Lencana Facebook

Selasa, 04 Januari 2011

Oedin dan Muhammadiyah














ketr. Gambar: Buya menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Jakarta. Sumber foto Majalah Suara Muhammadiyah no. 22 tahun 2011.
Tidak ada seorangpun diantara keluarga yang mempunyai firasat bahwa kelak Buya Udin yang lahir dibulan Agustus 1907 kelak menjadi salah seorang perintis dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sesuai surat keputusan yang ditantangani oleh Menteri Sosial melalui surat No. Pol. 003/07.P.K.Djakarta 15 Agustus 1967 ditetapkan sebagai Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan yang dapat disebut sejajar dengan HR Rasuna Said, Chatib Suleiman, HAMKA dan pejuang lainnya dari daerah Minangkabau. Ibunya Raalin hanya pengurus Aisyiyah. Demikian juga mertua perempuannya Ramalat, juga hanya pengurus Aisyiyah. Bahkan Ramalat pernah sampai ke Aceh Utara berkeliling dalam rangka menghimpun dana pembangunan gedung sekolah “Meisyes Volkschool Aisyiyah (Sekolah rakyat untuk gadis-gadis”. Bahkan buya HAMKA sendiri mengakui secara jantan bahwa dibanding Beliau, Buya Oedin lebih unggul. Pernyataan jujur ini beliau kemukakan dalam sepucuk surat Beliau kepada Asdie Oedin, putra ke lima buya Udin yang pernah menjadi orang nomor dua di UPPINDO (Usaha Pembiayaan Pembangunan Indonesia) atau IDFC yang belakangan menjadi Bank UPPINDO. Berikut adalah surat lengkap buya HAMKA yang ditujukan kepada putra ke lima buya Udin, Asdie Oedin.
Buya HAMKA Kebayoran Baru, 8 Shafar 1382 H/11 Juli 1962
Ananda sayang Asdi Udin
SMA Negeri Pariaman,
Sudah agak lama surat ananda Buya terima, baru sekarang dapat membalasnya. Ingin segera Buya membalas, tetapi maafkanlah Buya, Buya sibuk benar, mana mengarang, mana membaca, mentelaah, manapula mengaji dan mengaji. Besar hati Buya mendengar kemajuan anada dalam belajar agar nasib kalian anak-anak kami jauh lebih baik dari pada kami,Buya-Buya kalian.
Buyamu itu, Angku Udin menurut istilah orang Pariaman ialah “Sikanduang Buya”, sesakit sesenang, sehina semalu, seperasaan sepemandangan, satu pandangan hidup (way of life). Meskipun hubungan surat menyurat diantara kami amat jarang, namun hubungan bathin tidak pernah putus. Belum lahir kalian ke dunia kami sudah berdunsanak dengan dia ialah tahun 1929. Ketika Buya datang melantik Muhammadiyah Kuraitaji bertempat di pasar Pariaman. Modal kamipun sama yaitu :
“Tarahok tali alang-alang/Cabiak karate tantang bingkai/Hiduik nan jangan mangapalng/Tak kayo barani pakai…………
Khabaraja konon sakatik. Buya si Adie itu masuk hutan, kalau dia bacakap,mahota dengan kawan-kawan yang lain, seumpama dengan sdr. Syarif Usman, selalu Buya ini menjadi buah mulut mereka. Kami kalau sudah duduk bertiga tiga, yaitu Buya Udin, Buya ZAS, Buya HAMKA, kami selalu bernyanyi, berlagu Pariaman, berlagu baruh (Serantih), dan pernah kami menangis tersedu-sedu di pengaruhi keindahan alam di Padang Panjang, karena kami melihat panas pagi pukul 09 dari halaman sekolah Muhammadiyah Guguk Malintang, menengadah ke arah Bukit Tui.
Buyamu itu dahulu agak pereman, Buya ZAS tidak manantu pelajarannya di Thawalib, dan Buya Hamka sendiripun sekolah tidak tammat. Tetapi kami mendapat didikan dari guru kami, Buya AR St, Mansur. Beliaulah yang menimbulkan dan membuntangkan naik kepribadian kami, sehingga kami layak menjadi pemimpin kemajuan ummat di Minang dengn perantaraan Muhammadiyah. Niscaya kalian sekarang mendapati hal yang lebih baik dari pada kami. Sebab kalian sudah sekolah, sekolahmu sendiri di SMA kalau di zaman dahulu sama dengan HBS atau AMS. Maka hendaklah kalian lebih berbahagia dari kami dan lebih maju dari kami. Sedangkan kami yang hanya dengan modal keberanian lagi sanggup, apatah lagi kalian dengan modal ilmu pengetahuan yang cukup.
Dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko, tetapi penilaian secara jujur, Sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak Dr dan ipar konsul (AR St. Mansur), jadi masih ada dasar, padahal Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang bicaranya,diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres.
Di tahun 1957 (sebelum bergolak) beliau ada datang ke Jakarta, berbuka puasa di rumah Buya di Kebayoran, ketika itu rambutnya sudah banyak yang putih. Bagaimana sekarang, Buya belum tahu. Tetapi sudah terang sebagai buya HAMKA juga, sudah sama-sama mulai patut disebut tua, walaupun kami belum mau menyerah.
Bagaimana ummi kalian, bagaimana adik adik asdi, bagamana keadaan kampong. Berilah Buya khabar. Sudah bolehlah pemuda-pemuda aktif bergerak seumpama dalam PII atau Pemuda Muhammadiyah ?.
Pertanyaan yang ananda kemukakan untuk Gema Islam, ada diperlihatkan kepada Redaksi kepada Buya, ah, terlalu tinggi, mengenai jiwa ke jiwa saja. Payah orang menjawabnya barangkali.
Salam Buya buat Buya Udin itu. Tentu beliau tetap di Kuraitaj, di kampung. Barangkali Asdi pulang sekolah, terus kembali ke Kuraitaji, bukan ?
Salam Buya ;
HAMKA
Dalam buku Muhammadiyah di di Minangkabau tulisan buya HAMKA, beliau menulis antara lain “……………Udin salah seorang anak Kuraitaji yang tidak pernah mengecap bangku pendidikan akhirnya dapat menjadi Bupati……”. Kenapa buya Udin diunggulkan oleh buya HAMKA, hal ini dapat disimpulkan dari surat buya HAMKA keputra kelima buya Udin seperti “……………..dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko, tetapi penilaian secara jujur, Sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak Dr dan ipar konsul (AR St. Mansur), jadi masih ada dasar, padahal Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang bicaranya,diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres”.
Masa remaja buya Udin dihabiskan di Kuraitaji, suatu daerah di sebelah Selatan kota administrative Pariaman. Sebagaimana remaja-remaja umunya, Buya Udin termasuk remaja yang bagak dan agak nakal. Kenakalan beliau, seperti sering mengadu ayam dan tertawa puas setelah melihat ayam yang diadu kelelahan dan ngos-ngosan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, berkat didikan dan arahan orang-orang tua termasuk didikan buya AR S. Mansur, kebiasaan buruk itu dapat beliau tinggalkan sama sekali. Dalam didikan buya AR S. Mansur, kepribadian buya Udin terasah dan terarah. Bakat kepemimpinan beliau semakin nyata karena kakek buya Udin sendiri bekas seorang Upalo Uban, setingkat kepala kampung sekarang.
Dalam hal ini buya Udin mengatakan “………..baik rasanya saya terangkan, bahwa saya tidak seorang ulama, saya hanya anak pimpinan dari orangtua saya AR S. Mansur selama 9 tahun di P. Panjang”’. Jelas bahwa melalui didikan dan arahan buya AR. S. Mansur, buya Udin mampu menjadi orang yang kalau ngomong, omongannya senantiasa diperhatikan. Bagi beliau, tidak ada kusut yang tidak bisa diperbaiki, artinya semua masalah dapat diselesaikan secara baik dan dengan berharap Redha-Nya, insya allah, semua akan berjalan baik dan benar.
Dari uraian di atas, tak pelak bahwa buya Udin memang telah ditaqdirkan buat berpijak dan berjuang dibawah panji Muhammadiyah. Karena beliau menyadari sekali bahwa peranan Muhammadiyah sangat besar dalam hidup beliau. Muhammadiyahlah yang mengarahkan Beliau ke jalan yang baik, mengarahkan dan mengajarkan kepada Beliau bahwa perbuatan mengadu ayam dan lain sebagainya adalah perbuatan buruk, perbuatan sia-sia dan melahirkan dosa, dibenci Allah swt. Beliau menyadari betul hal tersebut, sampai-sampai Beliau sendiri memintakan kepada isterinya, One Rafiah Jaafar untuk senantiasa turut mendoakan kesalahan dan kealpaan Beliau semasa muda yang bagak dan tidak bakatantuan.
Buya Udin yang menikah untuk pertama kalinya dengan Mayang Sani, dikaruniai seorang puteri bernama Nur’ani. Perkawinan ini tidak berumur panjang dan keduanya berpisah secara baik-baik. Buya Udin yang mengenyam bangku pendidilan cuma sampai SR kelas 2 disebabkan kesulitan perekonomian turun tangan membantu orangtuanya berjualan nasi di Jambi. Tidak itu, Beliaupun pernah bekerja pada orang menggali atau India dalam kapal dagang antar pulau. Dengan kapal itu pula, Beliau pernah menjejakan kakinya di Singapura.
Sewaktu berada di Jambi, Persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau melamar ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogya, agar kongres Muhammadiyah XIX tahun 1930 diadakan di Minangkabau. Lamaran Persatuan Daerah Minangkabau dapat sambutan hangat dari Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogya. Karena Minangkabau akan mengadakan perhelatan besar dengan ditunjuknya jadi tuan rumah Kongres atau setingkat Muktamar sekarang, maka buya Udin yang sudah kental kemuhammadiyahannya, dihimbau pulang oleh buya Engku Haroun L Maaniy. Buya Udin yang saat itu sudah duda, berperan aktif dalam kongres ke-19 Muhammadiyah di Bukittinggi. Hal ini terbukti dari realisasi dari hasil kongres tersebut, diadakannya konprensi Muhammadiyah ke-5 di Payakumbuh, pada tanggal 13-16 juni 1930. Hasil dari konprensi Muhammadiyah ke-5 tersebut adalah dibubarkannya persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau dan menetapkan pengurus baru Muhammadiyah Sumatera Tengah dengan struktur kepemimpinan sebagai berikut : Konsul : Buya AR ST Mansur. Sekretaris Abdullah Kamil, wakil sekertaris merangkap Bendahara adalah RT Dt.Sinaro panjang dengan anggota SY Sutan Mangkuto, Oedin, Ya’coeb Rasyid dan Marzuki Yatim. Setahun sebelum itu, Oedin bersama-sama dengan H. Sd. M.Ilyas, HM.Noer, H.Haroun L Ma’any, M.Luthan dan lain-lain, mempelopori berdirinya Muhammadiyah di kurai taji yang resmi berdiri pada 25-10-1929. Muhammadiyah Kuraitaji adalah Muhammadiyah ke tiga setelah Bukittinngi dan Padangpanjang. Masuknya Muhammadiyah ke Kuraitaji dibawa langsung oleh putera daerah Kuraitaji sendiri yang sebelumnya sengaja pergi ke Yogyakarta untuk mempelajari Muhammadiyah itu. Beliau adalah H. Sd. M. Ilyas adik ipar Buya Udin. H. Sd. M. Ilyas sendiri adalah bapak mertua Dr. H. Tarmizi Taher yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama. Setelah konprensi Muhammadiyah, kesibukan Buya Oedin bertambah-tambah, yaitu dengan ‘turbanya’ beliau ke daerah-daerah yang akan mendirikan Muhammadiyah. Antara lain bersama dengan M.Luth Hasan beliau memberikan petunjuk kepada Syarah Jamil dkk, untuk mendirikan Muhammadiyah sampai diresmikannya, yaitu di Koto tinggi daerah Pakandangan.
Di daerah Sei. Sarik Malay berdirinya Muhammadiyah agak unik. Beginilah ceritanya. Pada suatu hari dalam tahun 1935 telah ada kata sepakat antara para anggota Muhammadiyah yang berasal dari negeri Sei. Sarik Malai untuk mendirikan ranting Muhammadiyah di situ, maka diambil kata persetujuan, bahwa dari pimpinan cabang Muhammadiyah Kuraitaji yang akan datang ke situ ialah Engku Oedin dan Muhammad Luth Hasan. Demikianlah, pada hari yang ditentukan diberangkatkan dari Kuraitaji dengan naik kuda bendi kepunyaan almarhum Ajo Kundang. Menjelang waktu maqrib, mereka sampai di Sei.Sarik Malai dan kuda diberhentikan dimuka rumah alm. Bang Bisu, salah seorang propaganda/sponsor di situ.
Rupanya kedatangan bendi yang membawa Engku Oedin dan temannya Luth Hasan ini sudah dinanti-nanti oleh beberapa orang ninik mamak negari Malai V Suku di Sei. Sarik Malai itu. Tak lama setelah kuda dibuka dari pasangannya, terjadilah dialoq antara ninik mamak itu dengan engku Oedin, sekitar kedatangan Beliau kesitu untuk sengaja mendirikan Muhammadiyah atas permintaan kawan-kawan yang sudah menjadi anggota di situ. Secara tegas dari pihak ninik mamak dijelaskan kepada Engku Oedin bahwa Muhammadiyah tidak boleh didirikan di negari Sei. Sarik Malai itu. Terhadap pendirian ini, mula-mula engku Oedin menerimanya secara tenang saja, dengan ucapannya :”Kalaulah engku ninik mamak di sini yang telah menentukan bahwa Muhammadiyah tak boleh didirikan di sini, ya apa boleh buat”. “Kami tentunya menghargai pendirian ninik mamak itu”.Kata Engku Oedin.
Tapi, rupanya ninik mamak itu meningkatkan pembicaraan kepada masalah bermalam di rumah bang Bisu, yang juga dilarang oleh ninik mamak itu. Mendengar larangan itu dan ditambah lagi dengan katanya kuda bendi harus dipasang kembali dan rombongan harus kembali sekarang juga, maka engku Oedin menyambut sikap ninik mamak itu dengan berkata : “Kalau itu yang engku-engku ninik mamak perintahkan kepada kami, iya mungkin tidak dapat kami penuhi, cobalah pikirkan, baru sebentar ini kami sampai di sini dalam perjalanan yang tidak kurang 30 km jaraknya, baru saja kuda kami dibuka dari pasangan bendi, belum ini kering keringatnya yang tadi, sekarang akan harus kami pasang kembali, iko rasonyo barek bagi kami”. “Adapun kalau kami tidak dibenarkan menumpang semalam di rumah engku abang Bisu ini, bawalah kami oleh ninik mamak kemana saja yang disenangi untuk tempat tidur semalam ini. Turut bermalam di rumah engku ninik mamakpun kami setuju asal kami tidak disuruh kembali sekarang juga ke kurai taji”. Dengan perkataan engku Oedin itu, menurunlah ketegangan ninik mamak kemudian keluarlah keputusan dari beliau-beliau itu dengan katanya, “Nah, kalau begitu baiklah, engku engku yang datang dari kurai taji ini kami benarkan juga bermalam di sini, di rumah bang Bisu ini, namun untuk mengadakan acara mendirikan Muhammadiyah dalam pertemuan orang ramai tidak dapat kami benarkan. Nanti malam setelah selesai makan minum dan sholat isya semua harus tidur dan lampu dipadamkan.
Setelah berakhir pembicaraaan itu maka ninik mamak itu sama duduk di serambi muka dan kawan kawan dari Muhammadiyah bersama engku Oedin dan M. Luth Hasan masuk ke rumah untuk beristirahat. Selanjutnya setelah selesai minum makan dan sholat Isya, sesuai dengan pembicaraan sore tadi Oedin memerlukan menemui ninik mamak itu yang masih menanti di ruang muka. Engku Oedin memulai pembicaraan, “Angku angku ninik mamak kami sesuai pembicaraan tadi sore, kami telah selesai sholat isya, minum dan makan. Kini kami akan tidur dan mematikan lampu, tapi kami lihat ninik mamak kami masih duduk dimuka, tentu tidak berani kami mematikan lampu”, Mendengar sindiran halus itu, spomtan beliau beliau itu menjawab “Yo, baiklah matikan lampu dan kami segera berangkat”. Setelah beliau beliau itu berangkart dan semua kawan kawan di dalam rumah mengambil posisi masing masing untuk tidur maka lampupun dimatikan. Namun apa yang terjadi setelah lampu dimatikan. Dengan suara agak berbisik engu Oedin menyampaikan kepada semua yang hadir yang jumlahnya sekitar 18 orang. “Nah saudarara saudarakan sudah sama mendengarkan pembicaraan dengan ninik mamak tadi bahwa Muhammadiyah tidak boleh didirikan di negari kito, Sei. Sarik Malai ini, kan ?” Salanjuiknya, baa jo kita ?, Iyo indak akan jadi mandirikan Muhamadiyah di negari kito ko ?. Spontan kawan-kawan yang hadir dalam tidur itu menyatakan : “Oooooo indak engku Oedin !, nan Muhammadiyah di negari kito ko, kito dirikan juo”. Kudian diituang parakaro !”. Engku Oedin menyahuti : “Iyo, kini bulek kato kito tu ?” Kok kabukik samo mandaki, kok ka lurah sama manuruni ?”. “Iyo….!, Jawab mereka serentak.
Engku Oedin mengetuk lantai rumah yang terbuat dari papan itu sampai tiga kali, persis dalam rapat resmi Muhammadiyah, menetapkan satu keputusan. Kemudian beliau menyambung, “esok pagi, kami akan kembali ke kuraitaji, sepeninggal kami naikkan plank merk Muhammadiyah Sei. Sarik Malai di muka rumah ini.”Siapa nanti yang menurunkan, itulah lawan kita. Bagaimana perkara selanjutnya, akan kita urus……..”. Demikianlah, kembali dari Sei. Sarik Malai di pagi itu bendi dikelokkan ke pekarangan rumah tuan kontler di Pariaman yang saat itu tuan kontlernya tuan Kator, seorang pejabat pemerintah Belanda yang cukup ramah dan kenal baik dengan Engku Oedin.
Melihat ada bendi di pagi itu masuk ke pekarangan rumahnya, tuan Kator sengaja keluar untuk memperhatikan siapa tamu yang datang, setelah tampak olehnya di atas bendi itu Engku Oedin dan M Luth Hasan dari pimpinan cabang Muhammadiyah Kurai taji yang telah beliau kenal. Beliau duluan menegur : “Hai, Engku Oedin !, kok masih pagi, sudah datang ke mari, ada apa gerangan ?”. Engku Oedin menjawab, ;”Iyo tuan, iko kabar baik saja, ada satu peristiwa tadi malam di sei. Sarik malai-wilayah asisten demang Sei. Limau yang perlu segera saya sampaikan kepada tuan”.”Baiklah” kata beliau, “mari kita duduk di serambi rumah, hari masih pagi, tak usah di kantor”.

Setelah mereka sama duduk di serambi rumah tuan kontler itu, maka engku Oedin menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi kemaren itu dan akhirnya juga menceritakan bahwa Muhammadiyah sei. Sarik Malai sudah berdiri, tadi malam juga dalam kami tertidur tanpa cahaya lampu, sudah ditokokan palu tanda sahnya keputusan berdirinya Muhammadiyah itu sepeninggal saya. Sekarang terserah tuan. Mendengar cerita engku Oedin itu, tuan kontler berkata, “Ninik mamak Sei. Sarik Malai melarang berdirinya Muhammadiyah ?”, “Sedangkan untuk Muhammadiyah itu bagi wilayah Hindia seluruhnya telah diberi izin oleh Gubernur Jenderal, Wakil Kerajaan Belanda di sini”. “Tapi, biarlah engku Oedin, saya akan menyelesaikan masalah ini dengan beliau ninik mamak Sei.Sarik Malai itu, engku Oedin terima selasainya”.”Dalam mnggu ini juga, akan saya panggil semua ninik mamak Sei. Sarik Malai itu menghadap saya”
Keesokan harinya, tuan kontler Kator itu menelepon ke kantor Asisten Demang di Sei. Limau dan memerintahkan agar Asisten demang memanggil semua ninik mamak Sei. Sarik Malai agar hadir di kantor asisten Demang Sei. Limau pada hari Minggu di pekan itu juga, (dijelaskan, dalam masa pemerintahan Belanda untuk wilayah ke-Asistenan Demang Sei. Limau (asisten distrik) kantor keresidenan itu tetap dibuka di hari Minggu, ialah untuk memudahkan pegawai-pegawai negeri dari negari-negari yang berada di I sekitarnya berurusan ke kantor demang, sebab hari minggu itu adalah hari pekan pasar Sei. Limau dan ada kenderaan bendi yang dapat ditumpangi untuk hari itu.
Pada hari Minggu yang ditentukan, pagi hari Ninik mamak sei, sarik malai sudah hadir di kantor asisten demang Sei. Limau untuk menanti kedatangan kontler dari Pariaman. Kira kira sekitar jam 09.00 pagi, tuan kontler datang dan langsung masuk ke serambi muka kantor asisten demang dan melihat ada ninik mamak sei.sarik malai telah siap menanti di serambi muka kantor itu. Sambil berjalan naik dan masuk ke kantor di mana asisten demang menantinya, tuan kontler itu berucap sambil menoleh kepada ninik mamak yang sedang duduk :”He, ninik mamak Sei. Sarik Malai yang Melarang berdirinya Muhamadiyah itu sudah datang semua ya ?”. Beliau terus masuk ke dalam kantor Asisten Demang. Kira-kira 15 menit kemudian keluar dan duduk menghadap ninik mamak sei. Sarik Malai yang sudah gelisah. Setelah beliau duduk maka menunjuklah Kepala negari Sei. Sarik Malai yang sekaligus sebagai pimpinan rombongan, sebagai isyarat minta izin untuk berbicara. Melihat itu, tuan kontler mengangguk mempersilahkan kepala negari untuk berbicara. “Tuan, saya minta bicara lebih dulu kepada tuan dan saya mohon maaf jika bicara saya ini salah. Tuan tadi sambil naik dan masuk ke kantor ini mengatakan, Kami ninik mamak sei. Sarik malai melarang berdirinya Muhammadiyah” Itu salah tuan. Muhammadiyah telah berdiri di sei. Sarik malai. Lihatlsah oleh tuan ke situ, plank merknya telah pula di naikkan”. “jadi kemungkinan orang beri laporan salah pada tuan”. “Heh, benarkah begitu ?” Tuan Kontler, bertanya pura-pura terkejut. “Kalau begitu benarlah salah laporan yang saya terima. Dan inilah, kedatangan saya hari ini untuk memberi tahu ninik mamak sei.sarik malai bahwa di mana-mana Muhammadiyah diberi izin oleh Gubernur Jenderal, wakil kerajaan Belanda untuk Hindia Belanda ini. Kok ninik mamak sei sarik malai sampai berani melarangnya. Kalau benar sudah berdiri, tentu artinya sudah tidak ada masalah dengan ninik mamak lagi, dan sekarang pertemuan ini saya tutup dan ninik mamak boleh bubar dan pulang kembali”.
Pada tahun itu pulalah, Buya Oedin yang saat itu memimpin panti asuhan Muhammadiyah Kuraitaji diselidiki Ramalat, ibu dari One Rafiah Jaafar yang menjadi anggota ‘Aisyiyah bersama dengan orangtua Buya, Raalin. Dari hasil rembuk kedua belah pihak, Buya Oedin yang memang sudah kecantol kian dengan One Rafiah Jaafar sering menggoda ibu One dengan mengatakan kenapa menantu andeh tidak dibawa serta. Akhirnya, resmilah duda Udin dengan janda Rafiah Jaafar menjadi pasutri. Dari pernikahan mereka. lahirlah putri dan putra Beliau yakni Saadah Oedin, Safinah Oedin. Fakhrudin Oedin, Asdie Oedin, Hizbullah Oedin, Hasnah Oedin dan Sumarman Oedin. Awal kehidupan yang sulit dilalui dengan ketegaran dan kekuatan iman berhasil dilalui. Pagi makan pisang bakar dan air putih yang kadang tidak dimasak. Setahun lebih uasana prihatin dilalui karena saat itu Buya memang tidak bekerja. Maklum sekolah cuma sampai kelas 2 SR. Tahun berikutnya, mengerjakan sawah anggota Muhammadiyah dengan beberapa rekan lainnya. Dari hasil menerima upah inilah kehidupan agak lumayan. One sendiri turun tangan meringankan beban suami tercinta dengan ikut membantu dengan turun ke sawah. Pelajaran turun ke sawah inipun tidak lama, setelah kepergian putra pertama Beliau, Mansoerdin yang berumur tak sampai 24 jam plus kehilangan tajak, sebagai tulang punggung yang sangat bermanfaat ketika itu. Kehidupan selanjutnya adalah hasil ringan tangan pimpinan-pimpinan Muhammadiyah. Buya fokus hanya mengurus Muhammadiyah sementara putra-putri kehidupan terus hadir. Kehidupan yang sulit, tidak menghalangi Buya untuk mengikuti kebiasaan orang Piaman, kawin batambuah. Dua orang isteri setelah One, berakhir dengan perceraian secara baik-baik dan mengembalikan Buya kedalam pelukan One. Kehidupan pahit tapi ditopang rasa percaya dan keyakinan bahwa Allah swt yang Maha Pengasih, Maha Penyayang akan membantu hambaNya yang menolong agamaNya telah mendarah daging di hati Buya. Disamping kegiatan Beliau tersebut, yang di Muhammadiyahpun keaktifan beliau tetap. Dengan surat No.18/m-37 Cabang Muhammadiyah Padang Panjang, Daerah Minangkabau, tertanggal 12 Zulkaedah 1356H bertepatan dengan 26 Januari 1937, hasil keputusan konsprensi wilayah ke-4 di Solok, Oedin ditunjuk sebagai ketua dua. Lengkapnya surat tersebut :
Tjabang Moehammadijah Padang Pandjang, 12 Zulkaedah 1356 26 Januari 1937
Padang Panjang
Daerah Minangkabau
No ; 18/m-7
Lampiran Dari hal keanggotaan menjadi Anggota pengoeroes Moehammadijah tjabang P. Pandjang
Assalamu’ alaikum wr wb
Moedah2anlah kiranya Toehan swt akan tetap memberikan rahmanijat dan rahimiyatnya kepada engkoe sampai pada hari pembalasan nanti
Dengan segala hormat,
Mendjoenjoeng tinggi janji boenji kepoetoesan Algemenever Gadering Persjerikatan Moehammadijah dalam wilajah Padang Panjang pada Conferentie wilayahnya ke 4 di Solok pada 31 Dec. 36 djalan 1 Djanwari 37, vergadering mana telah mengambil kepoetorsan menetapkan (……………………….) diri mendjadi anggota pengoeroes tjabang Moehammadijah Padangpandjang boeat tahoen 1937 sampai tahoen 1939 dengan 232 suara.
Dan menoeroet poetoesan tjabang vergedering pada petang Ahad malam senen/isnen ddo 24 djalan 25 djanwari 1937, kami telah tetapkan djabatan engkoe dalam badan pengoeroes tjabang, ialah menjadi :
Ketoea Doea
Maka kami selakoe pengoeroes tjabang Moehammadijah Padangpandjang mentanfidhkan kepoetoesan ini kapada engkoe, tidak lain hanyalah mengharap dengan sepenoehnya, moedah2an djabatan dan keanggotaan ini dapat engkoe terima dengan amat baek sekali dan engkoe dapat memegang djabatan terseboet dengan mengingat boenji Statuten dan Reglement kita ( Moehammadijah )
Kemoedian kami atoerkan selamat bekerja dan selamatlah kita serta kaoem moeslimin sekalian adanya. Salam dan hormat pengoeroes tjabang Moehammadijah Padang Pandjang
De Voorzitter Seketaris

Kehadapat jht.
Engkoe Oedin dengan selamat
Di Padang Panjang

Surat pengangkatan tersebut, tidak mempunyai nama di bawah De Voorzitter dan Sekretaris, hanya tandatangan dan stempel. Dari catatan – catatan/dokumen resmi yang ada pada penulis, kelihatan bahwa bagi pengurus Muhammadiyah yang tidak mempunyai penghasilan tetap, biaya rumah tangga ditanggung oleh persyarikatan. Hal ini penulis ketahui dari lembaran yang berbunyi seperti di bawah ini
Keterangn Penerimaan Biaya Consul dalam Conferentie ke – 12 di Padang
Masoek :
1. Dari biaya consul f 183,50
2. Potongan dari Madjlis Sjoera f 97,50
Totaal f 281,-
(doea ratoes delapan poeloeh satoe roepiah)
Keloear
1. Bajar Biaja M.Sjoera jg terpakai tahoen 1936 f 46,50
2. Bidoek boeat e. S. Soetan Mansoer 12,-
3. Boeat H. Aboe Samah 2,50
4. Anwar Rasjid katja mata 3,00
5. Rasjidah Rasjid ongkos kembali ke P.P dari Padang 1,50
6. Ja’coeb Rasjid 5,-
7. Gadji pegawai mengerdjakan penerimaan biaja 3,-
8. Roemah tangga Oedin 25,-
9. Roemah tangga Soetan Mangkoeto 25,-
10. Roemah tangga A. Kamil 20,-
11. Roemah tangga Rasyid Idris 15,-
12. Bajar sewa Consulaat Oct t/m Dec 36 dan makan
Consul di Int. 50,-
13. Bajar oetang sama Nasjiroeddin 5,25
14. Bajar soesoe Fathamah Kariem 4,-
15. Toekar anak gadai barang isteri Consul 5,-
16. Beli djawi perahan boeat Consul 40,-
Totaal f 262,75
Saldo di kas 18,25
Totaal f 281
Padang den 28 April 1937
Distorkan oleh Oedin (t.t)
Diterimakan oleh S.St, Mangkoeto wd. Consul (t.t)

Dengan demikian, semua pengurus mempunyai banyak kesempatan untuk mengurus jalannya roda persyarikatan. Dalam hal rapat/ congres, bagaimanapun keadaan dan kondisi badan, kalau menyangkut Muhammadiyah plus kelangsungan hidup umat, tetap diupayakan untuk menghadirinya.
Sudah menjadi satu program khusus dalam Muhammadiyah, selama pendudukan tentera Jepang di Indonesia, karena terputusnya hubungan Jawa-Sumatera, di sumatera khususnya Sumatera Barat dibawah pimpinan Ar. St. Mansur yang ditetapkan oleh HB Muhammadiyah Yogyakarta memikul tanggung jawab untuk seluruh Sumatera, konsul Muhammadiyah untuk Sumatera di Padang Panjang, setiap tahunnya dibulan Ramadhan diadakan Algemene Kennis Muhammadiyah (Semacam pengkaderan kepemimpinan, termasuk AMM) yang lamanya tak kurang dari 15 hari, siang-malam.
Kelak lewat pengkaderan dan perjuangannya di Muhammadiyah, Buya disegani lawan maupun kawan. Dalam satu kesempatan memberikan kata sambutan Kasim Munafy yang saat itu berusia 14 tahun dalam suatu pidato tanpa konsep di acara konfrensi Muhammadiyah se cabang Pariaman disuruh kepala sekolahnya mewakili sekolahnya (Schakel Muhammadiyah Pariaman) untuk memperkenalkan dunia pendidikan Muhammadiyah kepada peserta dan yang hadir, karena begitu semangatnya membuat Kepala PID (Dinas mata-mata) Pemerintah Belanda yang hadir pada acara itu bersama Buya Udin sebagai peangngung jawab konfrensi berkata “…….coba kalau bukan anak didik Muhammadiyah yang diasuh oleh engku Udin , saya akan seret anak ini ke muka Pengadilan.
Orang Jepang di Pariaman, khususnya di Kuraitaji menggelari Buya dengan orang besar Piaman. Buya pernah bercerita kepada penulis, bahwa Buya pernah menerima satu surat berbahasa kanji. Tak lama setelah Buya menerima surat wasiat yang berbahasa kanji yang dimengerti buya cuma teraan nama Beliau, Udin. Surat itu diterima Buya di Padang Panjang melalui prosesi ala Jepang. Terima surat kemudian tunduk tiga kali membungkukan badan kemudian mundur. Dengan surat sakti itu, Buya mengalami beberapa kali peristiwa yang akhirnya membantu banyak orang.
Di mesjid Muhammadiyah Kuraitaji , para serdadu Jepang disamping mandi ala cowboy texas juga mengeringkan badan/berhanduk di mesjid. Rakyat kecil yang terjajah tidak dapat berbuat banyak. Beberapa dari mereka melaporkan perilaku orang / serdadu itu ke Buya yang ketika itu di Padang Panjang. Sesaat setelah mendengarkan laporan itu, Buya menemui komandan Jepang yang ada di Kuraitaji, memperotes prilaku orang Jepang yang tidak menghormati rumah ibadah umat Islam itu. Mendapat protes dari masyarakat terjajah, komandan Jepang tidak menerima. Komandan Jepang mengeluarkan samurai dari sarungnya, sebagai ancaman jika Buya masih memprotes maka nyawa taruhannya. Buya bergeming, Buya tetap protes dengan mengeluarkan surat berhurup kanji yang selalu dibawa-bawa Buya dalam sakunya. Surat berhurup kanji itu diletakan di atas ujung samurai. Komandan Jepang terkejut. Keringat dingin meleleh di dahinya, hormat membungkukan badan tiga kali, persis ketika Buya menerima surat itu. Hari itu juga, serdadu Jepang mandi dengan sopan dan tidak lagi mengeringkan badan di mesjid.
Tidak semua orang Jepang mengetahui perihal Buya mendapat surat berhuruf kanji itu. Dilain peristiwa, dengan beberapa anak negeri Buya berbaur dalam satu truk. Disamping supir, komandannya tertidur pulas. Rombongan Buya, anak negeri rebut, berisik. Ricuh. Buya sudah mengingatkan, bahwa dengan sikap anak negeri itu berarti menganggu tidur komandan yang pulas di samping supir. Peringatan Buya tidak digubris. Benar saja, komandan yang merasa terganggu tidurnya karena berisiknya para penumpang truk, menyuruh supir memberhentikan truk. Setiap penumpang disuruh turun satu persatu dan menerima tendangan telak dari kaki komandan Jepang. Ketika giliran Buya, Buya mengeluarkan surat itu dari sakunya. Sebelum turun, Buya memperlihatkan surat sakti itu. Komandan terkejut, hormat tiga kali dan mempersilahkan Buya menggantikannya duduk disamping supir.
Stasiun kereta api Lubuk Alung Pariaman. Surat sakti ini kembali menyelesaikan masalah. Seorang anak negeri yang karena mabuk tidak menyadari sedang berhadapan dengan seorang serdadu Jepang. Serdadu yang merasa tuan yang perlu dilayani, dihormati, akhirnya menjadi emosi melihat sianak negeri yang mabuk ini. Sebelum terjadi peristiwa lebih lanjut yang tidak diinginkan, Buya yang kebetulan berada di sana mencoba melerai perselisihan. Si Jepang tidak menerima. Kemudian Buya mengeluarkan surat sakti itu. Hasilnya sama seperti dengan dua peristiwa di atas. Tentera Jepang hormat tiga kali seraya ngeluyur pergi meninggalkan Buya.
Ramli seorang tukang jahit yang merasa bagak mengajak berkelahi seorang tentera Jepang. Perbuatan diluar pertimbangan akal sehat itu berbuntut dengan dianiayanya Ramli dengan beberapa tentera Jepang. Ramli diikat di batang pohon dadak. Di pohon itu kebetulan sarang semut merah. Bisa dibayangkan bagaimana menderitanya Ramli yang merasa bagak tadi, dengan menghiba orangtua Ramli datang ke Buya. Syukur, penderitaan Ramli tidak berkelanjutan lebih lama.. Surat yang membawa Buya ke dalam kejadian-kejadian luar biasa itu, dibakar ketika dalam satu perjalanan Belanda melakukan razia disaat untuk kedua kalinya Belanda masuk ke Indonesia. Belanda mencari pribumi yang terlibat langsung dengan pemerintahan Jepang-Indonesia. Begitulah cerita Buya
“Dalam referensi asli yang ditandatangani Buya, saya mencoba menganalisa bahwa surat itu adalah surat pengangkatan Buya sebagai penasehat pemerintah Jepang. Pemerintahan Indonesia merasa terbantu karena Penjajah Belanda berhasil angkat kaki dengan kedatangan Jepang di awal-awal. Kedatangnya Jepang dianggap sebagai saudara. Jepang perlu pribumi yang berpengaruh dan Pemerintah merasa tidak terjajah, serta Buya dengan kawan-kawan yang menerima surat pengangkatan sebagai orang pemerintahan Jepang-Indonesia yang memang sudah punya basic atau dasar karena aktivitas Beliau di Muhammadiyah, menyebabkan Buya dan kawan-kawan tidak lagi perlu menjalani seleksi”. (Wallahu a’lam).
Surat yang telah menyeret buya ke hal hal yang unik, sementara Beliau sendiri tidak paham maksud surat tersebut. Surat itu di bakar ketika Belanda masuk kembali ke Republik ini.

3 komentar:

Ilham mengatakan...

Assalamulaikum. Saya Ilham(ilhamsy12@gmail.com) saya adalah cucu dari H. Sidi M. Ilyas, saya sedang berusaya untuk membuat Silsilah Keluarga dari Buya Sidi M. Ilyas apa Uda Fuad bisa membantu?
Wassalamu'alikum Wr. Wb.

Yessi Handayana mengatakan...

Asslamualaikum... sebaiknya jangan ada kata2 lebih hebat... mungkin itu di mata Saudara lebih hebat.... karena penilaian yang sempurna itu datang dari Allah SWT... dan cerminana seorang ulama bukanlah sombong terhadap apa yang di ucapkan

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum, bang Fuad afsar sudah meninggal dunia. mohon dimaafkan kalo ada salah uda kami ini. saya saudara sepupunya. rini palar

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops