setelah pelaksanaan sholat zhuhur jamak taqdim qashar dengan ashar dilanjutkan dengan khutbah arafah. Kamar mandi tempat mck yang  tersedia cukup memadai. Dua lantai. Lantai atas ruang terbuka. Dari atas dapat dilihat sejauh mata memandang, tenda melulu. Bahkan tugu jabal rahmahpun tidak kelihatan dari lokasi posisi rombongan kami berasda. Kadang terlihat ambulans dan jelas terdengar sirine ambulan, membawa jemaah bersafari wukuf. Karena dalam kegiatan satu ini, tidak boleh diwakilkan. “Tidak ada haji tanpa wukuf (di) Arafah, demikian sabda Rasulullah saw. Di tenda kami, barengan dengan wakil walikota Binjai, Timbas Tarigan,  khutbah arafah disampaikan Dr. Maratua Simanjuntak. Selesai khutbah, masing masing mencari tempat untuk berdoa. Sebagian ada juga yang bertahan di tenda. Beralaskan kertas kardus yang ada, penulis mengambil posisi tersendiri, berkhalwat. Menumpahkan segala yang mengganjal. Berharap belas kasihan Allah swt.  Isak tangis menyesali kesalahan prilaku dan banyaknya beban dosa yang dirasakan, membuat tangis dan ingus meleleh. Ya Allah........
(Di lantai atas kamar mandi, Padang Arafah)
Menjelang isya rombongan bersiap menuju muzdalifah. Mengambil batu !. Tengah malam, beratapkan langit yang cerah sejauh mata memandang manusia berihram masing masing sibuk dengan kegiatannya. Kalau di Arafah masih ada tenda, tidak untuk di Muzdalifah. Karena hanya sesaat singgah untuk mengambil batu dan bersiap siap ke mina. Langit kota Mekkah, sangat bersahabat. Mutiara-mutiara langit menghiasi pandangan. Kelap kelip, berzikir !.  Justru kesakralannya lebih terasa di sini. Paling tidak itu yang penulis rasakan. Usai sholat shubuh, rombongan kami menuju Mina. Beberapa barang tercecer, seperti rial, arloji. Satupun tidak ada yang berani membawanya. Istirahat di tenda, kegiatan dilanjutkan dengan melontar jumrah aqabah. Penulis dan rombongan kebagian lantai 3 jamaraat. Usai menjelang zhuhur mahkota di kepalapun dicukur habis. Tanggalah pakaian ihram. Dengan pelaksanaan nafar sani, hari hari selanjutnya lempar jumrah dapat dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah, menjelang zhuhur !. Berangkat dari tenda, pukul 11.00 waktu setempat, sampai di lokasi jamaraat menjelang zhuhur. Penulis bersama ustadz Irwan Syahputra dan petugas kesehatan. Kadang melapor dulu ke posko, kemudian ke jamaraat. Pelaksanaan prosesi lempar jamaarat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang afdhal. Alhamdulillah, semua terasa dimudahkanNya.  Kembali ke penginapan, Arkan Bakkah. Penulis dan beberapa teman lain membawa banyak buah dan minuman kaleng sisa dari dapur umum di Mina. Di bus, sebagian bawaan itu dibagi ke jemaah lain.
            Madinah
Di Madinah, penulis beserta rombongan kebagian hotel lapis ketiga dari pagar mesjid nabawi gate 8. Dari pintu 8 ini berjalan lurus sampai menjelang pintu 6, posisi raudhah ada di sebelah kiri. Di sebelah kanan mesjid nabawi dari gate 8 ada bangunan memanjang. Mirip sekolah. Sebelum penulis mengetahui bangunan apa gedung itu, penulis pernah ditanyai jemaah lain dari Indonesia, “Dimana museum asmaul husna....?”. Penulis menggeleng, tidak tahu. Dalam suatu kesempatan, menjelang ashar penulis berniat ke raudhah. Masuk dari babu ssalaam, antri. Dengan bahasa arab sepotong-sepotong, penulis keluar dari antrian. Ambil jalan pintas, satu lapis dari mimbar di raudhah, seorang petugas keamanan menarik lengan penulis dan menyuruh berdiri persis disisi kanan mimbar. Subhanallaah. Kesempatan tersebut tidak disia siakan. Sambil berzikir dan berdoa, penulis perhatikan persis dibelakang posisi muazzin. Jadilah ashar di sisi kanan mimbar kemudian bergeser sedikit ke kiri bahagian dari raudhah. Penulis sempatkan sholat dua rakaat persisi di depan Mihrab, gumaman rasa syukur diberi kesempatan sholat ashar dan berdoa di raudhah, membuat penulis seperti bermimpi. “Ya Allah, janganlah kehadiran hamba di sini adalah kehadiran terakhir, berilah hamba dan seluruh keluarga hamba, isteri dan anak anak hamba untuk dapat juga beribadah di taman surga ini ya Allah.......”. Area raudhah ditandai dengan karpet hijau. Membentang dari rumah Rasulullah SAW (yang kini menjadi makam beliau) hingga ke mimbar. Sekitar 26 x 15 meter. Selain area raudhah (karpet hijau), semua area sholat masjid Nabawi berkarpet merah. Jadi selama yang kita injak masih karpet merah, ya belum sampai di Raudhah. Wallahu a’lam. Menjelang keluar, di sisi kiri ada makam yang mulia Rasulullah Muhammad saw beserta sahabat-sahabat beliau, Abu Bakar Sidiq dan Umar bin Khatab. “Assalamu’alaika ya Rasulallah, Assalamu’alaika ayyuha nnabiyu warahmatullaahi wa barakaatuh......”. Keluar dari mesjid nabawi, sisi kanan ada hamam 7. Kamar mandi 7.
(Di depan salah satu mesjid Nabawi)
Melangkah terus, di sisi kiri bangunan seperti sekolah, itulah museum asmaul husna. Bangunan 2 petak yang terhubung. Satu bangunan berisi diorama perkembangan kota Madinah, diawali dengan silsilah nabi Adam as sampai pada nabi Muhammad saw. Terdapat di dalamnya market mesjid nabawi dari awal sampai seperti sekarang. Bangunan satu lagi, asmaul husna !. Nama-nama Allah dengan segala penjelasan ayat al quran pendukungnya. Ada juga komputer layar sentuh menyajikan kebesaran Allah. Tidak banyak yang tahu keberadaan gedung mirip sekolah ini.  Tidak jauh dari gate 6, terdapat beberapa bangunan sejarah antara lain mesjid Abu Bakar, Mesjid Ghamamah dan Mesjid Ali. Sayangnya ketika penulis berkunjung ke sana, mesjid dalam keadaan terkunci. Terkesan kurang perawatan !. Lebih lebih mesjid Abu Bakar yang terletak agak di pojok pasar. Ada dua versi tentang latar belakang sejarah Masjid Abu Bakar, versi pertama menyebutkan bahwa di lokasi masjid ini, Khalifah Abu Bakar Siddiq semasa hidupnya pernah menyelenggarakan sholat Hari Raya bersama Rosululah dan muslim terdahulu. Versi kedua menyebutkan bahwa dilokasi masjid ini berdiri dulunya merupakan rumah kediaman Abu Bakar Siddiq. R.A. Dibangun dengan batu basal. Bagian dalam dicat dengan wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan. Di sebelah kanan dan kiri jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang Menara adzannya berada di sudut timur laut. Bagian fondasinya memiliki area persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir dengan muqamas penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk bulan sabit.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah
.                                                                  
Masjid Ghamama berada sekitar 300 meter sebelah barat daya (sebelah timur bagian selatan) Masjid Nabawi, tak bejauhan dengan Masjid (Sahabat) Umar r.a dan Masjid (Sahabat) Ali r.a. Bangunan masjid ini dibangun untuk mengenang beberapa peristiwa penting dimasa kehidupan Rosulullah S.A.W. dan peristiwa peristiwa penting tersebut juga yang hingga kini melekat sebagai nama masjid ini.       Disebut sebagai masjid Ghamama (Ghamama = awan mendung), di lahan masjid ini berdiri merupakan tempat Rosulullah S.A.W melaksanakan Salatul Istiskah (sholat untuk meminta hujan). Segera setelah pelaksanaan sholat awan mendung pun datang dan hujan pun turun. Itu sebabnya sampai kini masjid ini disebut Masjid Ghamama.Disebut sebagai Masjid Id (Masjid hari raya) karena di lokasi tempat masjid ini berdiri merupakan tempat Nabi Muhammad S.A.W melaksanakan sholat hari raya di empat tahun terahir kehidupan Beliau. Yang ketiga mesjid Ali. Masjid ini berbentuk persegi panjang. Dari timur ke barat, panjangnya 35 meter dan lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah; timur dan barat dengan satu kamar kecil. Pengunjung cukup puas menikmati bangunan mesjid mesjid tersebut dari luar.
Jika kita keluar dari gate 1 atau 2 menyeberang jalan, melewati bawah jalan layang, di situ ada mesjid Bilal. Terletak lebih kurang 700 meter menyeberang jalan King Faisal. Mesjid ini berlantai dua, di bawahnya kios-kios tempat orang berdagang. Disalah satu ruangan kiosnya juga ada kantor pos. Sebagai seorang filatelis, penulis sempatkan membeli souvenir sheet, perangko dan amplop. Penulis sempat sholat maqrib dan isya di sini. Artinya penulis tidak terlalu fokus mengejar arba’in yang oleh sebahagian jemaah menjadi suatu kewajiban. Ketika berwudhu’ di kamar mandi, penulis menemukan seorang anak muda dari Jawa. Bertugas sebagai cleaning service. Usai sholat maqrib, imam sholat 2 rakaat, 3 kali. Penulis penasaran. Penulis beranikan untuk bertanya, ayyu sholah ya abi ??. Rasulullah sholat bakda maqrib, wahid marrah, rak’atain !!. Wa lakin, anta sholat tsalatsa marrah, rak’atain, rak’atain. Imamnya terkejut, Beliau tinggalkan penulis. Beliau ke belakang, duduk di tempat yang telah disediakan. Beberapa jemaah mengikuti beliau, duduk setengah lingkaran. Ada juga beberapa bocah belajar membaca al qur’an. Penulis nimbrung. Si imam menuangkan minuman ke beberapa gelas seperti kemasan aqua dan membaginya ke jemaah yang ada kecuali penulis. Kemudian beliau juga menawarkan kurma. Tidak kepada penulis. Akhirnya penulis ambil sendiri, minuman termasuk kurma yang ada. “Halal ya abi ??” Beliau menjawab dengan bahasa isyarat. Mempersilahkan. Ketika mengulang wudhu untuk isya, setelah berwudhu dan akan sholat sunat 2 rakaat, seseorang menghantarkan kepada penulis minuman. Rasanya berbeda. Bakda sholat isya, penulis sempatkan bertanya kepada pemuda yang bertemu di kamar mandi mesjid perihal minuman yang berbeda rasanya ketika diberi imam selesai maqrib tadi. Pemuda itu menjelaskan, kalau di Indonesia namanya jamu. Istilah di situ qahwah !!. Padahal dilihat kamus, qahwah itu kopi.  Melihat dialoq penulis dengan pemuda itu, seorang jemaah paruh baya menyalami dan bertanya ke penulis
“Aanta hajj ?”
“Na’am, ana haji minal Indonesia”.
Beliau bertasbih dan berdoa, “Subhanallah, Mabrur, Mabrur”.
“Min aina anta?”,
“Ana min Iraq, Ana ‘amil huna”.  
Demikian obrol singkat penulis dengan seorang jemaah ketika sholat maqrib dan isya di mesjid Bilal dengan seseorang yang mengaku pekerja dari Iraq.
Dikesempatan lain penulis berziarah juga ke mesjid Ijabah. Dari tanya sana sini sama pribumi yang ketemu di jalanan penulis diantar ke jalan raya yang membawa penulis  akhirnya sampai ke mesjid Ijabah. Dibandingkan masjid-masjid yang ada di Madinah, masjid ini tidak terlalu besar. Bercat paduan warna krem dan coklat tua, masjid ini dilengkapi sebuah menara tinggi menjulang. Meski letaknya di pinggir jalan raya, persisnya Jalan As-Sittin, Distrik Bani Muawiyah, masjid ini tidak terlalu mencolok karena hampir menyatu dengan toko-toko yang ada di sekitarnya.Di sisinya ada rumah sakit. Penulis sempat sholat Ashar di sini. Tersedia juga aqua galon yang siap diminum. Saat penulis di sini, sedang ada tausiyah dari kelompok jemaah negara lain.  Penulis juga sempat bertemu dengan warga negara Indonesia yang bekerja di Madinah dan harus rela mengeluarkan uang jutaan untuk mendapatkan haji akbar. Dengan berbagai cara dia tinggalkan pekerjaannya, naik bus ke Mekkah dan tidur seadanya di Arafah saat wukuf dan aktifitas lain dalam rangka pelaksanaan ibadah haji. Ketika kembali ke pemodokan, beberapa hotel sudah dikosongkan bahkan diantaranya ada yang sudah dibongkar dalam rangka perluasan area mesjid Nabawi. Tidak sengaja penulis melihat satu bangunan mesjid disela-sela toko. Di dinding sebelah kiri mau masuk tertera jelas tulisan mesjid al Bukhari. Pintu tidak terkunci, di dalamnya bersih. Apakah digunakan atau tidak wallahu a’lam. Melihat kondisi mesjid yang bersih dan terawat, penulis berkeyakinan mesjid itu digunakan walaupun posisinya sangat dekat dengan mesjid nabawi khususnya gate 12.  
10 hari di Madinah, penulis maksimalkan mengamalkan hadits Rasulullah berikut
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَبْرَدِ مَوْلَى بَنِي خَطْمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
 صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Abdul Hamid bin Ja'far] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abul Abrad] mantan budak bani Khathmah, ia mendengar [Usaid bin Zhuhair Al Anshari] -ia termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam- ia menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Shalat di masjid Quba seperti melakukan Umrah.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْكَرْمَانِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ يَقُولَ قَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Ammar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hatim bin Isma'il] dan [Isa bin Yunus] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sulaiman Al Karmani] berkata; aku mendengar [Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif] berkata; [Sahl bin Hunaif] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala umrah. [HR. ibnumajah No.1402]                                                                                                        
Selesai sarapan penulis berjalan kaki dari hotel masuk gate/hammam 8, terus sampai ke gate 6. Di jalan raya, banyak angkot menawarkan jasa angkutan. “quba......quba” kata supir.
“Kam riyal ?”
“Isna riyal” jarinya mengisyaratkan angka 2.
Jadilah penulis barengan dengan jemaah haji negara lain ke mesjid quba.
(Prasasti di sisi kiri Mesjid Quba)
Ada 4-5 kali atau 4-5 hari hal demikian penulis lakoni. Kadang belum jauh masuk area mesjid ada odong-odong. Kenderaan roda empat yang bersambung-sambung seperti kereta api.  Penulis stop. “Ila aina ???” tanya supir. “Baabun sittah ?” “Tafadhal” ujarnya. Lumayanlah, tidak terlalu melelahkan di banding berjalan kaki. Kadang terjadi dialog singkat.
“A anta, zahabta ila Indonesia ?” Tanya penulis pakai bahasa yang penulis maksud, “Engkau, Pernahkan engkau ke Indonesia ?”
“Na’am. “Ila aina lau anta tazhaabu ila Indonesia ?”
“Puncak, Bogor !” Jawabnya. 
Di mesjid quba, penulis juga bertemu petugas cleaning servicenya dari Jawa. Orangnya masih muda. Dia banyak bercerita, termasuk tentang bangunan di sisi kiri Mesjid Quba yang ada kran air, tapi airnya tidak keluar. Menurutnya itu bekas sumur, di mana di sumur itu cincin Aisyah (isteri Nabi) jatuh dan tidak ditemukan. Beliau juga anjurkan penulis, begitu keluar dari mesjid Quba di sisi kiri searah qiblat mesjid ada bangunan. Ternyata bangunan itu semacam museum. Di dalamnya ada diorama tentang sejarah mesjid Quba. Layar layar lebar memvisualisasikan segala sesuatu tentang mesjid quba. Begitu keluar, sama dengan pintu masuk penulis ditawarkan cd. Harganya 5 riyal. Penulis sempat foto bareng, salah satu penjaganya bernama Salman, masih kuliah di Universitas Islam Madinah. 
Penulis jadi ingat ketika ustadz Irwan Syahputra mengajak penulis ikut jalan-jalan membelah malam kota Madinah bersama bekas mahasiswanya, Salman dengan mobil. Salman dan isterinya stand by di basecamp. Dari hamaam 8, kami turun ke bawah. Mobil jenis sedan itu, stirnya sebelah kiri. Bareng istrinya, kami diajak makan malam di suatu resto. Redup dan dingin karena pengaruh ac sampai ketulang. Pengunjung lain, seperti tidak ada. Privacy sekali. Makanan yang dicicipi rasanya tidak sesuai dengan lidah Sumatera. Memasuki area Universitas Islam Madinah, tidak bisa masuk terlalu jauh, karena forbidden.
Sekali waktu,  penulis nekat pulang jalan kaki. Di tengah jalan ketemu jemaah dari Sunda. Jadilah kami berbarengan. Lebih banyak yang dilihat. Diantaranya mesjid al Jum’ah. Sayang pintunya terkunci. Sejarahnya Ketika Rasulullah berhijrah, beliau masuk di perbatasan Madinah pada hari Senin, Rabiul Awwal 1 H. Saat itu beliau singgah di Quba selama empat hari hingga Jumat pagi, bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Awwal pada tahun yang sama. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Tidak jauh dari Quba, waktu shalat Jumat telah masuk. Beliau pun shalat di Wadi Ranuna. Di tempat shalat Jumat Rasulullah itu kemudian dibangun Masjid Al-Jum’ah (Jumat). Masjid tersebut dibangun dari pecahan bebatuan. Masjid ini memiliki menara tinggi yang sangat indah dan kubah utama tepat di atas area shalat bagian tengah, ditambah dengan empat kubah kecil.Ada pula mesjid dengan bangunan warna merah mencolok. Menurut jawaban warga yang ditanya, mereka menjawab, mesjid bin Laden.
Di sebelah Babussalaam, persis di seberang hamaam 3 ada pintu masuk ke dalam mesjid nabawi. Penulis masuk. Naik tangga di sisi kanan. Ketemu kantor/perpustakaan. Penulis sempat berdialog dengan petugasnya.                                                                                  
“Hal ‘indakum kutubu llughatul Indonesia, mitsal fiqhus sunnah ?”.                                   
“Anta mu’allim ?”                                                                                                                   “Na’am”                                                                                                                                    
”Min Indonesia ?”                                                                                                                        “Na’am” Saya mengangguk.                                                                                         
“Indonesia Jamil, Indonesia hebat” katanya. Saya Cuma tersenyum. “Uktub ismuka huna”, katanya sambil menyodorkan daftar isian nama pengunjung. Kemudian dia masuk dan keluar dengan membawa 1 tas buku buku tafsir, hadits dan buku lain termasuk beberapa cd diantaranya ada cd maktabah syamiilah. Penulis terus naik ke atas. Sampai lantai paling atas, penulis perhatikan puncak bangunan gedung hotel yang kelihatan. Ternyata jalan kembali ke hotel jadi lebih singkat. Penulis turun di pintu terdekat gate 8 di mana posisi hotel penulis berada.
(Puncak mesjid Nabawi menjelang terbit matahari)
Khotimah
Siapapun PASTI berkeinginan beribadahah ke haromain. Apakah itu haji atau umroh. Insya Allah, dengan kesungguhan, bi iznillaah bisa terealisasi. Dari pengalaman yang penulis alami, paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi mereka yang hendak berangkat. Antara lain :
          Walaupun uang saku sudah disediakan untuk kebutuhan selama di haromain (khusus yang berangkat haji), tidak salah kalau membawa bekal makanan semaksimal mungkin. Karena kopor yang dibawa berangkat tidak begitu banyak, cukupkan saja dengan makanan semisal mie istant dan makanan favorit lainnya. Di hotel sebahagian ada menyediakan aqua galon yang dengan ini kita bisa menikmati bekal tadi. Tidak usah pelit. Berbagi saja dengan rombongan kita.
          Ketika hendak tawaf, bawa fuluus secukupnya saja. Karena niat kita memang untuk ber ibadah. Hindarilah bersikut-sikut dengan jemaah lain, apapun alasannya. Kalau kenyataannya jarak pemondokan cukup jauh dari masjidil haram, jangan dipaksakan sholat  harus ke masjidil haram. Karena banyak riwayat, selama di tanah haram, di manapun kita sholat nilainya sama dengan sholat di masjidil haram. Paling tidak itulah petuah ustadz yang penulis dengar ketika berceremah di mesjid sisi kiri terowongan mahbas jinn.
         Jika memungkinkan, jadilah jemaah mandiri dalam arti kata tidak bergantung kepada orang lain. Jika memang dimintai tolong untuk ditemani ya, tafadhol.                       
Penulis beberapa kali dimintai tolong ibu-ibu untuk menemani mereka thawaf. Penulis iyakan, tapi tidak di lantai satu !. Dengan membawa ibu-ibu yang meminta tolong, tawaf di lantai dua cukup menggembirakan. Tidak terlalu berdesak-desakan. Sepanasnya terik matahari, lantai yang dipijak masih tetap adem. Masih bisa dilalui.
          Modal mengetahui dan memahami bahasa Arab, sangat sangat penting. Sepotong dua potong kata ucapan sehari hari sangat membantu. Gunakan waktu semaksimal mungkin, lebih-lebih gelombang ke dua untuk menziarahi daerah daerah seputar Mesjid Nabawi. Apalagi yang tidak fokus pada arba’in. Banyak berjalan, banyak di lihat dan tentu saja banyak pengalaman.Dan jangan lupakan pula merasakan sensasi bersantap makanan cemilan kentucky fried chicken ala Madinah yang terletak di pojok kiri gate 1 mesjid Nabawi. Al Baik. Kentucy fried chickennya negeri Arab. Buka mulai sore. Penulis siang ke sana masih tutup. Penasaran dengan cita rasanya, kali kedua penulis dating sore. Antri. Karena keterbatasan fulus, yang penting cicipi. 



Kamis, 05 Oktober 2017

Haji Akbar I

Dari Muktamar ke Muktamar

Muktamar Muhammadiyah Malang
Muhammadiyah adalah organisasi terbesar yang pernah tercatat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia . Tidak sedikit kader putra putri terbaik Muhammadiyah yang memiliki andil dalam menegakkan Bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia . Sebut saja, Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakkar diawal-awal kemerdekaan. AR Fachruddin dengan ciri khas dakwah Beliau, menjadikan Muhammadiyah tetap eksis sampai detik ini. Karena masa kepemimpinan Beliau, Pemerintah menerapkan azas tunggal. Amien Rais, yang dengan terawangannya didukung gerakan mahasiswa dan masyarakat, berhasil mengakhiri sepak terjang kekuasaan orde baru. Insya Allah, Muhammadiyah akan terus dan tetap eksis sampai akhir zaman. 
Muktamar, adalah forum musyawarah tertinggi dalam persyarikatan. Semenjak 5 periode yang lalu sebelum kepemimipinan sekarang setiap pertemuan atau Muktamar digelar, senantiasa diramaikan oleh anggota maupun simpatisan Muhamadiyah. Momen Muktamar yang bersamaan waktunya dengan liburan anak sekolah, menjadi wahana pertemuan antara anggota dan simpatisan dari seluruh Indonesia . Dari Sabang sampai Merauke. Bahkan juga dari luar negeri. Para anggota dan simpatisan yang datang dengan keikhlasan dari berbagai pelosok tanah air dengan biaya sendiri, menandakan kecintaan mereka terhadap gerakan persyarikatan yang didirikan KHA Dahlan allahu yarham ini. Dalam istilah mereka yang datang ini disebut dengan penggembira. Para penggembira ini, oleh panitia tempat akan disediakan pemondokan seperti di rumah-rumah penduduk, di unit-unit amal usaha Muhammadiyah seperti sekolah-sekolah dan unit amal usaha lainnya. Berbeda dengan para peserta yang diberi mandat oleh persyarikatan dan terikat dengan acara-acara, para penggembira ini justru bebas dan merdeka. Mereka tidak terikat. Mau kemana, dan mau ngapain terserah. Biasanya panitia tempat mengadakan kegiatan sampingan untuk para penggembira. Atau para penggembira sendiri yang berinisiatif jadwalkan kegiatan internal mereka. Jadi sementara para peserta berkutat dengan berbagai macam kegiatan untuk memikirkan gerak Muhammadiyah ke depan,para penggembira menggembirakan hati mereka dengan berekreasi atau aktivitas lain yang tidak mengikat. Tidak sedikit yang memboyong keluarga besarnya. Anak isteripun dibawa. 
Karena sudah berkali-kali berpartisipasi sebagai penggembira, mulai dari muktamar Muhammadiyah di Yogya, muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh, dan muktamar Muhammadiyah di Jakarta, oleh kawan-kaawan di PDM Binjai, pada Muktamar Muhamadiyah ke-45 yang lalu di kota apel Malang, saya ditunjuk menjadi koordinator penggembira dari Binjai dengan tugas menginventarisir para anggota dan simpatisan yang berminat ikut serta sebagai penggembira, mendampingi mereka ke Malang dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang menimpa mereka. Begitu sosialisasi muktamar diadakan, beberapa orang langsung mendaftarkan diri untuk turut serta. Penggmbira yang berangkat dibagi dua kelompok, satu kelompok dengan pesawat udara, satu lagi kelompok kapal laut. Karena kemampuan financial saya di kapal laut, maka penggembira lewat kapal laut jadi tanggung jawab saya. Setiap peserta yang mendaftar, langsung saya belikan tiket kapalnya. Mengingat bersamaan dengan hari libur anak sekolah. Sampai H min dua dari jadwal keberangkatan, masih saja ada yang mendaftarkan dirinya untuk ikut rombongan. Bahkan ada pula diantara penggembira yang awalnya mendaftar, kemudian menarik kembali pendaftarannya dengan alasan ingin naik pesawat, belakangan kembali mendaftarkan diri karena beberapa hari menjelang Muktamar ongkos pesawat mengalami kenaikan yang lumayan besar. Bahkan tidak hanya mendaftarkan diri sendiri, malah berdua dengan isterinya. Sampai pada hari keberangkatan, suami isteri yang paling akhir mendaftar sudah menunjukkn sikap yang lain. Beliau komplain dengan fasilitas yang disediakan olah travel, karena saling berhimpitan dengan sekalian barang penumpang. Dari Binjai ke Belawan, kami disediakan L-300. bergabung dengan penumpang lain yang juga akan berangkat dengan menggunakan kapal laut. 
Dilepas oleh PDM Binjai, kamipun berangkat menuju Belawan. Tercatat ada 17 orang yang harus saya pertanggung jawabkan selama dalam perjalanan menuju Malang . Dua pertiganya ibu-ibu manula, sebagai komitmen awal yang telah disepakati, tugas kordinator adalah menghantarkan para penggembira sampai ke Malang . Selepas di Malang kemungkinan ada penggembira yang akan dijemput keluarganya atau ingin ke rumah keluarganya, maka itu sudah diluar tugas kordinator. Dalam perjalanan menuju Belawan, seorang teman peserta penggembira menelepon saya karena L-300 yang ditumpanginya dengan rombongan lain mengalamai kerusakan. Teman yang menelepon meminta saya mencarikan solusinya. Saya katakana saja, karena dia bukan satu-satunya penumpang di L-300 itu, maka berembuk saja antar mereka untuk mencari jalan keluarnya. Bagaimana mungkin saya di rombongan L-300 yang lain beserta dengan rombongan yang ada kembali untuk bergabung dengan bus L-300 yang mengalami kerusakan. 10 menit menjelang kapal melaut, jangkar diangkat, rombongan bus L-300 yang rusak tiba di Belawan. Saya sempat cemas, karena dari information sudah menginformasikan agar para penumpang kapal segera naik ke kapal karena kapal akan segera diberangkatkan. Alhamdulillah. Setelah mencek segala sesuatunya, kamipun barengan naik ke kapal. 
Hari Selasa, hari pertama di kapal, beberapa bapak-bapak manula rombongsn saya mempertanyakan discount dari harga tiket kapal. Karena memang tercatat, usia sekian tahun ke atas dengan bukti foto copy diri akan mendapatkan discount dari Pelni. Awalnya saya sempat kebingungan untuk memberikan jawaban, karena berapa ongkos yang ditetapkan pihak travel untuk kelas wisata sebanyak itulah yang saya berikan tanpa mau tahu dengan yang lainnya. Sebenarnya, jika saja para Bapak-bapak itu menyadari posisinya dan faham kesepakatan awal, seyogyanya berapa harga segala macam tetek bengek itu, mereka tidak perlu tahu. Karena panitia pemberangkatan muktamar, c.q kordinator penggembira telah disepakati dengan biaya lima ratus ribu rupiah adalah biaya yang dibebankan kepada penggembira yang ingin turut serta ke Malang . Perkara berapa biaya yang digunakan, koordinator penggembira akan mempertanggung jawabkannya ke PDM melalui panitia pemberangkatan muktamar. Hal ini sudah coba saya jelaskan, tetapi sebagian mereka tetap mengotot untuk menjelaskan perinciannya. Masya Allah. Terakhir, kami terpaksa melibatkan pihak Pelni yang ada di kapal dengan menanyakan segala sesuatu yang menjadi ganjalan para Bapak-bapak ini. Akhirnya, mereka dapat menerima. Alhamdulillah. Kegalauan saya menghadapi tingkah para Bapak-bapak manula terbaca oleh ibu-ibunya. Mereka bersimpati kepada saya dan memberikan saya uang saku. Saya awalnya menampik, karena saya tidak ingin dikira macam-macam. Karena mereka terus memaksa akhirnya pemberian mereka saya terima. , Alhamdulillah. 
Hari Rabu, hari kedua kapal singgah di Batam. Beberapa rombongan saya yang mempunyai keluarga di Batam sempat plesiran. Saya sebenarnya diajak dan sudah saya iyakan walaupun hati mendua. Ikut plesiran atau tetap di kapal dengan anggota rombongan lain. Akhirnya kedua-duanya tidak. Karena saya mempunyai sepupu juga di sini, setelah mendapatkan no hp nya, saya hubungi sepupu dan mendapat jawaban dengan terpaksa tidak dapat menjemput saya karena sedang ada tugas yang tidak dapat ditinggalkan. Olehnya saya disarankan untuk menghubungi keluarga yang lain di Batam dan sarannya saya ikuti. Dari informasi tanya sana tanya sini, saya mengetahui lokasi kantor tempat keluarga ini bekerja. Karena memang tak jauh dari pelabuhan, dengan berjalan kaki saya selusuri kota Batam. Yang dicari, tidak ketemu. Ketika kapal kembali melaut, saya dapat telepon dari panitia Malang menanyakan posisi saya dan rombongan dimana. Saya jelaskan posisi dan kemungkinan jadwal tiba ke Malang . Saya betul-betul memaksimalkan kemajuan teknologi yang saya ketahui. Nama rombongan yang saya bawa, sudah saya fax kan bersamaan dengan no hp saya. Jadi komunikasi dengan panitiapun berjalan lancar. 
Hari Kamis,hari ketiga menjelang kapal tiba, saya sudah dikontak oleh awak bus yang bakal kami tumpangi menuju Malang . Dengan hanya 17 penumpang, tidak terpikirkan untuk mencarter bus penumpang. Saya kontak teman-teman di PP Muhammadiyah, tak ada yang bias diharapkan. Akhirnya dengan bantuan keluarga di Jakarta saya minta tolong dicarikan bus Jakarta-Malang. Keluarga sudah membantu saya, mereka memilih Kramat Jati. Awak bus inilah yang menghubungi saya dengan mengatakan penumpang lain sudah menunggu. Cuma rombongan saya yang belum ada. Jadwal keberangkatan bus Jakarta-Malang pukul 14.00 sementara pukul 15.00 kami masih akan merapat. Jelas situasi ini membuat saya deg-degan dan tidak enak. Pukul 16.00 kapal merapat, pukul 17.00 kaki baru menginjak tanjung priuk. Sudah ada bus antar jemput dari Kramat jati dan satu mobil keluarga. Alhamdulillah, saya sangat gembira semua selamat sampai di tanjung periuk. Sebahagian ke bus antar jemput Kramat Jati sebagian nimbrung dengan mobil keluarga karena kapasitas mobil antar jemputnya tidak mencukupi untuk 17 peserta rombongan saya. 
Jakarta menjelang maqrib adalah Jakarta dipuncak kesibukan dan kepadatan lalu lintasnya karena bersamaan dengan jam pulang karyawan kantor. Tidakpun jam pulang kantor, Jakarta memang sudah macet, apalagi pada saat jam pulang kantor. Semua ingin duluan sampai ke tempat. Pada saat itu ha-peku berdering “Assalamu’alaikum, siapa ini” tanyaku seraya memberi salam. “Bu Wirda Fuad, dari Binjai” sahut suara di seberang telepon. “Ya ada apa bu”. “Bagaimana kau ini, anak aku kau tinggalkan sendirian di Tanjubg periuk”. Jelas ada kekhawatiran dalam nada suara ibu Wirda. “Ah ndak mungkinlah buk, nanti kucoba mencek di mobil satu lagi, karena kami ada dua mobil dari Tanjung periuk” Jelasku mencoba menenangkan dirinya.”Apa pula, dia menelepon dari Tanjung periuk menyatakan dirinya kalian tinggal”, semakin tinggi suara bu Wirda di seberang telepon. Aku terdiam tidak dapat berbuat apa-apa. Keluargaku bingung, demikian juga temanku satu mobil. Ketika kujelaskan asal telepon dan kejadian yang menimpaku, Kuhubungi temanku di bus antar jemput kramat jati yang dua hari lalu meneleponku di saat bus L-300 yang ditumpanginya beserta rombongan lain mogok dalam perjalanan dari Binjai ke Belawan. Kutanyakan keberedaan si A. Begitu mendapat penjelasan si A memang tidak ada, spontan keluar dari mulutku “Mampus si A tinggal”. Selesai bicara dengan nada demikian, kurasakan darahku hilang. nyawakupun hilang setengah. Aku betul-betul down. Keluargaku mengatakan tak mungkin kembali. Kita sudah terlalu terlambat. Hingar binger suara klakson kenderaan disekelilingku tak lagi kudengarkan. Semua mati. Semua lenyap. Semua gelap. Mobil yang kutumpangi tidak lagi kurasakan apakah masih berjalan membelah jalanan Jakara atau tidak. Aku tidak tahu, ntah apa yang ada dalam jiwaku, dalam benakku. Semua kosong. Semua bolong. Semua gelap. 
Tiba-tiba saja hapeku kembali berdering “Ya, assalamu’alaikum”, sapaku tak bergairah. “Fuad, kau tunggu anakku di terminal, dia menyusul naik taxi”. Ternyata bu Wirda yang menelepon. “Ya buk” jawabku. 
Di terminal Kramat jati, kami disambut hujan seperti air yang sengaja dilimpahkan satu tong besar sekaligus. Hujan selebat-lebatnya menyambut kedatangan kami. Semua rombongan langsung naik ke bus kramat jati yang sudah stand by sejak pukul 14.00 siang Sementara kuperkirakan saat itu sudah pukul 18.00 lewat. Badanku basah oleh lebatnya air hujan. Lumayan kuyup. Kudengar gerutuan ketidak puasan dari sebahagian penumpang yang terlunta-lunta karena menunggu kami dan rombongan. Awak buspun tidak dapat lagi berkompromi. Mereka tidak perduli dengan anak gadis yang tertinggal di tanjung periuk yang sedang menyusul dengan taxi. Disaat-saat aku sedang negosiasi dengan awak bus, suara penumpang lain menyuruh supir untuk segera memberangkatkan bus. Seorang ibu muda dengan terpaksa harus menunggu si A yang tertinggal. Karena ibu muda ini, bu Ning memang mendapat titipan untuk menjaga si A, mengingat si A adalah gadis hijau yang baru tumbuh dan belum pernah ke Jakarta . Terpaksa dan sangat-sangat terpaksa. Bu Ningpun menerima saranku dan itu pula memang keinginannya. Dia tidak dapat pergi tanpa si A ikut. Disepakati bu Ning tinggal dan tidur di kantor Kramat Jati. Besok pagi berangkat barengan dengan si A.
Dalam keadaan setengah menggigil karena dingin akibat basah oleh air hujan dan mobil yang ber a-ce, seorang ibu rombonganku menawarkan kain sarung untuk menggantikan celanaku yang memang kuyup oleh hujan. Aku mengambil posisi di ruang yang disediakan untuk merokok karena di situ tidak ber a ce. Perasaanku beragam. Serba salah. Serba susah. Tak tahu mau berbuat apa. Teman yang lainpun tak dapat berbuat banyak. Mereka semua pasrah tentang apa yang akan terjadi. Semua berharap sama, anak gadis yang tinggal, dapat bertemu dengan bu Ning dengan selamat. Hampir pukul 23.00, hapeku berdering, “Ya assalamu’alaikum” sahutku membuka percakapan dengan salam.”Wa’alaikum salam, Pak Fuad ini kak Naning, saya cuma mau menyampaikan bahwa si A sudah ada sama saya sekarang” sahut suara diseberang telepon. “Alhamdulillah bu. Hati-hati ya buk. Mudah-mudahan kita bisa barengan di Malang. ”. Terus terang, bulu kudukku merinding. Subhanallah. Allahu akbar, puja dan puji syukur ke hadiratMu ya Allah. Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengabulkan permohonan kami. Mempersatukan si A dengan kak Naning, orang yang memang diberi tanggung jawab untuk menjaganya Tak putus-putus aku mengucapkan puji syukur atas keajaiban yang diberikan Allah swt kepada kami. Segera berita gembira ini kusampaikan kepada rombonganku. Semua mengucapkan puji syukur. Alhamdulillah. Penumpang lain malah ada juga yang bersimpati, turut menyampaikan kegembiraannya. Mereka bersimpati padaku. Masalahnya, aku telah mampu (paling tidak demikian penilaian mereka) mengkoordinasikan rombongan yang sebahagian besar para manula dan ibu-ibu lagi. 
Bayangkan, seorang anak gadis yang masih hijau konon belum pernah ke Jakarta terlantar di tanjung periuk., sendirian. Belakangan dari cerita-cerita yang kudengar , ternyata dalam sikapnya yang agak lasak di kapal ia berkenalan dengan seorang ibu. Si A memang lebih suka dan lebih sering bergabung dengan teman sekapal yang lain ketimbang dengan rombongannya dari Binjai.. Barangkali dia punya pertimbangan tersendiri. Begitu sampai ke darat, langsung si A mencari wartel dan menelepon ke keluarganya. Kepergiannya ke wartel tanpa permisi dan tanpa sepengetahuan anggota rombongan lainnya. Aku sendiri, karena tegesa-gesa akibat konfirmasi dari awak bus kramat jati tentang kegelisahan penumpang yang menunggu kami, tidak lagi mencek anggota. Siapa sangka, si A nyelonong pergi mencari wartel tanpa pemberitahuan ke temannya yang lain dalam rombongan ?. Nah begitu selesai dari wartel, dia kaget dan pucat pasi melihat tidak satupun rombongannya ada. Dia celingak celinguk sendirian. Dalam kepanikannya dia menelepon keluarganya di Binjai seperti kuceritakan di atas. Saat itulah, si ibu yang dikenalnya di kapal menanyai keberadaannya. Sungguh, aku merasakan kasih sayang Allah swt saat itu terhadap kami sungguh luar biasa. Aku sendiri belum pernah menyampaikan informasi ke anak gadis ini akan bus yang kami tumpangi menuju Malang . Analisaku, karena bu Ning lain bus denganku dari tanjung periuk ke terminal kramat jati, terjadi komunikasi antara si A dengan buk Ning. Karena di tanjung periuk, aku sudah menerima 17 tiket bus kramat jati yang diurus keluargaku. Allahu akbar, secara kebetulan, ternyata rumah si ibu persis berseberangan dengan terminal bus kramat jati. Seterusnya sudah dapat diterka, mereka menginap di rumah ibu itu. Menurut informasi mereka berangkat keesokan paginya. Hebatnya lagi, ibu itu adalah penganut nashrani. Masya allah.Luar biasa. Sampai sekarangpun, jika mengingat kejadian ini, rasa syukur senantiasa saya ucapkan. Saya tak dapat bayangkan, apa kejadian yang bakal menimpa saya jika saja si A ini tercecer dan hilang ditelan belantara Jakarta . 
Teman sebangku saya di bus Kramat jati mas Edi Priyono. Beliau menyampaikan rasa simpatinya kesaya dan memberi saya card-name nya. Beliau mengundang saya jika ada masalah, jangan sungkan menghubungi dia di Malang . Seyogyanya, menurut jadwal bus masuk kota Malang bakda shubuh, tapi karena berangkatnyapun sudah lewat jauh, bus yang seyogyanya berhenti di mesjid memberi kesempatan penumpang untuk sholat, ini tidak terjadi dan tidak biasanya. Bus terus melaju. Saat itu, saya lihat mas Edi tayamum dan sholat di bus. Terus terang, saya malu. Saya mengakunya kader Muhammadiyah, tapi hal seperti ini koq kayaknya masih terlalu asing bagi saya. Akhirnya, sayapun ikut melaksanakan seperti apa yang dia lakukan. Tayamum dengan media jok bus dan sholat duduk dengan kebimbangan karena belum pernah melaksanakan. Saya lihat beberapa penumpang lain juga berbuat demikian. 
Bakda jum’at bus masuk terminal. Mas Priyono panitia, menjemput kami. Saya bergabung dengan mobil beliau dengan beberapa kawan yang lain. Sementara yang lainnya disediakan L-300. L-300 tahunya pusat kegiatan Muktamar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), langsung saja membawa rombongan saya ke UMM. Sementara oleh Mas Priyono kami dibawa ke Perumahan Bukit Cemara Tidar. Terpaksa, lagi-lagi saya dihebohkan akibat ulah L-300 yang langsung saja terbang begitu dapat penumpang.Jaket kulit yang saya pinjam tercecer di terminal bersama kain sarung ibu yang meminjamkan. Karena begitu turun pegangan saya di bus saya letakkan di atas pagar dan mengurus yang lain.Kain sarung saya dapatkan lagi dari sebuah kedai minuman di terminal itu sementara jaket kulit pinjaman kakak saya lenyap.. Menjelang ashar, rombongan baru berkumpul semua. Setelah mendapat tempat istirahat, sebahagian teman langsung melepaskan rasa penatnya. 
Hari sabtu, hari ke dua di Malang bakda sholat shubuh saya diajak mas Priyono melihat rombongan yang baru tiba. Ternyata dari Sibolga (Sumatera Utara). Lebih hebat lagi, mereka menggunakan L-300 ke Malang dan busnya full. 5 hari 4 malam ditempuh dalam posisi duduk. Ini lebih luar biasa lagi. Rombongan ini hanya semalam di Malang , karena mereka melanjutkan perjalanan ke Bali begitu usai acara pembukaan. Sebahagian teman-teman langsung membuat acara jalan-jalan. Setelah mendapat sewaan mobil dari warga komplek mereka pergi melancong. Khabarnya mereka ke Batu Malang. Badan saya masih sangat lelah. Saya tinggal sendirian di komplek. Saya masih ingin istirahat. Menjelang siang, saya mendapat telepon dari Buk Ning agar menjemput dia dengan si A di terminal. Atas bantuan mas Priyono, kami berangkat ke terminal. Dalam perjalanan menuju terminal saya ditelepon teman penggembira yang berangkat naik pesawat, agar saya tak usah pusing mengurus bu Ning dan si A lagi karena ke dua orang ini akan bergabung dengan penggembira lain dari Binjai yang naik pesawat dan menginap di rumah keluarga bu Wirda di Malang. Terlepas ada apa dibalik semua ini, yang jelas sampai detik ini saya tidak dapat membayangkan bagaimana wajah si A karena sampai kembali ke Binjai usai Muktamar dan selama di Malang saya tidak pernah ketemu. Tas kopernya yang terbawa dalam rombongan saya, dijemput anak bu Wirda yang di Malang . Akhirnya, dari menjelang siang sampai malam saya dibawa jalan-jalan sama Mas Priyono yang juga membawa keluarganya sekalian mengambil tanda penggembira. Ketika mampir di komplek UMM tempat pusat kegiatan Muktamar, di depan pintu masuk bazaar saya lihat seorang rombongan saya letoy tak bertenaga. Tampak, wajah tua itu sangat kelelahan. Bayangkan, usianya sudah 60-an tahun. Karena semangat dan rasa cintanya pada persyarikatan diusahakan untuk ikut jadi penggembira muktamar. Yang lain sibuk shooping, si ibu kelelahan. Dengan ditemani beberapa teman satu rombongan, ibu Jamilah kami bawa pulang ke penginapan di Bukit Cemara Tidar. Setelah gagal menghubungi posko kesehatan, ibu Jamilah kami bawa ke balai pengobatan yang ada di komplek untuk melakukan check up. Kesimpulan diagnosa, ibu Jamilah kelelahan dan perlu istirahat. Tinggalah beliau dibalai pengobatan itu ditemani rombongan ibu-ibu yang lain. Bakda magrib, saya membezoek ibu Jamilah. Disini beliau merengek minta pulang. Beliau meminta saya agar saya menghubungi anaknya yang ada di Binjai. Terpaksa hal ini tidak saya penuhi. Saya hanya memberikan pengertian ke beliau dan meminta beliau agar sabar serta berpikir dengan jernih. Akhirnya beliau pasrah dengarkan penjelasan saya dan dikuatkan dengan kawan-kawan lain. Hampir tengah, malam tanggung jawab saya bertambah dengan masuknya dua penggembira baru nenek-nenek dari Binjai yang datang belakangan naik pesawat. Keluarganya yang menghantarkan, mengantar ke Bukit Cemara Tidar karena rombongan Binjai menurut panitia yang dihubunginya tercatat tinggal di situ. Apa boleh buat. 
Hari Minggu pagi sesuai kesepakatan,kami rekkreasi ke air terjun Cuban Rondo. Semua ikut termasuk dua nenek-nenek yang baru masuk tadi malam dan Ibu Jamilah yanf terpaksa tinggal. Beliau ditemani ibu yang lain yang tidak ikut sengaja ingin menemani ibu Jamilah. Diareal rekreasi ini saya diberi 4 undangan masuk oleh seorang ibu rombongan saya. Menurut beliau dia diberi oleh panitita sebanyak 8 undangan. Kebetulan rumahnya persis disebelah rumah tempat pemondokan ibu-ibu rombongan dari Binjai. Jadi untuk gampangnya, diberinya ke saya 4 (karena saya kordinator, mungkin) dan yang 4 di dia, katanya akan diberikan ke dua gadis penggembira rombongan kami dengan tujuan agar meningkat rasa keorganisasiannya. Saya setuju-setuju saja. Otomatis, dalam rombongan saya ibu-ibu yang tua, tidak satupun mendapat undangan masuk. Padahal dalam perhelatan muktamar, acara pembukaan adalah peristiwa yang ditunggu-tunggu penggembira dan peserta lain. Jangan harap dapat masuk jika tidak ada undangan. Konon, waktu pembukaan muktamar Muhammadiyah di Yogya seorang anggota PP Muhammadiyah yang terlambat datang karena baru tiba dari Malaysia terpaksa tidak dapat masuk karena tidak ada undangan. Saya sendiri bingung bagaimana membagi yang 4 yang ada di saya. Masalahnya dengan saya ada 4 orang, 3 bapak-bapak yang satu diantaranya beristeri jadi pas 4. Dibagi semua, saya tidak dapat. Akhirnya yang beristeri tidak saya libatkan. Beliau yang dari awal, di Binjai mencabut pendaftarannya karena akan berangkat naik pesawat kemudian mendaftar lagi sekaligus dengan isterinya. Beliau pula yang komplain akan fasilitas bus yang membawa rombongan dari Binjai ke Belawan. Beliau pula yang ngotot ingin kejelasan harga tiket saat di kapal. Kepada dua yang mendapat tiket saya wanti-wanti agar hal ini jangan sampai diketahui oleh si Bapak yang beristeri. Sisa yang satu saya niatkan untuk ibu yang memberi saya tambahan uang saku saat di kapal. 
Usai dari coban rondo, rombongan membubarkan diri di sekitar stadion Gajayana tempat pembukaan muktamar akan digelar bakda magrib. Masing-masing dengan kegiatannya. Saya hubungi Mas Edy Priono, saya katakan saya akan ke rumahnya dan saya belum makan. Ternyata dia ada di rumah. Setelah dibimbingnya melalui hape saya sampai ke rumah mas Edy Priono. Ketika sholat zhuhur di mesjid Siti Khadijah dekat rumah Mas Edy, terdapat puluhan penggembira dari Sulawesi Selatan yang menginap di situ dengan segala keterbatasan fasilitas MCK nya, sangat beda jauh dengan kami. Di rumah mas Edy saya disuguhi nasi goring dengan porsi jumbo, kemudian ditambahi lagi dengan cake ringan dan sebotol aqua.Saat itu saya dapat telepon dari teman rombongan pesawat menanyakan dimana posisi saya. Karena lokasi stadion Gajayana tak jauh dari rumah mas Edy, dengan berjalan kaki saya pergi ke Gajayana. Karena pintu stadion akan ditutup pukul 16.00. Disekitar stadion, orang sudah ramai. Badan saya rasanya tidak bertulang. Kelelahan akrab dengan saya saat itu. Saya rebahkan badan dipinggir jalan tak jauh dari pintu masuk stadion Gajayana persis di bawah billboard Presiden SBY dan loga Muhammadiyah. Saat bersamaan hembusan angin menerbangkan selembar plastik agak tebal ke arah saya. Saya sambar plastik itu.dan menjadikannya alas kemudian saya rebahan dan saya tertidur lelap seperti orang mati dan itu berlangsung hanya lima menit. Begitu saya tersentak, saya lihat jam, ya tidak lebih dari lima menit. Badan saya ringan, yang tadinya lelah luar biasa, sekarang agak ringan. Saya pandangi orang sekeliling dengan kegiatan masing-masing. Di sisi saya satu keluarga beranak kecil kebingungan entah mau kemana karena tidak memiliki undangan masuk. Saya hubungi mas Priono, menanyakan di mana posisi beliau. Tak lama kemudian, saya lihat ibu-ibu rombongan saya sudah berpakaian seragam organisasi didampingi mas Priono. Saya tanyakan perihal ibu Jamilah. Saya mendapat jawaban bahwa ibu Jamilah masih perlu istirahat. Saya bingung, masing-masing ibu-ibu sudah memegang undangan masuk. Belakangan saya ketahui, ternyata undangan itu diberi panitia sebagai tambahan yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan ibu-ibu di Bukit Cemara Tidar. Termasuk dua nenek-nenek yang datang belakangan. Sebenarnya ketika ibu Kartini (salah seorang rombongan yang memberi saya tambahan uang saku di kapal) ditawarkan undangan, setelah menyebut jumlah yang diperlukan, hitungan beliau tidak masuk kepada dua yang datang belakangan. Kenapa akhirnya yang dua bisa dapat ?. Rupanya ketika ibu-ibu menjemput ke tempat penginapan bapak-bapak, bapak yang dicari bareng isterinya tidak ada. Jadi mereka tinggalkan saja, karena memang tidak ada di rumah. Alhamdulillah, semua rombongan saya, kecuali ibu Jamilah dan bapak beserta isterinya yang tertinggal, semua dapat berkumpul karena pintu gerbang masuk undangan kami sama. Bekal penganan yang diberi mas Edy langsung habis. Posisi kami persis berseberangan dengan podium tempat Presiden menyampaikan amanah pembukaannya. Jauh sekali. Tapi kami tetap bergembira, paling tidak karena kami dapat masuk. Belakangan saya dapat informasi tidak satupun rombongan penggembira dari Binjai yang berangkat dengan pesawat udara dapat masuk. Bahkan dengan bertengkar sekalipun dengan penjaga pintu stadion, mereka tetap tidak dapat izin untuk masuk karena tidak memiliki undangan.
Usai acara pembukaan, saya dimarahi habis-habisan oleh Bapak yang berangkat dengan isterinya karena menganggap saya tidak transparan dalam pembagian undangan masuk. Saya kaget, tidak menyangka sama sekali kenapa bapak ini tiba-tiba ada di situ, persis setelah kami menyeberang jalan. Sepertinya memang sengaja menunggu saya. Saya tidak bisa berikan alasan. Saya cuma diam menerima umpatan dan kejengkelan beliau. Isterinya coba menenangkan suaminya yang kalap. Malah isterinya bilang, “Bersyukur kita tidak dapat undangan dari si Fuad, karena dengan begitu kita malah dapat masuk lewat gerbang VIP”. Rupanya ketika mereka sadar ditinggal oleh rombongan, mereka berinisiatif berangkat berdua saja ke Gajayana. Saat celingak-celinguk itu, mereka bertemu dengan ibu Mahyunas, peserta utusan dari Binjai. Jadi oleh penjaga gerbang, dikira bapak dan ibu suami isteri ini juga utusan/pesera dengan alasan undangan tertinggal. Sungguh demikian, beliau tetap kecewa dengan sikap saya yang disebutkan beliau tidak transparan. Malah beliau menuduh saya menerima sejumlah uang dari dua bapak-bapak yang saya beri undangan. Situasi seperti in, jelas tidak enak. Karena kami satu penginapan. Saya hubungi mas Edy Priono, agar menjemput saya dan ingin tidur di tempat beliau. Secara kebetulan, mas Edy memang sedang berada diseputar Gajayana. Tak lama beliau datang menjemput dengan mobilnya. Saya pamit dengan teman-teman yang lain dan mohon pengertian mereka. Menjelang rumah mas Edy, pendirian saya beubah. Biarlah ini saya tanggung. Ini adalah konsekwensi dari tugas saya. Saya minta mas Edy menghantar saya ke Bukit Cemara Tidar. Tapi saya tidak pulang ke penginapan. Saya bergabung dengan ibu-ibu yang juga diantaranya ada seorang bapak.. kami tidur di sofa, ruangan tamu. 
Hari senin pagi selesai sarapan, bapak yang tadi malam memarahi saya habis-habisan pamitan. Beliau akan ke rumah keluarganya di Bogor Tinggalah saya dengan dua bapak yang lain, pak Mawardi dan pak Ahamdsjah. Perasaan saya sedikit tenang. Dalam satu kesempatan, saya keluarkan uneg-uneg hati saya kepada kedua bapak-bapak ini. Saya kecewa dan penasaran, kenapa koq bapak itu bisa tahu kalau ada pembahagian undangan. Padahal sewaktu di air terjun Coban Rondo, saya sudah wanti-wanti betul bagaimana supaya pembagian undangan itu tidak diketahuinya. Karena kenyataannya, kalau bapak dan isterinya dapat berarti satu diantara bapak bapak itu pasti tidak dapat. Bapak itu satu kesatuan tapi kenyataan berdua dengan isterinya. Dua tapi satu atau satu tapi dua. Bahkan sampai keluar ungkapan dari mulut saya omongan yang seharusnya tidak pantas saya keluarkan. Lebih-lebih pada ke dua bapak-bapak ini. Hal itu menyebabkan komunikasi antar kamipun jadi tersendat. 
Senin pagi kesehata ibu Jamilah sudah membaik. Beliau sudah kembali bersama rombongan lain. Menjelang siang, beberapa ibu-ibu pamitan ke saya untuk ke rumah keluarga mereka. Dengan kenderaan mas Priono, saya menghantarkan ibu jamilah beserta beberapa ibu yang ikut dengannya, ke rumah keluarganya di perumahan mewah Puncak Dieng. Kemenakan ibu Jamilah mengurus rumah mewah ini. Pemiliknya sendiri, khabarnya pejabat di Jawa Tengah. Di rumah ini, malah ada fasilitas kolam renangnya. Saya dan kawan-kawan yang ikut sempat beristirahan di rumah ini. Pada hari yang sama. Ibu Jamilah memberitahu saya, bahwa hari Sabtu beliau sudah harus tiba di Binjai. Karena hari itu ada acara di rumah Beliau. Jadi beliau menyuruh saya mencari informasi tiket Surabaya-Medan. Sepulang dari Perumahan Puncak Dieng menuju Bukit Cemara Tidar bareng mas Priono beberapa travel kami singgahi hasilnya nihil.. 
Dua anak gadis yang mendapat jatah undangan, malah pamitan ke Surabaya . Dengan modal informasi seadanya dan melibatkan arahan dari mas Edy Priono, Sugria Kurniawaty dan temannya berangkat dengan menggunakan taxi. Mas Edy menyesalkan sikap saya yang melepaskan kedua anak gadis ini pergi. Tapi, saya tidak pula bisa menghalangi niat mereka. Dengan Bismillah dan Tawakal’alallaahi, menjelang malam mereka sampai ke tempat yang dituju dengan selamat. Alhamdulillah. 
Hari Selasa bakda shubuh, saya jalan-jalan mengitari perumahan Bukit Cemara Tidar. Dari ketinggian di perumahan ini, wajah kota Malang terlihat dengan jelas. Diketinggian sekitar 600-an meter dpl. perumahan ini memiliki hawa sejuk. Tak jauh dari perumahan, tanpa sengaja kami menemukan situs sejarah Candi Badut. Menururt informasi Mas Priono, keberadaannya sudah ada sejak masa kerajaan singosari. Dari penelusuran kami, candi ini cukup terawat walau di sana-sini terdapat kerusakan karena ulah tangan jahil pengunjung. Hari ini rombongan Binjai semakin berkurang. 
Ketika mengikuti salah satu sesi acara bareng ibu-ibu seorang teman memberitahu saya ada tiket city link Surabaya-Medan. Dia akan booking jika saya mau. Sayangnya saya tidak bisa mengiyakan kemauannya, karena harus konfirmasi dulu ke ibu Jamilah. Saya hubungi ibu Jamilah dan teman serombongan beliau di Perumahan Puncak Dieng, hasilnya satupun tidak dapat dihubungi. Dengan bantuan mas Priono, saya datangi bu Jamilah dan menjelaskan apa yang saya alami. Beliau awalnya menyesalkan saya kenapa tidak membooking tiket city link, tapi akhirnya memaklumi karena ibu Jamilah belum memberikan uang beli tiket ke saya. Kemudain beliau memberi saya sejumlah uang untuk beli tiket Dengan uang yang ada di saya pemburuan tiket dilaksanakan, tapi hasilnya nihil. Sementara beliau tetap bersikeras agar saya dapat mengupayakan tiket Surabaya-Medan. Saya jelaskan, agak sulit menceri tiket Surabaya-Medan. Tapi kalaupun ada, Jakarta-Medan.Kalau Jakarta-Medan, Insya allah tiket akan mudah didapat. Ibu Jamilah keberatan, karena merasa tidak memiliki keluarga di Jakarta . Saya jelaskan, bahwa saya adalah anak ibu, jadi kakak saya di Jakarta juga anak ibu, Insya Allah mereka dapat membatu. Saya hubungi keluarga di Jakarta , dan mereka siap membantu. Akhirnya Ibu Jamilah menyerahkan segalanya kesaya dan beliau hanya manut saja, setelah saya jelaskan segala sesuatunya tentang rencana yang akan saya jalankan. Sebagai konsekwensi dari pernyataan saya ini, saya harus pulang lebih awal dari rencana semula yakni sampai penutupan muktamar. Ibu Jamilah juga menyampaikan keinginannya untuk mendatangi keluarganya di luar kota dan rencananya menginap di sana . 
Hari Rabu hanya tinggal kami bertiga di perumahan Bukit Cemara Tidar. Atas permintaan keluarga saya transfer uang ke Jakarta untuk biaya beli dua tiket Jakarta-Medan dengan jadwal keberangkatan Sabtu pagi. Karena salah pilih angkot dan tidak pula tanya sana-sini, pulang dari bank turun dari angkot terpaksa saya naik taxi. Jelas biaya jadi berkali lipat, apa boleh buat. Tak lama pulang dari bank, saya dan dua bapak-bapak yang masih tinggal, Pak Mawardi dan pak Ahmadsjah mendapat kunjungan dari Mas Edi Priono dan keluarganya. Dengan senang hati beliau mengajak kami jalan-jalan dan makan siang di satu resto lesehan yang bernuansa alami. Saya lupa nama resto dan lokasinya. Kami juga mampir di lokasi bazaar muktamar dan membeli beberapa buah tangan. Saya juga membelikan satu set pulpen dengan logo muktamar dan diukir nama untuk puteri Mas Edi Priono, Lala. Ketika berjalan-jalan itu, pak Mawardi minta dicarikan tempat penjualan tiket.Saat beliau menanyakan menanyakan tiket kereta api ke suatu daerah, di travel yang letaknya berseberangan dengan tempat penjualan tiket kerta api saya iseng menanyakan ada tidak sheet Jakarta-Medan untuk penerbangan hari Kamis. Kebetulan ada. Setelah tahu harga tiketnya, dan menururt saya tidak terlalu mahal langsung saja saya booking. Saya ajak Pak Ahmadsjah untuk berbuat yang sama, seraya mengingatkan paling tidak untuk pulang kita sudah aman. Akhirnya beliau setuju. Setelah pulang jalan-jalan, pak Mawardi setengah memaksa agar kami singgah ditempat penjualan tiket tadi. Untung tiket dengan penerbangan yang sama masih ada tersisa satu. Terang saja keadaan ini tak disia-siakan beliau dan membuat beliau senang. Niat naik kereta api ke keluarganya batal dengan alasan keluarganya tak dapat dihubungi. 
Hari Kamis dengan bus kramat jati, diantar mas Priono saya dan ibu Jamilah beserta adik beliau meninggalkan kota Malang menuju Jakarta . Kami tiba di rumah kakak saya di perumahan Larangan Indah, Ciledug menjelang magrib hari jumat tanpa halangan berarti. Adik saya menginformasikan bahwa pesawat yang bakal ditumpangi adalah pesawat transit dari Malaysia dan berangkat pukul 05.30 dari Cengkareng. Setelah makan malam dan berbasa-basi, ibu Jamilah istirahat. Pukul 03.00 dinihari mereka sudah bersiap-siap. Saya pastikan beliau-beliau ini tidak tidur. Dengan bantuan adik saya Fadly, dengan taxi kami menuju bandara Cengkareng. Saya sholat shubuh di salah satu sudut ruangan di bandara. Saya hubungi keluarga ibu Jamilah di Binjai tentang pesawat yang ditumpangi ibu Jamilah. Ketika saya kembali ke rumah kakak di Larangan, semua yang saya alami kembali menarik dipelupuk mata saya. Bapak yang mengundurkan diri, kemudian mendaftar lagi karena melonjaknya harga tiket pesawat, bahkan mendaftar ulang bareng isterinya. Kemudian komplain dengan fasilitas bus yang disediakan pihak travel ketika akan berangkat ke Belawan, kemudian bus L-300 nya yang mengalami kerusakan, kemudian mencari kejelasan harga tiket saat di kapal, kemudian tercecernya seorang anak gadis di tanjung priuk akibatnya saya dimarahi habis-habisan oleh orang tua sigadis, kemudian dituduh menerima uang saat membagi undangan masuk acara pembukaan, kemudian pulang lebih awal dari jadwal yang direncanakan, kemudian, kemudian, kemudian. 
Akhirnya sesuai jadwal, kami berkumpul kembali di Cengkareng bareng pak Ahmadsjah, pak Mawardi. Ketika kami tiba di bandara polonia medan , mobil Toyota kijang putih punya anak pak Mawardi sudah menanti kami untuk membawa kami kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Muktamar 1 Abad Muhammadiyah Yogyakarta
Yogya, I am comeback
Muktamar 1 Abad Muhammadiyah memang LUAR BIASA GAUNG nya. Sebagai koordinator penggembira dan mengambil hikmah/pelajaran dari pengalaman Muktamar Muhammadiyah sebelumnya di Malang, semua jaringan kumaksimalkan. Termasuk mohon bantuan kakakku dan suaminya dengan adikku untuk menghubungi jasa transportasi Jakarta-Yogya. Sebagai tanda turut berbahagia dan ingin melihat bagaimana besarnya Muhammadiyah disaat berusia 1 abad itu, kakakku inipun ingin ikut juga. Alhamdillah, malah sekalian dengan adik ibuku. Masya Allaah. Sesuatu yang tidak pernah kuduga selama ini. Karena kami membooking 1 bus dengan kapasitas seat penumpang masih tersisa.
Untuk mengantisipasi dan meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi, 4 pantitia dan utusan Muktamar kulibatkan mendampingi rombongan penggembira yang naik kapal laut. pada hari yang sama, sorenya aku naik Batavia untuk menunggu mereka di tanjung priuk dengan bus yang akan membawa kami ke Yogya nantinya. Karena memungkinkan, isteriku kuajak ikut. Dia tidak keberatan. Isteriku dan aku belum pernah meninggalkan anak-anak. Begitu pesawat tinggal landas, air mata galau membasahi pipi isteriku. Anak-anaknya jadi beban pikirannya. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan mereka. aku mencoba menghiburnya. Tawaqqal ala llaahi. Bisikku ditelinganya. Alhamdulillah semua berjalan dengan baik.
Keesokan harinya, diantar abang iparku, saya bersama isterti, kakakku Nefertiti dan adikku mengambil bus yang sudah dicarter mereka ke terminal. Dari terminal, bus yang sudah dibooking kami bawa ke Tanjung priuk. Sebelumnya sempat terjadi silang pendapat perihal biaya bus Jakarta-Yogya. Demi semuanya berjalan lancar, saya harus menambah biaya untuk administrasi bus yang dimaksud. Sore hari bus yang kami sewa stand by di terminal tunggu Tanjung Priuk. Kegelisahan dan kekhawatiran memikirkan penggembira yang dikapal membuat saya sempat down. Menjelang magrib kapal merapat di dermaga. Iqbal, Hairil Anwar dan kawan-kawan yang difasilitasi panitia penggembira segera saya konfirmasi. Setelah mencek seluruh penumpang, bus yang kami tumpangi membelah kota Jakarta menuju Yogyakarta. Alhamdulillah, secara umum berjalan dengan lancar.
Bulan Juli 2010, Yuyunku ultah. Tepatnya tanggal 14 Juli. Saat makan siang rombongan kami beristirahat di rumah makan Pringsewu. Siapa yang berultah juni-juli oleh pengusaha rumah makan diundang maju ke depan untuk dirayakan dengan kawan dan anggota lain yang juga berlangtahun di bulan Juni-Juli itu.Hebat juga kiat pengusaha rumah makan ini. Harga makanan sangat-sangat mahal. Dan saya sebagai pimpinan rombongan tidak sedikitpun mendapat potongan. Sementara supir dan kernet makan di ruang lain, gratis. Padahal sebelumnya sudah kelihatan beberapa rumah makan, berhenti-tidak, berhenti-tidak. Akhirnya Pringsewu menjadi pilihan.
Dari komunikasi dengan panitia tempat, saya dan rombongan diinapkan di ranting Muhammadiyah Nitikan. Kami sampai ke lokasi menjelang sore. Di sini sudah ada rombongan Binjai dibawah koordinasi Ibu Nurbaiti. Penggembira dari Binjai terbagi dua kelompok, kelompok saya resmi mendapat SK dari PDM Binjai, rombongan lain dipimpin ibu Nurbaiti. Karena beliau duluan sampai dan menjual nama Binjai, panitia tanpa melihat kelengkapan administrasi menerima mereka dengan baik. Fasilitas mereka lebih maksimal. Apa boleh buat. Dari informasi yang beredar, ribuan orang tumpah ruah di Yogyakarta. Sementara beredar juga berita untuk dapat masuk ke stadion dalam rangka pembukaan muktamar, harus ada undangan. Melalui panitia, saya sudah usahakan undangan, tidak berhasil.
 Hari Pertama di Yogyakarta.
Pukul 04.00 kurang, shubuh sudah masuk. Saya sholat di penginapan saja. Tidak ke mesjid. Menjelang pagi datang sarapan sebanyak 78 porsi sesuai anggota yang saya bawa. Kenyataannya, karena malam itu juga sudah ada yang keluar, nasi banyak tersisa. Tapi kita tetap membayar kali 10 ribu perporsi. Karena belum ada niat keluar, saya santai-santai saja. Ada sms masuk ke hp saya. Dari ibu Maimunah. Beliau menyuruh saya dan rombongan untuk segera ke stadion. Ada tempat yang masih tersisa yang mereka siapkan. Sms ini tidak saya gubris. Pak As adinata menelepon saya menginformasikan posisi ibu Nurbaiti yang masuk ke stadion. Ibu Maimunah juga menelepon saya untuk hal yang sama. Akhirnya informasi itu saya halo-halokan dari kamar ke kamar. Ternyata seorang ibu rombongan saya menyeletuk, “wajar kalau ibu Nurbaity masuk, diakan dapat undangan”. Saya kaget. “apa betul ibu melihat dia dapat undangan ?”. “Betul pak, yang melihat undangannya ibu B”. “Betul bu B, betul ibu melihat undangan yang ada dengan ibu Nurbaiti ?” Tanya saya ke ibu B. “Betul pak”, “saya sendiri melihatnya”. Langsung saya telepon pak Adinata. Akhirnya pak Adinata sendiri maklum.
Kakakku dan bunda Hakimah sudah pergi duluan. Padahal janji kemaren, mau barengan sekalian menghadiri undangan. Apa boleh buat. Sementara itu mendengar rombongan pesawat berhasil masuk stadion, beberapa kawan-kawan protes, bahkan mengajukan keberatan dengan saya dan PRM Nitikan. Saya dan kawan-kawanpun mengajukan keberatan kepada panitia penerima muktamar. Kami diterima komandan laskar bapak Hasan, ketua panitia penerima Mas Akhid dan lain-lain. Setelah semua uneg-uneg dikeluarkan, akhirnya kawan-kawan dapat menerima dengan rasa penasaran dan gregetan. Apa boleh buat. Beberapa teman-teman berinisiatif membentuk kelompok sendiri-sendiri.
Saya sendiri bareng isteri dan pak Nurnuh yang juga dengan isteri sepakat ke stadion mandala krida. Sesampainya di lokasi, keramaian penggembira muktamar menjadi pemandangan tersendiri yang mengasyikkan. Kami diantar mas Bahar dangan L-300 nya yang terpaksa menurunkan kami dalam radius lumayan jauh karena ramainya pengunjung saat pembukaan Muktamar 1 abad Muhammadiyah tanggal 3 juli 2010.. dengan berjalan kaki, akhirnya kami sampai di sekitar stadion mandala krida. Karena belum sarapan, kebetulan bawa cemilan dari penginapan, isteriku dan orang rumah pak nurnuh mengambil tempat diantara keramaian orang dan mencicipi apa yang dibawa. Sebelum itu, sempat beberapa butir air turun dari langit yang memang cuacanya sangat akrab. Walau agak mendung, tapi panasnya lumayan juga. 
 Gambar di bawah, menunjukkan isteriku dan orang rumah pak nurnuh sedang menikmati penganan yang dibawa dari penginapan.


Karena mereka sedang makan, kami, saya dan pak nurnuh meninggalkan mereka. Masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Saya dengan hape saya dan pak Nurnuh dengan kamera digitalnya. 



Pada foto di atas dan di bawah terlihat antusiasme pengunjung yang ingin masuk ke stadion dan keinginan sebagian pengunjung yang kegerahan berada I dalam dan ingin keluar. Boleh jadi yang keluar, berada di stadion sejak dinihari paling tidak bakda shubuh sudah mengambil posisi di dalam stadion. Akhirnya, karena kurang persiapan, tidak membawa konsumsi dlsb, akhirnya lapar, lelah, lesu dan letoy. Demi Muhammadiyah yang sudah 1 abad.



Puas lihat keramaian, saya kembali ke posisi isteri saya yang saya tinggalkan. Mereka tidak ada. Saya bingung. Saya cari dan Tanya ke ibu-ibu yang ada di dekat situ. Dua ibu yang saya tanya, dua jawaban berbeda yang say terima. Bingung tidak menemukan yang saya, saya hubungi pak Nurnuh. Hp saya tidak berfungsi. Saya coba test telepon ke rumah di Binjai, Hp saya tidak berfungsi. Saya sumpahi hp saya yang disaat genting dan penting tidak dapat digunakan. Dari gerbang F stadion, di saat-saat cari mencari isteri, saya sebenarnya punya kesempatan untuk dapat masuk stadion. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya kembali cari isteri keposisi semula, kali ini baru berhasil. Rupanya, kecewa karena ditinggal suami, akhirnya mereka berinisiatif mencari suami masing-masing. Jadilah baku cari. Demikian juga ruoanya yang dialami bapak Nurnuh.

Foto di atas, dijepret pak Nurnuh, sesaat kami meninggalkan isteri ketika mereka menggelar sarapan di sela keramaian orang. Tak enak hati diambil terus, gentian saya yang mengambil foto pak Nurnuh. Inilah hasilnya.

Setiap kesempatan, pak nurnuh dan saya jadi baku ambil foto di sekitar stadion. Beberapa hasilnya terlihat di bawah ini. Saya nimbrung disela-sela petugas keamanan yang berpatisipasi di arena pembukaan muktamar. Isteri saya dan orang rumah pak Nurnuh sementara saya mencoba sok akrab dengan petugas keamanannya. Dikejauhan, beberapa pengunjung melepas lelah di sekitar stadion.
Puas menikmati keramaian orang, kami meninggalkan arena pembukaan. Disaat-saat seperti itu pak Nurnuh mengambil momen-momen yang beliau anggap ok untuk diambil. Inilah hasilnya.


Ketika selesai buang air kecil, saya ketemu dengan kawan yang masih saya ingat betul. Namanya Misdi. Momen seperti ini, oleh pak Nurnuh diabadikan beliau. Alhamdulillah. Percakapan seru antar teman yang sudah dua puluhan tahun tak ketemu, berlangsung penuh kekeluargaan.

Sekarang Misdi bertugas di Siglie, Aceh. Karier beliau bagus. Setahun di Fasas USU B. Arab beliau hijrah ke IAIN dan sukses menyelesaikan studinya. Sekarang dia kepala sekolah di sana. Siapa sangka, kalau sudah kehendak yang maha kuasa untuk ketemu, ya ketemu. Padahal itu diluar rencana dan tidak pernah diduga sama sekali. Sementara kami terlibat dalam pembicaraan, isteri saya dan orang rumah pak Nurnuh sibuk dengan aktifitas masing-masing. Inilah yang terlihat ketika saya asyiik bernostalgia dengan Misdi.
Dalam perjalanan menjauh dari arena stadion, isteriku dan orang rumah pak Nurnuh menelusuri stand demi stand bazaar yang digelar di areal UAD atau Universitas Ahmad Dahlan. Kesempatan berfoto dan mencari momen-momen tepat terus dilakukan oleh Pak Nurnuh. Beberapa hasilnya seperti terlihat pada uraian foto berikut. Gambar di bawah, dengan latar belakangstudio ADITV UAD, stasiun televise milik Muhammadiyah yang mengudara beberapa bulan sebelum Muktamar 1 Abad Muhammadiyah digelar.
Berikutnya, kami ketemu salah seorang penggembira yang sudah uzur dari daerah Jawa. Oleh pak Nurnuh, momen saya ngobrol sama Bapak tua, diabadikannya. Inilah hasilnya.

Dalam perjalanan keluar menjauh dari arena pembukaan muktamar, gerimis kecil menyergap kami. Kami mencari tempat istirah. Di suatu teras perkantoran, kami beristirahat. Kami sempat kehilangan isteri masing-masing. Masya Allah, ternyata mereka sudah membawa 4 nasi kotak yang dibagikan secara cuma-cuma dipelataran gedung tempat kami istirah itu. Semua merasa lucu. Semua merasa heran. Semua merasa kaget. Pucuk dicinta ulam tiba, perut lapar nasi kotak dapat. He he he he he. Sebelum menyantap nasi dari syurga, kami istirah. Lokasinya lumayan bersih. Golek seperti di bawah ini adalah kesempatan yang sangat mahal. Makanya kesempatan ini tidak disia-siakan. Walaupun hanya sekian menit, kesegaran minimal sudah di dapat. Yah lumayanlah. Sementara di teras lebih besar dari tempat kami, orang agak rame, bersempit-sempit ria. Kami agak ke belakang dari posisi mereka, tapi bersih dan lapang. Pemandanganpun lepas.
Kata pak Nurnuh, kalau lelah berjalan, sambil golek kaki dinaikkan. Ya seperti gambar Beliau ini. 
Lepas istirah, bersantap ria dengan nasi kotak rezeki dari langit. Inilah gambarnya.
Usai mengisi kampung tengah kami telusuri jalan menuju malioboro. Dari petugas yang kami tanyai dengan situsai kepadatan lalu lintas seperti saat itu disarankannya lebih baikberjalan kaki saja. Itulah yang kami buat. Dalam perjalanan menuju Malioboro kami melewati jalan Taman siswa. Saya langsung ingat amanah Pak Mui S dari Binjai , jika ke Yogya usahakan singgah ke jalan Taman siswa. Rumah keluarga beliau. Dari Tanya sana sini, akhirnya yang di cari ketemu juga. Kami disuguhi penganan ringan dan makan siang. Padahal barusan makan. Apa boleh buat. Selesai sholat jamak zhuhur ashar, kami makan lagi. Selesai makan, kami diantar tuan rumah ke Malioboro. Macet yang menyergap di sana sini membuat tuan rumah yang menghantar kami agar repot. Akhirnya kami berganti kenderaan dengan delman. Beberapa foto berikut menggambarkan situasi saat kami berdelman ria menuju Malioboro.
Hujan lebat menyambut kedatangan kami di Malioboro. Sambil menuju ke pasar Beringharjo, isteriku dan orang rumah pak Nurnuh berbelanja di lorong-lorong Malioboro. 
Perburuan akan barang-barang diperkirakan murah dan khas Yogya, diteruskan di Pasar Beringharjo. Dari hasil omong sana-sini, Pak Nurnuh ketemu sama tetangganya. Pembicaraanpun menjadi ramai.

Menjelang senja, beberapa toko sudah tutup. Beberapa pedagang yang masih buka, nekat membanting harga.Tawar menawar berlangsung seru. 

Belanja hari itu berakhir juga. Pulangnya, karena kepadatan kota Yogya di hari pembukaan Muktamar 1 Abad Muhammadiyah sangat ramai, kami berinisiatif pulang naik beca.
Kembali ke penginapan, berarti kembali untuk beristirahat. Hari Minggu itu dilalui dengan kelelahan yang lumayan. Istirah dulu lah. Tak usah mandi. Cukup lap badan dan istirah. Malam itu sebagai pimpinan rombongan saya diundang panitia tempat, membicarakan keberadaan kami di Nitikan. Mereka menanyakan biaya administrasi penginapan. Saya jelaskan bahwa sepanjang yang kami ketahui, penginapan gratis. Dari diskusi bareng teman-teman rombongan disepakati untuk memberikan sekedar biaya kebersihan. Ranting Nitikan termasuk ranting yang maju.
Tour de Muhammadiyah
Untuk mengisi kegiatan penggembira, pantita Muktamar mengadakan acara dengan tajuk Tour De Muhammadiyah.  Diantara ratusan ribu penggembira yang hadir di Muktamar, tak banyak yang tahu bahwa panitia syiar Muktamar menyelenggarakan paket tour de Muhammadiyah. Paket Tour de Muhammadiyah mengambil 3 jalur rute, yakni jalur utara, selatan dan timur.
Jalur Selatan melalui Mesjid Gedhe Kauman, PRM Karangkajen, PRM Nitikan, PRM Imogiri, Ponpes Darul Ulum Sewu Galur dan Bazaar Muktamar Muhammadiyah.
Jalur Timur melewati Mesjid Gedhe Kauman, PRM Potorono, PCM Prambanan, Mesjid dan Bazaar Muktamar Aisyiyah.
Jalur Utara melewati Mesjid Gedhe Kauman, PCM Nanggulan, Kebun Buah Salak turi dan Bazaar Muktamar Muhammadiyah.
Oleh panitia seksi syiar, penyelenggaraan Tour de Muhammadiyah dimaksudkan untuk menapak tilasi kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Berikut beberapa foto yang diambil selama proses mengikuti Tour de Muhammadiyah lewat Lajur Selatan yang saya ikuti :




Mesjid Gedhe Kauman, yang juga jadi bagian dari logo Muktamar 1 Abad Muhammadiyah adalah titik awal tempat berkumpul seluruh peserta Tour de Muhammadiyah dari ke tiga Jalur, yakni Selatan, Utara dan Timur. Sebelum berjalan menelusuri kampung Kauman. Kampung Kauman ini terletak tepat di Barat Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. Pada tahun 1912 Muhammadiyah didirikan di kampung ini oleh KHA Dahlan, karena itulah seiring dengan perkembangan Muhammadiyah, kampung ini menjadi saksi tumbuh, berkembang dan majunya Muhammadiyah yang kini sudah berusia 100 tahun alias 1 Abad.


Pengantar
Alhamdulillah, sebagai seorang Muslim dapat memenuhi panggilan nabiullah Ibrahim AS melaksanakan rukun Islam ke-5 adalah hal yang sangat sangat diharapakan oleh mereka yang mengaku muslim dan beriman. Atas izinNya, melalui titipan rezeqiNya kepada hambaNya almarhumah Dwi Puspita Rahyunie, SPd penulis dapat berangkat. Berawal dari almarhumah sembuh dari demamnya, di kursi/sofa tamu, almarhumah menyampaikan keinginannya untuk memenuhi panggilan Nabiullah Ibrahim AS, melaksanakan rukun islam ke-5, menunaikan ibadah Haji. Niat itu direalisasikan dengan membuka pendaftaran melalui tabungan Haji di BRI Syariah Cabang Binjai dan tercatar di Kantor Departemen Agama Kota Binjai tanggal 10 Februari 2010. Waktu berlalu, dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam ke hari, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun.  Tanggal 12 Februari 2012,  isteri tercinta yang telah melahirkan 3 putra Fadlun Rahmandika, Teguh Maliki Ramadhan dan Fajrul Azmi Syahputra diambil pemiliknya. Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. Insya Allah, husnul khatimah. Bersepakatlah kami, saya beserta anak-anak siapa yang akan menggantikan posisi beliau untuk berangkat melaksanakan rukun Islam ke lima. Berharap posisi Beliau dapat digantikan secara otomatis. Setelah berbagai masukan, saran dan usul akhirnya disepakati bahwa posisi almarhumah, mama mereka digantikan oleh si Bungsu Fajrul Azmi Syahputra. Ternyata peraturan yang berlaku tidak memungkinkan. Untuk berangkat bareng, tidak bisa. Uang harus diambil, daftar ulang dan masuk daftar tunggu !.
Untuk menimba ilmu perihal latihan manasik haji, penulis mendaftar di IPHI, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Gratis !. Fasilitas pertemuan yang digunakan Aula Pemko Binjai. Pelaksanaan latihan manasik haji, tiap hari minggu dan dimulai setahun sebelum keberangkatan. Banyak ilmu yang didapat. Gambaran prosesi ibadah sudah terbayang-bayang di mata. Ya Allah… nikmatnya !. Untuk memaksimalkan pelaksanaan ibadah, pemerintah merasa perlu membentuk beberapa regu dari sekian banyak jemaah. Satu ragu terdiri dari 11 orang, 1 ketua regu (karu) dengan 10 anggota. Setiap 4-5 regu dipimpin kepala rombongan (karom). Penulis terpilih sebagai salah seorang karu. Masuk dalam rombongan kami, kloter 15 Mess, Wakil Walikota Binjai, Timbas Tarigan bersama isteri dengan karunya ustadz Khairul Amrin Siregar. Bahasa arabnya bagus !. Rombongan kami masuk dalam gelombang ke dua. Artinya, jemaah ke Mekkah, kemudian ke Madinah. Bagi mereka yang gelombang pertama, tidak ada masalah dalam hal miqat makani. Mereka ke Madinah dulu, miqat makani di Birr Ali kemudian melanjutkan ke Mekkah. Selesai. Tidak ada khilafiah. Untuk gelombang kedua, saat latihan manasik terjadi 2 pendapat. Pendapat pertama, harus di Yalamlam. Berihram harus di pesawat. Tidak di Bandara. Waktu yang terbatas dan lain sebagainya. Jangan sampai uang puluhan juta tersia-siakan karena prosesi awal perihal miqat dan berihram sudah tidak benar. Demikian alas an yang membenarkan miqot harus di Yalamlam, berihram sudah di pesawat. Pendapat kedua, dibenarkan miqat di Bandara, berihram di Bandara. Wajar saja, jemaah pada bingung. Jemaah yang latihan manasik di IPHI tidak ada pembimbing khusus. Karena mereka adalah jemah mandiri. Mereka hanya tahu ketua regu. Berbeda dengan yang latihan manasik selain IPHI. Mereka dikenai biaya dengan harapan yang dibiayai ikut mendampingi sampai ke tanah suci. Beruntung, bagi jemaah anggota Muhammadiyah ada majelis tarjih. Beberapa hari sebelum keberangkatan, penulis bersama kawan-kawan, Hendra Jones, Yundiser dan Khairul Amrin mengundang khusus ketua majelis tarjih PDM Binjai, Buya Sufriady Hasan Basri. Dari referensi yang ada termasuk putusan ulama di lingkungan Majelis Tarjih, miqat dan ber ihrom untuk gelombang ke dua dibenarkan di Bandara King Abdul Aziz. Bahkan hal tersebut sudah menjadi keputusan secara kelembagaan. Muhammadiyah melihat dan memutuskan King Abdul Aziz bisa menjadi miqat maqani dan berihram.   
Keberangkatan Menuju Tanah Suci
Akhirnya 18 September 2014 penulis beserta rombongan berangkat dengan  Garuda nomor GA-3115 pukul 16.30 dari Bandara Polonia, Medan. Dilepas anak-anak dan ibunya, Lilis Erni Pilli, penulis diantar sampai pendopo Umar Baki sehari sebelumnya. Rombongan beristirahat di asrama haji untuk persiapan finalisasi sebelum keberangkatan. Beberapa waktu sebelumnya, rombongan KBIH IPHI sempat merasakan manasik, langsung praktek. Bagaimana berihram yang benar, dimana posisi awal tawaf, di mana maqam Ibrahim, minum zam-zam dan melaksanakan sa’i, safa-marwa-safa-marwa. Dalam pembagian kelompok, penulis dipercaya menjadi ketua regu/karu. Malam sebelum keberangkatan, seluruh jemah dikumpulkan di aula. Kepada merea dibagikan living cost. Biaya hidup selama berhaji di haromain. Sebagai karu dan karom juga mendapat tambahan karena mereka dianggap sebagai petugas yang ditunjuk oleh Pemerintah. Bagi jemaah haji gelombang pertama, penentuan di mana awal miqat tidak ada masalah. Pesawat yang membawa jemaah ke Madinah terlebih dahulu, mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah, mereka mengawali ihram dari Birr Ali. Tidak satupun yang tidak sepakat. Tidak demikan dengan mereka yang tergabung dalam gelombang ke dua. Penentuan awal miqat masih menjadi perbedaan termasuk di kalangan pimpinan persyarikatan Muhammadiyah. Meski sudah ada keputusan tarjih terhadap masalah ini yang membolehkan Bandara King Abdul Aziz (KAA) Jeddah bisa menjadi tempat miqat. Paling tidak itulah yang penulis lihat dan rasakan. Sebelum berangkat, ketika masih mengikuti manasik untuk persiapan keberangkatan para pembimbing di KBIH IPHI Binjaipun ada 2 versi. Miqat harus di Yalamlam, dalam arti di pesawat sudah harus dalam keadaan berihram. Bagi yang berfaham seperti ini menekankan jangan sampai nilai rupiah ibadah haji yang lumayan besar, yang sudah dikeluarkan sia-sia karena tidak diterimanya ibadah haji kita. Waktu yang tersedia di bandara tidak memungkinkan jemaah untuk mandi, berihram dan sholat 2 rakaat !. Padahal menurut konfirmasi crew pesawat, tidak dapat dipastikan apakah benar saat kita berniat ketika berihram posisi pesawat persis di Yalamlam. Kecepatan pesawatpun menjadi pertimbangan untuk membenarkan berihram harus di pesawat dengan alas an harus di Yalamlam. Bagi mereka berfaham boleh miqat di Bandara, sedikit longgar !. Karena tidak harus krasak krusuk berihram di pesawat. Apalagi saat harus ke toilet pesawat dengan kapasitas ruangan toilet sedemikian rupa.  Seminggu sebelum berangkat, penulis dan 3 kawan lain dari persyarikatan membahas boleh tidaknya mengambil miqat di bandara. Terlibat dalam diskusi ini, ketua Majelis Tarjih dan tajdid  PD Muhammadiyah Binjai, H. Supriady Hasan Basri. Berpedoman referensi yang ada, termasuk keputusan tarjih, disepakati bolehnya miqat di bandara. Kenyataannya, dua diantara kami toh masih berihram juga di pesawat !. Jadilah dalam pesawat itu, rombongan Gelombang ke-2, kloter 15 MES  terdiri dari Binjai, Medan dan Tanjungbalai 2 versi, sebahagian berihram di pesawat (sebahagian besar rombongan Binjai) dan sebahagian yang lain di Bandara. Rombongan jemaah haji Medan, pimpinan Dr. Maratua Simanjuntak  awalnya juga berkeinginan ihram di pesawat, tapi setelah diberi penjelasan oleh Al Ustadz Irwan Syahputra (Sekretaris PW Muhammadiyah, Sumatera Utara) yang bertugas sebagai wakil pimpinan kloter, Beliau turut. Beliau dan rombongan yang dibawanya, berihram di Bandara. Sementara jemaah Tanjung Balai semua berihram di Bandara.  Penulis, yang menjadi karu 8 juga memberikan penjelasan kepada teman-teman satu regu, bolehnya berihram di Bandara. Alhamdulillah, semua mereka turut. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, petugas di pesawat mengingatkan penumpang yang menggunakan fasilitas kamar mandi/toilet pesawat ketika mereka bersiap memakai ihram.
Mendarat dinihari di bandara, masya allah, penulis cari posisi, sujud syukur !. Tidak disangka, seorang cleaning service di mesjid taqwa Muhammadiyah kebun lada Binjai menginjakan kakinya di bandara King Abdul Aziz, Jeddah.  Setelah mengurus perlengkapan anggota, penulis  memperhatikan banyaknya jemaah yang mendarat dari berbagai penjuru dunia. Ada yang sudah dalam keadaan berihram ada pula yang masih utuh berpakaian biasa. Sedikit lebih mudah, kopor bawaan kawan-kawan yang jadi tanggung jawab penulis gampang ditandai karena penulis tambahkan kain/kacu warna hijau sisa dari Muktamar Muhammadiyah 2010 yang penulis ditunjuk sebagai ketua penggembiranya. Fasilitas MCK yang nyaman siap digunakan. Bahkan sampai untuk berihram, kemudian sholat dua rakaat di dalam tenda super besar, layaknya musholla di Indonesia dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa khawatir diburu waktu. Bahkan  dengan beberapa teman yang berihram di bandara sebelumnya  kami masih sempat memesan minuman dan menikmati teh hangat ala bandara beratapkan langit. Seperti juga disekitar bandara KNIA (Medan), Soeta (Jakarta) atau Minangkabau Internasioanl Airport, di sekitar bandara King Abdul Aziz juga terdapat kedai-kedai yang menawarkan minuman. Dari mulai yang ringan sampai yang berat. Waktu panjang masih tersisa.
Labbaik allahumma labbaik. Labbaikala syarikalaka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulk laa syarikalak. Kloter 15 gelombang kedua yang penulis masuk dalam rombongan, tidak terdaftar dalam peta persebaran funduuk. Tidak ada dalam persebaran hotel. Dalam peta persebaran hotel, hanya sampai kloter 14 MES. Pimpinan kloter sendiri, Drs. H. Baharuddin Damanik tidak tau dimana penginapan kami. Dimana dibawa petugas, ikut saja. Menjelang waktu shubuh, bus rombongan yang membawa kami memasuki area Hotel Arkan Bakkah di daerah Mahbas Jinn, tidak jauh dari terowongan ke masjidil haram dan juga sekitar 2-3 km ke jamaraat.
(Di terowongan mahbass jinn, sebelah kiri hotel Arkan Bakkah)
Subhanallaah, rombongan kami adalah tamu pertama yang memasuki hotel itu. Ternyata hotel itu, hotel yang baru selesai di bangun, bahkan di sana sini beberapa pekerja kulit hitam masih melakukan finishing, poles sana poles sini. Karena kami tamu pertama, penyambutan jadi istimewa. Makanan ringan dan minuman segar telah tersedia. Disediakan khusus untuk kami. Dalam kesempatan lain, al ustadz Dr. Maratua Simanjuntak (ketua forum kerukunan umat beragama Sumatera Utara) yang masuk dalam rombongan kloter 15 MES, yang sudah berulang kali ke Mekkah, mengaku inilah tempat yang dirasakan paling mewah. Beberapa teman dari kloter lain juga mengakui hal demikian. Fasilitas hotel luar biasa. Di kamar mandi, perlengkapan untuk mandi tersedia, lengkap. Di kamar tidur, di dalam kulkas minuman soft drink dan buah tersedia. Cukup banyak. Walaupun satu kamar, 5-6 orang, tapi diimbangi dengan fasilitas yang ada. Bahkan di kamar mandi tersedia shampoo, sabun dan deterjen.  Selama di hotel, untuk minuman soft drink tidak pernah kehabisan. Aqua galon tersedia di depan pintu masuk. 1 galon setiap tiga kamar !. Di lantai paling atas, puluhan mesin cuci baru dikeluarkan dari kotaknya tersedia. Petugas cleaning service membersihkan tempat cuci stand bye untuk mengeringkan genangan air buangan cucian. Petugasnya berkulit hitam.  Beberapa kali penulis menikmati sholat malam di lantai paling atas hotel Arkan Bakkah. Beratapkan langit, menikmati nikmat Allah swt yang sungguh tidak terkira !. Menikmati sunrise, matahari terbit di timur dan sunset matahari terbenam di barat kota Mekkah. Subhanallaah. Dari puncak hotel Arkan bakkaah, pemandangan kota Mekkah dengan tanahnya yang berbukit dan tandus serta gedung pencakar langit terlihat sejauh mata memandang. Cuma jam gadang mesjidil haram tidak kelihatan. Fasilitas wi fi yang lancar. Membuat setiap kesempatan yang ada, diisi kadangkala dengan berselancar di dunia maya.
Umroh awal dilaksanakan segera selesai melepas lelah. Penulis dan kawan-kawan dipandu langsung oleh wakil kloter ustadz Irwan Syahputra. Berjalan lancar. Suasana menjelang dinihari.  
Pertama sekali menatap Ka’bah, tidak terasa air mata membasahi pipi. Hati dan jiwa tergetar menatap bangunan agung. Subhanallah. Prosesi tawaf yang dilaksanakan baru pertama sekali dilaksanakan sebaik mungkin. Putaran demi putaran membawa penulis mendekati rumah agung baitullah. Ka’bah. Banyaknya jemaah yang melaksanakan tawaf tidak memungkinkan penulis menyentuh batu mulia, hajarul aswad. Demikian juga mengambil posisi di Hijr Ismail. Sgolah dua rakaat di belakang maqam Nabiullah Ibrahim as pun sebisanya, posisinya menurut perkiraan. Tahallul usai melaksanakan sa’I di lokasi masa’I berjalan lancar. Alhamdulillah. Usai melaksanakan tawaf qudum, istirahat kembali ke hotel Arqan Bakkah.
Kali kedua, bareng teman penulis kembali tawaf. Seperti ada yang tidak beres. Tapi karena dalam situasi bertawaf, sesuatu itu tidak jadi perhatian. Air mata masih meleleh. Waktu menjelang masuk shubuh. Disela kesibukan mencari posisi, seorang jemaah menawarkan kami di sisi beliau. Alhamdulillah. Dengan kesungguhan yang ada, atas izin Allah tangan mungil penulis sempat mengusap piringan hajar aswad. Kami juga sempat melaksanakan sholat dua rakaat di Hijr Ismail. Walaupun untuk memperoleh itu, harus mengikhlaskan diri disikut sana, di sikut sini. Bahkan kepala teman penulis sempat tidak kelihatan. Penulis sempat ketakutan, sempat histeris. Khawatir kalau si teman kepalanya diinjak-injak orang. Ketika keluar dari pintu masa’I, Ya Allaaah, dompet penulis hilang. Astaghfirullah. Pucat. Gemetar. Sampai ke hotel, apa yang penulis rasakan, penulis sampaikan ke karom satu di mana ada bapak wakil walikota. Pinjam uang, untuk bekal. Jika ingin ke Masjidil Haram, kadang naik bus. Stasiun akhirnya persis di seberang hotel kami sebelum masuk terowongan berakhir di stasiun menjelang masjidil haram. Di sisi kanannya ada rumah Nabi yang sekarang berfungsi sebagai perpustakaan. Kalau ingin berbelanja atau ke mesjid Jinn di dekat hotel, kadang melalui pintu belakang hotel. Menuruni jalan cukup terjal. Berjalan kaki mengamati daerah sekeliling. Mengisi kegiatan menjelang wukuf di ‘Arafah dimanfaatkan untuk mengetahui situasi sekitar masjidil haram. Terbersit di hati, tidak akan tersesat. Astaghfirullaah. Allah berkehendak lain. Hamba keluar di daerah asing. Bingung. Tanya sana. Tanya sini. Berhenti sebentar. Tafakkur. Istighfar. Timbullah hidayah. Masuk kembali ke masjidil haram. Lihat penunjuk arah. Masa’i. karena selama ini penulis keluar melalui pintu sisi kanan masa’i. Plong. 
Berkunjung ke Gua Hira’ dan Jamarat
Oleh wakil pimpinan kloter 15 MES, ustadz Irwan Syahputra  penulis ditawari ikut rombongan Beliau ke gua hira’. Pukul 03.00 dinihari kumpul di lobby hotel Arkan Bakkah. Bersama kami, turut serta bapak Timbas Tarigan (wakil walikota Binjai), ustadz Khairul Amrin  dan 1 teman yang lain. Dari seberang hotel, naik bus gratis ke masjidil haram. Berjalan kaki di sisi kanan masjidil haram sampai ke jalan raya, kemudian kami naik taxi. Jarak yang hanya 6-7 km ditempuh dalam waktu singkat. Supirnya dari Afghanistan.  Jabal nur (Gunung Cahaya) yang di puncaknya terletak gua hira’ termasuk tempat favorit yang dikunjungi jemaah yang melaksanakan ibadah haji dan atau umroh. Disinilah Muhammad dilantik menjadi Nabi dan RasulNya. Segera setelah Jibril as menyampaikan wahyu surat al alaq 1-5. Saat itu usia Beliau, Nabi Muhammad saw sekitar 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kalender Qamariyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kalender Syamsiyah. Tinggi puncak gunung cahaya diperkirakan sekitar 200 meter dikelilingi gunung dan bukit batu yang curam. Gua hira’ sendiri terletak di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit dengan ketinggian sekitar 2 meter. Karena kurang berkoordinasi, pendakian dilaksanakan sendiri-sendiri. Jalan menuju puncak sudah dikondisikan sedemikian rupa. Ada anak tangga sedemikian rupa yang dibuat oleh mereka kaum pendatang yang umumnya berkulit hitam. Tua muda, silih berganti. Ada yang turun, tidak sedikit pula yang naik. Menjelang puncak, di kiri kanan akan kita jumpai orang-orang berkulit hitam yang cacat. Mereka kaum pendatang yang karena sesuatu dan lain hal dibuat cacat. Hidup mereka dari mengemis. Menjelang puncak, penulis masih berpapasan dengan bapak Timbas Tarigan yang beristirahat. Tidak lama sampai di puncak, sayup kedengaran azan shubuh. Dengan kondisi seadanya, penulis berbaur dengan pengunjung lain melaksanakan shubuh berjemaah. Situasi masih gelap gulita. Gua hira masih harus turun sedikit ke bawah.
(Selangkah lagi, Gua Hira’)
Berjalan perlahan tanpa penerangan. Puluhan manusia mencari posisi masing-masing. Ketika sampai ke lorong sempit menjelang gua, penulis mengurungkan niat untuk masuk. Situasi gelap gulita membuat nyali penulis tidak cukup berani untuk masuk. Terpaksa penulis bertahan. Menunggu sampai waktu dan situasi sedikit agak terang. Disela penantian, ustadz Irwan Syahputra memanggil penulis. Mengajak ke ruang yang lebih terbuka di sisi lain di gunung cahaya. Seiring dengan terbitnya matahari, dikejauhan terlihat jam gadang masjidil haram. Makin terang, makin jelas lingkungan jabal nur. Jabal yang terdiri dari bebatuan besar dan tandus. Banyak jemaah haji yang memanfaatkan momen muculnya matahari dari timur. Tua muda, lelaki dan perempuan berbaur mengambil posisi di puncak yang tidak begitu luas. Cahayanya perlahan menyapu kabut dan memperjelas jam gadang di Masjidil Haram. Kesempatan langka itu dimanfaatkan pengunjung untuk berfoto. Seorang fotographer (kelihatannya dari Indonesia) berkali-kali mengambil moment yang menurutnya luar biasa. Posisi berdiri di antara kecuraman jabal Nur benar-benar diperhatikannya.
(Puncak Jabal Nur)
Sulit dibayangkan, bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalani rutinitas keseharian beliau di sini dengan hanya berjalan kaki dari rumah beliau yang sekarang menjadi perpustakaan. Paling tidak 8-9 km jalan yang tandus dan tebing batu yang curam harus beliau lalui untuk mencari petunjuk Allah swt. Mengasingkan diri sebagai protes melihat sikap jahiliyah masyarakat di lingkungannya. Setelah mengalami perjuangan lumayan melelahkan, penulis sampai juga ke lubang gua. Penulis harus puas dengan hanya melihat, melongok sedikit situasi di dalam gua. Karena masing masing pengunjung berusaha untuk masuk. Ketika turun, penulis menemukan seekor kambing kecil. Ajaib, kambingnya sangat jinak. Malah penulis sempat foto bareng kambing. Rombongan berangkat 5 orang, yang pulang ke hotel barengan 3 orang dan dua lainnya, masing-masing.
Dikesempatan lain, dengan rombongan berbeda penulis dengan kawan kawan berkunjung ke jamaraat. Hanya dengan berjalan kaki, lokasi jamaraat di sebelah kanan hotel Arkan Bakkah tempat kami menginap. Situasi sepi. Hanya beberapa pengunjung terlihat menikmati arsitek bangunan jamaraat. Memasuki area jamaraat, kami turun menggunakan eskalator untuk sampai ke tingkat lebih bawah.
(Bersama Timbas Tarigan, wakil walikota Binjai, di Jamaraat)
Situasi lingkungan berubah, dari modal bahasa yang dikuasai oleh salah seorang teman, kami kembali ke hotel Arkan Bakkah. Kami datang di lantai dua jamaraat dan pulang dari lantai dasar !.  Selama di Mekkah, usai pelaksanaan haji, kegiatan sholat di Mesjidil Haram, kadang shubuh sampai zhuhur. Kadang Ashar-Magrib. Kadang di dalam area Masjil Haram,  di ruangan luas yang telah disediakan hotel. Kadang di mesjid dekat terowongan di daerah mahbass jin, di luar. Sekali waktu, karena usai sholat yang keluar ratusan jemaah dan saling dahulu mendahului untuk mendapatkan bus,  penulis mencoba jalan memutar. Penulis ambil jalan memutar dari sisi kiri rumah nabi, terus kebelakangnya melalu jalan setapak sampai akhirnya tiba di stasiun bus. Walau agak jauh, tapi tidak perlu berdesak-desakan.
Menjelang dan sesudah pelaksanaan wukuf di Arafah ada juga diantara teman teman  rombongan yang melaksanakan umroh berkali-kali. Beralasan, aji mumpung. Mumpung ada kesempatan. Orangtuanya yang sudah meninggalpun mereka umrohkan. Begitulah keyakinan mereka. Penulis sendiri, kalau tidak diberi tahu ustadz Irwan Syahputra, juga mau jadi Pak Turut. Pelaksanaan wukuf di Arafah pada haji tahun 2014 itu bersamaan dengan hari Jum’at. Di Indonesia dikenal dengan haji akbar. Hal ini membuat situasi di Arafah semakin ramai, karena penduduk pribumipun ikut melaksaksanakan wukuf di Arafah. Jarang ditemukan wukuf di Arafah bersamaan dengan hari Jum’at. Jika hari hari biasa pelaksanaan wukuf, penduduk pribumi banyak berliburan ke luar negeri. Tapi tidak, jika pelaksanaan wukuf jatuh hari jum’at. Tanggal 8 Zhulhijjah pagi hari, di depan hotel kami sudah banyak orang berjalan kaki menuju arafah. Hujan sempat membasahi bumi Mekkah. Tidak lama !. Sementara rombongan kami bakda ashar bersiap siap menuju arafah.  Ini kali ke dua, penulis  ke Arafah. Sebelumnya, sekedar berziarah sesuai schedule yang telah ditetapkan dalam buku panduan. Sebagai bagian dari hak peserta ibadah haji. Disaat tengah hari, panas menyengat. Tidak sedikit para jemaah mendaki sampai ke puncak jabal rahmah. Berbagai tingkah laku manusia bisa dilihat, mulai dari berdoa menghadap tugu sampai tindakan kanibal, menulisi dinding batu di sekitar jabal. Walaupun berjarak sekitar 25 km dari Mekkah, karena kepadatan arus lalu lintas, waktu yang ditempuh jadi cukup lama. Di Padang Arafah, hanya berbalut dua helai kain ihram yang sudah dipakai sejak keberangkatan dari hotel. Setelah pelaksanaan sholat zhuhur jamak taqdim qashar dengan ashar dilanjutkan dengan khutbah arafah. Kamar mandi tempat mck yang  tersedia cukup memadai. Dua lantai. Lantai atas ruang terbuka. Dari atas dapat dilihat sejauh mata memandang, tenda melulu. Bahkan tugu jabal rahmahpun tidak kelihatan dari lokasi posisi rombongan kami berasda. Kadang terlihat ambulans dan jelas terdengar sirine ambulan, membawa jemaah bersafari wukuf. Karena dalam kegiatan satu ini, tidak boleh diwakilkan. “Tidak ada haji tanpa wukuf (di) Arafah, demikian sabda Rasulullah saw. Di tenda kami, barengan dengan wakil walikota Binjai, Timbas Tarigan,  khutbah arafah disampaikan Dr. Maratua Simanjuntak. Selesai khutbah, masing masing mencari tempat untuk berdoa. Sebagian ada juga yang bertahan di tenda. Beralaskan kertas kardus yang ada, penulis mengambil posisi tersendiri, berkhalwat. Menumpahkan segala yang mengganjal. Berharap belas kasihan Allah swt.  Isak tangis menyesali kesalahan prilaku dan banyaknya beban dosa yang dirasakan, membuat tangis dan ingus meleleh. Ya Allah........
(Di lantai atas kamar mandi, Padang Arafah)
Menjelang isya rombongan bersiap menuju muzdalifah. Mengambil batu !. Tengah malam, beratapkan langit yang cerah sejauh mata memandang manusia berihram masing masing sibuk dengan kegiatannya. Kalau di Arafah masih ada tenda, tidak untuk di Muzdalifah. Karena hanya sesaat singgah untuk mengambil batu dan bersiap siap ke mina. Langit kota Mekkah, sangat bersahabat. Mutiara-mutiara langit menghiasi pandangan. Kelap kelip, berzikir !.  Justru kesakralannya lebih terasa di sini. Paling tidak itu yang penulis rasakan. Usai sholat shubuh, rombongan kami menuju Mina. Beberapa barang tercecer, seperti rial, arloji. Satupun tidak ada yang berani membawanya. Istirahat di tenda, kegiatan dilanjutkan dengan melontar jumrah aqabah. Penulis dan rombongan kebagian lantai 3 jamaraat. Usai menjelang zhuhur mahkota di kepalapun dicukur habis. Tanggalah pakaian ihram. Dengan pelaksanaan nafar sani, hari hari selanjutnya lempar jumrah dapat dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah, menjelang zhuhur !. Berangkat dari tenda, pukul 11.00 waktu setempat, sampai di lokasi jamaraat menjelang zhuhur. Penulis bersama ustadz Irwan Syahputra dan petugas kesehatan. Kadang melapor dulu ke posko, kemudian ke jamaraat. Pelaksanaan prosesi lempar jamaarat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang afdhal. Alhamdulillah, semua terasa dimudahkanNya.  Kembali ke penginapan, Arkan Bakkah. Penulis dan beberapa teman lain membawa banyak buah dan minuman kaleng sisa dari dapur umum di Mina. Di bus, sebagian bawaan itu dibagi ke jemaah lain.
            Madinah
Di Madinah, penulis beserta rombongan kebagian hotel lapis ketiga dari pagar mesjid nabawi gate 8. Dari pintu 8 ini berjalan lurus sampai menjelang pintu 6, posisi raudhah ada di sebelah kiri. Di sebelah kanan mesjid nabawi dari gate 8 ada bangunan memanjang. Mirip sekolah. Sebelum penulis mengetahui bangunan apa gedung itu, penulis pernah ditanyai jemaah lain dari Indonesia, “Dimana museum asmaul husna....?”. Penulis menggeleng, tidak tahu. Dalam suatu kesempatan, menjelang ashar penulis berniat ke raudhah. Masuk dari babu ssalaam, antri. Dengan bahasa arab sepotong-sepotong, penulis keluar dari antrian. Ambil jalan pintas, satu lapis dari mimbar di raudhah, seorang petugas keamanan menarik lengan penulis dan menyuruh berdiri persis disisi kanan mimbar. Subhanallaah. Kesempatan tersebut tidak disia siakan. Sambil berzikir dan berdoa, penulis perhatikan persis dibelakang posisi muazzin. Jadilah ashar di sisi kanan mimbar kemudian bergeser sedikit ke kiri bahagian dari raudhah. Penulis sempatkan sholat dua rakaat persisi di depan Mihrab, gumaman rasa syukur diberi kesempatan sholat ashar dan berdoa di raudhah, membuat penulis seperti bermimpi. “Ya Allah, janganlah kehadiran hamba di sini adalah kehadiran terakhir, berilah hamba dan seluruh keluarga hamba, isteri dan anak anak hamba untuk dapat juga beribadah di taman surga ini ya Allah.......”. Area raudhah ditandai dengan karpet hijau. Membentang dari rumah Rasulullah SAW (yang kini menjadi makam beliau) hingga ke mimbar. Sekitar 26 x 15 meter. Selain area raudhah (karpet hijau), semua area sholat masjid Nabawi berkarpet merah. Jadi selama yang kita injak masih karpet merah, ya belum sampai di Raudhah. Wallahu a’lam. Menjelang keluar, di sisi kiri ada makam yang mulia Rasulullah Muhammad saw beserta sahabat-sahabat beliau, Abu Bakar Sidiq dan Umar bin Khatab. “Assalamu’alaika ya Rasulallah, Assalamu’alaika ayyuha nnabiyu warahmatullaahi wa barakaatuh......”. Keluar dari mesjid nabawi, sisi kanan ada hamam 7. Kamar mandi 7.
(Di depan salah satu mesjid Nabawi)
Melangkah terus, di sisi kiri bangunan seperti sekolah, itulah museum asmaul husna. Bangunan 2 petak yang terhubung. Satu bangunan berisi diorama perkembangan kota Madinah, diawali dengan silsilah nabi Adam as sampai pada nabi Muhammad saw. Terdapat di dalamnya market mesjid nabawi dari awal sampai seperti sekarang. Bangunan satu lagi, asmaul husna !. Nama-nama Allah dengan segala penjelasan ayat al quran pendukungnya. Ada juga komputer layar sentuh menyajikan kebesaran Allah. Tidak banyak yang tahu keberadaan gedung mirip sekolah ini.  Tidak jauh dari gate 6, terdapat beberapa bangunan sejarah antara lain mesjid Abu Bakar, Mesjid Ghamamah dan Mesjid Ali. Sayangnya ketika penulis berkunjung ke sana, mesjid dalam keadaan terkunci. Terkesan kurang perawatan !. Lebih lebih mesjid Abu Bakar yang terletak agak di pojok pasar. Ada dua versi tentang latar belakang sejarah Masjid Abu Bakar, versi pertama menyebutkan bahwa di lokasi masjid ini, Khalifah Abu Bakar Siddiq semasa hidupnya pernah menyelenggarakan sholat Hari Raya bersama Rosululah dan muslim terdahulu. Versi kedua menyebutkan bahwa dilokasi masjid ini berdiri dulunya merupakan rumah kediaman Abu Bakar Siddiq. R.A. Dibangun dengan batu basal. Bagian dalam dicat dengan wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan. Di sebelah kanan dan kiri jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang Menara adzannya berada di sudut timur laut. Bagian fondasinya memiliki area persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir dengan muqamas penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk bulan sabit.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah
.                                                                  
Masjid Ghamama berada sekitar 300 meter sebelah barat daya (sebelah timur bagian selatan) Masjid Nabawi, tak bejauhan dengan Masjid (Sahabat) Umar r.a dan Masjid (Sahabat) Ali r.a. Bangunan masjid ini dibangun untuk mengenang beberapa peristiwa penting dimasa kehidupan Rosulullah S.A.W. dan peristiwa peristiwa penting tersebut juga yang hingga kini melekat sebagai nama masjid ini.       Disebut sebagai masjid Ghamama (Ghamama = awan mendung), di lahan masjid ini berdiri merupakan tempat Rosulullah S.A.W melaksanakan Salatul Istiskah (sholat untuk meminta hujan). Segera setelah pelaksanaan sholat awan mendung pun datang dan hujan pun turun. Itu sebabnya sampai kini masjid ini disebut Masjid Ghamama.Disebut sebagai Masjid Id (Masjid hari raya) karena di lokasi tempat masjid ini berdiri merupakan tempat Nabi Muhammad S.A.W melaksanakan sholat hari raya di empat tahun terahir kehidupan Beliau. Yang ketiga mesjid Ali. Masjid ini berbentuk persegi panjang. Dari timur ke barat, panjangnya 35 meter dan lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah; timur dan barat dengan satu kamar kecil. Pengunjung cukup puas menikmati bangunan mesjid mesjid tersebut dari luar.
Jika kita keluar dari gate 1 atau 2 menyeberang jalan, melewati bawah jalan layang, di situ ada mesjid Bilal. Terletak lebih kurang 700 meter menyeberang jalan King Faisal. Mesjid ini berlantai dua, di bawahnya kios-kios tempat orang berdagang. Disalah satu ruangan kiosnya juga ada kantor pos. Sebagai seorang filatelis, penulis sempatkan membeli souvenir sheet, perangko dan amplop. Penulis sempat sholat maqrib dan isya di sini. Artinya penulis tidak terlalu fokus mengejar arba’in yang oleh sebahagian jemaah menjadi suatu kewajiban. Ketika berwudhu’ di kamar mandi, penulis menemukan seorang anak muda dari Jawa. Bertugas sebagai cleaning service. Usai sholat maqrib, imam sholat 2 rakaat, 3 kali. Penulis penasaran. Penulis beranikan untuk bertanya, ayyu sholah ya abi ??. Rasulullah sholat bakda maqrib, wahid marrah, rak’atain !!. Wa lakin, anta sholat tsalatsa marrah, rak’atain, rak’atain. Imamnya terkejut, Beliau tinggalkan penulis. Beliau ke belakang, duduk di tempat yang telah disediakan. Beberapa jemaah mengikuti beliau, duduk setengah lingkaran. Ada juga beberapa bocah belajar membaca al qur’an. Penulis nimbrung. Si imam menuangkan minuman ke beberapa gelas seperti kemasan aqua dan membaginya ke jemaah yang ada kecuali penulis. Kemudian beliau juga menawarkan kurma. Tidak kepada penulis. Akhirnya penulis ambil sendiri, minuman termasuk kurma yang ada. “Halal ya abi ??” Beliau menjawab dengan bahasa isyarat. Mempersilahkan. Ketika mengulang wudhu untuk isya, setelah berwudhu dan akan sholat sunat 2 rakaat, seseorang menghantarkan kepada penulis minuman. Rasanya berbeda. Bakda sholat isya, penulis sempatkan bertanya kepada pemuda yang bertemu di kamar mandi mesjid perihal minuman yang berbeda rasanya ketika diberi imam selesai maqrib tadi. Pemuda itu menjelaskan, kalau di Indonesia namanya jamu. Istilah di situ qahwah !!. Padahal dilihat kamus, qahwah itu kopi.  Melihat dialoq penulis dengan pemuda itu, seorang jemaah paruh baya menyalami dan bertanya ke penulis
“Aanta hajj ?”
“Na’am, ana haji minal Indonesia”.
Beliau bertasbih dan berdoa, “Subhanallah, Mabrur, Mabrur”.
“Min aina anta?”,
“Ana min Iraq, Ana ‘amil huna”.  
Demikian obrol singkat penulis dengan seorang jemaah ketika sholat maqrib dan isya di mesjid Bilal dengan seseorang yang mengaku pekerja dari Iraq.
Dikesempatan lain penulis berziarah juga ke mesjid Ijabah. Dari tanya sana sini sama pribumi yang ketemu di jalanan penulis diantar ke jalan raya yang membawa penulis  akhirnya sampai ke mesjid Ijabah. Dibandingkan masjid-masjid yang ada di Madinah, masjid ini tidak terlalu besar. Bercat paduan warna krem dan coklat tua, masjid ini dilengkapi sebuah menara tinggi menjulang. Meski letaknya di pinggir jalan raya, persisnya Jalan As-Sittin, Distrik Bani Muawiyah, masjid ini tidak terlalu mencolok karena hampir menyatu dengan toko-toko yang ada di sekitarnya.Di sisinya ada rumah sakit. Penulis sempat sholat Ashar di sini. Tersedia juga aqua galon yang siap diminum. Saat penulis di sini, sedang ada tausiyah dari kelompok jemaah negara lain.  Penulis juga sempat bertemu dengan warga negara Indonesia yang bekerja di Madinah dan harus rela mengeluarkan uang jutaan untuk mendapatkan haji akbar. Dengan berbagai cara dia tinggalkan pekerjaannya, naik bus ke Mekkah dan tidur seadanya di Arafah saat wukuf dan aktifitas lain dalam rangka pelaksanaan ibadah haji. Ketika kembali ke pemodokan, beberapa hotel sudah dikosongkan bahkan diantaranya ada yang sudah dibongkar dalam rangka perluasan area mesjid Nabawi. Tidak sengaja penulis melihat satu bangunan mesjid disela-sela toko. Di dinding sebelah kiri mau masuk tertera jelas tulisan mesjid al Bukhari. Pintu tidak terkunci, di dalamnya bersih. Apakah digunakan atau tidak wallahu a’lam. Melihat kondisi mesjid yang bersih dan terawat, penulis berkeyakinan mesjid itu digunakan walaupun posisinya sangat dekat dengan mesjid nabawi khususnya gate 12.  
10 hari di Madinah, penulis maksimalkan mengamalkan hadits Rasulullah berikut
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَبْرَدِ مَوْلَى بَنِي خَطْمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
 صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Abdul Hamid bin Ja'far] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abul Abrad] mantan budak bani Khathmah, ia mendengar [Usaid bin Zhuhair Al Anshari] -ia termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam- ia menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Shalat di masjid Quba seperti melakukan Umrah.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْكَرْمَانِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ يَقُولَ قَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Ammar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hatim bin Isma'il] dan [Isa bin Yunus] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sulaiman Al Karmani] berkata; aku mendengar [Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif] berkata; [Sahl bin Hunaif] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala umrah. [HR. ibnumajah No.1402]                                                                                                        
Selesai sarapan penulis berjalan kaki dari hotel masuk gate/hammam 8, terus sampai ke gate 6. Di jalan raya, banyak angkot menawarkan jasa angkutan. “quba......quba” kata supir.
“Kam riyal ?”
“Isna riyal” jarinya mengisyaratkan angka 2.
Jadilah penulis barengan dengan jemaah haji negara lain ke mesjid quba.
(Prasasti di sisi kiri Mesjid Quba)
Ada 4-5 kali atau 4-5 hari hal demikian penulis lakoni. Kadang belum jauh masuk area mesjid ada odong-odong. Kenderaan roda empat yang bersambung-sambung seperti kereta api.  Penulis stop. “Ila aina ???” tanya supir. “Baabun sittah ?” “Tafadhal” ujarnya. Lumayanlah, tidak terlalu melelahkan di banding berjalan kaki. Kadang terjadi dialog singkat.
“A anta, zahabta ila Indonesia ?” Tanya penulis pakai bahasa yang penulis maksud, “Engkau, Pernahkan engkau ke Indonesia ?”
“Na’am. “Ila aina lau anta tazhaabu ila Indonesia ?”
“Puncak, Bogor !” Jawabnya. 
Di mesjid quba, penulis juga bertemu petugas cleaning servicenya dari Jawa. Orangnya masih muda. Dia banyak bercerita, termasuk tentang bangunan di sisi kiri Mesjid Quba yang ada kran air, tapi airnya tidak keluar. Menurutnya itu bekas sumur, di mana di sumur itu cincin Aisyah (isteri Nabi) jatuh dan tidak ditemukan. Beliau juga anjurkan penulis, begitu keluar dari mesjid Quba di sisi kiri searah qiblat mesjid ada bangunan. Ternyata bangunan itu semacam museum. Di dalamnya ada diorama tentang sejarah mesjid Quba. Layar layar lebar memvisualisasikan segala sesuatu tentang mesjid quba. Begitu keluar, sama dengan pintu masuk penulis ditawarkan cd. Harganya 5 riyal. Penulis sempat foto bareng, salah satu penjaganya bernama Salman, masih kuliah di Universitas Islam Madinah. 
Penulis jadi ingat ketika ustadz Irwan Syahputra mengajak penulis ikut jalan-jalan membelah malam kota Madinah bersama bekas mahasiswanya, Salman dengan mobil. Salman dan isterinya stand by di basecamp. Dari hamaam 8, kami turun ke bawah. Mobil jenis sedan itu, stirnya sebelah kiri. Bareng istrinya, kami diajak makan malam di suatu resto. Redup dan dingin karena pengaruh ac sampai ketulang. Pengunjung lain, seperti tidak ada. Privacy sekali. Makanan yang dicicipi rasanya tidak sesuai dengan lidah Sumatera. Memasuki area Universitas Islam Madinah, tidak bisa masuk terlalu jauh, karena forbidden.
Sekali waktu,  penulis nekat pulang jalan kaki. Di tengah jalan ketemu jemaah dari Sunda. Jadilah kami berbarengan. Lebih banyak yang dilihat. Diantaranya mesjid al Jum’ah. Sayang pintunya terkunci. Sejarahnya Ketika Rasulullah berhijrah, beliau masuk di perbatasan Madinah pada hari Senin, Rabiul Awwal 1 H. Saat itu beliau singgah di Quba selama empat hari hingga Jumat pagi, bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Awwal pada tahun yang sama. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Tidak jauh dari Quba, waktu shalat Jumat telah masuk. Beliau pun shalat di Wadi Ranuna. Di tempat shalat Jumat Rasulullah itu kemudian dibangun Masjid Al-Jum’ah (Jumat). Masjid tersebut dibangun dari pecahan bebatuan. Masjid ini memiliki menara tinggi yang sangat indah dan kubah utama tepat di atas area shalat bagian tengah, ditambah dengan empat kubah kecil.Ada pula mesjid dengan bangunan warna merah mencolok. Menurut jawaban warga yang ditanya, mereka menjawab, mesjid bin Laden.
Di sebelah Babussalaam, persis di seberang hamaam 3 ada pintu masuk ke dalam mesjid nabawi. Penulis masuk. Naik tangga di sisi kanan. Ketemu kantor/perpustakaan. Penulis sempat berdialog dengan petugasnya.                                                                                  
“Hal ‘indakum kutubu llughatul Indonesia, mitsal fiqhus sunnah ?”.                                   
“Anta mu’allim ?”                                                                                                                   “Na’am”                                                                                                                                    
”Min Indonesia ?”                                                                                                                        “Na’am” Saya mengangguk.                                                                                         
“Indonesia Jamil, Indonesia hebat” katanya. Saya Cuma tersenyum. “Uktub ismuka huna”, katanya sambil menyodorkan daftar isian nama pengunjung. Kemudian dia masuk dan keluar dengan membawa 1 tas buku buku tafsir, hadits dan buku lain termasuk beberapa cd diantaranya ada cd maktabah syamiilah. Penulis terus naik ke atas. Sampai lantai paling atas, penulis perhatikan puncak bangunan gedung hotel yang kelihatan. Ternyata jalan kembali ke hotel jadi lebih singkat. Penulis turun di pintu terdekat gate 8 di mana posisi hotel penulis berada.
(Puncak mesjid Nabawi menjelang terbit matahari)
Khotimah
Siapapun PASTI berkeinginan beribadahah ke haromain. Apakah itu haji atau umroh. Insya Allah, dengan kesungguhan, bi iznillaah bisa terealisasi. Dari pengalaman yang penulis alami, paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi mereka yang hendak berangkat. Antara lain :
          Walaupun uang saku sudah disediakan untuk kebutuhan selama di haromain (khusus yang berangkat haji), tidak salah kalau membawa bekal makanan semaksimal mungkin. Karena kopor yang dibawa berangkat tidak begitu banyak, cukupkan saja dengan makanan semisal mie istant dan makanan favorit lainnya. Di hotel sebahagian ada menyediakan aqua galon yang dengan ini kita bisa menikmati bekal tadi. Tidak usah pelit. Berbagi saja dengan rombongan kita.
          Ketika hendak tawaf, bawa fuluus secukupnya saja. Karena niat kita memang untuk ber ibadah. Hindarilah bersikut-sikut dengan jemaah lain, apapun alasannya. Kalau kenyataannya jarak pemondokan cukup jauh dari masjidil haram, jangan dipaksakan sholat  harus ke masjidil haram. Karena banyak riwayat, selama di tanah haram, di manapun kita sholat nilainya sama dengan sholat di masjidil haram. Paling tidak itulah petuah ustadz yang penulis dengar ketika berceremah di mesjid sisi kiri terowongan mahbas jinn.
         Jika memungkinkan, jadilah jemaah mandiri dalam arti kata tidak bergantung kepada orang lain. Jika memang dimintai tolong untuk ditemani ya, tafadhol.                       
Penulis beberapa kali dimintai tolong ibu-ibu untuk menemani mereka thawaf. Penulis iyakan, tapi tidak di lantai satu !. Dengan membawa ibu-ibu yang meminta tolong, tawaf di lantai dua cukup menggembirakan. Tidak terlalu berdesak-desakan. Sepanasnya terik matahari, lantai yang dipijak masih tetap adem. Masih bisa dilalui.
          Modal mengetahui dan memahami bahasa Arab, sangat sangat penting. Sepotong dua potong kata ucapan sehari hari sangat membantu. Gunakan waktu semaksimal mungkin, lebih-lebih gelombang ke dua untuk menziarahi daerah daerah seputar Mesjid Nabawi. Apalagi yang tidak fokus pada arba’in. Banyak berjalan, banyak di lihat dan tentu saja banyak pengalaman.Dan jangan lupakan pula merasakan sensasi bersantap makanan cemilan kentucky fried chicken ala Madinah yang terletak di pojok kiri gate 1 mesjid Nabawi. Al Baik. Kentucy fried chickennya negeri Arab. Buka mulai sore. Penulis siang ke sana masih tutup. Penasaran dengan cita rasanya, kali kedua penulis dating sore. Antri. Karena keterbatasan fulus, yang penting cicipi. 



Pengantar
Alhamdulillah, sebagai seorang Muslim dapat memenuhi panggilan nabiullah Ibrahim AS melaksanakan rukun Islam ke-5 adalah hal yang sangat sangat diharapakan oleh mereka yang mengaku muslim dan beriman. Atas izinNya, melalui titipan rezeqiNya kepada hambaNya almarhumah Dwi Puspita Rahyunie, SPd penulis dapat berangkat. Berawal dari almarhumah sembuh dari demamnya, di kursi/sofa tamu, almarhumah menyampaikan keinginannya untuk memenuhi panggilan Nabiullah Ibrahim AS, melaksanakan rukun islam ke-5, menunaikan ibadah Haji. Niat itu direalisasikan dengan membuka pendaftaran melalui tabungan Haji di BRI Syariah Cabang Binjai dan tercatar di Kantor Departemen Agama Kota Binjai tanggal 10 Februari 2010. Waktu berlalu, dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam ke hari, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun.  Tanggal 12 Februari 2012,  isteri tercinta yang telah melahirkan 3 putra Fadlun Rahmandika, Teguh Maliki Ramadhan dan Fajrul Azmi Syahputra diambil pemiliknya. Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. Insya Allah, husnul khatimah. Bersepakatlah kami, saya beserta anak-anak siapa yang akan menggantikan posisi beliau untuk berangkat melaksanakan rukun Islam ke lima. Berharap posisi Beliau dapat digantikan secara otomatis. Setelah berbagai masukan, saran dan usul akhirnya disepakati bahwa posisi almarhumah, mama mereka digantikan oleh si Bungsu Fajrul Azmi Syahputra. Ternyata peraturan yang berlaku tidak memungkinkan. Untuk berangkat bareng, tidak bisa. Uang harus diambil, daftar ulang dan masuk daftar tunggu !.
Untuk menimba ilmu perihal latihan manasik haji, penulis mendaftar di IPHI, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Gratis !. Fasilitas pertemuan yang digunakan Aula Pemko Binjai. Pelaksanaan latihan manasik haji, tiap hari minggu dan dimulai setahun sebelum keberangkatan. Banyak ilmu yang didapat. Gambaran prosesi ibadah sudah terbayang-bayang di mata. Ya Allah… nikmatnya !. Untuk memaksimalkan pelaksanaan ibadah, pemerintah merasa perlu membentuk beberapa regu dari sekian banyak jemaah. Satu ragu terdiri dari 11 orang, 1 ketua regu (karu) dengan 10 anggota. Setiap 4-5 regu dipimpin kepala rombongan (karom). Penulis terpilih sebagai salah seorang karu. Masuk dalam rombongan kami, kloter 15 Mess, Wakil Walikota Binjai, Timbas Tarigan bersama isteri dengan karunya ustadz Khairul Amrin Siregar. Bahasa arabnya bagus !. Rombongan kami masuk dalam gelombang ke dua. Artinya, jemaah ke Mekkah, kemudian ke Madinah. Bagi mereka yang gelombang pertama, tidak ada masalah dalam hal miqat makani. Mereka ke Madinah dulu, miqat makani di Birr Ali kemudian melanjutkan ke Mekkah. Selesai. Tidak ada khilafiah. Untuk gelombang kedua, saat latihan manasik terjadi 2 pendapat. Pendapat pertama, harus di Yalamlam. Berihram harus di pesawat. Tidak di Bandara. Waktu yang terbatas dan lain sebagainya. Jangan sampai uang puluhan juta tersia-siakan karena prosesi awal perihal miqat dan berihram sudah tidak benar. Demikian alas an yang membenarkan miqot harus di Yalamlam, berihram sudah di pesawat. Pendapat kedua, dibenarkan miqat di Bandara, berihram di Bandara. Wajar saja, jemaah pada bingung. Jemaah yang latihan manasik di IPHI tidak ada pembimbing khusus. Karena mereka adalah jemah mandiri. Mereka hanya tahu ketua regu. Berbeda dengan yang latihan manasik selain IPHI. Mereka dikenai biaya dengan harapan yang dibiayai ikut mendampingi sampai ke tanah suci. Beruntung, bagi jemaah anggota Muhammadiyah ada majelis tarjih. Beberapa hari sebelum keberangkatan, penulis bersama kawan-kawan, Hendra Jones, Yundiser dan Khairul Amrin mengundang khusus ketua majelis tarjih PDM Binjai, Buya Sufriady Hasan Basri. Dari referensi yang ada termasuk putusan ulama di lingkungan Majelis Tarjih, miqat dan ber ihrom untuk gelombang ke dua dibenarkan di Bandara King Abdul Aziz. Bahkan hal tersebut sudah menjadi keputusan secara kelembagaan. Muhammadiyah melihat dan memutuskan King Abdul Aziz bisa menjadi miqat maqani dan berihram.   
Keberangkatan Menuju Tanah Suci
Akhirnya 18 September 2014 penulis beserta rombongan berangkat dengan  Garuda nomor GA-3115 pukul 16.30 dari Bandara Polonia, Medan. Dilepas anak-anak dan ibunya, Lilis Erni Pilli, penulis diantar sampai pendopo Umar Baki sehari sebelumnya. Rombongan beristirahat di asrama haji untuk persiapan finalisasi sebelum keberangkatan. Beberapa waktu sebelumnya, rombongan KBIH IPHI sempat merasakan manasik, langsung praktek. Bagaimana berihram yang benar, dimana posisi awal tawaf, di mana maqam Ibrahim, minum zam-zam dan melaksanakan sa’i, safa-marwa-safa-marwa. Dalam pembagian kelompok, penulis dipercaya menjadi ketua regu/karu. Malam sebelum keberangkatan, seluruh jemah dikumpulkan di aula. Kepada merea dibagikan living cost. Biaya hidup selama berhaji di haromain. Sebagai karu dan karom juga mendapat tambahan karena mereka dianggap sebagai petugas yang ditunjuk oleh Pemerintah. Bagi jemaah haji gelombang pertama, penentuan di mana awal miqat tidak ada masalah. Pesawat yang membawa jemaah ke Madinah terlebih dahulu, mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah, mereka mengawali ihram dari Birr Ali. Tidak satupun yang tidak sepakat. Tidak demikan dengan mereka yang tergabung dalam gelombang ke dua. Penentuan awal miqat masih menjadi perbedaan termasuk di kalangan pimpinan persyarikatan Muhammadiyah. Meski sudah ada keputusan tarjih terhadap masalah ini yang membolehkan Bandara King Abdul Aziz (KAA) Jeddah bisa menjadi tempat miqat. Paling tidak itulah yang penulis lihat dan rasakan. Sebelum berangkat, ketika masih mengikuti manasik untuk persiapan keberangkatan para pembimbing di KBIH IPHI Binjaipun ada 2 versi. Miqat harus di Yalamlam, dalam arti di pesawat sudah harus dalam keadaan berihram. Bagi yang berfaham seperti ini menekankan jangan sampai nilai rupiah ibadah haji yang lumayan besar, yang sudah dikeluarkan sia-sia karena tidak diterimanya ibadah haji kita. Waktu yang tersedia di bandara tidak memungkinkan jemaah untuk mandi, berihram dan sholat 2 rakaat !. Padahal menurut konfirmasi crew pesawat, tidak dapat dipastikan apakah benar saat kita berniat ketika berihram posisi pesawat persis di Yalamlam. Kecepatan pesawatpun menjadi pertimbangan untuk membenarkan berihram harus di pesawat dengan alas an harus di Yalamlam. Bagi mereka berfaham boleh miqat di Bandara, sedikit longgar !. Karena tidak harus krasak krusuk berihram di pesawat. Apalagi saat harus ke toilet pesawat dengan kapasitas ruangan toilet sedemikian rupa.  Seminggu sebelum berangkat, penulis dan 3 kawan lain dari persyarikatan membahas boleh tidaknya mengambil miqat di bandara. Terlibat dalam diskusi ini, ketua Majelis Tarjih dan tajdid  PD Muhammadiyah Binjai, H. Supriady Hasan Basri. Berpedoman referensi yang ada, termasuk keputusan tarjih, disepakati bolehnya miqat di bandara. Kenyataannya, dua diantara kami toh masih berihram juga di pesawat !. Jadilah dalam pesawat itu, rombongan Gelombang ke-2, kloter 15 MES  terdiri dari Binjai, Medan dan Tanjungbalai 2 versi, sebahagian berihram di pesawat (sebahagian besar rombongan Binjai) dan sebahagian yang lain di Bandara. Rombongan jemaah haji Medan, pimpinan Dr. Maratua Simanjuntak  awalnya juga berkeinginan ihram di pesawat, tapi setelah diberi penjelasan oleh Al Ustadz Irwan Syahputra (Sekretaris PW Muhammadiyah, Sumatera Utara) yang bertugas sebagai wakil pimpinan kloter, Beliau turut. Beliau dan rombongan yang dibawanya, berihram di Bandara. Sementara jemaah Tanjung Balai semua berihram di Bandara.  Penulis, yang menjadi karu 8 juga memberikan penjelasan kepada teman-teman satu regu, bolehnya berihram di Bandara. Alhamdulillah, semua mereka turut. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, petugas di pesawat mengingatkan penumpang yang menggunakan fasilitas kamar mandi/toilet pesawat ketika mereka bersiap memakai ihram.
Mendarat dinihari di bandara, masya allah, penulis cari posisi, sujud syukur !. Tidak disangka, seorang cleaning service di mesjid taqwa Muhammadiyah kebun lada Binjai menginjakan kakinya di bandara King Abdul Aziz, Jeddah.  Setelah mengurus perlengkapan anggota, penulis  memperhatikan banyaknya jemaah yang mendarat dari berbagai penjuru dunia. Ada yang sudah dalam keadaan berihram ada pula yang masih utuh berpakaian biasa. Sedikit lebih mudah, kopor bawaan kawan-kawan yang jadi tanggung jawab penulis gampang ditandai karena penulis tambahkan kain/kacu warna hijau sisa dari Muktamar Muhammadiyah 2010 yang penulis ditunjuk sebagai ketua penggembiranya. Fasilitas MCK yang nyaman siap digunakan. Bahkan sampai untuk berihram, kemudian sholat dua rakaat di dalam tenda super besar, layaknya musholla di Indonesia dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa khawatir diburu waktu. Bahkan  dengan beberapa teman yang berihram di bandara sebelumnya  kami masih sempat memesan minuman dan menikmati teh hangat ala bandara beratapkan langit. Seperti juga disekitar bandara KNIA (Medan), Soeta (Jakarta) atau Minangkabau Internasioanl Airport, di sekitar bandara King Abdul Aziz juga terdapat kedai-kedai yang menawarkan minuman. Dari mulai yang ringan sampai yang berat. Waktu panjang masih tersisa.
Labbaik allahumma labbaik. Labbaikala syarikalaka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulk laa syarikalak. Kloter 15 gelombang kedua yang penulis masuk dalam rombongan, tidak terdaftar dalam peta persebaran funduuk. Tidak ada dalam persebaran hotel. Dalam peta persebaran hotel, hanya sampai kloter 14 MES. Pimpinan kloter sendiri, Drs. H. Baharuddin Damanik tidak tau dimana penginapan kami. Dimana dibawa petugas, ikut saja. Menjelang waktu shubuh, bus rombongan yang membawa kami memasuki area Hotel Arkan Bakkah di daerah Mahbas Jinn, tidak jauh dari terowongan ke masjidil haram dan juga sekitar 2-3 km ke jamaraat.
(Di terowongan mahbass jinn, sebelah kiri hotel Arkan Bakkah)
Subhanallaah, rombongan kami adalah tamu pertama yang memasuki hotel itu. Ternyata hotel itu, hotel yang baru selesai di bangun, bahkan di sana sini beberapa pekerja kulit hitam masih melakukan finishing, poles sana poles sini. Karena kami tamu pertama, penyambutan jadi istimewa. Makanan ringan dan minuman segar telah tersedia. Disediakan khusus untuk kami. Dalam kesempatan lain, al ustadz Dr. Maratua Simanjuntak (ketua forum kerukunan umat beragama Sumatera Utara) yang masuk dalam rombongan kloter 15 MES, yang sudah berulang kali ke Mekkah, mengaku inilah tempat yang dirasakan paling mewah. Beberapa teman dari kloter lain juga mengakui hal demikian. Fasilitas hotel luar biasa. Di kamar mandi, perlengkapan untuk mandi tersedia, lengkap. Di kamar tidur, di dalam kulkas minuman soft drink dan buah tersedia. Cukup banyak. Walaupun satu kamar, 5-6 orang, tapi diimbangi dengan fasilitas yang ada. Bahkan di kamar mandi tersedia shampoo, sabun dan deterjen.  Selama di hotel, untuk minuman soft drink tidak pernah kehabisan. Aqua galon tersedia di depan pintu masuk. 1 galon setiap tiga kamar !. Di lantai paling atas, puluhan mesin cuci baru dikeluarkan dari kotaknya tersedia. Petugas cleaning service membersihkan tempat cuci stand bye untuk mengeringkan genangan air buangan cucian. Petugasnya berkulit hitam.  Beberapa kali penulis menikmati sholat malam di lantai paling atas hotel Arkan Bakkah. Beratapkan langit, menikmati nikmat Allah swt yang sungguh tidak terkira !. Menikmati sunrise, matahari terbit di timur dan sunset matahari terbenam di barat kota Mekkah. Subhanallaah. Dari puncak hotel Arkan bakkaah, pemandangan kota Mekkah dengan tanahnya yang berbukit dan tandus serta gedung pencakar langit terlihat sejauh mata memandang. Cuma jam gadang mesjidil haram tidak kelihatan. Fasilitas wi fi yang lancar. Membuat setiap kesempatan yang ada, diisi kadangkala dengan berselancar di dunia maya.
Umroh awal dilaksanakan segera selesai melepas lelah. Penulis dan kawan-kawan dipandu langsung oleh wakil kloter ustadz Irwan Syahputra. Berjalan lancar. Suasana menjelang dinihari.  
Pertama sekali menatap Ka’bah, tidak terasa air mata membasahi pipi. Hati dan jiwa tergetar menatap bangunan agung. Subhanallah. Prosesi tawaf yang dilaksanakan baru pertama sekali dilaksanakan sebaik mungkin. Putaran demi putaran membawa penulis mendekati rumah agung baitullah. Ka’bah. Banyaknya jemaah yang melaksanakan tawaf tidak memungkinkan penulis menyentuh batu mulia, hajarul aswad. Demikian juga mengambil posisi di Hijr Ismail. Sgolah dua rakaat di belakang maqam Nabiullah Ibrahim as pun sebisanya, posisinya menurut perkiraan. Tahallul usai melaksanakan sa’I di lokasi masa’I berjalan lancar. Alhamdulillah. Usai melaksanakan tawaf qudum, istirahat kembali ke hotel Arqan Bakkah.
Kali kedua, bareng teman penulis kembali tawaf. Seperti ada yang tidak beres. Tapi karena dalam situasi bertawaf, sesuatu itu tidak jadi perhatian. Air mata masih meleleh. Waktu menjelang masuk shubuh. Disela kesibukan mencari posisi, seorang jemaah menawarkan kami di sisi beliau. Alhamdulillah. Dengan kesungguhan yang ada, atas izin Allah tangan mungil penulis sempat mengusap piringan hajar aswad. Kami juga sempat melaksanakan sholat dua rakaat di Hijr Ismail. Walaupun untuk memperoleh itu, harus mengikhlaskan diri disikut sana, di sikut sini. Bahkan kepala teman penulis sempat tidak kelihatan. Penulis sempat ketakutan, sempat histeris. Khawatir kalau si teman kepalanya diinjak-injak orang. Ketika keluar dari pintu masa’I, Ya Allaaah, dompet penulis hilang. Astaghfirullah. Pucat. Gemetar. Sampai ke hotel, apa yang penulis rasakan, penulis sampaikan ke karom satu di mana ada bapak wakil walikota. Pinjam uang, untuk bekal. Jika ingin ke Masjidil Haram, kadang naik bus. Stasiun akhirnya persis di seberang hotel kami sebelum masuk terowongan berakhir di stasiun menjelang masjidil haram. Di sisi kanannya ada rumah Nabi yang sekarang berfungsi sebagai perpustakaan. Kalau ingin berbelanja atau ke mesjid Jinn di dekat hotel, kadang melalui pintu belakang hotel. Menuruni jalan cukup terjal. Berjalan kaki mengamati daerah sekeliling. Mengisi kegiatan menjelang wukuf di ‘Arafah dimanfaatkan untuk mengetahui situasi sekitar masjidil haram. Terbersit di hati, tidak akan tersesat. Astaghfirullaah. Allah berkehendak lain. Hamba keluar di daerah asing. Bingung. Tanya sana. Tanya sini. Berhenti sebentar. Tafakkur. Istighfar. Timbullah hidayah. Masuk kembali ke masjidil haram. Lihat penunjuk arah. Masa’i. karena selama ini penulis keluar melalui pintu sisi kanan masa’i. Plong. 
Berkunjung ke Gua Hira’ dan Jamarat
Oleh wakil pimpinan kloter 15 MES, ustadz Irwan Syahputra  penulis ditawari ikut rombongan Beliau ke gua hira’. Pukul 03.00 dinihari kumpul di lobby hotel Arkan Bakkah. Bersama kami, turut serta bapak Timbas Tarigan (wakil walikota Binjai), ustadz Khairul Amrin  dan 1 teman yang lain. Dari seberang hotel, naik bus gratis ke masjidil haram. Berjalan kaki di sisi kanan masjidil haram sampai ke jalan raya, kemudian kami naik taxi. Jarak yang hanya 6-7 km ditempuh dalam waktu singkat. Supirnya dari Afghanistan.  Jabal nur (Gunung Cahaya) yang di puncaknya terletak gua hira’ termasuk tempat favorit yang dikunjungi jemaah yang melaksanakan ibadah haji dan atau umroh. Disinilah Muhammad dilantik menjadi Nabi dan RasulNya. Segera setelah Jibril as menyampaikan wahyu surat al alaq 1-5. Saat itu usia Beliau, Nabi Muhammad saw sekitar 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kalender Qamariyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kalender Syamsiyah. Tinggi puncak gunung cahaya diperkirakan sekitar 200 meter dikelilingi gunung dan bukit batu yang curam. Gua hira’ sendiri terletak di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit dengan ketinggian sekitar 2 meter. Karena kurang berkoordinasi, pendakian dilaksanakan sendiri-sendiri. Jalan menuju puncak sudah dikondisikan sedemikian rupa. Ada anak tangga sedemikian rupa yang dibuat oleh mereka kaum pendatang yang umumnya berkulit hitam. Tua muda, silih berganti. Ada yang turun, tidak sedikit pula yang naik. Menjelang puncak, di kiri kanan akan kita jumpai orang-orang berkulit hitam yang cacat. Mereka kaum pendatang yang karena sesuatu dan lain hal dibuat cacat. Hidup mereka dari mengemis. Menjelang puncak, penulis masih berpapasan dengan bapak Timbas Tarigan yang beristirahat. Tidak lama sampai di puncak, sayup kedengaran azan shubuh. Dengan kondisi seadanya, penulis berbaur dengan pengunjung lain melaksanakan shubuh berjemaah. Situasi masih gelap gulita. Gua hira masih harus turun sedikit ke bawah.
(Selangkah lagi, Gua Hira’)
Berjalan perlahan tanpa penerangan. Puluhan manusia mencari posisi masing-masing. Ketika sampai ke lorong sempit menjelang gua, penulis mengurungkan niat untuk masuk. Situasi gelap gulita membuat nyali penulis tidak cukup berani untuk masuk. Terpaksa penulis bertahan. Menunggu sampai waktu dan situasi sedikit agak terang. Disela penantian, ustadz Irwan Syahputra memanggil penulis. Mengajak ke ruang yang lebih terbuka di sisi lain di gunung cahaya. Seiring dengan terbitnya matahari, dikejauhan terlihat jam gadang masjidil haram. Makin terang, makin jelas lingkungan jabal nur. Jabal yang terdiri dari bebatuan besar dan tandus. Banyak jemaah haji yang memanfaatkan momen muculnya matahari dari timur. Tua muda, lelaki dan perempuan berbaur mengambil posisi di puncak yang tidak begitu luas. Cahayanya perlahan menyapu kabut dan memperjelas jam gadang di Masjidil Haram. Kesempatan langka itu dimanfaatkan pengunjung untuk berfoto. Seorang fotographer (kelihatannya dari Indonesia) berkali-kali mengambil moment yang menurutnya luar biasa. Posisi berdiri di antara kecuraman jabal Nur benar-benar diperhatikannya.
(Puncak Jabal Nur)
Sulit dibayangkan, bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalani rutinitas keseharian beliau di sini dengan hanya berjalan kaki dari rumah beliau yang sekarang menjadi perpustakaan. Paling tidak 8-9 km jalan yang tandus dan tebing batu yang curam harus beliau lalui untuk mencari petunjuk Allah swt. Mengasingkan diri sebagai protes melihat sikap jahiliyah masyarakat di lingkungannya. Setelah mengalami perjuangan lumayan melelahkan, penulis sampai juga ke lubang gua. Penulis harus puas dengan hanya melihat, melongok sedikit situasi di dalam gua. Karena masing masing pengunjung berusaha untuk masuk. Ketika turun, penulis menemukan seekor kambing kecil. Ajaib, kambingnya sangat jinak. Malah penulis sempat foto bareng kambing. Rombongan berangkat 5 orang, yang pulang ke hotel barengan 3 orang dan dua lainnya, masing-masing.
Dikesempatan lain, dengan rombongan berbeda penulis dengan kawan kawan berkunjung ke jamaraat. Hanya dengan berjalan kaki, lokasi jamaraat di sebelah kanan hotel Arkan Bakkah tempat kami menginap. Situasi sepi. Hanya beberapa pengunjung terlihat menikmati arsitek bangunan jamaraat. Memasuki area jamaraat, kami turun menggunakan eskalator untuk sampai ke tingkat lebih bawah.
(Bersama Timbas Tarigan, wakil walikota Binjai, di Jamaraat)
Situasi lingkungan berubah, dari modal bahasa yang dikuasai oleh salah seorang teman, kami kembali ke hotel Arkan Bakkah. Kami datang di lantai dua jamaraat dan pulang dari lantai dasar !.  Selama di Mekkah, usai pelaksanaan haji, kegiatan sholat di Mesjidil Haram, kadang shubuh sampai zhuhur. Kadang Ashar-Magrib. Kadang di dalam area Masjil Haram,  di ruangan luas yang telah disediakan hotel. Kadang di mesjid dekat terowongan di daerah mahbass jin, di luar. Sekali waktu, karena usai sholat yang keluar ratusan jemaah dan saling dahulu mendahului untuk mendapatkan bus,  penulis mencoba jalan memutar. Penulis ambil jalan memutar dari sisi kiri rumah nabi, terus kebelakangnya melalu jalan setapak sampai akhirnya tiba di stasiun bus. Walau agak jauh, tapi tidak perlu berdesak-desakan.
Menjelang dan sesudah pelaksanaan wukuf di Arafah ada juga diantara teman teman  rombongan yang melaksanakan umroh berkali-kali. Beralasan, aji mumpung. Mumpung ada kesempatan. Orangtuanya yang sudah meninggalpun mereka umrohkan. Begitulah keyakinan mereka. Penulis sendiri, kalau tidak diberi tahu ustadz Irwan Syahputra, juga mau jadi Pak Turut. Pelaksanaan wukuf di Arafah pada haji tahun 2014 itu bersamaan dengan hari Jum’at. Di Indonesia dikenal dengan haji akbar. Hal ini membuat situasi di Arafah semakin ramai, karena penduduk pribumipun ikut melaksaksanakan wukuf di Arafah. Jarang ditemukan wukuf di Arafah bersamaan dengan hari Jum’at. Jika hari hari biasa pelaksanaan wukuf, penduduk pribumi banyak berliburan ke luar negeri. Tapi tidak, jika pelaksanaan wukuf jatuh hari jum’at. Tanggal 8 Zhulhijjah pagi hari, di depan hotel kami sudah banyak orang berjalan kaki menuju arafah. Hujan sempat membasahi bumi Mekkah. Tidak lama !. Sementara rombongan kami bakda ashar bersiap siap menuju arafah.  Ini kali ke dua, penulis  ke Arafah. Sebelumnya, sekedar berziarah sesuai schedule yang telah ditetapkan dalam buku panduan. Sebagai bagian dari hak peserta ibadah haji. Disaat tengah hari, panas menyengat. Tidak sedikit para jemaah mendaki sampai ke puncak jabal rahmah. Berbagai tingkah laku manusia bisa dilihat, mulai dari berdoa menghadap tugu sampai tindakan kanibal, menulisi dinding batu di sekitar jabal. Walaupun berjarak sekitar 25 km dari Mekkah, karena kepadatan arus lalu lintas, waktu yang ditempuh jadi cukup lama. Di Padang Arafah, hanya berbalut dua helai kain ihram yang sudah dipakai sejak keberangkatan dari hotel. Setelah pelaksanaan sholat zhuhur jamak taqdim qashar dengan ashar dilanjutkan dengan khutbah arafah. Kamar mandi tempat mck yang  tersedia cukup memadai. Dua lantai. Lantai atas ruang terbuka. Dari atas dapat dilihat sejauh mata memandang, tenda melulu. Bahkan tugu jabal rahmahpun tidak kelihatan dari lokasi posisi rombongan kami berasda. Kadang terlihat ambulans dan jelas terdengar sirine ambulan, membawa jemaah bersafari wukuf. Karena dalam kegiatan satu ini, tidak boleh diwakilkan. “Tidak ada haji tanpa wukuf (di) Arafah, demikian sabda Rasulullah saw. Di tenda kami, barengan dengan wakil walikota Binjai, Timbas Tarigan,  khutbah arafah disampaikan Dr. Maratua Simanjuntak. Selesai khutbah, masing masing mencari tempat untuk berdoa. Sebagian ada juga yang bertahan di tenda. Beralaskan kertas kardus yang ada, penulis mengambil posisi tersendiri, berkhalwat. Menumpahkan segala yang mengganjal. Berharap belas kasihan Allah swt.  Isak tangis menyesali kesalahan prilaku dan banyaknya beban dosa yang dirasakan, membuat tangis dan ingus meleleh. Ya Allah........
(Di lantai atas kamar mandi, Padang Arafah)
Menjelang isya rombongan bersiap menuju muzdalifah. Mengambil batu !. Tengah malam, beratapkan langit yang cerah sejauh mata memandang manusia berihram masing masing sibuk dengan kegiatannya. Kalau di Arafah masih ada tenda, tidak untuk di Muzdalifah. Karena hanya sesaat singgah untuk mengambil batu dan bersiap siap ke mina. Langit kota Mekkah, sangat bersahabat. Mutiara-mutiara langit menghiasi pandangan. Kelap kelip, berzikir !.  Justru kesakralannya lebih terasa di sini. Paling tidak itu yang penulis rasakan. Usai sholat shubuh, rombongan kami menuju Mina. Beberapa barang tercecer, seperti rial, arloji. Satupun tidak ada yang berani membawanya. Istirahat di tenda, kegiatan dilanjutkan dengan melontar jumrah aqabah. Penulis dan rombongan kebagian lantai 3 jamaraat. Usai menjelang zhuhur mahkota di kepalapun dicukur habis. Tanggalah pakaian ihram. Dengan pelaksanaan nafar sani, hari hari selanjutnya lempar jumrah dapat dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah, menjelang zhuhur !. Berangkat dari tenda, pukul 11.00 waktu setempat, sampai di lokasi jamaraat menjelang zhuhur. Penulis bersama ustadz Irwan Syahputra dan petugas kesehatan. Kadang melapor dulu ke posko, kemudian ke jamaraat. Pelaksanaan prosesi lempar jamaarat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang afdhal. Alhamdulillah, semua terasa dimudahkanNya.  Kembali ke penginapan, Arkan Bakkah. Penulis dan beberapa teman lain membawa banyak buah dan minuman kaleng sisa dari dapur umum di Mina. Di bus, sebagian bawaan itu dibagi ke jemaah lain.
            Madinah
Di Madinah, penulis beserta rombongan kebagian hotel lapis ketiga dari pagar mesjid nabawi gate 8. Dari pintu 8 ini berjalan lurus sampai menjelang pintu 6, posisi raudhah ada di sebelah kiri. Di sebelah kanan mesjid nabawi dari gate 8 ada bangunan memanjang. Mirip sekolah. Sebelum penulis mengetahui bangunan apa gedung itu, penulis pernah ditanyai jemaah lain dari Indonesia, “Dimana museum asmaul husna....?”. Penulis menggeleng, tidak tahu. Dalam suatu kesempatan, menjelang ashar penulis berniat ke raudhah. Masuk dari babu ssalaam, antri. Dengan bahasa arab sepotong-sepotong, penulis keluar dari antrian. Ambil jalan pintas, satu lapis dari mimbar di raudhah, seorang petugas keamanan menarik lengan penulis dan menyuruh berdiri persis disisi kanan mimbar. Subhanallaah. Kesempatan tersebut tidak disia siakan. Sambil berzikir dan berdoa, penulis perhatikan persis dibelakang posisi muazzin. Jadilah ashar di sisi kanan mimbar kemudian bergeser sedikit ke kiri bahagian dari raudhah. Penulis sempatkan sholat dua rakaat persisi di depan Mihrab, gumaman rasa syukur diberi kesempatan sholat ashar dan berdoa di raudhah, membuat penulis seperti bermimpi. “Ya Allah, janganlah kehadiran hamba di sini adalah kehadiran terakhir, berilah hamba dan seluruh keluarga hamba, isteri dan anak anak hamba untuk dapat juga beribadah di taman surga ini ya Allah.......”. Area raudhah ditandai dengan karpet hijau. Membentang dari rumah Rasulullah SAW (yang kini menjadi makam beliau) hingga ke mimbar. Sekitar 26 x 15 meter. Selain area raudhah (karpet hijau), semua area sholat masjid Nabawi berkarpet merah. Jadi selama yang kita injak masih karpet merah, ya belum sampai di Raudhah. Wallahu a’lam. Menjelang keluar, di sisi kiri ada makam yang mulia Rasulullah Muhammad saw beserta sahabat-sahabat beliau, Abu Bakar Sidiq dan Umar bin Khatab. “Assalamu’alaika ya Rasulallah, Assalamu’alaika ayyuha nnabiyu warahmatullaahi wa barakaatuh......”. Keluar dari mesjid nabawi, sisi kanan ada hamam 7. Kamar mandi 7.
(Di depan salah satu mesjid Nabawi)
Melangkah terus, di sisi kiri bangunan seperti sekolah, itulah museum asmaul husna. Bangunan 2 petak yang terhubung. Satu bangunan berisi diorama perkembangan kota Madinah, diawali dengan silsilah nabi Adam as sampai pada nabi Muhammad saw. Terdapat di dalamnya market mesjid nabawi dari awal sampai seperti sekarang. Bangunan satu lagi, asmaul husna !. Nama-nama Allah dengan segala penjelasan ayat al quran pendukungnya. Ada juga komputer layar sentuh menyajikan kebesaran Allah. Tidak banyak yang tahu keberadaan gedung mirip sekolah ini.  Tidak jauh dari gate 6, terdapat beberapa bangunan sejarah antara lain mesjid Abu Bakar, Mesjid Ghamamah dan Mesjid Ali. Sayangnya ketika penulis berkunjung ke sana, mesjid dalam keadaan terkunci. Terkesan kurang perawatan !. Lebih lebih mesjid Abu Bakar yang terletak agak di pojok pasar. Ada dua versi tentang latar belakang sejarah Masjid Abu Bakar, versi pertama menyebutkan bahwa di lokasi masjid ini, Khalifah Abu Bakar Siddiq semasa hidupnya pernah menyelenggarakan sholat Hari Raya bersama Rosululah dan muslim terdahulu. Versi kedua menyebutkan bahwa dilokasi masjid ini berdiri dulunya merupakan rumah kediaman Abu Bakar Siddiq. R.A. Dibangun dengan batu basal. Bagian dalam dicat dengan wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan. Di sebelah kanan dan kiri jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang Menara adzannya berada di sudut timur laut. Bagian fondasinya memiliki area persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir dengan muqamas penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk bulan sabit.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah
.                                                                  
Masjid Ghamama berada sekitar 300 meter sebelah barat daya (sebelah timur bagian selatan) Masjid Nabawi, tak bejauhan dengan Masjid (Sahabat) Umar r.a dan Masjid (Sahabat) Ali r.a. Bangunan masjid ini dibangun untuk mengenang beberapa peristiwa penting dimasa kehidupan Rosulullah S.A.W. dan peristiwa peristiwa penting tersebut juga yang hingga kini melekat sebagai nama masjid ini.       Disebut sebagai masjid Ghamama (Ghamama = awan mendung), di lahan masjid ini berdiri merupakan tempat Rosulullah S.A.W melaksanakan Salatul Istiskah (sholat untuk meminta hujan). Segera setelah pelaksanaan sholat awan mendung pun datang dan hujan pun turun. Itu sebabnya sampai kini masjid ini disebut Masjid Ghamama.Disebut sebagai Masjid Id (Masjid hari raya) karena di lokasi tempat masjid ini berdiri merupakan tempat Nabi Muhammad S.A.W melaksanakan sholat hari raya di empat tahun terahir kehidupan Beliau. Yang ketiga mesjid Ali. Masjid ini berbentuk persegi panjang. Dari timur ke barat, panjangnya 35 meter dan lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah; timur dan barat dengan satu kamar kecil. Pengunjung cukup puas menikmati bangunan mesjid mesjid tersebut dari luar.
Jika kita keluar dari gate 1 atau 2 menyeberang jalan, melewati bawah jalan layang, di situ ada mesjid Bilal. Terletak lebih kurang 700 meter menyeberang jalan King Faisal. Mesjid ini berlantai dua, di bawahnya kios-kios tempat orang berdagang. Disalah satu ruangan kiosnya juga ada kantor pos. Sebagai seorang filatelis, penulis sempatkan membeli souvenir sheet, perangko dan amplop. Penulis sempat sholat maqrib dan isya di sini. Artinya penulis tidak terlalu fokus mengejar arba’in yang oleh sebahagian jemaah menjadi suatu kewajiban. Ketika berwudhu’ di kamar mandi, penulis menemukan seorang anak muda dari Jawa. Bertugas sebagai cleaning service. Usai sholat maqrib, imam sholat 2 rakaat, 3 kali. Penulis penasaran. Penulis beranikan untuk bertanya, ayyu sholah ya abi ??. Rasulullah sholat bakda maqrib, wahid marrah, rak’atain !!. Wa lakin, anta sholat tsalatsa marrah, rak’atain, rak’atain. Imamnya terkejut, Beliau tinggalkan penulis. Beliau ke belakang, duduk di tempat yang telah disediakan. Beberapa jemaah mengikuti beliau, duduk setengah lingkaran. Ada juga beberapa bocah belajar membaca al qur’an. Penulis nimbrung. Si imam menuangkan minuman ke beberapa gelas seperti kemasan aqua dan membaginya ke jemaah yang ada kecuali penulis. Kemudian beliau juga menawarkan kurma. Tidak kepada penulis. Akhirnya penulis ambil sendiri, minuman termasuk kurma yang ada. “Halal ya abi ??” Beliau menjawab dengan bahasa isyarat. Mempersilahkan. Ketika mengulang wudhu untuk isya, setelah berwudhu dan akan sholat sunat 2 rakaat, seseorang menghantarkan kepada penulis minuman. Rasanya berbeda. Bakda sholat isya, penulis sempatkan bertanya kepada pemuda yang bertemu di kamar mandi mesjid perihal minuman yang berbeda rasanya ketika diberi imam selesai maqrib tadi. Pemuda itu menjelaskan, kalau di Indonesia namanya jamu. Istilah di situ qahwah !!. Padahal dilihat kamus, qahwah itu kopi.  Melihat dialoq penulis dengan pemuda itu, seorang jemaah paruh baya menyalami dan bertanya ke penulis
“Aanta hajj ?”
“Na’am, ana haji minal Indonesia”.
Beliau bertasbih dan berdoa, “Subhanallah, Mabrur, Mabrur”.
“Min aina anta?”,
“Ana min Iraq, Ana ‘amil huna”.  
Demikian obrol singkat penulis dengan seorang jemaah ketika sholat maqrib dan isya di mesjid Bilal dengan seseorang yang mengaku pekerja dari Iraq.
Dikesempatan lain penulis berziarah juga ke mesjid Ijabah. Dari tanya sana sini sama pribumi yang ketemu di jalanan penulis diantar ke jalan raya yang membawa penulis  akhirnya sampai ke mesjid Ijabah. Dibandingkan masjid-masjid yang ada di Madinah, masjid ini tidak terlalu besar. Bercat paduan warna krem dan coklat tua, masjid ini dilengkapi sebuah menara tinggi menjulang. Meski letaknya di pinggir jalan raya, persisnya Jalan As-Sittin, Distrik Bani Muawiyah, masjid ini tidak terlalu mencolok karena hampir menyatu dengan toko-toko yang ada di sekitarnya.Di sisinya ada rumah sakit. Penulis sempat sholat Ashar di sini. Tersedia juga aqua galon yang siap diminum. Saat penulis di sini, sedang ada tausiyah dari kelompok jemaah negara lain.  Penulis juga sempat bertemu dengan warga negara Indonesia yang bekerja di Madinah dan harus rela mengeluarkan uang jutaan untuk mendapatkan haji akbar. Dengan berbagai cara dia tinggalkan pekerjaannya, naik bus ke Mekkah dan tidur seadanya di Arafah saat wukuf dan aktifitas lain dalam rangka pelaksanaan ibadah haji. Ketika kembali ke pemodokan, beberapa hotel sudah dikosongkan bahkan diantaranya ada yang sudah dibongkar dalam rangka perluasan area mesjid Nabawi. Tidak sengaja penulis melihat satu bangunan mesjid disela-sela toko. Di dinding sebelah kiri mau masuk tertera jelas tulisan mesjid al Bukhari. Pintu tidak terkunci, di dalamnya bersih. Apakah digunakan atau tidak wallahu a’lam. Melihat kondisi mesjid yang bersih dan terawat, penulis berkeyakinan mesjid itu digunakan walaupun posisinya sangat dekat dengan mesjid nabawi khususnya gate 12.  
10 hari di Madinah, penulis maksimalkan mengamalkan hadits Rasulullah berikut
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَبْرَدِ مَوْلَى بَنِي خَطْمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
 صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Abdul Hamid bin Ja'far] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abul Abrad] mantan budak bani Khathmah, ia mendengar [Usaid bin Zhuhair Al Anshari] -ia termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam- ia menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Shalat di masjid Quba seperti melakukan Umrah.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْكَرْمَانِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ يَقُولَ قَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Ammar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hatim bin Isma'il] dan [Isa bin Yunus] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sulaiman Al Karmani] berkata; aku mendengar [Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif] berkata; [Sahl bin Hunaif] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala umrah. [HR. ibnumajah No.1402]                                                                                                        
Selesai sarapan penulis berjalan kaki dari hotel masuk gate/hammam 8, terus sampai ke gate 6. Di jalan raya, banyak angkot menawarkan jasa angkutan. “quba......quba” kata supir.
“Kam riyal ?”
“Isna riyal” jarinya mengisyaratkan angka 2.
Jadilah penulis barengan dengan jemaah haji negara lain ke mesjid quba.
(Prasasti di sisi kiri Mesjid Quba)
Ada 4-5 kali atau 4-5 hari hal demikian penulis lakoni. Kadang belum jauh masuk area mesjid ada odong-odong. Kenderaan roda empat yang bersambung-sambung seperti kereta api.  Penulis stop. “Ila aina ???” tanya supir. “Baabun sittah ?” “Tafadhal” ujarnya. Lumayanlah, tidak terlalu melelahkan di banding berjalan kaki. Kadang terjadi dialog singkat.
“A anta, zahabta ila Indonesia ?” Tanya penulis pakai bahasa yang penulis maksud, “Engkau, Pernahkan engkau ke Indonesia ?”
“Na’am. “Ila aina lau anta tazhaabu ila Indonesia ?”
“Puncak, Bogor !” Jawabnya. 
Di mesjid quba, penulis juga bertemu petugas cleaning servicenya dari Jawa. Orangnya masih muda. Dia banyak bercerita, termasuk tentang bangunan di sisi kiri Mesjid Quba yang ada kran air, tapi airnya tidak keluar. Menurutnya itu bekas sumur, di mana di sumur itu cincin Aisyah (isteri Nabi) jatuh dan tidak ditemukan. Beliau juga anjurkan penulis, begitu keluar dari mesjid Quba di sisi kiri searah qiblat mesjid ada bangunan. Ternyata bangunan itu semacam museum. Di dalamnya ada diorama tentang sejarah mesjid Quba. Layar layar lebar memvisualisasikan segala sesuatu tentang mesjid quba. Begitu keluar, sama dengan pintu masuk penulis ditawarkan cd. Harganya 5 riyal. Penulis sempat foto bareng, salah satu penjaganya bernama Salman, masih kuliah di Universitas Islam Madinah. 
Penulis jadi ingat ketika ustadz Irwan Syahputra mengajak penulis ikut jalan-jalan membelah malam kota Madinah bersama bekas mahasiswanya, Salman dengan mobil. Salman dan isterinya stand by di basecamp. Dari hamaam 8, kami turun ke bawah. Mobil jenis sedan itu, stirnya sebelah kiri. Bareng istrinya, kami diajak makan malam di suatu resto. Redup dan dingin karena pengaruh ac sampai ketulang. Pengunjung lain, seperti tidak ada. Privacy sekali. Makanan yang dicicipi rasanya tidak sesuai dengan lidah Sumatera. Memasuki area Universitas Islam Madinah, tidak bisa masuk terlalu jauh, karena forbidden.
Sekali waktu,  penulis nekat pulang jalan kaki. Di tengah jalan ketemu jemaah dari Sunda. Jadilah kami berbarengan. Lebih banyak yang dilihat. Diantaranya mesjid al Jum’ah. Sayang pintunya terkunci. Sejarahnya Ketika Rasulullah berhijrah, beliau masuk di perbatasan Madinah pada hari Senin, Rabiul Awwal 1 H. Saat itu beliau singgah di Quba selama empat hari hingga Jumat pagi, bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Awwal pada tahun yang sama. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Tidak jauh dari Quba, waktu shalat Jumat telah masuk. Beliau pun shalat di Wadi Ranuna. Di tempat shalat Jumat Rasulullah itu kemudian dibangun Masjid Al-Jum’ah (Jumat). Masjid tersebut dibangun dari pecahan bebatuan. Masjid ini memiliki menara tinggi yang sangat indah dan kubah utama tepat di atas area shalat bagian tengah, ditambah dengan empat kubah kecil.Ada pula mesjid dengan bangunan warna merah mencolok. Menurut jawaban warga yang ditanya, mereka menjawab, mesjid bin Laden.
Di sebelah Babussalaam, persis di seberang hamaam 3 ada pintu masuk ke dalam mesjid nabawi. Penulis masuk. Naik tangga di sisi kanan. Ketemu kantor/perpustakaan. Penulis sempat berdialog dengan petugasnya.                                                                                  
“Hal ‘indakum kutubu llughatul Indonesia, mitsal fiqhus sunnah ?”.                                   
“Anta mu’allim ?”                                                                                                                   “Na’am”                                                                                                                                    
”Min Indonesia ?”                                                                                                                        “Na’am” Saya mengangguk.                                                                                         
“Indonesia Jamil, Indonesia hebat” katanya. Saya Cuma tersenyum. “Uktub ismuka huna”, katanya sambil menyodorkan daftar isian nama pengunjung. Kemudian dia masuk dan keluar dengan membawa 1 tas buku buku tafsir, hadits dan buku lain termasuk beberapa cd diantaranya ada cd maktabah syamiilah. Penulis terus naik ke atas. Sampai lantai paling atas, penulis perhatikan puncak bangunan gedung hotel yang kelihatan. Ternyata jalan kembali ke hotel jadi lebih singkat. Penulis turun di pintu terdekat gate 8 di mana posisi hotel penulis berada.
(Puncak mesjid Nabawi menjelang terbit matahari)
Khotimah
Siapapun PASTI berkeinginan beribadahah ke haromain. Apakah itu haji atau umroh. Insya Allah, dengan kesungguhan, bi iznillaah bisa terealisasi. Dari pengalaman yang penulis alami, paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi mereka yang hendak berangkat. Antara lain :
          Walaupun uang saku sudah disediakan untuk kebutuhan selama di haromain (khusus yang berangkat haji), tidak salah kalau membawa bekal makanan semaksimal mungkin. Karena kopor yang dibawa berangkat tidak begitu banyak, cukupkan saja dengan makanan semisal mie istant dan makanan favorit lainnya. Di hotel sebahagian ada menyediakan aqua galon yang dengan ini kita bisa menikmati bekal tadi. Tidak usah pelit. Berbagi saja dengan rombongan kita.
          Ketika hendak tawaf, bawa fuluus secukupnya saja. Karena niat kita memang untuk ber ibadah. Hindarilah bersikut-sikut dengan jemaah lain, apapun alasannya. Kalau kenyataannya jarak pemondokan cukup jauh dari masjidil haram, jangan dipaksakan sholat  harus ke masjidil haram. Karena banyak riwayat, selama di tanah haram, di manapun kita sholat nilainya sama dengan sholat di masjidil haram. Paling tidak itulah petuah ustadz yang penulis dengar ketika berceremah di mesjid sisi kiri terowongan mahbas jinn.
         Jika memungkinkan, jadilah jemaah mandiri dalam arti kata tidak bergantung kepada orang lain. Jika memang dimintai tolong untuk ditemani ya, tafadhol.                       
Penulis beberapa kali dimintai tolong ibu-ibu untuk menemani mereka thawaf. Penulis iyakan, tapi tidak di lantai satu !. Dengan membawa ibu-ibu yang meminta tolong, tawaf di lantai dua cukup menggembirakan. Tidak terlalu berdesak-desakan. Sepanasnya terik matahari, lantai yang dipijak masih tetap adem. Masih bisa dilalui.
          Modal mengetahui dan memahami bahasa Arab, sangat sangat penting. Sepotong dua potong kata ucapan sehari hari sangat membantu. Gunakan waktu semaksimal mungkin, lebih-lebih gelombang ke dua untuk menziarahi daerah daerah seputar Mesjid Nabawi. Apalagi yang tidak fokus pada arba’in. Banyak berjalan, banyak di lihat dan tentu saja banyak pengalaman.Dan jangan lupakan pula merasakan sensasi bersantap makanan cemilan kentucky fried chicken ala Madinah yang terletak di pojok kiri gate 1 mesjid Nabawi. Al Baik. Kentucy fried chickennya negeri Arab. Buka mulai sore. Penulis siang ke sana masih tutup. Penasaran dengan cita rasanya, kali kedua penulis dating sore. Antri. Karena keterbatasan fulus, yang penting cicipi. 


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops