Lencana Facebook

Kamis, 12 Oktober 2017

My Live, My Adventure I

Pengantar
Alhamdulillah, sebagai seorang Muslim dapat memenuhi panggilan nabiullah Ibrahim AS melaksanakan rukun Islam ke-5 adalah hal yang sangat sangat diharapakan oleh mereka yang mengaku muslim dan beriman. Atas izinNya, melalui titipan rezeqiNya kepada hambaNya almarhumah Dwi Puspita Rahyunie, SPd penulis dapat berangkat. Berawal dari almarhumah sembuh dari demamnya, di kursi/sofa tamu, almarhumah menyampaikan keinginannya untuk memenuhi panggilan Nabiullah Ibrahim AS, melaksanakan rukun islam ke-5, menunaikan ibadah Haji. Niat itu direalisasikan dengan membuka pendaftaran melalui tabungan Haji di BRI Syariah Cabang Binjai dan tercatar di Kantor Departemen Agama Kota Binjai tanggal 10 Februari 2010. Waktu berlalu, dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam ke hari, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun.  Tanggal 12 Februari 2012,  isteri tercinta yang telah melahirkan 3 putra Fadlun Rahmandika, Teguh Maliki Ramadhan dan Fajrul Azmi Syahputra diambil pemiliknya. Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. Insya Allah, husnul khatimah. Bersepakatlah kami, saya beserta anak-anak siapa yang akan menggantikan posisi beliau untuk berangkat melaksanakan rukun Islam ke lima. Berharap posisi Beliau dapat digantikan secara otomatis. Setelah berbagai masukan, saran dan usul akhirnya disepakati bahwa posisi almarhumah, mama mereka digantikan oleh si Bungsu Fajrul Azmi Syahputra. Ternyata peraturan yang berlaku tidak memungkinkan. Untuk berangkat bareng, tidak bisa. Uang harus diambil, daftar ulang dan masuk daftar tunggu !.
Untuk menimba ilmu perihal latihan manasik haji, penulis mendaftar di IPHI, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Gratis !. Fasilitas pertemuan yang digunakan Aula Pemko Binjai. Pelaksanaan latihan manasik haji, tiap hari minggu dan dimulai setahun sebelum keberangkatan. Banyak ilmu yang didapat. Gambaran prosesi ibadah sudah terbayang-bayang di mata. Ya Allah… nikmatnya !. Untuk memaksimalkan pelaksanaan ibadah, pemerintah merasa perlu membentuk beberapa regu dari sekian banyak jemaah. Satu ragu terdiri dari 11 orang, 1 ketua regu (karu) dengan 10 anggota. Setiap 4-5 regu dipimpin kepala rombongan (karom). Penulis terpilih sebagai salah seorang karu. Masuk dalam rombongan kami, kloter 15 Mess, Wakil Walikota Binjai, Timbas Tarigan bersama isteri dengan karunya ustadz Khairul Amrin Siregar. Bahasa arabnya bagus !. Rombongan kami masuk dalam gelombang ke dua. Artinya, jemaah ke Mekkah, kemudian ke Madinah. Bagi mereka yang gelombang pertama, tidak ada masalah dalam hal miqat makani. Mereka ke Madinah dulu, miqat makani di Birr Ali kemudian melanjutkan ke Mekkah. Selesai. Tidak ada khilafiah. Untuk gelombang kedua, saat latihan manasik terjadi 2 pendapat. Pendapat pertama, harus di Yalamlam. Berihram harus di pesawat. Tidak di Bandara. Waktu yang terbatas dan lain sebagainya. Jangan sampai uang puluhan juta tersia-siakan karena prosesi awal perihal miqat dan berihram sudah tidak benar. Demikian alas an yang membenarkan miqot harus di Yalamlam, berihram sudah di pesawat. Pendapat kedua, dibenarkan miqat di Bandara, berihram di Bandara. Wajar saja, jemaah pada bingung. Jemaah yang latihan manasik di IPHI tidak ada pembimbing khusus. Karena mereka adalah jemah mandiri. Mereka hanya tahu ketua regu. Berbeda dengan yang latihan manasik selain IPHI. Mereka dikenai biaya dengan harapan yang dibiayai ikut mendampingi sampai ke tanah suci. Beruntung, bagi jemaah anggota Muhammadiyah ada majelis tarjih. Beberapa hari sebelum keberangkatan, penulis bersama kawan-kawan, Hendra Jones, Yundiser dan Khairul Amrin mengundang khusus ketua majelis tarjih PDM Binjai, Buya Sufriady Hasan Basri. Dari referensi yang ada termasuk putusan ulama di lingkungan Majelis Tarjih, miqat dan ber ihrom untuk gelombang ke dua dibenarkan di Bandara King Abdul Aziz. Bahkan hal tersebut sudah menjadi keputusan secara kelembagaan. Muhammadiyah melihat dan memutuskan King Abdul Aziz bisa menjadi miqat maqani dan berihram.   
Keberangkatan Menuju Tanah Suci
Akhirnya 18 September 2014 penulis beserta rombongan berangkat dengan  Garuda nomor GA-3115 pukul 16.30 dari Bandara Polonia, Medan. Dilepas anak-anak dan ibunya, Lilis Erni Pilli, penulis diantar sampai pendopo Umar Baki sehari sebelumnya. Rombongan beristirahat di asrama haji untuk persiapan finalisasi sebelum keberangkatan. Beberapa waktu sebelumnya, rombongan KBIH IPHI sempat merasakan manasik, langsung praktek. Bagaimana berihram yang benar, dimana posisi awal tawaf, di mana maqam Ibrahim, minum zam-zam dan melaksanakan sa’i, safa-marwa-safa-marwa. Dalam pembagian kelompok, penulis dipercaya menjadi ketua regu/karu. Malam sebelum keberangkatan, seluruh jemah dikumpulkan di aula. Kepada merea dibagikan living cost. Biaya hidup selama berhaji di haromain. Sebagai karu dan karom juga mendapat tambahan karena mereka dianggap sebagai petugas yang ditunjuk oleh Pemerintah. Bagi jemaah haji gelombang pertama, penentuan di mana awal miqat tidak ada masalah. Pesawat yang membawa jemaah ke Madinah terlebih dahulu, mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah, mereka mengawali ihram dari Birr Ali. Tidak satupun yang tidak sepakat. Tidak demikan dengan mereka yang tergabung dalam gelombang ke dua. Penentuan awal miqat masih menjadi perbedaan termasuk di kalangan pimpinan persyarikatan Muhammadiyah. Meski sudah ada keputusan tarjih terhadap masalah ini yang membolehkan Bandara King Abdul Aziz (KAA) Jeddah bisa menjadi tempat miqat. Paling tidak itulah yang penulis lihat dan rasakan. Sebelum berangkat, ketika masih mengikuti manasik untuk persiapan keberangkatan para pembimbing di KBIH IPHI Binjaipun ada 2 versi. Miqat harus di Yalamlam, dalam arti di pesawat sudah harus dalam keadaan berihram. Bagi yang berfaham seperti ini menekankan jangan sampai nilai rupiah ibadah haji yang lumayan besar, yang sudah dikeluarkan sia-sia karena tidak diterimanya ibadah haji kita. Waktu yang tersedia di bandara tidak memungkinkan jemaah untuk mandi, berihram dan sholat 2 rakaat !. Padahal menurut konfirmasi crew pesawat, tidak dapat dipastikan apakah benar saat kita berniat ketika berihram posisi pesawat persis di Yalamlam. Kecepatan pesawatpun menjadi pertimbangan untuk membenarkan berihram harus di pesawat dengan alas an harus di Yalamlam. Bagi mereka berfaham boleh miqat di Bandara, sedikit longgar !. Karena tidak harus krasak krusuk berihram di pesawat. Apalagi saat harus ke toilet pesawat dengan kapasitas ruangan toilet sedemikian rupa.  Seminggu sebelum berangkat, penulis dan 3 kawan lain dari persyarikatan membahas boleh tidaknya mengambil miqat di bandara. Terlibat dalam diskusi ini, ketua Majelis Tarjih dan tajdid  PD Muhammadiyah Binjai, H. Supriady Hasan Basri. Berpedoman referensi yang ada, termasuk keputusan tarjih, disepakati bolehnya miqat di bandara. Kenyataannya, dua diantara kami toh masih berihram juga di pesawat !. Jadilah dalam pesawat itu, rombongan Gelombang ke-2, kloter 15 MES  terdiri dari Binjai, Medan dan Tanjungbalai 2 versi, sebahagian berihram di pesawat (sebahagian besar rombongan Binjai) dan sebahagian yang lain di Bandara. Rombongan jemaah haji Medan, pimpinan Dr. Maratua Simanjuntak  awalnya juga berkeinginan ihram di pesawat, tapi setelah diberi penjelasan oleh Al Ustadz Irwan Syahputra (Sekretaris PW Muhammadiyah, Sumatera Utara) yang bertugas sebagai wakil pimpinan kloter, Beliau turut. Beliau dan rombongan yang dibawanya, berihram di Bandara. Sementara jemaah Tanjung Balai semua berihram di Bandara.  Penulis, yang menjadi karu 8 juga memberikan penjelasan kepada teman-teman satu regu, bolehnya berihram di Bandara. Alhamdulillah, semua mereka turut. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, petugas di pesawat mengingatkan penumpang yang menggunakan fasilitas kamar mandi/toilet pesawat ketika mereka bersiap memakai ihram.
Mendarat dinihari di bandara, masya allah, penulis cari posisi, sujud syukur !. Tidak disangka, seorang cleaning service di mesjid taqwa Muhammadiyah kebun lada Binjai menginjakan kakinya di bandara King Abdul Aziz, Jeddah.  Setelah mengurus perlengkapan anggota, penulis  memperhatikan banyaknya jemaah yang mendarat dari berbagai penjuru dunia. Ada yang sudah dalam keadaan berihram ada pula yang masih utuh berpakaian biasa. Sedikit lebih mudah, kopor bawaan kawan-kawan yang jadi tanggung jawab penulis gampang ditandai karena penulis tambahkan kain/kacu warna hijau sisa dari Muktamar Muhammadiyah 2010 yang penulis ditunjuk sebagai ketua penggembiranya. Fasilitas MCK yang nyaman siap digunakan. Bahkan sampai untuk berihram, kemudian sholat dua rakaat di dalam tenda super besar, layaknya musholla di Indonesia dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa khawatir diburu waktu. Bahkan  dengan beberapa teman yang berihram di bandara sebelumnya  kami masih sempat memesan minuman dan menikmati teh hangat ala bandara beratapkan langit. Seperti juga disekitar bandara KNIA (Medan), Soeta (Jakarta) atau Minangkabau Internasioanl Airport, di sekitar bandara King Abdul Aziz juga terdapat kedai-kedai yang menawarkan minuman. Dari mulai yang ringan sampai yang berat. Waktu panjang masih tersisa.
Labbaik allahumma labbaik. Labbaikala syarikalaka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulk laa syarikalak. Kloter 15 gelombang kedua yang penulis masuk dalam rombongan, tidak terdaftar dalam peta persebaran funduuk. Tidak ada dalam persebaran hotel. Dalam peta persebaran hotel, hanya sampai kloter 14 MES. Pimpinan kloter sendiri, Drs. H. Baharuddin Damanik tidak tau dimana penginapan kami. Dimana dibawa petugas, ikut saja. Menjelang waktu shubuh, bus rombongan yang membawa kami memasuki area Hotel Arkan Bakkah di daerah Mahbas Jinn, tidak jauh dari terowongan ke masjidil haram dan juga sekitar 2-3 km ke jamaraat.
(Di terowongan mahbass jinn, sebelah kiri hotel Arkan Bakkah)
Subhanallaah, rombongan kami adalah tamu pertama yang memasuki hotel itu. Ternyata hotel itu, hotel yang baru selesai di bangun, bahkan di sana sini beberapa pekerja kulit hitam masih melakukan finishing, poles sana poles sini. Karena kami tamu pertama, penyambutan jadi istimewa. Makanan ringan dan minuman segar telah tersedia. Disediakan khusus untuk kami. Dalam kesempatan lain, al ustadz Dr. Maratua Simanjuntak (ketua forum kerukunan umat beragama Sumatera Utara) yang masuk dalam rombongan kloter 15 MES, yang sudah berulang kali ke Mekkah, mengaku inilah tempat yang dirasakan paling mewah. Beberapa teman dari kloter lain juga mengakui hal demikian. Fasilitas hotel luar biasa. Di kamar mandi, perlengkapan untuk mandi tersedia, lengkap. Di kamar tidur, di dalam kulkas minuman soft drink dan buah tersedia. Cukup banyak. Walaupun satu kamar, 5-6 orang, tapi diimbangi dengan fasilitas yang ada. Bahkan di kamar mandi tersedia shampoo, sabun dan deterjen.  Selama di hotel, untuk minuman soft drink tidak pernah kehabisan. Aqua galon tersedia di depan pintu masuk. 1 galon setiap tiga kamar !. Di lantai paling atas, puluhan mesin cuci baru dikeluarkan dari kotaknya tersedia. Petugas cleaning service membersihkan tempat cuci stand bye untuk mengeringkan genangan air buangan cucian. Petugasnya berkulit hitam.  Beberapa kali penulis menikmati sholat malam di lantai paling atas hotel Arkan Bakkah. Beratapkan langit, menikmati nikmat Allah swt yang sungguh tidak terkira !. Menikmati sunrise, matahari terbit di timur dan sunset matahari terbenam di barat kota Mekkah. Subhanallaah. Dari puncak hotel Arkan bakkaah, pemandangan kota Mekkah dengan tanahnya yang berbukit dan tandus serta gedung pencakar langit terlihat sejauh mata memandang. Cuma jam gadang mesjidil haram tidak kelihatan. Fasilitas wi fi yang lancar. Membuat setiap kesempatan yang ada, diisi kadangkala dengan berselancar di dunia maya.
Umroh awal dilaksanakan segera selesai melepas lelah. Penulis dan kawan-kawan dipandu langsung oleh wakil kloter ustadz Irwan Syahputra. Berjalan lancar. Suasana menjelang dinihari.  
Pertama sekali menatap Ka’bah, tidak terasa air mata membasahi pipi. Hati dan jiwa tergetar menatap bangunan agung. Subhanallah. Prosesi tawaf yang dilaksanakan baru pertama sekali dilaksanakan sebaik mungkin. Putaran demi putaran membawa penulis mendekati rumah agung baitullah. Ka’bah. Banyaknya jemaah yang melaksanakan tawaf tidak memungkinkan penulis menyentuh batu mulia, hajarul aswad. Demikian juga mengambil posisi di Hijr Ismail. Sgolah dua rakaat di belakang maqam Nabiullah Ibrahim as pun sebisanya, posisinya menurut perkiraan. Tahallul usai melaksanakan sa’I di lokasi masa’I berjalan lancar. Alhamdulillah. Usai melaksanakan tawaf qudum, istirahat kembali ke hotel Arqan Bakkah.
Kali kedua, bareng teman penulis kembali tawaf. Seperti ada yang tidak beres. Tapi karena dalam situasi bertawaf, sesuatu itu tidak jadi perhatian. Air mata masih meleleh. Waktu menjelang masuk shubuh. Disela kesibukan mencari posisi, seorang jemaah menawarkan kami di sisi beliau. Alhamdulillah. Dengan kesungguhan yang ada, atas izin Allah tangan mungil penulis sempat mengusap piringan hajar aswad. Kami juga sempat melaksanakan sholat dua rakaat di Hijr Ismail. Walaupun untuk memperoleh itu, harus mengikhlaskan diri disikut sana, di sikut sini. Bahkan kepala teman penulis sempat tidak kelihatan. Penulis sempat ketakutan, sempat histeris. Khawatir kalau si teman kepalanya diinjak-injak orang. Ketika keluar dari pintu masa’I, Ya Allaaah, dompet penulis hilang. Astaghfirullah. Pucat. Gemetar. Sampai ke hotel, apa yang penulis rasakan, penulis sampaikan ke karom satu di mana ada bapak wakil walikota. Pinjam uang, untuk bekal. Jika ingin ke Masjidil Haram, kadang naik bus. Stasiun akhirnya persis di seberang hotel kami sebelum masuk terowongan berakhir di stasiun menjelang masjidil haram. Di sisi kanannya ada rumah Nabi yang sekarang berfungsi sebagai perpustakaan. Kalau ingin berbelanja atau ke mesjid Jinn di dekat hotel, kadang melalui pintu belakang hotel. Menuruni jalan cukup terjal. Berjalan kaki mengamati daerah sekeliling. Mengisi kegiatan menjelang wukuf di ‘Arafah dimanfaatkan untuk mengetahui situasi sekitar masjidil haram. Terbersit di hati, tidak akan tersesat. Astaghfirullaah. Allah berkehendak lain. Hamba keluar di daerah asing. Bingung. Tanya sana. Tanya sini. Berhenti sebentar. Tafakkur. Istighfar. Timbullah hidayah. Masuk kembali ke masjidil haram. Lihat penunjuk arah. Masa’i. karena selama ini penulis keluar melalui pintu sisi kanan masa’i. Plong. 
Berkunjung ke Gua Hira’ dan Jamarat
Oleh wakil pimpinan kloter 15 MES, ustadz Irwan Syahputra  penulis ditawari ikut rombongan Beliau ke gua hira’. Pukul 03.00 dinihari kumpul di lobby hotel Arkan Bakkah. Bersama kami, turut serta bapak Timbas Tarigan (wakil walikota Binjai), ustadz Khairul Amrin  dan 1 teman yang lain. Dari seberang hotel, naik bus gratis ke masjidil haram. Berjalan kaki di sisi kanan masjidil haram sampai ke jalan raya, kemudian kami naik taxi. Jarak yang hanya 6-7 km ditempuh dalam waktu singkat. Supirnya dari Afghanistan.  Jabal nur (Gunung Cahaya) yang di puncaknya terletak gua hira’ termasuk tempat favorit yang dikunjungi jemaah yang melaksanakan ibadah haji dan atau umroh. Disinilah Muhammad dilantik menjadi Nabi dan RasulNya. Segera setelah Jibril as menyampaikan wahyu surat al alaq 1-5. Saat itu usia Beliau, Nabi Muhammad saw sekitar 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kalender Qamariyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kalender Syamsiyah. Tinggi puncak gunung cahaya diperkirakan sekitar 200 meter dikelilingi gunung dan bukit batu yang curam. Gua hira’ sendiri terletak di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit dengan ketinggian sekitar 2 meter. Karena kurang berkoordinasi, pendakian dilaksanakan sendiri-sendiri. Jalan menuju puncak sudah dikondisikan sedemikian rupa. Ada anak tangga sedemikian rupa yang dibuat oleh mereka kaum pendatang yang umumnya berkulit hitam. Tua muda, silih berganti. Ada yang turun, tidak sedikit pula yang naik. Menjelang puncak, di kiri kanan akan kita jumpai orang-orang berkulit hitam yang cacat. Mereka kaum pendatang yang karena sesuatu dan lain hal dibuat cacat. Hidup mereka dari mengemis. Menjelang puncak, penulis masih berpapasan dengan bapak Timbas Tarigan yang beristirahat. Tidak lama sampai di puncak, sayup kedengaran azan shubuh. Dengan kondisi seadanya, penulis berbaur dengan pengunjung lain melaksanakan shubuh berjemaah. Situasi masih gelap gulita. Gua hira masih harus turun sedikit ke bawah.
(Selangkah lagi, Gua Hira’)
Berjalan perlahan tanpa penerangan. Puluhan manusia mencari posisi masing-masing. Ketika sampai ke lorong sempit menjelang gua, penulis mengurungkan niat untuk masuk. Situasi gelap gulita membuat nyali penulis tidak cukup berani untuk masuk. Terpaksa penulis bertahan. Menunggu sampai waktu dan situasi sedikit agak terang. Disela penantian, ustadz Irwan Syahputra memanggil penulis. Mengajak ke ruang yang lebih terbuka di sisi lain di gunung cahaya. Seiring dengan terbitnya matahari, dikejauhan terlihat jam gadang masjidil haram. Makin terang, makin jelas lingkungan jabal nur. Jabal yang terdiri dari bebatuan besar dan tandus. Banyak jemaah haji yang memanfaatkan momen muculnya matahari dari timur. Tua muda, lelaki dan perempuan berbaur mengambil posisi di puncak yang tidak begitu luas. Cahayanya perlahan menyapu kabut dan memperjelas jam gadang di Masjidil Haram. Kesempatan langka itu dimanfaatkan pengunjung untuk berfoto. Seorang fotographer (kelihatannya dari Indonesia) berkali-kali mengambil moment yang menurutnya luar biasa. Posisi berdiri di antara kecuraman jabal Nur benar-benar diperhatikannya.
(Puncak Jabal Nur)
Sulit dibayangkan, bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalani rutinitas keseharian beliau di sini dengan hanya berjalan kaki dari rumah beliau yang sekarang menjadi perpustakaan. Paling tidak 8-9 km jalan yang tandus dan tebing batu yang curam harus beliau lalui untuk mencari petunjuk Allah swt. Mengasingkan diri sebagai protes melihat sikap jahiliyah masyarakat di lingkungannya. Setelah mengalami perjuangan lumayan melelahkan, penulis sampai juga ke lubang gua. Penulis harus puas dengan hanya melihat, melongok sedikit situasi di dalam gua. Karena masing masing pengunjung berusaha untuk masuk. Ketika turun, penulis menemukan seekor kambing kecil. Ajaib, kambingnya sangat jinak. Malah penulis sempat foto bareng kambing. Rombongan berangkat 5 orang, yang pulang ke hotel barengan 3 orang dan dua lainnya, masing-masing.
Dikesempatan lain, dengan rombongan berbeda penulis dengan kawan kawan berkunjung ke jamaraat. Hanya dengan berjalan kaki, lokasi jamaraat di sebelah kanan hotel Arkan Bakkah tempat kami menginap. Situasi sepi. Hanya beberapa pengunjung terlihat menikmati arsitek bangunan jamaraat. Memasuki area jamaraat, kami turun menggunakan eskalator untuk sampai ke tingkat lebih bawah.
(Bersama Timbas Tarigan, wakil walikota Binjai, di Jamaraat)
Situasi lingkungan berubah, dari modal bahasa yang dikuasai oleh salah seorang teman, kami kembali ke hotel Arkan Bakkah. Kami datang di lantai dua jamaraat dan pulang dari lantai dasar !.  Selama di Mekkah, usai pelaksanaan haji, kegiatan sholat di Mesjidil Haram, kadang shubuh sampai zhuhur. Kadang Ashar-Magrib. Kadang di dalam area Masjil Haram,  di ruangan luas yang telah disediakan hotel. Kadang di mesjid dekat terowongan di daerah mahbass jin, di luar. Sekali waktu, karena usai sholat yang keluar ratusan jemaah dan saling dahulu mendahului untuk mendapatkan bus,  penulis mencoba jalan memutar. Penulis ambil jalan memutar dari sisi kiri rumah nabi, terus kebelakangnya melalu jalan setapak sampai akhirnya tiba di stasiun bus. Walau agak jauh, tapi tidak perlu berdesak-desakan.
Menjelang dan sesudah pelaksanaan wukuf di Arafah ada juga diantara teman teman  rombongan yang melaksanakan umroh berkali-kali. Beralasan, aji mumpung. Mumpung ada kesempatan. Orangtuanya yang sudah meninggalpun mereka umrohkan. Begitulah keyakinan mereka. Penulis sendiri, kalau tidak diberi tahu ustadz Irwan Syahputra, juga mau jadi Pak Turut. Pelaksanaan wukuf di Arafah pada haji tahun 2014 itu bersamaan dengan hari Jum’at. Di Indonesia dikenal dengan haji akbar. Hal ini membuat situasi di Arafah semakin ramai, karena penduduk pribumipun ikut melaksaksanakan wukuf di Arafah. Jarang ditemukan wukuf di Arafah bersamaan dengan hari Jum’at. Jika hari hari biasa pelaksanaan wukuf, penduduk pribumi banyak berliburan ke luar negeri. Tapi tidak, jika pelaksanaan wukuf jatuh hari jum’at. Tanggal 8 Zhulhijjah pagi hari, di depan hotel kami sudah banyak orang berjalan kaki menuju arafah. Hujan sempat membasahi bumi Mekkah. Tidak lama !. Sementara rombongan kami bakda ashar bersiap siap menuju arafah.  Ini kali ke dua, penulis  ke Arafah. Sebelumnya, sekedar berziarah sesuai schedule yang telah ditetapkan dalam buku panduan. Sebagai bagian dari hak peserta ibadah haji. Disaat tengah hari, panas menyengat. Tidak sedikit para jemaah mendaki sampai ke puncak jabal rahmah. Berbagai tingkah laku manusia bisa dilihat, mulai dari berdoa menghadap tugu sampai tindakan kanibal, menulisi dinding batu di sekitar jabal. Walaupun berjarak sekitar 25 km dari Mekkah, karena kepadatan arus lalu lintas, waktu yang ditempuh jadi cukup lama. Di Padang Arafah, hanya berbalut dua helai kain ihram yang sudah dipakai sejak keberangkatan dari hotel. Setelah pelaksanaan sholat zhuhur jamak taqdim qashar dengan ashar dilanjutkan dengan khutbah arafah. Kamar mandi tempat mck yang  tersedia cukup memadai. Dua lantai. Lantai atas ruang terbuka. Dari atas dapat dilihat sejauh mata memandang, tenda melulu. Bahkan tugu jabal rahmahpun tidak kelihatan dari lokasi posisi rombongan kami berasda. Kadang terlihat ambulans dan jelas terdengar sirine ambulan, membawa jemaah bersafari wukuf. Karena dalam kegiatan satu ini, tidak boleh diwakilkan. “Tidak ada haji tanpa wukuf (di) Arafah, demikian sabda Rasulullah saw. Di tenda kami, barengan dengan wakil walikota Binjai, Timbas Tarigan,  khutbah arafah disampaikan Dr. Maratua Simanjuntak. Selesai khutbah, masing masing mencari tempat untuk berdoa. Sebagian ada juga yang bertahan di tenda. Beralaskan kertas kardus yang ada, penulis mengambil posisi tersendiri, berkhalwat. Menumpahkan segala yang mengganjal. Berharap belas kasihan Allah swt.  Isak tangis menyesali kesalahan prilaku dan banyaknya beban dosa yang dirasakan, membuat tangis dan ingus meleleh. Ya Allah........
(Di lantai atas kamar mandi, Padang Arafah)
Menjelang isya rombongan bersiap menuju muzdalifah. Mengambil batu !. Tengah malam, beratapkan langit yang cerah sejauh mata memandang manusia berihram masing masing sibuk dengan kegiatannya. Kalau di Arafah masih ada tenda, tidak untuk di Muzdalifah. Karena hanya sesaat singgah untuk mengambil batu dan bersiap siap ke mina. Langit kota Mekkah, sangat bersahabat. Mutiara-mutiara langit menghiasi pandangan. Kelap kelip, berzikir !.  Justru kesakralannya lebih terasa di sini. Paling tidak itu yang penulis rasakan. Usai sholat shubuh, rombongan kami menuju Mina. Beberapa barang tercecer, seperti rial, arloji. Satupun tidak ada yang berani membawanya. Istirahat di tenda, kegiatan dilanjutkan dengan melontar jumrah aqabah. Penulis dan rombongan kebagian lantai 3 jamaraat. Usai menjelang zhuhur mahkota di kepalapun dicukur habis. Tanggalah pakaian ihram. Dengan pelaksanaan nafar sani, hari hari selanjutnya lempar jumrah dapat dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah, menjelang zhuhur !. Berangkat dari tenda, pukul 11.00 waktu setempat, sampai di lokasi jamaraat menjelang zhuhur. Penulis bersama ustadz Irwan Syahputra dan petugas kesehatan. Kadang melapor dulu ke posko, kemudian ke jamaraat. Pelaksanaan prosesi lempar jamaarat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang afdhal. Alhamdulillah, semua terasa dimudahkanNya.  Kembali ke penginapan, Arkan Bakkah. Penulis dan beberapa teman lain membawa banyak buah dan minuman kaleng sisa dari dapur umum di Mina. Di bus, sebagian bawaan itu dibagi ke jemaah lain.
            Madinah
Di Madinah, penulis beserta rombongan kebagian hotel lapis ketiga dari pagar mesjid nabawi gate 8. Dari pintu 8 ini berjalan lurus sampai menjelang pintu 6, posisi raudhah ada di sebelah kiri. Di sebelah kanan mesjid nabawi dari gate 8 ada bangunan memanjang. Mirip sekolah. Sebelum penulis mengetahui bangunan apa gedung itu, penulis pernah ditanyai jemaah lain dari Indonesia, “Dimana museum asmaul husna....?”. Penulis menggeleng, tidak tahu. Dalam suatu kesempatan, menjelang ashar penulis berniat ke raudhah. Masuk dari babu ssalaam, antri. Dengan bahasa arab sepotong-sepotong, penulis keluar dari antrian. Ambil jalan pintas, satu lapis dari mimbar di raudhah, seorang petugas keamanan menarik lengan penulis dan menyuruh berdiri persis disisi kanan mimbar. Subhanallaah. Kesempatan tersebut tidak disia siakan. Sambil berzikir dan berdoa, penulis perhatikan persis dibelakang posisi muazzin. Jadilah ashar di sisi kanan mimbar kemudian bergeser sedikit ke kiri bahagian dari raudhah. Penulis sempatkan sholat dua rakaat persisi di depan Mihrab, gumaman rasa syukur diberi kesempatan sholat ashar dan berdoa di raudhah, membuat penulis seperti bermimpi. “Ya Allah, janganlah kehadiran hamba di sini adalah kehadiran terakhir, berilah hamba dan seluruh keluarga hamba, isteri dan anak anak hamba untuk dapat juga beribadah di taman surga ini ya Allah.......”. Area raudhah ditandai dengan karpet hijau. Membentang dari rumah Rasulullah SAW (yang kini menjadi makam beliau) hingga ke mimbar. Sekitar 26 x 15 meter. Selain area raudhah (karpet hijau), semua area sholat masjid Nabawi berkarpet merah. Jadi selama yang kita injak masih karpet merah, ya belum sampai di Raudhah. Wallahu a’lam. Menjelang keluar, di sisi kiri ada makam yang mulia Rasulullah Muhammad saw beserta sahabat-sahabat beliau, Abu Bakar Sidiq dan Umar bin Khatab. “Assalamu’alaika ya Rasulallah, Assalamu’alaika ayyuha nnabiyu warahmatullaahi wa barakaatuh......”. Keluar dari mesjid nabawi, sisi kanan ada hamam 7. Kamar mandi 7.
(Di depan salah satu mesjid Nabawi)
Melangkah terus, di sisi kiri bangunan seperti sekolah, itulah museum asmaul husna. Bangunan 2 petak yang terhubung. Satu bangunan berisi diorama perkembangan kota Madinah, diawali dengan silsilah nabi Adam as sampai pada nabi Muhammad saw. Terdapat di dalamnya market mesjid nabawi dari awal sampai seperti sekarang. Bangunan satu lagi, asmaul husna !. Nama-nama Allah dengan segala penjelasan ayat al quran pendukungnya. Ada juga komputer layar sentuh menyajikan kebesaran Allah. Tidak banyak yang tahu keberadaan gedung mirip sekolah ini.  Tidak jauh dari gate 6, terdapat beberapa bangunan sejarah antara lain mesjid Abu Bakar, Mesjid Ghamamah dan Mesjid Ali. Sayangnya ketika penulis berkunjung ke sana, mesjid dalam keadaan terkunci. Terkesan kurang perawatan !. Lebih lebih mesjid Abu Bakar yang terletak agak di pojok pasar. Ada dua versi tentang latar belakang sejarah Masjid Abu Bakar, versi pertama menyebutkan bahwa di lokasi masjid ini, Khalifah Abu Bakar Siddiq semasa hidupnya pernah menyelenggarakan sholat Hari Raya bersama Rosululah dan muslim terdahulu. Versi kedua menyebutkan bahwa dilokasi masjid ini berdiri dulunya merupakan rumah kediaman Abu Bakar Siddiq. R.A. Dibangun dengan batu basal. Bagian dalam dicat dengan wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan. Di sebelah kanan dan kiri jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang Menara adzannya berada di sudut timur laut. Bagian fondasinya memiliki area persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir dengan muqamas penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk bulan sabit.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah
.                                                                  
Masjid Ghamama berada sekitar 300 meter sebelah barat daya (sebelah timur bagian selatan) Masjid Nabawi, tak bejauhan dengan Masjid (Sahabat) Umar r.a dan Masjid (Sahabat) Ali r.a. Bangunan masjid ini dibangun untuk mengenang beberapa peristiwa penting dimasa kehidupan Rosulullah S.A.W. dan peristiwa peristiwa penting tersebut juga yang hingga kini melekat sebagai nama masjid ini.       Disebut sebagai masjid Ghamama (Ghamama = awan mendung), di lahan masjid ini berdiri merupakan tempat Rosulullah S.A.W melaksanakan Salatul Istiskah (sholat untuk meminta hujan). Segera setelah pelaksanaan sholat awan mendung pun datang dan hujan pun turun. Itu sebabnya sampai kini masjid ini disebut Masjid Ghamama.Disebut sebagai Masjid Id (Masjid hari raya) karena di lokasi tempat masjid ini berdiri merupakan tempat Nabi Muhammad S.A.W melaksanakan sholat hari raya di empat tahun terahir kehidupan Beliau. Yang ketiga mesjid Ali. Masjid ini berbentuk persegi panjang. Dari timur ke barat, panjangnya 35 meter dan lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah; timur dan barat dengan satu kamar kecil. Pengunjung cukup puas menikmati bangunan mesjid mesjid tersebut dari luar.
Jika kita keluar dari gate 1 atau 2 menyeberang jalan, melewati bawah jalan layang, di situ ada mesjid Bilal. Terletak lebih kurang 700 meter menyeberang jalan King Faisal. Mesjid ini berlantai dua, di bawahnya kios-kios tempat orang berdagang. Disalah satu ruangan kiosnya juga ada kantor pos. Sebagai seorang filatelis, penulis sempatkan membeli souvenir sheet, perangko dan amplop. Penulis sempat sholat maqrib dan isya di sini. Artinya penulis tidak terlalu fokus mengejar arba’in yang oleh sebahagian jemaah menjadi suatu kewajiban. Ketika berwudhu’ di kamar mandi, penulis menemukan seorang anak muda dari Jawa. Bertugas sebagai cleaning service. Usai sholat maqrib, imam sholat 2 rakaat, 3 kali. Penulis penasaran. Penulis beranikan untuk bertanya, ayyu sholah ya abi ??. Rasulullah sholat bakda maqrib, wahid marrah, rak’atain !!. Wa lakin, anta sholat tsalatsa marrah, rak’atain, rak’atain. Imamnya terkejut, Beliau tinggalkan penulis. Beliau ke belakang, duduk di tempat yang telah disediakan. Beberapa jemaah mengikuti beliau, duduk setengah lingkaran. Ada juga beberapa bocah belajar membaca al qur’an. Penulis nimbrung. Si imam menuangkan minuman ke beberapa gelas seperti kemasan aqua dan membaginya ke jemaah yang ada kecuali penulis. Kemudian beliau juga menawarkan kurma. Tidak kepada penulis. Akhirnya penulis ambil sendiri, minuman termasuk kurma yang ada. “Halal ya abi ??” Beliau menjawab dengan bahasa isyarat. Mempersilahkan. Ketika mengulang wudhu untuk isya, setelah berwudhu dan akan sholat sunat 2 rakaat, seseorang menghantarkan kepada penulis minuman. Rasanya berbeda. Bakda sholat isya, penulis sempatkan bertanya kepada pemuda yang bertemu di kamar mandi mesjid perihal minuman yang berbeda rasanya ketika diberi imam selesai maqrib tadi. Pemuda itu menjelaskan, kalau di Indonesia namanya jamu. Istilah di situ qahwah !!. Padahal dilihat kamus, qahwah itu kopi.  Melihat dialoq penulis dengan pemuda itu, seorang jemaah paruh baya menyalami dan bertanya ke penulis
“Aanta hajj ?”
“Na’am, ana haji minal Indonesia”.
Beliau bertasbih dan berdoa, “Subhanallah, Mabrur, Mabrur”.
“Min aina anta?”,
“Ana min Iraq, Ana ‘amil huna”.  
Demikian obrol singkat penulis dengan seorang jemaah ketika sholat maqrib dan isya di mesjid Bilal dengan seseorang yang mengaku pekerja dari Iraq.
Dikesempatan lain penulis berziarah juga ke mesjid Ijabah. Dari tanya sana sini sama pribumi yang ketemu di jalanan penulis diantar ke jalan raya yang membawa penulis  akhirnya sampai ke mesjid Ijabah. Dibandingkan masjid-masjid yang ada di Madinah, masjid ini tidak terlalu besar. Bercat paduan warna krem dan coklat tua, masjid ini dilengkapi sebuah menara tinggi menjulang. Meski letaknya di pinggir jalan raya, persisnya Jalan As-Sittin, Distrik Bani Muawiyah, masjid ini tidak terlalu mencolok karena hampir menyatu dengan toko-toko yang ada di sekitarnya.Di sisinya ada rumah sakit. Penulis sempat sholat Ashar di sini. Tersedia juga aqua galon yang siap diminum. Saat penulis di sini, sedang ada tausiyah dari kelompok jemaah negara lain.  Penulis juga sempat bertemu dengan warga negara Indonesia yang bekerja di Madinah dan harus rela mengeluarkan uang jutaan untuk mendapatkan haji akbar. Dengan berbagai cara dia tinggalkan pekerjaannya, naik bus ke Mekkah dan tidur seadanya di Arafah saat wukuf dan aktifitas lain dalam rangka pelaksanaan ibadah haji. Ketika kembali ke pemodokan, beberapa hotel sudah dikosongkan bahkan diantaranya ada yang sudah dibongkar dalam rangka perluasan area mesjid Nabawi. Tidak sengaja penulis melihat satu bangunan mesjid disela-sela toko. Di dinding sebelah kiri mau masuk tertera jelas tulisan mesjid al Bukhari. Pintu tidak terkunci, di dalamnya bersih. Apakah digunakan atau tidak wallahu a’lam. Melihat kondisi mesjid yang bersih dan terawat, penulis berkeyakinan mesjid itu digunakan walaupun posisinya sangat dekat dengan mesjid nabawi khususnya gate 12.  
10 hari di Madinah, penulis maksimalkan mengamalkan hadits Rasulullah berikut
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَبْرَدِ مَوْلَى بَنِي خَطْمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
 صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Abdul Hamid bin Ja'far] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abul Abrad] mantan budak bani Khathmah, ia mendengar [Usaid bin Zhuhair Al Anshari] -ia termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam- ia menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Shalat di masjid Quba seperti melakukan Umrah.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْكَرْمَانِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ يَقُولَ قَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Ammar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hatim bin Isma'il] dan [Isa bin Yunus] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sulaiman Al Karmani] berkata; aku mendengar [Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif] berkata; [Sahl bin Hunaif] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala umrah. [HR. ibnumajah No.1402]                                                                                                        
Selesai sarapan penulis berjalan kaki dari hotel masuk gate/hammam 8, terus sampai ke gate 6. Di jalan raya, banyak angkot menawarkan jasa angkutan. “quba......quba” kata supir.
“Kam riyal ?”
“Isna riyal” jarinya mengisyaratkan angka 2.
Jadilah penulis barengan dengan jemaah haji negara lain ke mesjid quba.
(Prasasti di sisi kiri Mesjid Quba)
Ada 4-5 kali atau 4-5 hari hal demikian penulis lakoni. Kadang belum jauh masuk area mesjid ada odong-odong. Kenderaan roda empat yang bersambung-sambung seperti kereta api.  Penulis stop. “Ila aina ???” tanya supir. “Baabun sittah ?” “Tafadhal” ujarnya. Lumayanlah, tidak terlalu melelahkan di banding berjalan kaki. Kadang terjadi dialog singkat.
“A anta, zahabta ila Indonesia ?” Tanya penulis pakai bahasa yang penulis maksud, “Engkau, Pernahkan engkau ke Indonesia ?”
“Na’am. “Ila aina lau anta tazhaabu ila Indonesia ?”
“Puncak, Bogor !” Jawabnya. 
Di mesjid quba, penulis juga bertemu petugas cleaning servicenya dari Jawa. Orangnya masih muda. Dia banyak bercerita, termasuk tentang bangunan di sisi kiri Mesjid Quba yang ada kran air, tapi airnya tidak keluar. Menurutnya itu bekas sumur, di mana di sumur itu cincin Aisyah (isteri Nabi) jatuh dan tidak ditemukan. Beliau juga anjurkan penulis, begitu keluar dari mesjid Quba di sisi kiri searah qiblat mesjid ada bangunan. Ternyata bangunan itu semacam museum. Di dalamnya ada diorama tentang sejarah mesjid Quba. Layar layar lebar memvisualisasikan segala sesuatu tentang mesjid quba. Begitu keluar, sama dengan pintu masuk penulis ditawarkan cd. Harganya 5 riyal. Penulis sempat foto bareng, salah satu penjaganya bernama Salman, masih kuliah di Universitas Islam Madinah. 
Penulis jadi ingat ketika ustadz Irwan Syahputra mengajak penulis ikut jalan-jalan membelah malam kota Madinah bersama bekas mahasiswanya, Salman dengan mobil. Salman dan isterinya stand by di basecamp. Dari hamaam 8, kami turun ke bawah. Mobil jenis sedan itu, stirnya sebelah kiri. Bareng istrinya, kami diajak makan malam di suatu resto. Redup dan dingin karena pengaruh ac sampai ketulang. Pengunjung lain, seperti tidak ada. Privacy sekali. Makanan yang dicicipi rasanya tidak sesuai dengan lidah Sumatera. Memasuki area Universitas Islam Madinah, tidak bisa masuk terlalu jauh, karena forbidden.
Sekali waktu,  penulis nekat pulang jalan kaki. Di tengah jalan ketemu jemaah dari Sunda. Jadilah kami berbarengan. Lebih banyak yang dilihat. Diantaranya mesjid al Jum’ah. Sayang pintunya terkunci. Sejarahnya Ketika Rasulullah berhijrah, beliau masuk di perbatasan Madinah pada hari Senin, Rabiul Awwal 1 H. Saat itu beliau singgah di Quba selama empat hari hingga Jumat pagi, bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Awwal pada tahun yang sama. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Tidak jauh dari Quba, waktu shalat Jumat telah masuk. Beliau pun shalat di Wadi Ranuna. Di tempat shalat Jumat Rasulullah itu kemudian dibangun Masjid Al-Jum’ah (Jumat). Masjid tersebut dibangun dari pecahan bebatuan. Masjid ini memiliki menara tinggi yang sangat indah dan kubah utama tepat di atas area shalat bagian tengah, ditambah dengan empat kubah kecil.Ada pula mesjid dengan bangunan warna merah mencolok. Menurut jawaban warga yang ditanya, mereka menjawab, mesjid bin Laden.
Di sebelah Babussalaam, persis di seberang hamaam 3 ada pintu masuk ke dalam mesjid nabawi. Penulis masuk. Naik tangga di sisi kanan. Ketemu kantor/perpustakaan. Penulis sempat berdialog dengan petugasnya.                                                                                  
“Hal ‘indakum kutubu llughatul Indonesia, mitsal fiqhus sunnah ?”.                                   
“Anta mu’allim ?”                                                                                                                   “Na’am”                                                                                                                                    
”Min Indonesia ?”                                                                                                                        “Na’am” Saya mengangguk.                                                                                         
“Indonesia Jamil, Indonesia hebat” katanya. Saya Cuma tersenyum. “Uktub ismuka huna”, katanya sambil menyodorkan daftar isian nama pengunjung. Kemudian dia masuk dan keluar dengan membawa 1 tas buku buku tafsir, hadits dan buku lain termasuk beberapa cd diantaranya ada cd maktabah syamiilah. Penulis terus naik ke atas. Sampai lantai paling atas, penulis perhatikan puncak bangunan gedung hotel yang kelihatan. Ternyata jalan kembali ke hotel jadi lebih singkat. Penulis turun di pintu terdekat gate 8 di mana posisi hotel penulis berada.
(Puncak mesjid Nabawi menjelang terbit matahari)
Khotimah
Siapapun PASTI berkeinginan beribadahah ke haromain. Apakah itu haji atau umroh. Insya Allah, dengan kesungguhan, bi iznillaah bisa terealisasi. Dari pengalaman yang penulis alami, paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi mereka yang hendak berangkat. Antara lain :
          Walaupun uang saku sudah disediakan untuk kebutuhan selama di haromain (khusus yang berangkat haji), tidak salah kalau membawa bekal makanan semaksimal mungkin. Karena kopor yang dibawa berangkat tidak begitu banyak, cukupkan saja dengan makanan semisal mie istant dan makanan favorit lainnya. Di hotel sebahagian ada menyediakan aqua galon yang dengan ini kita bisa menikmati bekal tadi. Tidak usah pelit. Berbagi saja dengan rombongan kita.
          Ketika hendak tawaf, bawa fuluus secukupnya saja. Karena niat kita memang untuk ber ibadah. Hindarilah bersikut-sikut dengan jemaah lain, apapun alasannya. Kalau kenyataannya jarak pemondokan cukup jauh dari masjidil haram, jangan dipaksakan sholat  harus ke masjidil haram. Karena banyak riwayat, selama di tanah haram, di manapun kita sholat nilainya sama dengan sholat di masjidil haram. Paling tidak itulah petuah ustadz yang penulis dengar ketika berceremah di mesjid sisi kiri terowongan mahbas jinn.
         Jika memungkinkan, jadilah jemaah mandiri dalam arti kata tidak bergantung kepada orang lain. Jika memang dimintai tolong untuk ditemani ya, tafadhol.                       
Penulis beberapa kali dimintai tolong ibu-ibu untuk menemani mereka thawaf. Penulis iyakan, tapi tidak di lantai satu !. Dengan membawa ibu-ibu yang meminta tolong, tawaf di lantai dua cukup menggembirakan. Tidak terlalu berdesak-desakan. Sepanasnya terik matahari, lantai yang dipijak masih tetap adem. Masih bisa dilalui.
          Modal mengetahui dan memahami bahasa Arab, sangat sangat penting. Sepotong dua potong kata ucapan sehari hari sangat membantu. Gunakan waktu semaksimal mungkin, lebih-lebih gelombang ke dua untuk menziarahi daerah daerah seputar Mesjid Nabawi. Apalagi yang tidak fokus pada arba’in. Banyak berjalan, banyak di lihat dan tentu saja banyak pengalaman.Dan jangan lupakan pula merasakan sensasi bersantap makanan cemilan kentucky fried chicken ala Madinah yang terletak di pojok kiri gate 1 mesjid Nabawi. Al Baik. Kentucy fried chickennya negeri Arab. Buka mulai sore. Penulis siang ke sana masih tutup. Penasaran dengan cita rasanya, kali kedua penulis dating sore. Antri. Karena keterbatasan fulus, yang penting cicipi. 



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops