Pengantar
Alhamdulillah, sebagai seorang Muslim dapat memenuhi panggilan
nabiullah Ibrahim AS melaksanakan rukun Islam ke-5 adalah hal yang sangat
sangat diharapakan oleh mereka yang mengaku muslim dan beriman. Atas izinNya,
melalui titipan rezeqiNya kepada hambaNya almarhumah Dwi Puspita Rahyunie, SPd penulis dapat berangkat. Berawal dari
almarhumah sembuh dari demamnya, di kursi/sofa tamu, almarhumah menyampaikan
keinginannya untuk memenuhi panggilan Nabiullah Ibrahim AS, melaksanakan rukun
islam ke-5, menunaikan ibadah Haji. Niat itu direalisasikan dengan membuka
pendaftaran melalui tabungan Haji di BRI Syariah Cabang Binjai dan tercatar di
Kantor Departemen Agama Kota Binjai tanggal 10 Februari 2010. Waktu berlalu,
dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam ke hari, hari ke minggu,
minggu ke bulan, bulan ke tahun. Tanggal 12 Februari 2012, isteri
tercinta yang telah melahirkan 3 putra Fadlun Rahmandika, Teguh Maliki Ramadhan
dan Fajrul Azmi Syahputra diambil pemiliknya. Innaa
Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. Insya
Allah, husnul khatimah. Bersepakatlah kami, saya beserta anak-anak siapa yang
akan menggantikan posisi beliau untuk berangkat melaksanakan rukun Islam ke
lima. Berharap posisi Beliau dapat digantikan secara otomatis. Setelah berbagai
masukan, saran dan usul akhirnya disepakati bahwa posisi almarhumah, mama
mereka digantikan oleh si Bungsu Fajrul Azmi Syahputra. Ternyata peraturan yang
berlaku tidak memungkinkan. Untuk berangkat bareng, tidak bisa. Uang harus
diambil, daftar ulang dan masuk daftar tunggu !.
Untuk menimba ilmu perihal latihan manasik haji, penulis mendaftar di IPHI, Ikatan
Persaudaraan Haji Indonesia. Gratis !. Fasilitas pertemuan yang digunakan Aula
Pemko Binjai. Pelaksanaan latihan manasik haji, tiap hari minggu dan dimulai
setahun sebelum keberangkatan. Banyak ilmu yang didapat. Gambaran prosesi
ibadah sudah terbayang-bayang di mata. Ya Allah… nikmatnya !. Untuk
memaksimalkan pelaksanaan ibadah, pemerintah merasa perlu membentuk beberapa
regu dari sekian banyak jemaah. Satu ragu terdiri dari 11 orang, 1 ketua regu
(karu) dengan 10 anggota. Setiap 4-5 regu dipimpin kepala rombongan (karom). Penulis terpilih sebagai salah seorang
karu. Masuk dalam rombongan kami, kloter 15 Mess, Wakil Walikota Binjai, Timbas
Tarigan bersama isteri dengan karunya ustadz Khairul Amrin Siregar. Bahasa
arabnya bagus !. Rombongan kami masuk dalam gelombang ke dua. Artinya, jemaah
ke Mekkah, kemudian ke Madinah. Bagi mereka yang gelombang pertama, tidak ada
masalah dalam hal miqat makani. Mereka ke Madinah dulu, miqat makani di Birr
Ali kemudian melanjutkan ke Mekkah. Selesai. Tidak ada khilafiah. Untuk
gelombang kedua, saat latihan manasik terjadi 2 pendapat. Pendapat pertama,
harus di Yalamlam. Berihram harus di pesawat. Tidak di Bandara. Waktu yang
terbatas dan lain sebagainya. Jangan sampai uang puluhan juta tersia-siakan
karena prosesi awal perihal miqat dan berihram sudah tidak benar. Demikian alas
an yang membenarkan miqot harus di Yalamlam, berihram sudah di pesawat. Pendapat
kedua, dibenarkan miqat di Bandara, berihram di Bandara. Wajar saja, jemaah
pada bingung. Jemaah yang latihan manasik di IPHI tidak ada pembimbing khusus.
Karena mereka adalah jemah mandiri. Mereka hanya tahu ketua regu. Berbeda
dengan yang latihan manasik selain IPHI. Mereka dikenai biaya dengan harapan
yang dibiayai ikut mendampingi sampai ke tanah suci. Beruntung, bagi jemaah
anggota Muhammadiyah ada majelis tarjih. Beberapa hari sebelum keberangkatan, penulis bersama kawan-kawan, Hendra
Jones, Yundiser dan Khairul Amrin mengundang khusus ketua majelis tarjih PDM
Binjai, Buya Sufriady Hasan Basri. Dari referensi yang ada termasuk putusan
ulama di lingkungan Majelis Tarjih, miqat dan ber ihrom untuk gelombang ke dua
dibenarkan di Bandara King Abdul Aziz. Bahkan hal tersebut sudah menjadi
keputusan secara kelembagaan. Muhammadiyah melihat dan memutuskan King Abdul
Aziz bisa menjadi miqat maqani dan berihram.
Keberangkatan Menuju Tanah Suci
Akhirnya 18 September 2014 penulis beserta rombongan berangkat
dengan Garuda nomor GA-3115 pukul 16.30 dari Bandara Polonia, Medan.
Dilepas anak-anak dan ibunya, Lilis Erni Pilli, penulis diantar sampai pendopo Umar Baki
sehari sebelumnya. Rombongan beristirahat di asrama haji untuk persiapan
finalisasi sebelum keberangkatan. Beberapa waktu sebelumnya, rombongan KBIH
IPHI sempat merasakan manasik, langsung praktek. Bagaimana berihram yang benar,
dimana posisi awal tawaf, di mana maqam Ibrahim, minum zam-zam dan melaksanakan
sa’i, safa-marwa-safa-marwa. Dalam pembagian kelompok, penulis dipercaya menjadi ketua regu/karu.
Malam sebelum keberangkatan, seluruh jemah dikumpulkan di aula. Kepada merea
dibagikan living cost. Biaya hidup selama berhaji di haromain. Sebagai karu dan
karom juga mendapat tambahan karena mereka dianggap sebagai petugas yang
ditunjuk oleh Pemerintah. Bagi jemaah haji gelombang pertama, penentuan di mana
awal miqat tidak ada masalah. Pesawat yang membawa jemaah ke Madinah terlebih
dahulu, mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah, mereka
mengawali ihram dari Birr Ali. Tidak satupun yang tidak sepakat. Tidak demikan
dengan mereka yang tergabung dalam gelombang ke dua. Penentuan awal miqat masih
menjadi perbedaan termasuk di kalangan pimpinan persyarikatan Muhammadiyah.
Meski sudah ada keputusan tarjih terhadap masalah ini yang membolehkan Bandara
King Abdul Aziz (KAA) Jeddah bisa menjadi tempat miqat. Paling tidak itulah
yang penulis lihat dan rasakan. Sebelum berangkat,
ketika masih mengikuti manasik untuk persiapan keberangkatan para pembimbing di
KBIH IPHI Binjaipun ada 2 versi. Miqat harus di Yalamlam, dalam arti di pesawat
sudah harus dalam keadaan berihram. Bagi yang berfaham seperti ini menekankan
jangan sampai nilai rupiah ibadah haji yang lumayan besar, yang sudah
dikeluarkan sia-sia karena tidak diterimanya ibadah haji kita. Waktu yang
tersedia di bandara tidak memungkinkan jemaah untuk mandi, berihram dan sholat
2 rakaat !. Padahal menurut konfirmasi crew pesawat, tidak dapat dipastikan
apakah benar saat kita berniat ketika berihram posisi pesawat persis di
Yalamlam. Kecepatan pesawatpun menjadi pertimbangan untuk membenarkan berihram harus
di pesawat dengan alas an harus di Yalamlam. Bagi mereka berfaham
boleh miqat di Bandara, sedikit longgar !. Karena tidak harus krasak krusuk
berihram di pesawat. Apalagi saat harus ke toilet pesawat dengan kapasitas
ruangan toilet sedemikian rupa. Seminggu sebelum berangkat, penulis dan 3 kawan lain dari persyarikatan
membahas boleh tidaknya mengambil miqat di bandara. Terlibat dalam diskusi ini,
ketua Majelis Tarjih dan tajdid PD Muhammadiyah Binjai, H. Supriady Hasan
Basri. Berpedoman referensi yang ada, termasuk keputusan tarjih, disepakati bolehnya miqat di bandara. Kenyataannya, dua
diantara kami toh masih berihram juga di pesawat !. Jadilah dalam pesawat itu,
rombongan Gelombang ke-2, kloter 15 MES terdiri dari Binjai, Medan dan
Tanjungbalai 2 versi, sebahagian berihram di pesawat (sebahagian besar
rombongan Binjai) dan sebahagian yang lain di Bandara. Rombongan jemaah haji
Medan, pimpinan Dr. Maratua Simanjuntak awalnya juga berkeinginan ihram
di pesawat, tapi setelah diberi penjelasan oleh Al Ustadz Irwan Syahputra
(Sekretaris PW Muhammadiyah, Sumatera Utara) yang bertugas sebagai wakil
pimpinan kloter, Beliau turut. Beliau dan rombongan yang dibawanya, berihram di
Bandara. Sementara jemaah Tanjung Balai
semua berihram di Bandara. Penulis, yang menjadi karu 8 juga
memberikan penjelasan kepada teman-teman satu regu, bolehnya berihram di
Bandara. Alhamdulillah, semua mereka turut. Menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, petugas di pesawat mengingatkan penumpang yang menggunakan
fasilitas kamar mandi/toilet pesawat ketika mereka bersiap memakai ihram.
Mendarat dinihari di bandara, masya allah, penulis cari posisi, sujud syukur !. Tidak
disangka, seorang cleaning service di mesjid taqwa Muhammadiyah kebun lada
Binjai menginjakan kakinya di bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Setelah
mengurus perlengkapan anggota, penulis memperhatikan banyaknya jemaah yang mendarat
dari berbagai penjuru dunia. Ada yang sudah dalam keadaan berihram ada pula
yang masih utuh berpakaian biasa. Sedikit lebih mudah, kopor bawaan kawan-kawan
yang jadi tanggung jawab penulis gampang ditandai karena penulis tambahkan
kain/kacu warna hijau sisa dari Muktamar Muhammadiyah 2010 yang penulis
ditunjuk sebagai ketua penggembiranya. Fasilitas MCK yang nyaman siap digunakan.
Bahkan sampai untuk berihram, kemudian sholat dua rakaat di dalam tenda super
besar, layaknya musholla di Indonesia dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa
khawatir diburu waktu. Bahkan dengan beberapa teman yang berihram di
bandara sebelumnya kami masih sempat memesan minuman dan menikmati teh
hangat ala bandara beratapkan langit. Seperti juga disekitar bandara KNIA
(Medan), Soeta (Jakarta) atau Minangkabau Internasioanl Airport, di sekitar
bandara King Abdul Aziz juga terdapat kedai-kedai yang menawarkan minuman. Dari
mulai yang ringan sampai yang berat. Waktu panjang masih tersisa.
Labbaik
allahumma labbaik. Labbaikala syarikalaka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka
wal mulk laa syarikalak. Kloter 15 gelombang kedua yang penulis masuk dalam rombongan, tidak terdaftar
dalam peta persebaran funduuk. Tidak ada dalam persebaran hotel. Dalam peta
persebaran hotel, hanya sampai kloter 14 MES. Pimpinan kloter sendiri, Drs. H.
Baharuddin Damanik tidak tau dimana penginapan kami. Dimana dibawa petugas,
ikut saja. Menjelang waktu shubuh, bus rombongan yang membawa kami memasuki
area Hotel Arkan Bakkah di daerah Mahbas Jinn, tidak jauh dari terowongan ke
masjidil haram dan juga sekitar 2-3 km ke jamaraat.
(Di
terowongan mahbass jinn, sebelah kiri hotel Arkan Bakkah)
Subhanallaah, rombongan kami adalah tamu pertama yang memasuki
hotel itu. Ternyata hotel itu, hotel yang baru selesai di bangun, bahkan di
sana sini beberapa pekerja kulit hitam masih melakukan finishing, poles sana
poles sini. Karena kami tamu pertama, penyambutan jadi istimewa. Makanan ringan
dan minuman segar telah tersedia. Disediakan khusus untuk kami. Dalam
kesempatan lain, al ustadz Dr. Maratua Simanjuntak (ketua forum kerukunan umat
beragama Sumatera Utara) yang masuk dalam rombongan kloter 15 MES, yang sudah
berulang kali ke Mekkah, mengaku inilah tempat yang dirasakan paling mewah.
Beberapa teman dari kloter lain juga mengakui hal demikian. Fasilitas hotel
luar biasa. Di kamar mandi, perlengkapan untuk mandi tersedia, lengkap. Di
kamar tidur, di dalam kulkas minuman soft drink dan buah tersedia. Cukup
banyak. Walaupun satu kamar, 5-6 orang, tapi diimbangi dengan fasilitas yang
ada. Bahkan di kamar mandi tersedia shampoo, sabun dan deterjen. Selama di hotel, untuk minuman soft drink
tidak pernah kehabisan. Aqua galon tersedia di depan pintu masuk. 1 galon
setiap tiga kamar !. Di lantai paling atas, puluhan mesin cuci baru dikeluarkan
dari kotaknya tersedia. Petugas cleaning service membersihkan tempat cuci stand
bye untuk mengeringkan genangan air buangan cucian. Petugasnya berkulit
hitam. Beberapa kali penulis menikmati sholat malam di lantai
paling atas hotel Arkan Bakkah. Beratapkan langit, menikmati nikmat Allah swt
yang sungguh tidak terkira !. Menikmati sunrise, matahari terbit di timur dan
sunset matahari terbenam di barat kota Mekkah. Subhanallaah. Dari puncak hotel
Arkan bakkaah, pemandangan kota Mekkah dengan tanahnya yang berbukit dan tandus
serta gedung pencakar langit terlihat sejauh mata memandang. Cuma jam gadang
mesjidil haram tidak kelihatan. Fasilitas wi fi yang lancar. Membuat setiap
kesempatan yang ada, diisi kadangkala dengan berselancar di dunia maya.
Umroh awal dilaksanakan segera selesai melepas lelah. Penulis dan
kawan-kawan dipandu langsung oleh wakil kloter ustadz Irwan Syahputra. Berjalan
lancar. Suasana menjelang dinihari.
Pertama sekali menatap Ka’bah, tidak terasa air mata membasahi
pipi. Hati dan jiwa tergetar menatap bangunan agung. Subhanallah. Prosesi tawaf
yang dilaksanakan baru pertama sekali dilaksanakan sebaik mungkin. Putaran demi
putaran membawa penulis mendekati rumah agung baitullah. Ka’bah. Banyaknya
jemaah yang melaksanakan tawaf tidak memungkinkan penulis menyentuh batu mulia,
hajarul aswad. Demikian juga mengambil posisi di Hijr Ismail. Sgolah dua rakaat
di belakang maqam Nabiullah Ibrahim as pun sebisanya, posisinya menurut perkiraan.
Tahallul usai melaksanakan sa’I di lokasi masa’I berjalan lancar. Alhamdulillah.
Usai melaksanakan tawaf qudum, istirahat kembali ke hotel Arqan Bakkah.
Kali kedua, bareng teman penulis kembali tawaf. Seperti ada yang tidak
beres. Tapi karena dalam situasi bertawaf, sesuatu itu tidak jadi perhatian. Air
mata masih meleleh. Waktu menjelang masuk shubuh. Disela kesibukan mencari
posisi, seorang jemaah menawarkan kami di sisi beliau. Alhamdulillah. Dengan
kesungguhan yang ada, atas izin Allah tangan mungil penulis sempat mengusap piringan hajar
aswad. Kami juga sempat melaksanakan sholat dua rakaat di Hijr Ismail. Walaupun
untuk memperoleh itu, harus mengikhlaskan diri disikut sana, di sikut sini.
Bahkan kepala teman penulis sempat tidak kelihatan. Penulis sempat ketakutan, sempat histeris.
Khawatir kalau si teman kepalanya diinjak-injak orang. Ketika keluar dari pintu
masa’I, Ya Allaaah, dompet penulis hilang. Astaghfirullah. Pucat. Gemetar. Sampai
ke hotel, apa yang penulis rasakan, penulis sampaikan ke karom satu di mana ada
bapak wakil walikota. Pinjam uang, untuk bekal. Jika ingin ke Masjidil Haram,
kadang naik bus. Stasiun akhirnya persis di seberang hotel kami sebelum masuk
terowongan berakhir di stasiun menjelang masjidil haram. Di sisi kanannya ada
rumah Nabi yang sekarang berfungsi sebagai perpustakaan. Kalau ingin berbelanja
atau ke mesjid Jinn di dekat hotel, kadang melalui pintu belakang hotel.
Menuruni jalan cukup terjal. Berjalan kaki mengamati daerah sekeliling. Mengisi
kegiatan menjelang wukuf di ‘Arafah dimanfaatkan untuk mengetahui situasi
sekitar masjidil haram. Terbersit di hati, tidak akan tersesat.
Astaghfirullaah. Allah berkehendak lain. Hamba keluar di daerah asing. Bingung.
Tanya sana. Tanya sini. Berhenti sebentar. Tafakkur. Istighfar. Timbullah
hidayah. Masuk kembali ke masjidil haram. Lihat penunjuk arah. Masa’i. karena
selama ini penulis keluar melalui pintu sisi kanan masa’i. Plong.
Berkunjung ke Gua Hira’ dan Jamarat
Oleh wakil pimpinan kloter 15 MES, ustadz Irwan Syahputra penulis ditawari ikut rombongan Beliau ke gua
hira’. Pukul 03.00 dinihari kumpul di lobby hotel Arkan Bakkah. Bersama kami,
turut serta bapak Timbas Tarigan (wakil walikota Binjai), ustadz Khairul
Amrin dan 1 teman yang lain. Dari
seberang hotel, naik bus gratis ke masjidil haram. Berjalan kaki di sisi kanan
masjidil haram sampai ke jalan raya, kemudian kami naik taxi. Jarak yang hanya
6-7 km ditempuh dalam waktu singkat. Supirnya dari Afghanistan. Jabal nur (Gunung Cahaya) yang di puncaknya
terletak gua hira’ termasuk tempat favorit yang dikunjungi jemaah yang
melaksanakan ibadah haji dan atau umroh. Disinilah Muhammad dilantik menjadi
Nabi dan RasulNya. Segera setelah Jibril as menyampaikan wahyu surat al alaq
1-5. Saat itu usia Beliau, Nabi Muhammad saw sekitar 40 tahun 6 bulan 8 hari
menurut kalender Qamariyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kalender
Syamsiyah. Tinggi puncak gunung cahaya diperkirakan sekitar 200 meter
dikelilingi gunung dan bukit batu yang curam. Gua hira’ sendiri terletak di
belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit dengan ketinggian sekitar
2 meter. Karena kurang berkoordinasi, pendakian dilaksanakan sendiri-sendiri.
Jalan menuju puncak sudah dikondisikan sedemikian rupa. Ada anak tangga
sedemikian rupa yang dibuat oleh mereka kaum pendatang yang umumnya berkulit
hitam. Tua muda, silih berganti. Ada yang turun, tidak sedikit pula yang naik.
Menjelang puncak, di kiri kanan akan kita jumpai orang-orang berkulit hitam
yang cacat. Mereka kaum pendatang yang karena sesuatu dan lain hal dibuat
cacat. Hidup mereka dari mengemis. Menjelang puncak, penulis masih berpapasan dengan bapak Timbas
Tarigan yang beristirahat. Tidak lama sampai di puncak, sayup kedengaran azan
shubuh. Dengan kondisi seadanya, penulis berbaur dengan pengunjung lain
melaksanakan shubuh berjemaah. Situasi masih gelap gulita. Gua hira masih harus
turun sedikit ke bawah.
(Selangkah
lagi, Gua Hira’)
Berjalan perlahan tanpa penerangan. Puluhan manusia mencari posisi
masing-masing. Ketika sampai ke lorong sempit menjelang gua, penulis mengurungkan niat untuk masuk. Situasi
gelap gulita membuat nyali penulis tidak cukup berani untuk masuk.
Terpaksa penulis bertahan. Menunggu sampai waktu dan
situasi sedikit agak terang. Disela penantian, ustadz Irwan Syahputra memanggil penulis. Mengajak ke ruang yang lebih terbuka
di sisi lain di gunung cahaya. Seiring dengan terbitnya matahari, dikejauhan
terlihat jam gadang masjidil haram. Makin terang, makin jelas lingkungan jabal
nur. Jabal yang terdiri dari bebatuan besar dan tandus. Banyak jemaah haji yang
memanfaatkan momen muculnya matahari dari timur. Tua muda, lelaki dan perempuan
berbaur mengambil posisi di puncak yang tidak begitu luas. Cahayanya perlahan
menyapu kabut dan memperjelas jam gadang di Masjidil Haram. Kesempatan langka
itu dimanfaatkan pengunjung untuk berfoto. Seorang fotographer (kelihatannya
dari Indonesia) berkali-kali mengambil moment yang menurutnya luar biasa.
Posisi berdiri di antara kecuraman jabal Nur benar-benar diperhatikannya.
(Puncak Jabal Nur)
Sulit dibayangkan, bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalani
rutinitas keseharian beliau di sini dengan hanya berjalan kaki dari rumah
beliau yang sekarang menjadi perpustakaan. Paling tidak 8-9 km jalan yang
tandus dan tebing batu yang curam harus beliau lalui untuk mencari petunjuk
Allah swt. Mengasingkan diri sebagai protes melihat sikap jahiliyah masyarakat
di lingkungannya. Setelah mengalami perjuangan lumayan melelahkan, penulis sampai juga ke lubang gua. Penulis harus puas dengan hanya melihat,
melongok sedikit situasi di dalam gua. Karena masing masing pengunjung berusaha
untuk masuk. Ketika turun, penulis menemukan seekor kambing kecil.
Ajaib, kambingnya sangat jinak. Malah penulis sempat foto bareng kambing.
Rombongan berangkat 5 orang, yang pulang ke hotel barengan 3 orang dan dua
lainnya, masing-masing.
Dikesempatan lain, dengan rombongan berbeda penulis dengan kawan kawan berkunjung ke
jamaraat. Hanya dengan berjalan kaki, lokasi jamaraat di sebelah kanan hotel
Arkan Bakkah tempat kami menginap. Situasi sepi. Hanya beberapa pengunjung
terlihat menikmati arsitek bangunan jamaraat. Memasuki area jamaraat, kami
turun menggunakan eskalator untuk sampai ke tingkat lebih bawah.
(Bersama Timbas Tarigan, wakil walikota Binjai, di Jamaraat)
Situasi lingkungan berubah, dari modal bahasa yang dikuasai oleh
salah seorang teman, kami kembali ke hotel Arkan Bakkah. Kami datang di lantai
dua jamaraat dan pulang dari lantai dasar !. Selama di Mekkah, usai
pelaksanaan haji, kegiatan sholat di Mesjidil Haram, kadang shubuh sampai
zhuhur. Kadang Ashar-Magrib. Kadang di dalam area Masjil Haram, di ruangan luas yang telah disediakan hotel.
Kadang di mesjid dekat terowongan di daerah mahbass jin, di luar. Sekali waktu,
karena usai sholat yang keluar ratusan jemaah dan saling dahulu mendahului
untuk mendapatkan bus, penulis mencoba jalan memutar. Penulis ambil jalan memutar dari sisi kiri
rumah nabi, terus kebelakangnya melalu jalan setapak sampai akhirnya tiba di
stasiun bus. Walau agak jauh, tapi tidak perlu berdesak-desakan.
Menjelang dan sesudah pelaksanaan wukuf di Arafah ada juga
diantara teman teman rombongan yang
melaksanakan umroh berkali-kali. Beralasan, aji mumpung. Mumpung ada
kesempatan. Orangtuanya yang sudah meninggalpun mereka umrohkan. Begitulah
keyakinan mereka. Penulis sendiri, kalau tidak diberi tahu
ustadz Irwan Syahputra, juga mau jadi Pak Turut. Pelaksanaan wukuf di Arafah
pada haji tahun 2014 itu bersamaan dengan hari Jum’at. Di Indonesia dikenal
dengan haji akbar. Hal ini membuat situasi di Arafah semakin ramai, karena
penduduk pribumipun ikut melaksaksanakan wukuf di Arafah. Jarang ditemukan
wukuf di Arafah bersamaan dengan hari Jum’at. Jika hari hari biasa pelaksanaan
wukuf, penduduk pribumi banyak berliburan ke luar negeri. Tapi tidak, jika
pelaksanaan wukuf jatuh hari jum’at. Tanggal 8 Zhulhijjah pagi hari, di depan
hotel kami sudah banyak orang berjalan kaki menuju arafah. Hujan sempat
membasahi bumi Mekkah. Tidak lama !. Sementara rombongan kami bakda ashar
bersiap siap menuju arafah. Ini kali ke dua, penulis ke Arafah. Sebelumnya, sekedar
berziarah sesuai schedule yang telah ditetapkan dalam buku panduan. Sebagai
bagian dari hak peserta ibadah haji. Disaat tengah hari, panas menyengat. Tidak
sedikit para jemaah mendaki sampai ke puncak jabal rahmah. Berbagai tingkah
laku manusia bisa dilihat, mulai dari berdoa menghadap tugu sampai tindakan
kanibal, menulisi dinding batu di sekitar jabal. Walaupun berjarak sekitar 25
km dari Mekkah, karena kepadatan arus lalu lintas, waktu yang ditempuh jadi
cukup lama. Di Padang Arafah, hanya berbalut dua helai kain ihram yang sudah
dipakai sejak keberangkatan dari hotel. Setelah pelaksanaan sholat zhuhur jamak
taqdim qashar dengan ashar dilanjutkan dengan khutbah arafah. Kamar mandi
tempat mck yang tersedia cukup memadai. Dua lantai. Lantai atas ruang terbuka.
Dari atas dapat dilihat sejauh mata memandang, tenda melulu. Bahkan tugu jabal
rahmahpun tidak kelihatan dari lokasi posisi rombongan kami berasda. Kadang
terlihat ambulans dan jelas terdengar sirine ambulan, membawa jemaah bersafari
wukuf. Karena dalam kegiatan satu ini, tidak boleh diwakilkan. “Tidak ada haji
tanpa wukuf (di) Arafah, demikian sabda Rasulullah saw. Di tenda kami, barengan
dengan wakil walikota Binjai, Timbas Tarigan, khutbah arafah disampaikan
Dr. Maratua Simanjuntak. Selesai khutbah, masing masing mencari tempat untuk
berdoa. Sebagian ada juga yang bertahan di tenda. Beralaskan kertas kardus yang
ada, penulis mengambil posisi tersendiri,
berkhalwat. Menumpahkan segala yang mengganjal. Berharap belas kasihan Allah
swt. Isak tangis menyesali kesalahan prilaku dan banyaknya beban dosa
yang dirasakan, membuat tangis dan ingus meleleh. Ya Allah........
(Di lantai
atas kamar mandi, Padang Arafah)
Menjelang isya rombongan bersiap menuju muzdalifah. Mengambil batu
!. Tengah malam, beratapkan langit yang cerah sejauh mata memandang manusia
berihram masing masing sibuk dengan kegiatannya. Kalau di Arafah masih ada
tenda, tidak untuk di Muzdalifah. Karena hanya sesaat singgah untuk mengambil
batu dan bersiap siap ke mina. Langit kota Mekkah, sangat bersahabat.
Mutiara-mutiara langit menghiasi pandangan. Kelap kelip, berzikir !.
Justru kesakralannya lebih terasa di sini. Paling tidak itu yang penulis rasakan. Usai sholat shubuh, rombongan
kami menuju Mina. Beberapa barang tercecer, seperti rial, arloji. Satupun tidak
ada yang berani membawanya. Istirahat di tenda, kegiatan dilanjutkan dengan
melontar jumrah aqabah. Penulis dan rombongan kebagian lantai 3
jamaraat. Usai menjelang zhuhur mahkota di kepalapun dicukur habis. Tanggalah
pakaian ihram. Dengan pelaksanaan nafar sani, hari hari selanjutnya lempar
jumrah dapat dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah, menjelang zhuhur !.
Berangkat dari tenda, pukul 11.00 waktu setempat, sampai di lokasi jamaraat
menjelang zhuhur. Penulis bersama ustadz Irwan Syahputra dan petugas kesehatan.
Kadang melapor dulu ke posko, kemudian ke jamaraat. Pelaksanaan prosesi lempar jamaarat
dilaksanakan sesuai dengan waktu yang afdhal. Alhamdulillah, semua terasa
dimudahkanNya. Kembali ke penginapan, Arkan Bakkah. Penulis dan beberapa teman lain membawa banyak
buah dan minuman kaleng sisa dari dapur umum di Mina. Di bus, sebagian bawaan
itu dibagi ke jemaah lain.
Madinah
Di Madinah, penulis beserta rombongan kebagian hotel
lapis ketiga dari pagar mesjid nabawi gate 8. Dari pintu 8 ini berjalan lurus
sampai menjelang pintu 6, posisi raudhah ada di sebelah kiri. Di sebelah kanan
mesjid nabawi dari gate 8 ada bangunan memanjang. Mirip sekolah. Sebelum penulis mengetahui bangunan apa gedung
itu, penulis pernah ditanyai jemaah lain dari
Indonesia, “Dimana museum asmaul husna....?”. Penulis menggeleng, tidak tahu. Dalam
suatu kesempatan, menjelang ashar penulis berniat ke raudhah. Masuk dari
babu ssalaam, antri. Dengan bahasa arab sepotong-sepotong, penulis keluar dari antrian. Ambil jalan
pintas, satu lapis dari mimbar di raudhah, seorang petugas keamanan menarik
lengan penulis dan menyuruh berdiri persis disisi
kanan mimbar. Subhanallaah. Kesempatan tersebut tidak disia siakan. Sambil
berzikir dan berdoa, penulis perhatikan persis dibelakang
posisi muazzin. Jadilah ashar di sisi kanan mimbar kemudian bergeser sedikit ke
kiri bahagian dari raudhah. Penulis sempatkan sholat dua rakaat
persisi di depan Mihrab, gumaman rasa syukur diberi kesempatan sholat ashar dan
berdoa di raudhah, membuat penulis seperti bermimpi. “Ya Allah,
janganlah kehadiran hamba di sini adalah kehadiran terakhir, berilah hamba dan
seluruh keluarga hamba, isteri dan anak anak hamba untuk dapat juga beribadah
di taman surga ini ya Allah.......”. Area raudhah ditandai dengan karpet hijau.
Membentang dari rumah Rasulullah SAW (yang kini menjadi makam beliau) hingga ke
mimbar. Sekitar 26 x 15 meter. Selain area raudhah (karpet hijau), semua area
sholat masjid Nabawi berkarpet merah. Jadi selama yang kita injak masih karpet
merah, ya belum sampai di Raudhah. Wallahu a’lam. Menjelang keluar, di sisi
kiri ada makam yang mulia Rasulullah Muhammad saw beserta sahabat-sahabat
beliau, Abu Bakar Sidiq dan Umar bin Khatab. “Assalamu’alaika ya Rasulallah,
Assalamu’alaika ayyuha nnabiyu warahmatullaahi wa barakaatuh......”. Keluar
dari mesjid nabawi, sisi kanan ada hamam 7. Kamar mandi 7.
(Di depan salah satu mesjid Nabawi)
Melangkah terus, di sisi kiri
bangunan seperti sekolah, itulah museum asmaul husna. Bangunan 2 petak yang
terhubung. Satu bangunan berisi diorama perkembangan kota Madinah, diawali
dengan silsilah nabi Adam as sampai pada nabi Muhammad saw. Terdapat di
dalamnya market mesjid nabawi dari awal sampai seperti sekarang. Bangunan satu
lagi, asmaul husna !. Nama-nama Allah dengan segala penjelasan ayat al quran
pendukungnya. Ada juga komputer layar sentuh menyajikan kebesaran Allah. Tidak
banyak yang tahu keberadaan gedung mirip sekolah ini. Tidak jauh dari
gate 6, terdapat beberapa bangunan sejarah antara lain mesjid Abu Bakar, Mesjid
Ghamamah dan Mesjid Ali. Sayangnya ketika penulis berkunjung ke sana, mesjid dalam
keadaan terkunci. Terkesan kurang perawatan !. Lebih lebih mesjid Abu Bakar
yang terletak agak di pojok pasar. Ada dua versi tentang latar
belakang sejarah Masjid Abu Bakar, versi pertama menyebutkan bahwa di lokasi
masjid ini, Khalifah Abu Bakar Siddiq semasa hidupnya pernah menyelenggarakan
sholat Hari Raya bersama Rosululah dan muslim terdahulu. Versi kedua
menyebutkan bahwa dilokasi masjid ini berdiri dulunya merupakan rumah kediaman
Abu Bakar Siddiq. R.A. Dibangun dengan batu basal.
Bagian dalam dicat dengan wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan.
Di sebelah kanan dan kiri jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang Menara adzannya berada di
sudut timur laut. Bagian fondasinya memiliki area persegi empat. Terdapat tiang
silinder di tengahnya dan berakhir dengan muqamas penyangga balkon. Di atas
tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk
bulan sabit.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah.
Masjid Ghamama berada
sekitar 300 meter sebelah barat daya (sebelah timur bagian selatan) Masjid
Nabawi, tak bejauhan dengan Masjid (Sahabat) Umar r.a dan Masjid (Sahabat) Ali
r.a. Bangunan masjid ini dibangun untuk mengenang beberapa peristiwa penting dimasa
kehidupan Rosulullah S.A.W. dan peristiwa peristiwa penting tersebut juga yang
hingga kini melekat sebagai nama masjid
ini. Disebut sebagai masjid Ghamama
(Ghamama = awan mendung), di lahan masjid ini berdiri merupakan tempat
Rosulullah S.A.W melaksanakan Salatul Istiskah (sholat untuk meminta hujan).
Segera setelah pelaksanaan sholat awan mendung pun datang dan hujan pun turun.
Itu sebabnya sampai kini masjid ini disebut Masjid Ghamama.Disebut sebagai
Masjid Id (Masjid hari raya) karena di lokasi tempat masjid ini berdiri
merupakan tempat Nabi Muhammad S.A.W melaksanakan sholat hari raya di empat
tahun terahir kehidupan Beliau. Yang ketiga mesjid Ali. Masjid
ini berbentuk persegi panjang. Dari timur ke barat, panjangnya 35 meter dan
lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah;
timur dan barat dengan satu kamar kecil. Pengunjung cukup puas menikmati bangunan mesjid mesjid
tersebut dari luar.
Jika kita keluar dari gate
1 atau 2 menyeberang jalan, melewati bawah jalan layang, di situ ada mesjid
Bilal. Terletak lebih kurang 700 meter menyeberang jalan King Faisal. Mesjid
ini berlantai dua, di bawahnya kios-kios tempat orang berdagang. Disalah satu
ruangan kiosnya juga ada kantor pos. Sebagai seorang filatelis, penulis sempatkan membeli souvenir sheet,
perangko dan amplop. Penulis sempat sholat maqrib dan isya di
sini. Artinya penulis tidak terlalu fokus mengejar
arba’in yang oleh sebahagian jemaah menjadi suatu kewajiban. Ketika berwudhu’ di kamar
mandi, penulis menemukan seorang anak muda dari
Jawa. Bertugas sebagai cleaning service. Usai sholat maqrib, imam sholat 2
rakaat, 3 kali. Penulis penasaran. Penulis beranikan untuk bertanya, ayyu
sholah ya abi ??. Rasulullah sholat bakda maqrib, wahid marrah, rak’atain !!.
Wa lakin, anta sholat tsalatsa marrah, rak’atain, rak’atain. Imamnya terkejut,
Beliau tinggalkan penulis. Beliau ke belakang, duduk di tempat
yang telah disediakan. Beberapa jemaah mengikuti beliau, duduk setengah
lingkaran. Ada juga beberapa bocah belajar membaca al qur’an. Penulis nimbrung. Si imam menuangkan minuman
ke beberapa gelas seperti kemasan aqua dan membaginya ke jemaah yang ada
kecuali penulis. Kemudian beliau juga menawarkan kurma.
Tidak kepada penulis. Akhirnya penulis ambil sendiri, minuman termasuk
kurma yang ada. “Halal ya abi ??” Beliau menjawab dengan bahasa isyarat.
Mempersilahkan. Ketika mengulang wudhu untuk isya, setelah berwudhu dan akan
sholat sunat 2 rakaat, seseorang menghantarkan kepada penulis minuman. Rasanya berbeda. Bakda
sholat isya, penulis sempatkan bertanya kepada pemuda
yang bertemu di kamar mandi mesjid perihal minuman yang berbeda rasanya ketika
diberi imam selesai maqrib tadi. Pemuda itu menjelaskan, kalau di Indonesia
namanya jamu. Istilah di situ qahwah !!. Padahal dilihat kamus, qahwah itu
kopi. Melihat dialoq penulis dengan pemuda itu, seorang jemaah
paruh baya menyalami dan bertanya ke penulis
“Aanta hajj ?”
“Na’am, ana haji minal
Indonesia”.
Beliau bertasbih dan
berdoa, “Subhanallah, Mabrur, Mabrur”.
“Min aina anta?”,
“Ana min Iraq, Ana ‘amil
huna”.
Demikian obrol singkat penulis dengan seorang jemaah ketika sholat
maqrib dan isya di mesjid Bilal dengan seseorang yang mengaku pekerja dari
Iraq.
Dikesempatan lain penulis berziarah juga ke mesjid Ijabah.
Dari tanya sana sini sama pribumi yang ketemu di jalanan penulis diantar ke jalan raya yang membawa penulis akhirnya sampai
ke mesjid Ijabah. Dibandingkan masjid-masjid yang ada di Madinah, masjid ini
tidak terlalu besar. Bercat paduan warna krem dan coklat tua, masjid ini
dilengkapi sebuah menara tinggi menjulang. Meski letaknya di pinggir jalan
raya, persisnya Jalan As-Sittin, Distrik Bani Muawiyah, masjid ini tidak
terlalu mencolok karena hampir menyatu dengan toko-toko yang ada di
sekitarnya.Di sisinya ada rumah sakit. Penulis sempat sholat Ashar di sini. Tersedia
juga aqua galon yang siap diminum. Saat penulis di sini, sedang ada tausiyah dari
kelompok jemaah negara lain. Penulis juga sempat bertemu dengan warga
negara Indonesia yang bekerja di Madinah dan harus rela mengeluarkan uang
jutaan untuk mendapatkan haji akbar. Dengan berbagai cara dia tinggalkan
pekerjaannya, naik bus ke Mekkah dan tidur seadanya di Arafah saat wukuf dan
aktifitas lain dalam rangka pelaksanaan ibadah haji. Ketika kembali ke
pemodokan, beberapa hotel sudah dikosongkan bahkan diantaranya ada yang sudah
dibongkar dalam rangka perluasan area mesjid Nabawi. Tidak sengaja penulis
melihat satu bangunan mesjid disela-sela toko. Di dinding sebelah kiri mau
masuk tertera jelas tulisan mesjid al Bukhari. Pintu tidak terkunci, di
dalamnya bersih. Apakah digunakan atau tidak wallahu a’lam. Melihat kondisi
mesjid yang bersih dan terawat, penulis berkeyakinan mesjid itu digunakan
walaupun posisinya sangat dekat dengan mesjid nabawi khususnya gate
12.
10 hari di Madinah, penulis maksimalkan mengamalkan hadits
Rasulullah berikut
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا
أَبُو الْأَبْرَدِ مَوْلَى بَنِي خَطْمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ
الْأَنْصَارِيَّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ
صَلَاةٌ
فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada
kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu
Usamah] dari [Abdul Hamid bin Ja'far] berkata, telah menceritakan kepada kami
[Abul Abrad] mantan budak bani Khathmah, ia mendengar [Usaid bin Zhuhair Al
Anshari] -ia termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam- ia
menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Shalat di masjid Quba seperti melakukan Umrah.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا
حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
سُلَيْمَانَ الْكَرْمَانِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ
حُنَيْفٍ يَقُولَ قَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ
قُبَاءَ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada
kami [Hisyam bin Ammar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hatim bin
Isma'il] dan [Isa bin Yunus] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami
[Muhammad bin Sulaiman Al Karmani] berkata; aku mendengar [Abu Umamah bin Sahl
bin Hunaif] berkata; [Sahl bin Hunaif] berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian
mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala
umrah. [HR. ibnumajah
No.1402]
Selesai sarapan penulis berjalan kaki dari hotel masuk
gate/hammam 8, terus sampai ke gate 6. Di jalan raya, banyak angkot menawarkan
jasa angkutan. “quba......quba” kata supir.
“Kam riyal ?”
“Isna riyal” jarinya mengisyaratkan angka 2.
Jadilah penulis barengan dengan jemaah haji negara
lain ke mesjid quba.
(Prasasti di
sisi kiri Mesjid Quba)
Ada 4-5 kali atau 4-5 hari hal demikian penulis lakoni. Kadang belum jauh masuk area
mesjid ada odong-odong. Kenderaan roda empat yang bersambung-sambung seperti
kereta api. Penulis stop.
“Ila aina ???” tanya supir. “Baabun sittah ?” “Tafadhal” ujarnya. Lumayanlah,
tidak terlalu melelahkan di banding berjalan kaki. Kadang terjadi dialog
singkat.
“A anta, zahabta ila Indonesia ?” Tanya penulis pakai bahasa yang
penulis maksud, “Engkau, Pernahkan engkau ke Indonesia ?”
“Na’am. “Ila aina lau anta tazhaabu ila Indonesia ?”
“Puncak, Bogor !” Jawabnya.
Di mesjid quba, penulis juga bertemu petugas cleaning
servicenya dari Jawa. Orangnya masih muda. Dia banyak bercerita, termasuk
tentang bangunan di sisi kiri Mesjid Quba yang ada kran air, tapi airnya tidak
keluar. Menurutnya itu bekas sumur, di mana di sumur itu cincin Aisyah (isteri
Nabi) jatuh dan tidak ditemukan. Beliau juga anjurkan penulis, begitu keluar dari mesjid Quba di sisi
kiri searah qiblat mesjid ada bangunan. Ternyata bangunan itu semacam museum.
Di dalamnya ada diorama tentang sejarah mesjid Quba. Layar layar lebar
memvisualisasikan segala sesuatu tentang mesjid quba. Begitu keluar, sama
dengan pintu masuk penulis ditawarkan cd. Harganya 5 riyal. Penulis sempat foto bareng, salah satu
penjaganya bernama Salman, masih kuliah di Universitas Islam Madinah.
Penulis jadi ingat ketika ustadz
Irwan Syahputra mengajak penulis ikut jalan-jalan membelah malam kota
Madinah bersama bekas mahasiswanya, Salman dengan mobil. Salman dan isterinya
stand by di basecamp. Dari hamaam 8, kami turun ke bawah. Mobil jenis sedan
itu, stirnya sebelah kiri. Bareng istrinya, kami diajak makan malam di suatu
resto. Redup dan dingin karena pengaruh ac sampai ketulang. Pengunjung lain,
seperti tidak ada. Privacy sekali. Makanan yang dicicipi rasanya tidak sesuai
dengan lidah Sumatera. Memasuki area Universitas Islam Madinah, tidak bisa
masuk terlalu jauh, karena forbidden.
Sekali waktu, penulis nekat pulang jalan kaki. Di tengah
jalan ketemu jemaah dari Sunda. Jadilah kami berbarengan. Lebih banyak yang
dilihat. Diantaranya mesjid al Jum’ah. Sayang pintunya terkunci. Sejarahnya
Ketika Rasulullah berhijrah, beliau masuk di perbatasan Madinah pada hari Senin,
Rabiul Awwal 1 H. Saat itu beliau singgah di Quba selama empat hari hingga
Jumat pagi, bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Awwal pada tahun yang sama.
Beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Tidak jauh dari Quba,
waktu shalat Jumat telah masuk. Beliau pun shalat di Wadi Ranuna. Di tempat
shalat Jumat Rasulullah itu kemudian dibangun Masjid Al-Jum’ah (Jumat). Masjid
tersebut dibangun dari pecahan bebatuan. Masjid ini memiliki menara tinggi yang
sangat indah dan kubah utama tepat di atas area shalat bagian tengah, ditambah
dengan empat kubah kecil.Ada pula mesjid dengan bangunan warna merah mencolok.
Menurut jawaban warga yang ditanya, mereka menjawab, mesjid bin Laden.
Di sebelah Babussalaam, persis di seberang hamaam 3 ada pintu
masuk ke dalam mesjid nabawi. Penulis masuk. Naik tangga di sisi kanan.
Ketemu kantor/perpustakaan. Penulis sempat berdialog dengan
petugasnya.
“Hal ‘indakum kutubu llughatul Indonesia, mitsal fiqhus sunnah
?”.
“Anta mu’allim
?”
“Na’am”
”Min Indonesia
?”
“Na’am” Saya mengangguk.
“Indonesia Jamil, Indonesia hebat” katanya. Saya Cuma tersenyum.
“Uktub ismuka huna”, katanya sambil menyodorkan daftar isian nama pengunjung.
Kemudian dia masuk dan keluar dengan membawa 1 tas buku buku tafsir, hadits dan
buku lain termasuk beberapa cd diantaranya ada cd maktabah syamiilah. Penulis terus naik ke atas. Sampai lantai
paling atas, penulis perhatikan puncak bangunan gedung
hotel yang kelihatan. Ternyata jalan kembali ke hotel jadi lebih singkat. Penulis turun di pintu terdekat gate 8
di mana posisi hotel penulis berada.
(Puncak mesjid Nabawi menjelang terbit matahari)
Khotimah
Siapapun PASTI berkeinginan beribadahah ke haromain. Apakah itu
haji atau umroh. Insya Allah, dengan kesungguhan, bi iznillaah bisa
terealisasi. Dari pengalaman yang penulis alami, paling tidak ada beberapa
hal yang harus diperhatikan bagi mereka yang hendak berangkat. Antara lain :
Walaupun uang saku
sudah disediakan untuk kebutuhan selama di haromain (khusus yang berangkat
haji), tidak salah kalau membawa bekal makanan semaksimal mungkin. Karena kopor
yang dibawa berangkat tidak begitu banyak, cukupkan saja dengan makanan semisal
mie istant dan makanan favorit lainnya. Di hotel sebahagian ada menyediakan
aqua galon yang dengan ini kita bisa menikmati bekal tadi. Tidak usah pelit.
Berbagi saja dengan rombongan kita.
Ketika hendak tawaf, bawa fuluus secukupnya saja. Karena niat kita
memang untuk ber ibadah. Hindarilah bersikut-sikut dengan jemaah lain, apapun
alasannya. Kalau kenyataannya jarak pemondokan cukup jauh dari masjidil haram,
jangan dipaksakan sholat harus ke masjidil haram. Karena banyak riwayat,
selama di tanah haram, di manapun kita sholat nilainya sama dengan sholat di
masjidil haram. Paling tidak itulah petuah ustadz yang penulis dengar ketika berceremah di mesjid sisi kiri terowongan
mahbas jinn.
Jika memungkinkan, jadilah jemaah mandiri dalam arti kata tidak
bergantung kepada orang lain. Jika memang dimintai tolong untuk ditemani ya,
tafadhol.
Penulis beberapa kali
dimintai tolong ibu-ibu untuk menemani mereka thawaf. Penulis iyakan, tapi tidak di lantai satu
!. Dengan membawa ibu-ibu yang meminta tolong, tawaf di lantai dua cukup menggembirakan.
Tidak terlalu berdesak-desakan. Sepanasnya terik matahari, lantai yang dipijak
masih tetap adem. Masih bisa dilalui.
Modal mengetahui dan memahami bahasa Arab, sangat sangat penting.
Sepotong dua potong kata ucapan sehari hari sangat membantu. Gunakan waktu
semaksimal mungkin, lebih-lebih gelombang ke dua untuk menziarahi daerah daerah
seputar Mesjid Nabawi. Apalagi yang tidak fokus pada arba’in. Banyak berjalan,
banyak di lihat dan tentu saja banyak pengalaman.Dan jangan lupakan pula merasakan
sensasi bersantap makanan cemilan kentucky fried chicken ala Madinah yang
terletak di pojok kiri gate 1 mesjid Nabawi. Al Baik. Kentucy fried chickennya
negeri Arab. Buka mulai sore. Penulis siang ke sana masih tutup. Penasaran
dengan cita rasanya, kali kedua penulis dating sore. Antri. Karena keterbatasan
fulus, yang penting cicipi.
0 komentar:
Posting Komentar