Lencana Facebook

Senin, 21 Agustus 2017

Minang Saisuak #59 - Buya Oedin: Teman Jenderal Sudirman dari Kuraitaji

25 Jul 2011 - 06:00 WIB
Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa seorang putra Pariaman pernah bersahabat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dialah Oedin, seorang akitivis Muhammadiyah dan pernah mengemban berbagai jabatan politik di Sumatra Tengah ketika Republik ini masih muda remaja.
Buya Oedin (atau Udiang menurut pelafalan orang kampugnya) begitu beliau biasa dipanggil di masa tuanya lahir tahun 1906 (informasi lain menyebutkan bulan Agustus 1907) dari rahim Raalin, seorang pengurus Aisyiah yang tangguh di Kuraitaji. Masa remaja Oedin kecil dihabiskan di kampungnya. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 Sekolah Rakyat. Selanjutnya, pemuda yang sedikit preman ini berdasarkan cerita Buya Hamka dalam sepucuk suratnya kepada anak kelima beliau, Asdi Oedin tertanggal 11 Juli 1962 terpilih menjadi kader Muhammadiyah selama 9 tahun di bawah gemblengan Buya A.R. Sutan Mansur, dedengkot Muhammadiyah yang kemudian terpilih menjadi ketua organisasi itu dalam kongresnya di Purwokerto tahun 1953. Berkat gemblengan A.R. Sutan Mansur, kepremanan Oedin berubah menjadi kepemimpinan.
Bersama beberapa orang rekannya, Oedin mempelopori berdirinya Cabang Muhammadiyah di Kuraitaji (yang ketiga setelah Bukittinggi dan Padang Panjang) pada 10 Oktober 1929. Muhammadiyah dibawa ke Kuraitaji oleh putra daerah ini sendiri dari Yogyakarta, yaitu H. Sd. M. Ilyas, adik ipar Buya Oedin sendiri, yang kelak menjadi mertua Dr. H.M. Tarmizi Taher, mantan Menteri Agama RI di Zaman Orde Baru. Pada tahun 1937 Oedin diangkat menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta, Oedin aktif menggalang semangat pemuda di daerahnya. Beliau, yang pada waktu itu menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhamadiyah Minangkabau, giat memberi pengertian kepada masyarakat Pariaman tentang arti dan cara mengisi kemerdekaan. Pada bulan November 1945 Oedin dan rekan-rekannya menghadiri Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta. Tujuan kongres itu adalah untuk menyatukan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka mendapat banyak rintangan di jalan karena gempuran oleh pasukan Belanda. Ketika itulah Oedin berhubungan dengan Soedirman yang waktu itu mewakili pemuda Muhammadiyah Purwakarta (Banyumas).
Balik ke Sumatra Barat, Oedin dan kawan-kawan aktif menyampaikan hasil kongres itu. Pada bulan Mei 1946 beliau dilantik oleh Residen Sumatra Barat, Dr. Jamil, menjadi Ketua Dewan Polisi Sumatra Barat. Awal Januari 1947 beliau diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Padang Pariaman. Beliau ikut dalam persidangan KNIP di Malang (1947). Ketika singgah di Yogyakarta Oedin bertemu lagi dengan Soedirman yang sudah menjadi Panglima Besar TNI. Sebagai anggota KNIP, beliau ditugaskan oleh Panglima Soedirman untuk mendapingin Mayjen Soeharjo dalam tugas-tugas kemasyarakatan. Kelak di suatu hari di Jakarta, Oedin bertemu secara tak sengaja di jalan dengan Jenderal Soedirman, yang kemudian mengajak sahabat lamanya itu mampir ke rumahnya.
Sampai tahun 1949 Oedin terlibat dalam berbagai kegiatan politik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Barat dari rongrongan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Pasca Aksi Polisionil Belanda yang gagal itu, aktifitas Oedin dalam kancah pemerintahan Sumatra Tengah cukup beragam. Beliau diangkat menjadi pegawai tinggi tingkat 2 dan kemudian patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman (Januari 1950); patih Kabupaten Tanah Datar (Oktober 1950); Walikota Sawahlunto (Mei 1950); Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; Pjs Bupati Tanah Datar (Desember 1953); Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954) (sebelumnya direncanakan menjadi Bupati Kab. Tanah Datar, tapi tidak jadi).
Demikianlah kisah hidup Buya Oedein yang pernah menikah empat kali dan dikaruniai beberapa orang anak. Sewaktu bersekolah di SMP 3 Kuraitaji, saya akrab dengan salah seorang cucu beliau, Fadilah Afsar. Sering kami belajar bersama di rumah beliau di Rambai, Kurai Taji. Saya paling suka melihat-lihat koleksi buku beliau yang tersusun rapi di rak-rak di perpustakaan peribadi beliau.
Foto ini mungkin dibuat sekitar tahun 1970-an atau sebelumnya. Foto ini, beserta bahan-bahan lain untuk penulisan artikel ini bersumber dari dua keturunan beliau: Marindo Palar dan Fuad Afsar.
Buya Oedin meninggal di Jakarta pada 17 Juni 1984 dan dimakamkan di Perkuburan Tanah Kusir. Demikianlah riwayat singkat kehidupan seorang pahlawan kecil yang telah ikut berjasa dalam mengisi kemerdekaan negeri ini.
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Marindo Palar, Jakarta).
Singgalang, Minggu, 24 Juli 2011

Sabtu, 19 Agustus 2017

Oedin Kader Muhammadiyah, Tuan Besar Piaman


ketr. Gambar: Buya menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Jakarta. Sumber foto Majalah Suara Muhammadiyah no. 22 tahun 2011.
Tidak ada seorangpun diantara keluarga yang mempunyai firasat bahwa kelak Buya Udin yang lahir dibulan Agustus 1907 kelak menjadi salah seorang perintis dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sesuai surat keputusan yang ditantangani oleh Menteri Sosial melalui surat No. Pol. 003/07.P.K.Djakarta 15 Agustus 1967 ditetapkan sebagai Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan yang dapat disebut sejajar dengan HR Rasuna Said, Chatib Suleiman, HAMKA dan pejuang lainnya dari daerah Minangkabau. Ibunya Raalin hanya pengurus Aisyiyah. Demikian juga mertua perempuannya Ramalat, juga hanya pengurus Aisyiyah. Bahkan Ramalat pernah sampai ke Aceh Utara berkeliling dalam rangka menghimpun dana pembangunan gedung sekolah “Meisyes Volkschool Aisyiyah (Sekolah rakyat untuk gadis-gadis)”. Bahkan buya HAMKA sendiri mengakui secara jantan bahwa dibanding Beliau, Buya Oedin lebih unggul. Pernyataan jujur ini beliau kemukakan dalam sepucuk surat Beliau kepada Asdie Oedin, putra ke lima buya Udin yang pernah menjadi orang nomor dua di UPPINDO (Usaha Pembiayaan Pembangunan Indonesia) atau IDFC yang belakangan menjadi Bank UPPINDO yang dilikuidasi Pemerintah beberapa tahun lalu.
Berikut adalah surat lengkap buya HAMKA yang ditujukan kepada putra ke lima buya Udin, Asdie Oedin.
Buya HAMKA Kebayoran Baru, 8 Shafar 1382 H/11 Juli 1962
Ananda sayang Asdi UdinSMA Negeri Pariaman,
Sudah agak lama surat ananda Buya terima, baru sekarang dapat membalasnya. Ingin segera Buya membalas, tetapi maafkanlah Buya, Buya sibuk benar, mana mengarang, mana membaca, mentelaah, manapula mengaji dan mengaji. Besar hati Buya mendengar kemajuan anada dalam belajar agar nasib kalian anak-anak kami jauh lebih baik dari pada kami,Buya-Buya kalian.
Buyamu itu, Angku Udin menurut istilah orang Pariaman ialah “Sikanduang Buya”, sesakit sesenang, sehina semalu, seperasaan sepemandangan, satu pandangan hidup (way of life). Meskipun hubungan surat menyurat diantara kami amat jarang, namun hubungan bathin tidak pernah putus. Belum lahir kalian ke dunia kami sudah berdunsanak dengan dia ialah tahun 1929. Ketika Buya datang melantik Muhammadiyah Kuraitaji bertempat di pasar Pariaman. Modal kamipun sama yaitu :
“Tarahok tali alang-alang/Cabiak karate tantang bingkai/Hiduik nan jangan mangapalng/Tak kayo barani pakai…………Khabaraja konon sakatik. Buya si Adie itu masuk hutan, kalau dia bacakap,mahota dengan kawan-kawan yang lain, seumpama dengan sdr. Syarif Usman, selalu Buya ini menjadi buah mulut mereka. Kami kalau sudah duduk bertiga tiga, yaitu Buya Udin, Buya ZAS, Buya HAMKA, kami selalu bernyanyi, berlagu Pariaman, berlagu baruh (Serantih), dan pernah kami menangis tersedu-sedu di pengaruhi keindahan alam di Padang Panjang, karena kami melihat panas pagi pukul 09 dari halaman sekolah Muhammadiyah Guguk Malintang, menengadah ke arah Bukit Tui.
Buyamu itu dahulu agak pereman, Buya ZAS tidak manantu pelajarannya di Thawalib, dan Buya Hamka sendiripun sekolah tidak tammat. Tetapi kami mendapat didikan dari guru kami, Buya AR St, Mansur. Beliaulah yang menimbulkan dan membuntangkan naik kepribadian kami, sehingga kami layak menjadi pemimpin kemajuan ummat di Minang dengn perantaraan Muhammadiyah. Niscaya kalian sekarang mendapati hal yang lebih baik dari pada kami. Sebab kalian sudah sekolah, sekolahmu sendiri di SMA kalau di zaman dahulu sama dengan HBS atau AMS. Maka hendaklah kalian lebih berbahagia dari kami dan lebih maju dari kami. Sedangkan kami yang hanya dengan modal keberanian lagi sanggup, apatah lagi kalian dengan modal ilmu pengetahuan yang cukup.
Dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko, tetapi penilaian secara jujur, Sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak Dr dan ipar konsul (AR St. Mansur), jadi masih ada dasar, padahal Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang bicaranya,diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres.
Di tahun 1957 (sebelum bergolak) beliau ada datang ke Jakarta, berbuka puasa di rumah Buya di Kebayoran, ketika itu rambutnya sudah banyak yang putih. Bagaimana sekarang, Buya belum tahu. Tetapi sudah terang sebagai buya HAMKA juga, sudah sama-sama mulai patut disebut tua, walaupun kami belum mau menyerah. Bagaimana ummi kalian, bagaimana adik adik asdi, bagamana keadaan kampong. Berilah Buya khabar. Sudah bolehlah pemuda-pemuda aktif bergerak seumpama dalam PII atau Pemuda Muhammadiyah ?. Pertanyaan yang ananda kemukakan untuk Gema Islam, ada diperlihatkan kepada Redaksi kepada Buya, ah, terlalu tinggi, mengenai jiwa ke jiwa saja. Payah orang menjawabnya barangkali.
Salam Buya buat Buya Udin itu. Tentu beliau tetap di Kuraitaj, di kampung. Barangkali Asdi pulang sekolah, terus kembali ke Kuraitaji, bukan ?
Salam Buya ;
HAMKA
Dalam buku Muhammadiyah di di Minangkabau tulisan buya HAMKA, beliau menulis antara lain “……………Udin salah seorang anak Kuraitaji yang tidak pernah mengecap bangku pendidikan akhirnya dapat menjadi Bupati……”. Kenapa buya Udin diunggulkan oleh buya HAMKA, hal ini dapat disimpulkan dari surat buya HAMKA keputra kelima buya Udin seperti “……………..dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko, tetapi penilaian secara jujur, Sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak Dr dan ipar konsul (AR St. Mansur), jadi masih ada dasar, padahal Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang bicaranya,diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres”.
Masa remaja buya Udin dihabiskan di Kuraitaji, suatu daerah di sebelah Selatan kota administrative Pariaman. Sebagaimana remaja-remaja umunya, Buya Udin termasuk remaja yang bagak dan agak nakal. Kenakalan beliau, seperti sering mengadu ayam dan tertawa puas setelah melihat ayam yang diadu kelelahan dan ngos-ngosan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, berkat didikan dan arahan orang-orang tua termasuk didikan buya AR S. Mansur, kebiasaan buruk itu dapat beliau tinggalkan sama sekali. Dalam didikan buya AR S. Mansur, kepribadian buya Udin terasah dan terarah. Bakat kepemimpinan beliau semakin nyata karena kakek buya Udin sendiri bekas seorang Upalo Uban, setingkat kepala kampung sekarang.
Dalam hal ini buya Udin mengatakan “………..baik rasanya saya terangkan, bahwa saya tidak seorang ulama, saya hanya anak pimpinan dari orangtua saya AR S. Mansur selama 9 tahun di P. Panjang”’. Jelas bahwa melalui didikan dan arahan buya AR. S. Mansur, buya Udin mampu menjadi orang yang kalau ngomong, omongannya senantiasa diperhatikan. Bagi beliau, tidak ada kusut yang tidak bisa diperbaiki, artinya semua masalah dapat diselesaikan secara baik dan dengan berharap Redha-Nya, insya allah, semua akan berjalan baik dan benar.
Dari uraian di atas, tak pelak bahwa buya Udin memang telah ditaqdirkan buat berpijak dan berjuang dibawah panji Muhammadiyah. Karena beliau menyadari sekali bahwa peranan Muhammadiyah sangat besar dalam hidup beliau. Muhammadiyahlah yang mengarahkan Beliau ke jalan yang baik, mengarahkan dan mengajarkan kepada Beliau bahwa perbuatan mengadu ayam dan lain sebagainya adalah perbuatan buruk, perbuatan sia-sia dan melahirkan dosa, dibenci Allah swt. Beliau menyadari betul hal tersebut, sampai-sampai Beliau sendiri memintakan kepada isterinya, One Rafiah Jaafar untuk senantiasa turut mendoakan kesalahan dan kealpaan Beliau semasa muda yang bagak dan tidak bakatantuan.
Persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau melamar ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogya, agar kongres Muhammadiyah XIX tahun 1930 diadakan di Minangkabau. Lamaran Persatuan Daerah Minangkabau dapat sambutan hangat dari Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogya. Karena Minangkabau akan mengadakan perhelatan besar dengan ditunjuknya jadi tuan rumah Kongres atau setingkat Muktamar sekarang, maka buya Udin yang sudah kental kemuhammadiyahannya, dihimbau pulang oleh buya Engku Haroun L Maaniy. Buya Udin yang saat itu sudah duda, berperan aktif dalam kongres ke-19 Muhammadiyah di Bukittinggi. Hal ini terbukti dari realisasi dari hasil kongres tersebut, diadakannya konprensi Muhammadiyah ke-5 di Payakumbuh, pada tanggal 13-16 juni 1930. Hasil dari konprensi Muhammadiyah ke-5 tersebut adalah dibubarkannya persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau dan menetapkan pengurus baru Muhammadiyah Sumatera Tengah dengan struktur kepemimpinan sebagai berikut : Konsul : Buya AR ST Mansur. Sekretaris Abdullah Kamil, wakil sekertaris merangkap Bendahara adalah RT Dt.Sinaro panjang dengan anggota SY Sutan Mangkuto, Oedin, Ya’coeb Rasyid dan Marzuki Yatim. Setahun sebelum itu, Oedin bersama-sama dengan H. Sd. M.Ilyas, HM.Noer, H.Haroun L Ma’any, M.Luthan dan lain-lain, mempelopori berdirinya Muhammadiyah di kurai taji yang resmi berdiri pada 25-10-1929. Muhammadiyah Kuraitaji adalah Muhammadiyah ke tiga setelah Bukittinngi dan Padangpanjang. Masuknya Muhammadiyah ke Kuraitaji dibawa langsung oleh putera daerah Kuraitaji sendiri yang sebelumnya sengaja pergi ke Yogyakarta untuk mempelajari Muhammadiyah itu. Beliau adalah H. Sd. M. Ilyas adik ipar Buya Udin. H. Sd. M. Ilyas sendiri adalah bapak mertua Dr. H. Tarmizi Taher yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama. Setelah konprensi Muhammadiyah, kesibukan Buya Oedin bertambah-tambah, yaitu dengan ‘turbanya’ beliau ke daerah-daerah yang akan mendirikan Muhammadiyah. Antara lain bersama dengan M.Luth Hasan beliau memberikan petunjuk kepada Syarah Jamil dkk, untuk mendirikan Muhammadiyah sampai diresmikannya, yaitu di Koto tinggi daerah Pakandangan.
Disamping kegiatan Beliau tersebut, yang di Muhammadiyahpun keaktifan beliau tetap. Dengan surat No.18/m-37 Cabang Muhammadiyah Padang Panjang, Daerah Minangkabau, tertanggal 12 Zulkaedah 1356 H bertepatan dengan 26 Januari 1937, hasil keputusan konsprensi wilayah ke-4 di Solok, Oedin ditunjuk sebagai ketua dua. Menurut Drs. RB Khatib Pahlawan Kayo Drs. Marjohan dalam bukunya Muammadiayh Minangkabau (Sumatera Barat) dalam Perspektif Sejarah Periode tersebut adalah 1930-1942. Surat pengangkatan tersebut, tidak mempunyai nama di bawah De Voorzitter dan Sekretaris, hanya tandatangan dan stempel. Sudah menjadi satu program khusus dalam Muhammadiyah, selama pendudukan tentera Jepang di Indonesia, karena terputusnya hubungan Jawa-Sumatera, di sumatera khususnya Sumatera Barat dibawah pimpinan Ar. St. Mansur yang ditetapkan oleh HB Muhammadiyah Yogyakarta memikul tanggung jawab untuk seluruh Sumatera, konsul Muhammadiyah untuk Sumatera di Padang Panjang, setiap tahunnya dibulan Ramadhan diadakan Algemene Kennis Muhammadiyah (Semacam pengkaderan kepemimpinan, termasuk AMM) yang lamanya tak kurang dari 15 hari, siang-malam.
Orang Jepang di Pariaman, khususnya di Kuraitaji menggelari Buya denganTuan Besar Piaman. Buya pernah menerima satu surat berhuruf kanji. Tak lama setelah Buya menerima surat wasiat yang berhuruf kanji yang dimengerti buya cuma teraan nama Beliau, Udin. Surat itu diterima Buya di Padang Panjang melalui prosesi ala Jepang. Terima surat kemudian tunduk tiga kali membungkukan badan kemudian mundur.
Dengan surat sakti itu, Buya mengalami beberapa kali peristiwa yang akhirnya membantu banyak orang. Di mesjid Muhammadiyah Kuraitaji , para serdadu Jepang disamping mandi ala cowboy texas juga mengeringkan badan/berhanduk di mesjid. Rakyat kecil yang terjajah tidak dapat berbuat banyak. Beberapa dari mereka melaporkan perilaku orang / serdadu itu ke Buya yang ketika itu di Padang Panjang. Sesaat setelah mendengarkan laporan itu, Buya menemui komandan Jepang yang ada di Kuraitaji, memperotes prilaku orang Jepang yang tidak menghormati rumah ibadah umat Islam itu. Mendapat protes dari masyarakat terjajah, komandan Jepang tidak menerima. Komandan Jepang mengeluarkan samurai dari sarungnya, sebagai ancaman jika Buya masih memprotes maka nyawa taruhannya. Buya bergeming, Buya tetap protes dengan mengeluarkan surat berhurup kanji yang selalu dibawa-bawa Buya dalam sakunya. Surat berhurup kanji itu diletakan di atas ujung samurai. Komandan Jepang terkejut. Keringat dingin meleleh di dahinya, hormat membungkukan badan tiga kali, persis ketika Buya menerima surat itu. Hari itu juga, serdadu Jepang mandi dengan sopan dan tidak lagi mengeringkan badan di mesjid.
Tidak semua orang Jepang mengetahui perihal Buya mendapat surat berhuruf kanji itu. Dilain peristiwa, dengan beberapa anak negeri Buya berbaur dalam satu truk. Disamping supir, komandannya tertidur pulas. Rombongan Buya, anak negeri rebut, berisik. Ricuh. Buya sudah mengingatkan, bahwa dengan sikap anak negeri itu berarti menganggu tidur komandan yang pulas di samping supir. Peringatan Buya tidak digubris. Benar saja, komandan yang merasa terganggu tidurnya karena berisiknya para penumpang truk, menyuruh supir memberhentikan truk. Setiap penumpang disuruh turun satu persatu dan menerima tendangan telak dari kaki komandan Jepang. Ketika giliran Buya, Buya mengeluarkan surat itu dari sakunya. Sebelum turun, Buya memperlihatkan surat sakti itu. Komandan terkejut, hormat tiga kali dan mempersilahkan Buya menggantikannya duduk disamping supir.
Stasiun kereta api Lubuk Alung Pariaman. Surat sakti ini kembali menyelesaikan masalah. Seorang anak negeri yang karena mabuk tidak menyadari sedang berhadapan dengan seorang serdadu Jepang. Serdadu yang merasa tuan yang perlu dilayani, dihormati, akhirnya menjadi emosi melihat sianak negeri yang mabuk ini. Sebelum terjadi peristiwa lebih lanjut yang tidak diinginkan, Buya yang kebetulan berada di sana mencoba melerai perselisihan. Si Jepang tidak menerima. Kemudian Buya mengeluarkan surat sakti itu. Hasilnya sama seperti dengan dua peristiwa di atas. Tentera Jepang hormat tiga kali seraya ngeluyur pergi meninggalkan Buya.
Ramli seorang tukang jahit yang merasa bagak mengajak berkelahi seorang tentera Jepang. Perbuatan diluar pertimbangan akal sehat itu berbuntut dengan dianiayanya Ramli dengan beberapa tentera Jepang. Ramli diikat di batang pohon dadak. Di pohon itu kebetulan sarang semut merah. Bisa dibayangkan bagaimana menderitanya Ramli yang merasa bagak tadi, dengan menghiba orangtua Ramli datang ke Buya. Syukur, penderitaan Ramli tidak berkelanjutan lebih lama.. Surat yang membawa Buya ke dalam kejadian-kejadian luar biasa itu, dibakar ketika dalam satu perjalanan Belanda melakukan razia disaat untuk kedua kalinya Belanda masuk ke Indonesia. Belanda mencari pribumi yang terlibat langsung dengan pemerintahan Jepang-Indonesia.
“Dalam referensi asli yang ditandatangani Buya, saya mencoba menganalisa bahwa surat itu adalah surat pengangkatan Buya sebagai penasehat pemerintah Jepang. Pemerintahan Indonesia merasa terbantu karena Penjajah Belanda berhasil angkat kaki dengan kedatangan Jepang di awal-awal. Kedatangan Jepang dianggap sebagai saudara. Jepang perlu pribumi yang berpengaruh dan Pemerintah merasa tidak terjajah, serta Buya dengan kawan-kawan yang menerima surat pengangkatan sebagai orang pemerintahan Jepang-Indonesia yang memang sudah punya basic atau dasar karena aktivitas Beliau di Muhammadiyah, menyebabkan Buya dan kawan-kawan tidak lagi perlu menjalani seleksi”. Surat yang telah menyeret buya ke hal hal yang unik, sementara Beliau sendiri tidak paham maksud surat tersebut. Surat itu di bakar ketika Belanda masuk kembali ke Republik ini (Clash ke-2).
Lewat Muhammadiyah pula Buya bisa berteman akrab dengan Pangsar Soedirman. Berawal dari pertemuan/kongres Muhammadiyah ke-27 di Malang, Buya Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Minangkabau sedangkan Soedirman Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Purwakarta (Banyumas).sebagai anggota Majlis, Beliau diutus menghadiri kongres tersebut. Pertemuan dengan Pangsar Soedirman berlanjut saat diadakankan kongres Pemuda di Yogyakarta. Pada tanggal 10 Nopember 1945 Oedin bersama Bagindo Aziz Chan menghadiri kongres pemuda, beliau hadir sebagai wakil pemuda Muhammadiyah Minangkabau. Kongres diadakan di Yogyakarta. Hadir dalam kongres antara lain Bung karno dan Bung Hatta. Kongres dihadiri oleh lebih kurang 300 orang pemuda Indonesia. Pada akhir kongres dipimpin oleh Oedin dan kongres dapat berjalan dengan lancar dengan pokok pembicaraan menghadapi masalah “Surabaya”. Suatu akan menutup kongres jam 5 pagi  Oedin berpantun : “Lancang kuning berlayar malam/angin ribut haripun kelam/kalau nahkoda paham tak dalam/dipinggir pantai kapal tenggelam. Tanggal 11 November, Oedinberkesempatan berbicara didepan pertemuan wanita-wanita di Yogyakarta yang intinya membangkitkan semangat para kaum hawa untuk turut berjuang dengan cara membagi bagikan nasi bungkus kepada para pejuang. Hasilnya para ibu/wanita tersebut menyumbangkan nasi bungkus untuk dibwa ke Surabaya. Selama 1 minggu  Oedin di Yogya, setiap jam 1 siang selalu dijemput Panglima Soedirman untuk makan siang. Pada waktu Oedin akan pulang diberi tugas oleh Panglima Soedirman sebagai Penasihat Panglima Sumatera di Bungkit Tinggi, mendampingi saudara Jenderal Mayor Soeharjo. Penunjukkan itu dengan surat yang dibuat sendiri Panglima Soedirman. Sesampai di Bukittinggi Oedin menemui panglima di Bukit tinggi dan memperlihatkan surat yang diberikan oleh panglima Soedirman. Pembesar militer di Bukit tinggi yang bertemu berkata : “sudah dapat pangkat saja” dan dijawab oleh Oedin  :”saya tidak tahu,  ini yang buat adalah panglima Soedirman”.
Dengan Muhammadiyah pula Buya Oedin akrab dengan mantan R1 pertama, Soekarno. Saat itu Buya Oedin utusan dari Muhammadiyah Sumatera Tengah disuruh membentuk Muhammadiyah Bengkulu. Karena Bung Karno orang buangan Belanda, peserta rapat keberatan dengan kehadiran Bung Karno. Tapi Buya Udin mengingatkan peserta bahwa Bung Karno dibuang oleh Belanda karena memperjuangkan nasib rakyat, sementara Muhammadiyah juga memperjuangkan nasib rakyat, jadi tidak ada alasan untuk melarang Bung Karno hadir dalam rapat tersebut. Merasa ada pembelaan dari Pimpinan Rapat yakni Buya Oedin, Bung Karno merasa di atas angin, bahkan menjadi lebih pe-de ketika Beliau ditunjuk oleh Buya Oedin/Udin menjadi sekretaris rapat. Menurut perkiraan saya peristiwa ini terjadi antara tahun 1938-1939. Demikian pernyataan Buya Jauhar Muiz ketua MUI Pariaman, dalam sambutan Beliau sesaat sebelum penguburan Putra Bungsu Buya Oedin, Soemarman Oedin di Kuraitaji beberapa waktu lalu. Menurut versi lain, rapat tersebut adalah Pada tahun 1942 Oedin menjadi utusan Muhammadiyah Minangkabau untuk menghadiri konfrensi Konsul Konsul Muhammadiyah di Bengkulu. Waktu konfrensi konsul-konsul itu Oedin berkenalan dengan K. H. Mas Mansyur, ketua Muhammadiyah seluruh Indonesia dan Bung Karno. Dalam konfrensi tersebut, Oedin terpilih sebagai Ketua sidang dan Bung Karno sebagai Sekretaris. Sewaktu itulah perkenalan Oedin dengan Bung Karno. Perkenalan itu menjadi erat sehingga Bung Karno mengundang makan Perintis Kemerdekaan Oedin ke rumahnya
(Selanjutnya Bung Karno melakukan pendekatan dengan anak Hasan Din ketua Muhammadiyah Bengkulu, yakni Fatmawati dan berhasil mempersunting putri ketua PCM Bengkulu tersebut. (Jadi
 tidak salah, ketika Megawati Soekarno Putri membuka sidang Tanwir Muhammmdiyah di Bali mengatakan bahwa Beliau sudah Muhammadiyah sebelum Bapak-bapak peserta sidang Tanwir ini menjadi Muhammadiyah, karena orangtuanya  bahkan kakeknya adalah aktivis Muhammadiyah).
Beberapa tahun setelah kejadian itu dan disaat Bung Karno sudah menjai R I, dalam suatu kunjungan ke Padang, secara kebetulan Beliau bertemu dengan Buya Udin. Bung Karno turun dari mobil dan terjadilah dialog: "Bung kenal dengan saya ?"
"Kenal"
"Siapa
 ?
"Soekarno, Presiden Repubik Indonesia"
"Bukan, Bukan, Tapi saya Soekarno sekretaris Udin di rapat Muhammadiyah di Bengkulu"
Akhirnya sepeda Buya dititipkan di toko China yang berebut untuk bisa menerima barang titipan dari orang R I tersebut. Buya dibawa oleh Bung Karno ke Penginapannya.
Buya Oedin meninggal di Jakarta pada 17 Juni 1984 dan dimakamkan di Perkuburan Tanah Kusir. Demikianlah riwayat singkat kehidupan seorang ‘pahlawan kecil’ yang telah ikut berjasa dalam mengisi kemerdekaan negeri ini.
                                                                                                               
Binjai, Pebruari 2013
                                                                                                               
Penulis; Drs. Fuad
                                                                                                                
Cucu ke-5 Alm. Buya Oedin dari anak Pertama

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops