Lencana Facebook

Selasa, 14 November 2017

My Life, My Adventure III

Menurut kartu keluarga dan yang tertera di ijazah, saya lahir di Padang pada tanggal 06 September 1964. Kata bapak saya, dibenarkan oleh kakak dan abang saya, waktu balita kaki saya X. Susah sekali untuk dibawa berjalan. Masa kecil saya dilalui di Padang. Dari Padang, orang tua saya hijrah ke Medan. Tinggal di jalan Rahmadsjah, gang Kembar. Di sebelah rumah, ada pohon randu cukup besar. Ada cerita aneh yang pernah saya dengar langsung dari orang tua saya. Suatu malam, dari atas pohon berjatuhan anak ayam. Oleh orang tua saya, anak ayam dikumpulkan dikain sarung, anak ayamnya tidak ada. Malam yang lain, abang saya terjaga melihat seperti ada cahaya senter menerpa tidurnya, ternyata tidak ada. Malam yang lain, kedengaran orang menyeret mesin jahit, mesinnya bergeser, pintu jendela tidak ada perubahan. Saya juga dikenal sebagai penterjemah omongan Fadillah adik saya yang celat. "Pa, wak ni pu teng" artinya "Pa, bawa sini lampu stromkeng". "Bu, tak tu tik" artinya "Ibu tidak punya baju cantik". Dari jalan Rahmadsjah, keluarga saya beberapa kali pindah. Ke jalan Utama, Gg. Sadi. Ke Jalan Bakti Gang Kolam. Ke jalan Utama Gang Setia. Terakhir jalan Pelajar Timur, Komplek SPG Negeri I Pasar Merah Ujung.
Masa Sekolah Dasar
Saya bersekolah dasar di SD Negeri Nomor 16, Jalan Rahmadsjah/Japaris Medan. Ketika itu saya dan orangtua beserta keluarga tinggal di jalan Utama Gang Setia. Pergi ke sekolah berjalan kaki dari gang Sadi, gang Bandung, gang Abadi, gang Sekolah. Daerah itu disebut dengan Komat (Kota Matsum). Daerah yang termasuk cukup rawan. Saya lupa kelas berapa, ketika istirahat saya dan beberapa kawan mendapat hukuman berdiri di depan kelas. Satu kaki dan satu tangan di lingkar di atas kepala. Karena ketika istirahat, main tolak-tolakan pintu. Tangan teman saya terjepit pintu. Dia meraung. Tangannya berdarah. Kelihatan cacat. Kalau tidak salah, jempolnya.
Ketika rekreasi ke Tuntungan, mandi-mandi bersama kawan-kawan lain, saya sempat curi pandang ketika Eli Trisnawati berganti pakaian. Seorang kawan lain, dipahanya ada pacat. Ketahuannya setelah di mobil. Dia pucat, kawan lain tertawa. Di rumah, saya laki-laki yang sudah bisa disuruh-suruh oleh abang saya. Adik-adik masih kecil. Adik bawahan saya, di kampung. Bawahannya lagi ya masih kecil. Suatu hari saya disuruh beli cacing untuk ikan cupang dan ikan emas peliharaan abang saya. Karena menolak, karena terlalu jauh saya disepak dan dipukuli abang. Saya cuma bisa menangis.
Ketika kelas IV ibunda saya meninggal. Ketika itu saya masih dirumah teman, Ikhwan Chaidir. Saya biasa bertandang ke rumahnya. Tiap hari. Ayahnya sudah lama meninggal. Pernah saya diajaknya tidur ke rumahnya. Saya tidak menyangka ternyata tidurnya  bareng sama ibunya. Maklum, dia anak bungsu. Karena keakraban kami, ibuku dan ibu Ikhwan Chaidir jadi berteman. Ibu Ikhwan Chaidir berjualan di Pajak jalan Halat. Sesekali ibu saya singgah ke kedai ibunya. Ketika ibu meninggal habis melahirkan adik bungsu kembar Fatimah dan Fatmah yang juga meninggal, saya sedang main alip sambar elang sama Ikhwan Chaidir dkk. Tetangga sebelah rumah datang, menyuruh saya pulang. "Ngapain pulang, lha sedang asyik-asyiknya main alip sambar elang. "Dek, pulang, ibu kau meninggal !". Kata teman tetangga sebelah rumah saya di gang Setia menyampaikan berita duka. Saya kaget. Saya berlari masuk ke rumah Ikhwan Chaidir, ambil tas lari sekencang-kencangnya, pulang. Pertanyaan ibunda Ikhwan Chaidir di depan pintu masuk rumahnya, tidak saya acuhkan. Sampai di rumah, tetangga sudah beres-beres mempersiapkan segala sesuatunya untuk menanti kedatangan jenazah. Ketika jenazah akan dikebumikan keesokan harinya, sebelum pengkafanan masing-masing kami menciumi wajah ibu. Saya cuma jongkok, mendekatkan kepala ke wajahnya, tapi tidak menciumnya. Penyesalan seumur hidup. Yang teringat waktu itu, kenapa ibu Ikhwan Chaidir tahu ibu saya meninggal ?. Dari mana dia tahu. Padahal ketika kemarin dia bertanya, tidak saya perdulikan.
Pertemuan terakhir dengan ibunda terjadi ketika saya bersama abang nomor dua menghantarkan makanan untuk ibu. Boncengan naik sepeda. Di depan Thamrin Plaza saat melintasi rel kereta api, tutup rantangnya jatuh. Dilindas mobil. Jadilah makanan itu sampai ke rumah sakit tanpa tutup. Dialog yang tidak terlupakan dengan ibunda disaat almarhumah berkata pada dokter.
"Dok, coba perhatikan hidung anak saya ini, dok" Kata ibu menunjuk ke hidung saya.
"Ya bu, kenapa ?"
"Bagus ya dok, mancung"
"Ya bu"
"Saya mau hidung saya tukaran dengan dia, dok"
Itulah suara ibunda Sa'adah, ibu yang melahirkanku. Kukenang terus.
Di Medan dulu ada siaran radio Prapanca. Alamatnya jalan Brigjen Katamso. Sekali seminggu ada acara pembacaan puiti oleh penyiarnya, mas Jamal Pribadi (?). Dalam beberapa kali pengudaraan, dipilihlah puisi terbaik. Puisi saya berjudul "Khabar Sendu Buat Nisan 74" (?) keluar sebagai puisi terbaik. Saya memperoleh piagam penghargaan. Saya jemput langsung ke studio Prapanca jalan Brigjen Katamso.
Karena tidak ada teman di rumah, beberapa kali saya bawa si bungsu ke sekolah. Pernah sekali, teman saya terima jula-jula uangnya diberikan kesibungsu. Kalau tidak salah namanya Faridah. Karena saya yang sekolah masuk siang, situasi membuat saya bisa memasak. Pernah suatu kali, masak rebusan daun ubi. Kuali di atas kompor Ketika mau berangkat, mau makan. Ambil daun ubi. Daun ubinya bergumpal. Sayurnya tumpah. Saya menangis. Sambil menangis sayur yang tumpah saya masukkan ke kuali, saya tinggal ke sekolah, tidak jadi makan.
Pada kesempatan lain, saya mengkoordinir kawan-kawan bolos. Tujuan kami mandi di sungai mati. D belakang istana plaza sekarang. Melewati perkuburan muslim untuk sampai ke sungai. Ketika mandi-mandi, celana saya buka dilemparkan ke depan diambil. Suatu kali, celana tidak terambil. Celana tenggelam. Jadilah saya pulang hanya berbalut baju. Di perkampungan anak muda sedang berolah raga pada heran kenapa saya pulang berbalut baju.
"Mana celanamu" kata mereka.
"Hilang bang"
"Hilang, jangan macam-macam kau"
"Hilang tenggelam bang"
Hahahaha....hahahaha mereka tertawa meriah. Di jalan Mahkamah, di belakang rumah penduduk dekat rel kereta api. Ada 1 kain jemuran yang tidak layak pakai Itulah yang saya gantikan ke baju yang menutup tadi. Baju dipakai normal, bawahnya kain jemuran yang dijumpai di jemuran di belakang sebuah rumah. Teman teman SD saya, Edy Syahputra, Nizamuddin, Ikhwan Khaidir, Zainal Abidin, Iwan beradik kakak dengan Buhari, Edy Sucipto, Ainal Mardiah, Titik Puspa, Ely Trisnawati, Khairul, Faridah, Edy Faisal dan lain-lain.
Siang hari saya sekolah mengaji di madrasah gang quba. Pernah suatu kali, pulang mengaji saya digodain sama Syahirman Ali. Dia mengejek. Dia jodohkan saya dengan Deliana. Fuad-Deliana. Fuad-Deliana. Padahal Deliana ada di situ bareng kawannya. Gengsi. Saya kejar Syahirman Ali. Yang dikejar lari. Tiba-tiba Syahirman Ali masuk gang. Dari gang keluar nenek-nenek mengiring sepedanya. Tabrakan tidak bisa dihindari. Supaya tidak lebih fatal, apa yang bisa saya gapai, saya gapai, Saya masuk parit. Nenek-nenek itu nyaris masuk parit. Al quran saya basah oleh parit. Syahirman Ali terbahak. Deliana dan kawannya tertawa. Nenek nenek itu merepet. Saya terbirit-terbirit menghindari amuk kemarahan nenek nenek itu.
Suatu malam, sedang enakan sender bareng ibunda, tiba tiba di depan pintu rumah muncul sosok pocong. Saya terkejut. Si pocong lari ke seberang gang, di tempat yang agak rimbun. Melompati parit. Muncul di depan seoorang ibu yang sedang menjahit diterangi lampu stromkeng. Si ibu menjerit, suaminya menghampiri. Si Pocong bersembunyi di semak-semak. Tetangga sebelah rumah memang usil. Saya juga pernah dijahili kakak. Saat malam, tiba-tiba dia duduk di  depan saya memakai mukenanya. Saya menjerit.
Suatu malam saya dibawa papa jalan-jalan. Di depan gang Sadi Papa cerita bahwa besok saya akan mendapat ibu baru. Karena kesibukan beliau mengajar di SPG Negeri I Medan dengan anak-anak yang banyak, Beliau memerlukan pendamping. Pilihannya wanita sebelah rumah. Sederhana. Wanita yang siap mengasuh anak-anaknya. Ada yang suka ada yang tidak adalah wajar. Sebagai seorang isteri dari Papa saya, wanita sederhana dengan plus minusnya berhasil mendampingi papa dan memberikan putera-puteri kehidupan yang cukup berhasil.
Masa SMP
SMP Negeri 11 Medan
Tiga tahun setengah SMP, tiga sekolah saya lalui. Pertama di SMP Negeri 11 Medan. Ketika melihat pengunguman daftar siswa yang diterima, nama saya tidak keluar. Sementara nama famili satu kampung,Amril, keluar. Saya sedih. Sampai di rumah saya ceritakan keadaan saya dengan papa. Papa cuma tersenyum. Pada hari pertama disekolah, saya diantarnya ke SMP Negeri 11. Memulai masa SMP bersama siswa siswa lain. Alhamdulillah. Kalau tidak salah, Nizamuddin teman satu SD juga sekolah di sini. Pernah suatu kali saat upacara pengibaran bendera, saya guit telinga teman di depan saya. Olehnya ditegur teman yang lain. Saya happy. Merasa tidak pernah berbuat, tentu saja yang dituduh tersinggung. Mereka ribut. Mereka dipanggil ke depan sampai upacara selesai. Usai upacara, begitu masuk ke kelas tendangan guru olah raga mendarat di perut saya. Telak. Itulah buah kejahilan saya ketika upacara bendera di lapangan tadi. Saya cuma bisa meringis.
SMP Negeri 1 Padang
SMP ke dua yang saya lalui di SMP Negeri 1 Padang. Lokasinya persis di depan gedung DPRD Tk II Padang. Tidak jauh dari Pasar Raya Padang. Sesekali saya main ke pasar raya ini. Sebagian teman yang membawa sendiri kenderaan, kadang memarkirkan kenderaannya di parkiran pasar raya ini. Papa dulu pernah menjadi guru di sini. Saya dengan kakak tinggal di sini. Di rumah adik ibu. Jl Raden Saleh Gang Sakato. Safinah Oedin. Beliau anggota DPRD Provinsi, dari PPP. Kepindahan saya ke Padang, yang saya dengar karena adik ibu saya, ingin membantu membesarkan anak-anak kakaknya yang sudah meninggal. Setiap hari ke sekolah naik bemo. Sampai di sekolah selalu diusilin sepupu saya, Yuniarti Palar. Saya cuma cengengesan. Duduk paling belakang. Di bangku deretan bahagian putri ada Zahirma (?). Body nya bagus. Suka pakai rok kembang di atas lutut. Pahanya selalu dibanggakannya.
Suatu hari saya diantar oleh adik ibu saya menggunakan mobil sedan FIAT nya. Turun persis di depan sekolah. Rupanya ada yang memperhatikan. Febrian Harminal. Anaknya putih bersih. Berkaca mata. Tipelogi anak pejabat. Ayahnya H. Harminal Harun. Seorang pejabat di lingkungan Pemprov Sumbar. Febrian menghampiri saya,
"Bukankah itu bu Fin ?. Anggota DPRD ?
"Benar, kenapa rupanya?"
"Apa hubunganmu dengan dia ?"
"Itu ibu saya". Beliau adik ibu saya !"
Sejak saat itu Febrian jadi akrab bersama saya. Saya sempat beberapa kali main di rumahnya.
Di rumah, beberapa waktu saya menjadi raja. Makan, tidur, makan, tidur. Pernah suatu kali saya ngompol. Ya ngompol. Karena kebiasaan ngompol ini pula saya gagal mengikuti jamnas pramuka tahun 1976 di Sibolangit. Padahal saya aktif di kepramukaan. Latihan Minggu sore di jalan Ismailiyah. Persis di depan sekolah alwashliyah. Saya lupa Gudepnya. Yang saya ingat, ketika jambore ini, saya nimbrung sama rombongan pramuka dari SPG.
Tapi tidak sempat berkemah. Tidak lama saya mendapat tugas rumah tangga. Banyak hikmah yang dapat saya petik. Tugas saya melantai. Pernah suatu kali, selesai melantai Savidriany Idris, Evi ngajak teman temannya bermain. Mulanya di grasi, sesekali mereka masuk ke rumah.  Mana hari hujan. Lantai yang dipel belum kering. Saya hanya bisa menangis dalam hati.
Karena terjadi miskomunikasi, saya bersama kakak harus kembali ke Medan. Karena di Kurai taji ada Buya, ada One kami pamitan. Akhirnya Buya dan One menahan kami.
SMP 3 Pariaman
Karena lokasi rumah dan sekolah tidak jauh, saya berjalan kaki. Setiap hari Buya kasih uang jajan Rp 15. Sudah tersedia di meja kecil dekat kamar Beliau. Rumah itu cukup besar. Rumah itu memanjang. Yang tinggal hanya One dan Buya. One di kamar tengah, Buya di kamar belakang. Saya sendiri di kamar depan.Sebelah kiri. Terhubung langsung dengan ruang tamu. Masuk ke dalam, ruang terbuka kemudian ruang keluarga sebelah kanan, sebelah kiri kamar One,sebelahnya kamar kosong. Kemudian dapur. . Dapurnya sangat luas. Di sebelah kanan, kamar kosong dan di sebelahnya kamar Buya. Sebelah kiri, kamar mandi dan WC. Di dinding kamar kosong ada papan nama yang terbuat dari timah (?). Sa'adah.
Kebiasaan setiap malam selesai magrib, makan malam di atas tikar yang digelar. Kadang di meja makan. Menjelang dan selesai isya, Buya bercerita kisah hidupnya. Pertemanannya dengan Pangsar Sudirman. Presiden Soekarno pernah menjadi sekretarisnya dan lain sebagainya. Kadang Beliau berpantun. Kalau mau sholat shubuh, Buya selalu menggedor pintu kamar saya. Buya tidak akan pergi sebelum pintu kamar dibuka.
"Dek...Dek, Bangun !. Shubuh....Shubuh"
"Iyo Buya"
"Kalau iyo, buka pintu"
"Iyo Buya"
Itulah ujaran setiap pagi untuk membangunkan saya supaya bisa sholat shubuh berjemaah dengan Buya di ruang keluarga. Setiap pagi saya selalu ditunggu. Supaya bisa pergi sekolah bareng. Tuti Sri Rahayu. Dia tinggal bersama tantenya, Bidan Zaitun. Kadang menunggu saya sambil menggendong adik kecil.

Rabu, 01 November 2017

My Life, my Adventure II

Dari Muktamar ke Muktamar

Sebelum mengikuti Muktamar Muhammadiyah, saya sempat beberapa kali mengikuti muktamar organisasi otonom muhammadiyah, yakni IMM dan Pemuda Muhammadiyah. Muktamar IMM dilaksanakan di kota Padang. Setelah beberapa lama kepengurusan PP IMM vakum. Keaktifan saya di IMM berawal ketika memulai perkuliahan di fakultas Sastra USU, jurusan Bahasa Arab. Setelah mengikuti MAsa KAsih SAyang , kemudian Darul Arqam Dasar dan Darul Arqam Madya yang master trainingnya ketua DPP IMM, Immawan Wahyudi. Usai mengikuti pengkaderan, saat penutupan saya menangis. Darah ini perasaannya menjadi dialiri warna muhammadiyah. Jenjang pengabdian saya dimulai dari komisariat fakultas sastra USU, PC IMM Medan dan DPD IMM Sumatera Utara. Satu angkatan dengan saya Anwar Bakti, Shohibul Anshar. Amirsjah Tambunan, Akrim Ashal Lubis, Nizar Idris dan lain-lain. Termasuk Achlak Sidik Abidin yang pernah saya idolakan. Pernah ketika pengkaderan, oleh Beliau saya disuruh “meminta” makanan ke beberapa pabrik/toko roti di sekitar jalan Sutrisno. Dari dua pabrik/toko yang dukunjungi, satu dapat, satu malah tukang pukulnya yang keluar.Bahkan ketika PC IMM Medan harus “terusir” dari jalan Gedung Arca, saya dan Amirsjah Tambunan barengan angkat lemari ke rumah saya di Jl. Halat/Jl. Utama Gang Setia. Sebelum Muktamar dilaksanakan Musyda bertempat di UMTS Padang Sidempuan. Jaket almamater saya hilang di sini. Karena sudah dekat dengan kampung halaman, usai Musyda saya melanjutkan perjalanan ke kampung halaman. Sebelum berangkat mendapat amanah dari senioren untuk mengantar adiknya ke kampung halamannya. Dengan senang hati tugas mengantarkan Asliani Musba ke Matur saya laksanakan. Beliau juga sempat saya bawa ke kampung. Lintas Padang Sidempuan-Bukit tinggi memang indah.
Muktamar IMM di Padang dilaksanakan di gedung Seni Budaya tepi Pantai, Padang. Saat istirah dan waktu senggang, pemandangan laut dapat dinikmati ditemani hembusan angin yang menyapu lembut wewajah yang menikmatinya. Ketika acara pembukaan, saya ketemu dengan engku Kasim Munafy, tokoh Muhammadiyah di Pariaman. Usai muktamar saya sempatkan singgah di simpang Kurai taji. Rumah One. Keberangkatan saya ke Padang tidak lepas dari bantuan Pembantu Dekan III Fakultas Sastra USU ketika itu. Beliau aktivis Muhammadiyah di Helvetia. Sementara kami menginap di Asrama haji. Setiap acara ada bus yang menjemput. Usai acara, diantar kembali ke penginapan. Kalau tidak salah, salah satu keputusan pokok muktamar adalah menunjuk IMMAWAN NIZAM BURHANUDDIN SH menjadi ketua DPP IMM dibantu  sekjen M. ARIFIN NAWAWI.
Muktamar berikutnya adalah Muktamar Pemuda Muhammadiyah. Pertama di Palembang kemudian di Bandung. Keaktifan di Pemuda, berawal ketika mengikuti pengkaderan di bulan Ramadhan. Salah seorang narasumbernya ustadz Thosim Burhani. Selesai pengkaderan mendapat KTA, ditandatangani oleh Dalmy Iskandar, ketika itu sebagai Rektor UMSU. Sempat aktif di ranting Muhammadiyah Desa Binjai, Pasar Merah Ujung. Dalam setiap kegiatan, saya terlibat khususnya dalam pengutipan dana untuk mendukung kegiatan. Di Pasar merah ujung ada Drs. Sunariyadi, guru MAN Medan. Guru kami termasuk al utadzs Abdullah Sinaga, muallaf. Keaktifan terus berlanjut ketika orang tua saya mendapat amanah menjadi kepala sekolah di SPG negeri I Binjai. Saya yang aktivis IMM dan Pemuda Muhammadiyah dilibatkan oleh ketua PCM Sambirejo, mantri H. Asmat Ali Akbar untuk bisa aktif di Pemuda Muhammadiyah. Oleh kelurahan saya diminta aktif di kepemudaan desa, tapi saya tolak. Cukuplah saya di Pemuda Muhammadiyah saja. Kesan khusus aktif di Pemuda saat saya menjadi Master of Training dalam pengkaderan Pemuda Muhammadiyah. Pengkaderan dilaksanakan di TK Kartini. Salah seorang pesertanya, Sujarno. Sekarang pejabat di Pemkab Langkat. Saat itu, isterinya melahirkan. Dia minta saran, siapa nama putera laki-lakinya yang baru lahir. Oleh kawan-kawan, karena Master of Trainingnya Fuad, maka pakailah nama itu. Sujarno juga pengagum Buya Syafi'i Ma'arif. Jadilah nama puteranya Fuad Ma'arif. Fu'ad Ma'arif juga sukses dalam jabatannya. Seperti IMM, muktamar pemuda pun adalah muktamar sekian lama kepengurusannya vakum. Ketua PP Pemuda Muhammadiyah nya sibuk dengan tugas lain. Sering ke luar. Sehingga logo muktamar pemuda ketika itu, gambar burung diibaratkan begitu tingginya terbang burung sehingga lupa membumi. Turut bersama rombongan kami Bapak Kalimin Sunar, sepuh Pemuda Muhammadiyah. Acara dipusatkan di USU II, Universitas Sebrang Ulu. Sempat terkenal karena ketika berlangsungnya acara, panitia membuat WC darurat. Jadilah USU II memiliki WC terpanjang (di dunia). Waktu senggang saya dan kawan-kawan berjalan-jalan di jembatan Sungai Musi. Kadang ke taman Sudirman ditemani beberapa panitia. Salah seorang tim kesenian, karena kukuh mempertahankan jilbabnya mengundurkan diri dari kelompoknya. Konon, saat penampilan pagelaran kesenian jilbabnya disuruh buka. Antara penginapan dan lokasi acara, ditempat yang sama. Jadi tidak perlu repot seperti muktamar IMM. Ketika usai penutupan, saya dan kawan-kawan masih berjalan-jalan. Menikamati hari terakhir di Palembang. Saat kembali ke lokasi penginapan, handuk pemberian Ardes Manita Arleg, dari Pariaman hilang. Padahal dihanduk itu tertera nama saya. Ardes manita arleg memberi saya handuk bernama sebagai cenderamata. Untungnya tape recorder sepupu yang kuliah di UNSRI, El Fitri DS tidak turut hilang. Ketika pulang, saya mendahului karena saya singgah ke kurai taji. Teman-teman rombongan punya cerita seru ketika pulang. Bus ALS tumpangan mereka ditahan pihak keamanan. Beberapa anggota rombongan sempat menerima perlakuan yang tidak enak dari aparat. Sementara si korban tidak tahu menahu dengan kejadian. Di Binjai, antara empek-empek dan kuahnya berpisah. Sebulan kemudian baru ketahuan, oohh ini empek-empek !. Ooh ini cukanya untuk empek-empek. Muktamar pemuda muhammadiyah di Palembang berlangsung
Muktamar selanjutnya yang saya ikuti adalah Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Bandung. Sebelum berangkat, saya dan kawan-kawan beraudiensi dengan walikota Binjai. juru bicaranya Pariman Susilo. Dia mengaku dekat dengan pak Walikota. Rombongan berangkat melalui jalan darat, sampai ke Bakahueni, Lampung naik ferry ke Merak dan terus ke Bandung. Pada saat acara pembukaan dipintu masuk stadion bertemu dengan Misdi, teman sesama aktifis IMM. Entah kenapa, situasi Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Bandung ini, lebih banyak blank nya. Tidak seperti di Palembang, sebagian besar yang terjadi masih bisa diingat dengatv baik.
Muktamar Muhammadiyah 
Pertama sekali mengikuti Muktamar Muhammadiyah, yakni Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta. Saat itu sebagai sekretaris Majelis Pustaka saya tereliminasi dari daftar calon utusan yang akan berangkat karena tidak memiliki nomor baku. Ruangan sekolah SMP Muhammadiyah 12 Binjai jadi saksi kesedihan saya tereliminasi.Padahal keinginan untuk berangkat sangat-sangat kuat. Gagal sebagai calon utusan karena dieliminasi dari bursa pencalonan utusan Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta, membuat saya berpikir keras bagaimana bisa berangkat ke sana. Ketika sholat maghrib saya terbayang Indosat. Secara kebetulan, saya dapat bocoran informasi bahwa Dirut Indosat yang baru adalah famili dari Jakarta. Spontan saya menghubungi panitia untuk meminta proposal. Awalnya ketua panitia, Supriady Hasan Basri keberatan, kecuali ada izin dari ketua PDM, Bapak Bachtiar Hasan. Saya pun sowan ke ketua PDM. Minta katabelece beliau agar saya diberi proposal untuk mencari biaya dana sendiri. Akhirnya proposal pun saya dapatkan.  Dengan berbekal sepotong surat, saya titip proposal ke satpam di Indosat menerangkan hubungan saya dengan informan di Jakarta, (adik ibu saya dari UPPINDO, mak tuan Asdie Oedin) dengan lampiran proposal panitia muktamar. Kebetulan Dirutnya, Abangnda Ir. Ardhin Ikhwan S.MBA sedang berada di Jakarta.Informasi ini saya peroleh dari penjaga rumahnya. Karena itulah, dititp di kantornya, pada satpam. Karena hari sudah malam. Kantor tutup. Seminggu setelah proposal masuk ke Indosat, melalui bantuan teman satu esde, di SD Negeri nomor 16 jalan Rahmadsyah/ jalan Japaris Medan  Edi Faisal yang bekerja di PT Telkom Binjai saya hubungi bang Edi.  Gayung bersambut. Pucuk di cinta rezeki tiba. Sekretaris Bang Ardhin, menyampaikan berita gembira bahwa proposal pantia muktamar yang meminta 1 tiket pp Medan-Yogya dapat dipenuhi. Hari berikutnya, melalui tangan bang Ardhin, saya terima satu cheque yang saya uangkan saat itu di Bank Bali Binjai yang terkenal dengan logo si jempolnya. Hasil jerih payah saya dapat menembus Indosat jadi bahan gunjingan di internal PDM Binjai. Seorang anggota Muhammadiyah mendapat bocoran, PDM Binjai melalui Panitia Muktamar mendapat bantuan dari Indosat.
“Siapa yang menerima bantuan dari Indosat atas nama panitia muktamar ?”.
“Saya !”. Akhirnya saya buka kartu. Panitia minta sebahagian. Alhamdulillah, tanpa kerepotan yang berarti akhirnya saya dapat berangkat bareng rombongan yang lain. Kami dilepas di depan sekolah SMP Muhammadiyah 12 Binjai, naik bus menuju Belawan. Ketika saya berumah tangga tahun 1992, Bang Ardin dating bersama isteri Beliau.

“Foto-foto muktamar muhamadiyah ke-42 Yogyakarta seperti terlihat di bawah ini” :


“(Gambar di atas, saat kami dalam pelayaran Belawan- Tanjung Priuk, ada Bp. Drs. H. Abdul Choliq, dan teman seperkuliahan, Hadiyar yang secara kebetulan ketemu di kapal )”
Selama di Yogya, kesempatan untuk menikmati liburan dan suasana Yogya saya manfaatkan betul. Kalau ke Yogya tidak ke Borobudur ibarat gulai tanpa garam. Dengan rombongan ibu-ibu, akhirnya sayapun berkesempatan menikmati satu diantara 7 keajaiban dunia yakni candi Borobudur . kelihatan di foto saya, pak Achmadsjah, Bang Erizal, Kak Wahyuni, Ibu Elly Marni dan beberapa rombongan lain sebagai wisatawan local foto bareng dengan wisatawan manca Negara.
Foto dibawah ini, sempat membuat ibu-ibu rombongan penggembira muktamar muhammadiyah ke-42 Yogyakarta tahun 1990 meradang melihat kelakuan saya yang kurang ajar. Dengan enteng saya redam kemarahn ibu-ibu dengan mengatakan teman di foto saya itu adalah calon ibu aisyiyah dari Eropa. Kemarahan ibu-ibu rombongan dapat saya maklumi karena fotonya dianggap terlalu berani. Weleh-weleh –weleh. Apa boleh buat. Mudah-mudahan teman bareng di foto ini betul-betul menjadi ibu aisyiyah. Paling tidak dirinya sendiri menjadi muslimah.


Kenangan manis di candi Borobudur. Yogya memang ok. Muhammadiyahpun ok. Saya menjadi bagian dari stupa Borobudur.

Bareng ibu-ibu penggembira dari Binjai. Asssyyyikk.

Ibu-ibupun tak mau kalah dalam mengambil kesempatan foto bareng dengan Muhammadiyah dan Aisyiyah Eropa.
Ketika acara pembukaan Muktamar berlangsung di stadion   saya dan Bang Erizal tidak dapat masuk. Karena tidak dapat memperlihatkan undangan masuk. Akhirnya kami putuskan ke kantor PP Muhammadiyah. Kami berjalan kaki ke kantor PP Muhammadiyah. Dari tanya sana-sini, akhirnya kami samapi ke kantor PP Muhammadiyah. Saya langsung buat kartu. Karena segala sesuatunya sudah dilengkapi, tidak sampai 1 jam kartu saya selesai, nomornya 690.239. Dibuat di saat berlangsungnya acara pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke 42. Kami tidur di rumah warga. Rumah kosong. Sore hari kami nimbrung di alun-alun. Mencoba berjalan dengan mata terpejam diantara dua beringin di alun-alun itu tapi tidak pernah berhasil. Karena ada dorongan kuat menulis outobiografi Buya Oedin, Waktu luang saya ingin saya manfaatkan untuk membaca majalah suara muhammadiyah langsung dari pusatnya. Sayangnya, majalah-majalah yang dimaksud tidak disimpan di situ. Saya juga bertemu dengan Bapak Kalimin Sunar dan foto bareng di depan gedung, kantor PP Muhammadiyah.
Dilain kesempatan, masih bersama Bang Erizal kami menelusuri jalan-jalan kampung. Di suatu rumah kami melihat usaha rumahan. Sablon baju. Bang Eri banyak bertanya. Di kesempatan lain kami menemukan usaha mengolah kuningan. Bang Eri juga banyak bertanya. Sekarang Bang Eri menjadi pengusaha dari konveksi.
Menikmati waktu luang disela-sela sidang, Bapak Bachtiar Hasan membawa kami ke rumah keluarganya. Oleh keluarganya, kami dibawa jalan-jalan ke pantai Parangtritis. Berangkat naik bus L-300.  Dengan menyewa kuda, saya sempatkan menikmati eloknya pantai. Kami juga dibawa melihat-lihat kraton dari dekat. Para abdi dalem kelihatan begitu bersahaja. Pakaian khas mereka, kelihatan lusuh. Ada kereta kencana. Ada berbagai macam keris. Dan lain-lain. Terjadi keanehan, semua foto yang diambil dibeberapa sudut keraton, tidak satupun yang jadi. Bapak Ismail Haryono beserta isteri heran.  Dari arena Muktamar saya membeli keris sebagai kenang-kenangan.

Muktamar Muhammadiyah Banda Aceh
Sukses mendapat bantuan dari Indosat, saat Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, memberi saya inspirasi untuk berbuat yang sama di Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Banda Aceh. Melalui proposal yang ada,  saya kirim surat permohonan ke abangnda Ardhin Ikhwan yang sudah pindah ke kantor pusat di Jakarta. Dengan melampirkan satu proposal. Alhamdulillah proposal panitia Muktamar yang saya layangkan mendapat tanggapan. Dana bantuan keluar dari Indosat Medan. Saya tidak transparan. Sekedar penambah uang saku. Niatpun disusun dari Binjai. Kebetulan saat itu saya aktip pula di filateli. Kepala kantor pos Binjai pindahan dari Banda Aceh, Bapak Heri Setianto. Sebelum berangkat, saya tukar rupiah saya dengan travel cek di kantor pos.
Bus rombongan kami dilepas walikota Binjai dari depan pendopo, rumah dinas Walikota. Dikawal oleh voredes sampai keperbatasan kabupaten Langkat. Di bus, duduk bersama saya paling belakang, Pak Achmadsjah. Ketua PDM, Bapak Taufiq Rahman dan lain-lain. Menjelang Banda Aceh, bus kami tergelincir ke kanan, masuk parit. Tepatnya di Saree. Hari masih sangat pagi saat kejadian itu berlangsung. Seorang peserta harus diistirahatkan sebentar. Beliau terpental. Membentur tiang mobil. Saya keluar melalui sisi jendela sebelah kanan. Tidak sadar bahwa bus oleng masuk parit. Tanpa sadar kaki melangkah ke ruang kosong. Ruang yang dalam. Dalam parit. Dada saya terbentur sisi parit. Masih beruntung yang lain tidak apa-apa.  Beberapa penduduk berhamburan memberi bantuan. Tidak jauh dari lokasi kejadian, terdapat puskesmas Saree. Korban dibawa ke puskesmas Bidan dan petugasnya masih berstatus PTT.
Menjelang siang, datang bus pengganti dari Banda Aceh menjemput kami. Ketika turun di Banda Aceh, karena kelalaian, sepatu saya ketinggalan di Bus. Dibantu  Abdul Rahman Ayun dan keluarganya, sepatu itu saya dapatkan kembali, persis ketika bus itu bersiap-siap akan kembali ke Medan.
Di Banda Aceh, kami menginap di kantor PPP. Ketika acara pembukaan berlangsung, saya sempat memborong minuman botol untuk dijual kembali. Jadilah saya penjual minuman. Pembelinya dari dalam stadion yang kehausan. Saya lemparkan botol minuman, pembelinya melemparkan uang. Hal itu tidak berlangsung lama. Ada larangan dari panitia. Akhirnya minuman itu habis dibagi kepada kawan-kawan. Demikian juga ketika ada kesempatan berjualan di arena bazaar. Bersama Bang Erizal kami menggelar dagangan di lapangan terbuka. Pedagang lain memakai lapak. Kami tidak. Akhirnya kegiatan kami dilarang. Berikutnya kucing-kucingan. Sempat dibawa pak Achmadsjah ke rumah keluarganya untuk makan siang. Rumahnya besar. Kami dijamu di ruang terbuka.
Ketika jalan-jalan ke kantor pos Banda Aceh dan memperkenal diri sebagai teman Bapak Heri Setianto saya malah dititipkan surat untuk mendapat fasilitias menginap di kantor pos ujung utara pulau Sumatera, yakni di Sabang. Pulau we. Niat saya sudah bulat. Berarti saya harus menyeberang. Rencana tinggal rencana. Hanya selangkah lagi untuk menyeberang, niat itu tidak kesampaian. Ada kekhawatiran ditinggal teman. Tidak ada kawan pulang dan lain sebagainya. Apa boleh buat, yang muncul adalah penyesalan. Menyesal tidak jadi, karena tinggal selangkah lagi. Dari kantor pos Banda Aceh saya membeli 3 album prangko ASEAN. Bahkan travel cek yang saya beli di kantor pos Binjai utuh kembali saya uangkan saat pulang dari sana.
Satu kenangan yang lumayan berkesan adalah ketika menjadi salah satu dari sekian banyak saksi mata saat berlangsungnya akad nikah keluarga Bapak AM Fatwa yang dilaksanakan di Mesjid Baiturrahman Banda Aceh. Keringat Beliau berceceran. Kelihatan wajah penasaran. Sang mempelai berkemungkinan demam panggung melihat banyaknya mata yang menatap saat terjadinya prosesi ijab qabul sehingga harus diulang beberapa kali.


Saya numpang foto bareng sesaat prosesi ijab qabul dilaksanakan.


Muktamar Muhammadiyah Jakarta. 
Muhammadiyah adalah organisasi terbesar yang pernah tercatat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia . Tidak sedikit kader putra putri terbaik Muhammadiyah yang memiliki andil dalam menegakkan Bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia . Sebut saja, Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakkar diawal-awal kemerdekaan. AR Fachruddin dengan ciri khas dakwah Beliau, menjadikan Muhammadiyah tetap eksis sampai detik ini. Karena masa kepemimpinan Beliau, Pemerintah menerapkan azas tunggal. Amien Rais, yang dengan terawangannya didukung gerakan mahasiswa dan masyarakat, berhasil mengakhiri sepak terjang kekuasaan orde baru. Insya Allah, Muhammadiyah akan terus dan tetap eksis sampai akhir zaman. 
Muktamar, adalah forum musyawarah tertinggi dalam persyarikatan. Semenjak 5 periode yang lalu sebelum kepemimipinan sekarang setiap pertemuan atau Muktamar digelar, senantiasa diramaikan oleh anggota maupun simpatisan Muhamadiyah. Momen Muktamar yang bersamaan waktunya dengan liburan anak sekolah, menjadi wahana pertemuan antara anggota dan simpatisan dari seluruh Indonesia . Dari Sabang sampai Merauke. Bahkan juga dari luar negeri. Para anggota dan simpatisan yang datang dengan keikhlasan dari berbagai pelosok tanah air dengan biaya sendiri, menandakan kecintaan mereka terhadap gerakan persyarikatan yang didirikan KHA Dahlan allahu yarham ini. Dalam istilah mereka yang datang ini disebut dengan penggembira. Para penggembira ini, oleh panitia tempat akan disediakan pemondokan seperti di rumah-rumah penduduk, di unit-unit amal usaha Muhammadiyah seperti sekolah-sekolah dan unit amal usaha lainnya. Berbeda dengan para peserta yang diberi mandat oleh persyarikatan dan terikat dengan acara-acara, para penggembira ini justru bebas dan merdeka. Mereka tidak terikat. Mau kemana, dan mau ngapain terserah. Biasanya panitia tempat mengadakan kegiatan sampingan untuk para penggembira. Atau para penggembira sendiri yang berinisiatif jadwalkan kegiatan internal mereka. Jadi sementara para peserta berkutat dengan berbagai macam kegiatan untuk memikirkan gerak Muhammadiyah ke depan,para penggembira menggembirakan hati mereka dengan berekreasi atau aktivitas lain yang tidak mengikat. Tidak sedikit yang memboyong keluarga besarnya. Anak isteripun dibawa. Demikian yang saya lakukan di Muktamar ke-44 di Jakarta. Bahkan untuk mewujudkannya, atas kesepakatan bersama isteri, saya menggadaikan tanah sawah di cengkehturi, 4,5 rante lebih sedikit. Uang pembeliannya diperoleh dari Tante Erni, isteri Mak Tuan Asdie Oedin. Mudah-mudahan menjadi amal jariah bagi Beliau. Oleh panitia muktamar, bekerja sama dengan pihak ketiga, diadakan paket wisata. Saya memilih paket wisata. Bersama saya ada pak Achmadsjah, inu Hj. Maimunah Marpaung bersama suami. Penggembira dari Binjai yang ikut paket wisata, cuma kami. Berangkat menggunakan kapal laut. Saya senang, anak dan isteri menikmati liburnya bersama. Walau di kelas ekonomi, justru hal ini menambah suasana kegembiraan tersendiri. Di kapal malah penggembira yang bisa membaca peluang, sudah ada menjual pernak-pernik muktamar. Ketika kapal merapat di tanjung periuk, saya dan kawan-kawan yang ikut paket wisata dijemput tersendiri oleh panitia. Kami berpisah dengan penggembira lain. Oleh panitia, kami diinapkan di cadika bumi perkemahan pramuka cibubur. Melihat kondisi demikian, ibu Hj. Maimunah dan suami serta kami yang dari Binjai keberatan. Kami membayangkan menginap di hotel. Setelah mendapat penjelasan, akhirnya kami bisa menerima. Sewaktu acara pembukaan di lapangan Gelora Bung Karno, kami dapat masuk dengan mudah. Masing-masing kami mendapat undangan dan card sebagai penggembira. Kemeriahan acara pembukaan dapat dinikmati. Anak-anak happy menikmatinya.  Setiap hari mereka yang berada di cadika pramuka Cibubur mengisi waktu dengan jalan-jalan. Ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Dufan, Taman Impian Jaya Ancol menikmati pertunjukan lumba-lumba, ke Monumen Nasional (Monas) dan lain-lain. Semua menggembirakan. Kecuali konsumsi yang dijatah sedemikian rupa. Ikut dalam paket wisata penggembira dari Kalimantan. Dari penggembira dari Kalimantan ini saya tahu Binjai nama buah. Buah Binjai. Menurut mereka, buah Binjai tumbuh dengan baik di kampung mereka. Saya juga sempatkan membawa isteri dan anak-anak ke Larangan Indah, Ciledug. Pak Achmadsjah juga ikut. Ketika kembali ke cadika, tempat kami menginap, alhamdulillah lancar. Arah jalan yang dituju berdasarkan feeling saja. Usai muktamar, saya dan keluarga menginap di Larangan Indah. Pada kesempatan ini, saya ditemani adik saya Ferry Furqan mengajak keluarga ke kebun binatang, Ragunan.Dilain kesempatan, menemani isteri berbelanja ke Mangga dua. Yang dibeli kaligrafi berbahan dasar kulit kambing. Perasaan saya, produk yang sama di Pusat Pasar Medan. Tapi menggembirakan isteri, saya diam. Pulang dari Jakarta, kami menumpang bus ALS. 5 bangku. Berjejer. Kaligrafi yang dibeli melalui tawar menawar yang cukup alot, mendapat perhatian extra. Takut rusak. Antara Merak-Bakaheuni, kami semua masuk ke ferry. Bergabung dengan yang lain. Meninggalkan pulau Jawa menuju pulau Sumatera. Sampai ke Medan hari sudah malam. Alhamdulillah, orang tua murid saya di MDA Muhammadiyah Cengkehturi sudah stand by menunggu saya. Cukup lama dia menunggu. Saya memang menelepon dia, untuk bisa menjemput.
Muktamar Muhammadiyah Malang.
Karena sudah berkali-kali berpartisipasi sebagai penggembira, mulai dari muktamar Muhammadiyah di Yogya, muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh, dan muktamar Muhammadiyah di Jakarta, oleh kawan-kaawan di PDM Binjai, pada Muktamar Muhamadiyah ke-45 yang lalu di kota apel Malang, saya ditunjuk menjadi koordinator penggembira dari Binjai dengan tugas menginventarisir para anggota dan simpatisan yang berminat ikut serta sebagai penggembira, mendampingi mereka ke Malang dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang menimpa mereka. Begitu sosialisasi muktamar diadakan, beberapa orang langsung mendaftarkan diri untuk turut serta. Penggmbira yang berangkat dibagi dua kelompok, satu kelompok dengan pesawat udara, satu lagi kelompok kapal laut. Karena kemampuan financial saya di kapal laut, maka penggembira lewat kapal laut jadi tanggung jawab saya. Setiap peserta yang mendaftar, langsung saya belikan tiket kapalnya. Mengingat bersamaan dengan hari libur anak sekolah. Sampai H min dua dari jadwal keberangkatan, masih saja ada yang mendaftarkan dirinya untuk ikut rombongan. Bahkan ada pula diantara penggembira yang awalnya mendaftar, kemudian menarik kembali pendaftarannya dengan alasan ingin naik pesawat, belakangan kembali mendaftarkan diri karena beberapa hari menjelang Muktamar ongkos pesawat mengalami kenaikan yang lumayan besar. Bahkan tidak hanya mendaftarkan diri sendiri, malah berdua dengan isterinya. Sampai pada hari keberangkatan, suami isteri yang paling akhir mendaftar sudah menunjukkn sikap yang lain. Beliau komplain dengan fasilitas yang disediakan olah travel, karena saling berhimpitan dengan sekalian barang penumpang. Dari Binjai ke Belawan, kami disediakan L-300. bergabung dengan penumpang lain yang juga akan berangkat dengan menggunakan kapal laut. 
Dilepas oleh PDM Binjai, kamipun berangkat menuju Belawan. Tercatat ada 17 orang yang harus saya pertanggung jawabkan selama dalam perjalanan menuju Malang . Dua pertiganya ibu-ibu manula, sebagai komitmen awal yang telah disepakati, tugas kordinator adalah menghantarkan para penggembira sampai ke Malang . Selepas di Malang kemungkinan ada penggembira yang akan dijemput keluarganya atau ingin ke rumah keluarganya, maka itu sudah diluar tugas kordinator. Dalam perjalanan menuju Belawan, seorang teman peserta penggembira menelepon saya karena L-300 yang ditumpanginya dengan rombongan lain mengalamai kerusakan. Teman yang menelepon meminta saya mencarikan solusinya. Saya katakana saja, karena dia bukan satu-satunya penumpang di L-300 itu, maka berembuk saja antar mereka untuk mencari jalan keluarnya. Bagaimana mungkin saya di rombongan L-300 yang lain beserta dengan rombongan yang ada kembali untuk bergabung dengan bus L-300 yang mengalami kerusakan. 10 menit menjelang kapal melaut, jangkar diangkat, rombongan bus L-300 yang rusak tiba di Belawan. Saya sempat cemas, karena dari information sudah menginformasikan agar para penumpang kapal segera naik ke kapal karena kapal akan segera diberangkatkan. Alhamdulillah. Setelah mencek segala sesuatunya, kamipun barengan naik ke kapal. 
Hari Selasa, hari pertama di kapal, beberapa bapak-bapak manula rombongsn saya mempertanyakan discount dari harga tiket kapal. Karena memang tercatat, usia sekian tahun ke atas dengan bukti foto copy diri akan mendapatkan discount dari Pelni. Awalnya saya sempat kebingungan untuk memberikan jawaban, karena berapa ongkos yang ditetapkan pihak travel untuk kelas wisata sebanyak itulah yang saya berikan tanpa mau tahu dengan yang lainnya. Sebenarnya, jika saja para Bapak-bapak itu menyadari posisinya dan faham kesepakatan awal, seyogyanya berapa harga segala macam tetek bengek itu, mereka tidak perlu tahu. Karena panitia pemberangkatan muktamar, c.q kordinator penggembira telah disepakati dengan biaya lima ratus ribu rupiah adalah biaya yang dibebankan kepada penggembira yang ingin turut serta ke Malang Perkara berapa biaya yang digunakan, koordinator penggembira akan mempertanggung jawabkannya ke PDM melalui panitia pemberangkatan muktamar. Hal ini sudah coba saya jelaskan, tetapi sebagian mereka tetap mengotot untuk menjelaskan perinciannya. Masya Allah. Terakhir, kami terpaksa melibatkan pihak Pelni yang ada di kapal dengan menanyakan segala sesuatu yang menjadi ganjalan para Bapak-bapak ini. Akhirnya, mereka dapat menerima. Alhamdulillah. Kegalauan saya menghadapi tingkah para Bapak-bapak manula terbaca oleh ibu-ibunya. Mereka bersimpati kepada saya dan memberikan saya uang saku. Saya awalnya menampik, karena saya tidak ingin dikira macam-macam. Karena mereka terus memaksa akhirnya pemberian mereka saya terima. , Alhamdulillah. 
Hari Rabu, hari kedua kapal singgah di Batam. Beberapa rombongan saya yang mempunyai keluarga di Batam sempat plesiran. Saya sebenarnya diajak dan sudah saya iyakan walaupun hati mendua. Ikut plesiran atau tetap di kapal dengan anggota rombongan lain. Akhirnya kedua-duanya tidak. Karena saya mempunyai sepupu juga di sini, setelah mendapatkan no hp nya, saya hubungi sepupu dan mendapat jawaban dengan terpaksa tidak dapat menjemput saya karena sedang ada tugas yang tidak dapat ditinggalkan. Olehnya saya disarankan untuk menghubungi keluarga yang lain di Batam dan sarannya saya ikuti. Dari informasi tanya sana tanya sini, saya mengetahui lokasi kantor tempat keluarga ini bekerja. Karena memang tak jauh dari pelabuhan, dengan berjalan kaki saya selusuri kota Batam. Yang dicari, tidak ketemu. Ketika kapal kembali melaut, saya dapat telepon dari panitia Malang menanyakan posisi saya dan rombongan dimana. Saya jelaskan posisi dan kemungkinan jadwal tiba ke Malang . Saya betul-betul memaksimalkan kemajuan teknologi yang saya ketahui. Nama rombongan yang saya bawa, sudah saya fax kan bersamaan dengan no hp saya. Jadi komunikasi dengan panitiapun berjalan lancar. 
Hari Kamis,hari ketiga menjelang kapal tiba, saya sudah dikontak oleh awak bus yang bakal kami tumpangi menuju Malang . Dengan hanya 17 penumpang, tidak terpikirkan untuk mencarter bus penumpang. Saya kontak teman-teman di PP Muhammadiyah, tak ada yang bisa diharapkan. Akhirnya dengan bantuan keluarga di Jakarta saya minta tolong dicarikan bus Jakarta-Malang. Keluarga sudah membantu saya, mereka memilih Kramat Jati. Awak bus inilah yang menghubungi saya dengan mengatakan penumpang lain sudah menunggu. Cuma rombongan saya yang belum ada. Jadwal keberangkatan bus Jakarta-Malang pukul 14.00 sementara pukul 15.00 kami masih akan merapat. Jelas situasi ini membuat saya deg-degan dan tidak enak. Pukul 16.00 kapal merapat, pukul 17.00 kaki baru menginjak Tanjung priuk. Sudah ada bus antar jemput dari Kramat jati dan satu mobil keluarga. Alhamdulillah, saya sangat gembira semua selamat sampai di tanjung periuk. Sebahagian ke bus antar jemput Kramat Jati sebagian nimbrung dengan mobil keluarga karena kapasitas mobil antar jemputnya tidak mencukupi untuk 17 peserta rombongan saya. 
Jakarta menjelang maqrib adalah Jakarta dipuncak kesibukan dan kepadatan lalu lintasnya karena bersamaan dengan jam pulang karyawan kantor. Tidakpun jam pulang kantor, Jakarta memang sudah macet, apalagi pada saat jam pulang kantor. Semua ingin duluan sampai ke tempat. Pada saat itu ha-peku berdering “Assalamu’alaikum, siapa ini” tanyaku seraya memberi salam. “Bu Wirda Fuad, dari Binjai” sahut suara di seberang telepon. “Ya ada apa bu”. “Bagaimana kau ini, anak aku kau tinggalkan sendirian di Tanjubg periuk”. Jelas ada kekhawatiran dalam nada suara ibu Wirda. “Ah ndak mungkinlah buk, nanti kucoba mencek di mobil satu lagi, karena kami ada dua mobil dari Tanjung periuk” Jelasku mencoba menenangkan dirinya.”Apa pula, dia menelepon dari Tanjung periuk menyatakan dirinya kalian tinggal”, semakin tinggi suara bu Wirda di seberang telepon. Aku terdiam tidak dapat berbuat apa-apa. Keluargaku bingung, demikian juga temanku satu mobil. Ketika kujelaskan asal telepon dan kejadian yang menimpaku, Kuhubungi temanku di bus antar jemput kramat jati yang dua hari lalu meneleponku di saat bus L-300 yang ditumpanginya beserta rombongan lain mogok dalam perjalanan dari Binjai ke Belawan. Kutanyakan keberedaan si A. Begitu mendapat penjelasan si A memang tidak ada, spontan keluar dari mulutku “Mampus si A tinggal”. Selesai bicara dengan nada demikian, kurasakan darahku hilang. nyawakupun hilang setengah. Aku betul-betul down. Keluargaku mengatakan tak mungkin kembali. Kita sudah terlalu terlambat. Hingar binger suara klakson kenderaan disekelilingku tak lagi kudengarkan. Semua mati. Semua lenyap. Semua gelap. Mobil yang kutumpangi tidak lagi kurasakan apakah masih berjalan membelah jalanan Jakara atau tidak. Aku tidak tahu, ntah apa yang ada dalam jiwaku, dalam benakku. Semua kosong. Semua bolong. Semua gelap. 
Tiba-tiba saja hapeku kembali berdering “Ya, assalamu’alaikum”, sapaku tak bergairah. “Fuad, kau tunggu anakku di terminal, dia menyusul naik taxi”. Ternyata bu Wirda yang menelepon. “Ya buk” jawabku. 
Di terminal Kramat jati, kami disambut hujan seperti air yang sengaja dilimpahkan satu tong besar sekaligus. Hujan selebat-lebatnya menyambut kedatangan kami. Semua rombongan langsung naik ke bus kramat jati yang sudah stand by sejak pukul 14.00 siang Sementara kuperkirakan saat itu sudah pukul 18.00 lewat. Badanku basah oleh lebatnya air hujan. Lumayan kuyup. Kudengar gerutuan ketidak puasan dari sebahagian penumpang yang terlunta-lunta karena menunggu kami dan rombongan. Awak buspun tidak dapat lagi berkompromi. Mereka tidak perduli dengan anak gadis yang tertinggal di tanjung periuk yang sedang menyusul dengan taxi. Disaat-saat aku sedang negosiasi dengan awak bus, suara penumpang lain menyuruh supir untuk segera memberangkatkan bus. Seorang ibu muda dengan terpaksa harus menunggu si A yang tertinggal. Karena ibu muda ini, bu Ning memang mendapat titipan untuk menjaga si A, mengingat si A adalah gadis hijau yang baru tumbuh dan belum pernah ke Jakarta . Terpaksa dan sangat-sangat terpaksa. Bu Ningpun menerima saranku dan itu pula memang keinginannya. Dia tidak dapat pergi tanpa si A ikut. Disepakati bu Ning tinggal dan tidur di kantor Kramat Jati. Besok pagi berangkat barengan dengan si A.
Dalam keadaan setengah menggigil karena dingin akibat basah oleh air hujan dan mobil yang ber a-ce, seorang ibu rombonganku menawarkan kain sarung untuk menggantikan celanaku yang memang kuyup oleh hujan. Aku mengambil posisi di ruang yang disediakan untuk merokok karena di situ tidak ber a ce. Perasaanku beragam. Serba salah. Serba susah. Tak tahu mau berbuat apa. Teman yang lainpun tak dapat berbuat banyak. Mereka semua pasrah tentang apa yang akan terjadi. Semua berharap sama, anak gadis yang tinggal, dapat bertemu dengan bu Ning dengan selamat. Hampir pukul 23.00, hapeku berdering, “Ya assalamu’alaikum” sahutku membuka percakapan dengan salam.”Wa’alaikum salam, Pak Fuad ini kak Naning, saya cuma mau menyampaikan bahwa si A sudah ada sama saya sekarang” sahut suara diseberang telepon. “Alhamdulillah bu. Hati-hati ya buk. Mudah-mudahan kita bisa barengan di Malang. ”. Terus terang, bulu kudukku merinding. Subhanallah. Allahu akbar, puja dan puji syukur ke hadiratMu ya Allah. Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengabulkan permohonan kami. Mempersatukan si A dengan kak Naning, orang yang memang diberi tanggung jawab untuk menjaganya Tak putus-putus aku mengucapkan puji syukur atas keajaiban yang diberikan Allah swt kepada kami. Segera berita gembira ini kusampaikan kepada rombonganku. Semua mengucapkan puji syukur. Alhamdulillah. Penumpang lain malah ada juga yang bersimpati, turut menyampaikan kegembiraannya. Mereka bersimpati padaku. Masalahnya, aku telah mampu (paling tidak demikian penilaian mereka) mengkoordinasikan rombongan yang sebahagian besar para manula dan ibu-ibu lagi. 
Bayangkan, seorang anak gadis yang masih hijau konon belum pernah ke Jakarta terlantar di tanjung periuk., sendirian. Belakangan dari cerita-cerita yang kudengar , ternyata dalam sikapnya yang agak lasak di kapal ia berkenalan dengan seorang ibu. Si A memang lebih suka dan lebih sering bergabung dengan teman sekapal yang lain ketimbang dengan rombongannya dari Binjai.. Barangkali dia punya pertimbangan tersendiri. Begitu sampai ke darat, langsung si A mencari wartel dan menelepon ke keluarganya. Kepergiannya ke wartel tanpa permisi dan tanpa sepengetahuan anggota rombongan lainnya. Aku sendiri, karena tegesa-gesa akibat konfirmasi dari awak bus kramat jati tentang kegelisahan penumpang yang menunggu kami, tidak lagi mencek anggota. Siapa sangka, si A nyelonong pergi mencari wartel tanpa pemberitahuan ke temannya yang lain dalam rombongan ?. Nah begitu selesai dari wartel, dia kaget dan pucat pasi melihat tidak satupun rombongannya ada. Dia celingak celinguk sendirian. Dalam kepanikannya dia menelepon keluarganya di Binjai seperti kuceritakan di atas. Saat itulah, si ibu yang dikenalnya di kapal menanyai keberadaannya. Sungguh, aku merasakan kasih sayang Allah swt saat itu terhadap kami sungguh luar biasa. Aku sendiri belum pernah menyampaikan informasi ke anak gadis ini akan bus yang kami tumpangi menuju Malang . Analisaku, karena bu Ning lain bus denganku dari tanjung periuk ke terminal kramat jati, terjadi komunikasi antara si A dengan buk Ning. Karena di tanjung periuk, aku sudah menerima 17 tiket bus kramat jati yang diurus keluargaku. Allahu akbar, secara kebetulan, ternyata rumah si ibu persis berseberangan dengan terminal bus kramat jati. Seterusnya sudah dapat diterka, mereka menginap di rumah ibu itu. Menurut informasi mereka berangkat keesokan paginya. Hebatnya lagi, ibu itu adalah penganut nashrani. Masya allah.Luar biasa. Sampai sekarangpun, jika mengingat kejadian ini, rasa syukur senantiasa saya ucapkan. Saya tak dapat bayangkan, apa kejadian yang bakal menimpa saya jika saja si A ini tercecer dan hilang ditelan belantara Jakarta . 
Teman sebangku saya di bus Kramat jati mas Edi Priyono. Beliau menyampaikan rasa simpatinya kesaya dan memberi saya card-name nya. Beliau mengundang saya jika ada masalah, jangan sungkan menghubungi dia di Malang . Seyogyanya, menurut jadwal bus masuk kota Malang bakda shubuh, tapi karena berangkatnyapun sudah lewat jauh, bus yang seyogyanya berhenti di mesjid memberi kesempatan penumpang untuk sholat, ini tidak terjadi dan tidak biasanya. Bus terus melaju. Saat itu, saya lihat mas Edi tayamum dan sholat di bus. Terus terang, saya malu. Saya mengakunya kader Muhammadiyah, tapi hal seperti ini koq kayaknya masih terlalu asing bagi saya. Akhirnya, sayapun ikut melaksanakan seperti apa yang dia lakukan. Tayamum dengan media jok bus dan sholat duduk dengan kebimbangan karena belum pernah melaksanakan. Saya lihat beberapa penumpang lain juga berbuat demikian. 
Bakda jum’at bus masuk terminal. Mas Priyono panitia, menjemput kami. Saya bergabung dengan mobil beliau dengan beberapa kawan yang lain. Sementara yang lainnya disediakan L-300. L-300 tahunya pusat kegiatan Muktamar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), langsung saja membawa rombongan saya ke UMM. Sementara oleh Mas Priyono kami dibawa ke Perumahan Bukit Cemara Tidar. Terpaksa, lagi-lagi saya dihebohkan akibat ulah L-300 yang langsung saja terbang begitu dapat penumpang.Jaket kulit yang saya pinjam tercecer di terminal bersama kain sarung ibu yang meminjamkan. Karena begitu turun pegangan saya di bus saya letakkan di atas pagar dan mengurus yang lain.Kain sarung saya dapatkan lagi dari sebuah kedai minuman di terminal itu sementara jaket kulit pinjaman kakak saya lenyap.. Menjelang ashar, rombongan baru berkumpul semua. Setelah mendapat tempat istirahat, sebahagian teman langsung melepaskan rasa penatnya. 
Hari sabtu, hari ke dua di Malang bakda sholat shubuh saya diajak mas Priyono melihat rombongan yang baru tiba. Ternyata dari Sibolga (Sumatera Utara). Lebih hebat lagi, mereka menggunakan L-300 ke Malang dan busnya full. 5 hari 4 malam ditempuh dalam posisi duduk. Ini lebih luar biasa lagi. Rombongan ini hanya semalam di Malang , karena mereka melanjutkan perjalanan ke Bali begitu usai acara pembukaan. Sebahagian teman-teman langsung membuat acara jalan-jalan. Setelah mendapat sewaan mobil dari warga komplek mereka pergi melancong. Khabarnya mereka ke Batu Malang. Badan saya masih sangat lelah. Saya tinggal sendirian di komplek. Saya masih ingin istirahat. Menjelang siang, saya mendapat telepon dari Buk Ning agar menjemput dia dengan si A di terminal. Atas bantuan mas Priyono, kami berangkat ke terminal. Dalam perjalanan menuju terminal saya ditelepon teman penggembira yang berangkat naik pesawat, agar saya tak usah pusing mengurus bu Ning dan si A lagi karena ke dua orang ini akan bergabung dengan penggembira lain dari Binjai yang naik pesawat dan menginap di rumah keluarga bu Wirda di Malang. Terlepas ada apa dibalik semua ini, yang jelas sampai detik ini saya tidak dapat membayangkan bagaimana wajah si A karena sampai kembali ke Binjai usai Muktamar dan selama di Malang saya tidak pernah ketemu. Tas kopernya yang terbawa dalam rombongan saya, dijemput anak bu Wirda yang di Malang . Akhirnya, dari menjelang siang sampai malam saya dibawa jalan-jalan sama Mas Priyono yang juga membawa keluarganya sekalian mengambil tanda penggembira. Ketika mampir di komplek UMM tempat pusat kegiatan Muktamar, di depan pintu masuk bazaar saya lihat seorang rombongan saya letoy tak bertenaga. Tampak, wajah tua itu sangat kelelahan. Bayangkan, usianya sudah 60-an tahun. Karena semangat dan rasa cintanya pada persyarikatan diusahakan untuk ikut jadi penggembira muktamar. Yang lain sibuk shooping, si ibu kelelahan. Dengan ditemani beberapa teman satu rombongan, ibu Jamilah kami bawa pulang ke penginapan di Bukit Cemara Tidar. Setelah gagal menghubungi posko kesehatan, ibu Jamilah kami bawa ke balai pengobatan yang ada di komplek untuk melakukan check up. Kesimpulan diagnosa, ibu Jamilah kelelahan dan perlu istirahat. Tinggalah beliau dibalai pengobatan itu ditemani rombongan ibu-ibu yang lain. Bakda magrib, saya membezoek ibu Jamilah. Disini beliau merengek minta pulang. Beliau meminta saya agar saya menghubungi anaknya yang ada di Binjai. Terpaksa hal ini tidak saya penuhi. Saya hanya memberikan pengertian ke beliau dan meminta beliau agar sabar serta berpikir dengan jernih. Akhirnya beliau pasrah dengarkan penjelasan saya dan dikuatkan dengan kawan-kawan lain. Hampir tengah, malam tanggung jawab saya bertambah dengan masuknya dua penggembira baru nenek-nenek dari Binjai yang datang belakangan naik pesawat. Keluarganya yang menghantarkan, mengantar ke Bukit Cemara Tidar karena rombongan Binjai menurut panitia yang dihubunginya tercatat tinggal di situ. Apa boleh buat. 
Hari Minggu pagi sesuai kesepakatan,kami rekkreasi ke air terjun Cuban Rondo. Semua ikut termasuk dua nenek-nenek yang baru masuk tadi malam dan Ibu Jamilah yanf terpaksa tinggal. Beliau ditemani ibu yang lain yang tidak ikut sengaja ingin menemani ibu Jamilah. Diareal rekreasi ini saya diberi 4 undangan masuk oleh seorang ibu rombongan saya. Menurut beliau dia diberi oleh panitita sebanyak 8 undangan. Kebetulan rumahnya persis disebelah rumah tempat pemondokan ibu-ibu rombongan dari Binjai. Jadi untuk gampangnya, diberinya ke saya 4 (karena saya kordinator, mungkin) dan yang 4 di dia, katanya akan diberikan ke dua gadis penggembira rombongan kami dengan tujuan agar meningkat rasa keorganisasiannya. Saya setuju-setuju saja. Otomatis, dalam rombongan saya ibu-ibu yang tua, tidak satupun mendapat undangan masuk. Padahal dalam perhelatan muktamar, acara pembukaan adalah peristiwa yang ditunggu-tunggu penggembira dan peserta lain. Jangan harap dapat masuk jika tidak ada undangan. Konon, waktu pembukaan muktamar Muhammadiyah di Yogya seorang anggota PP Muhammadiyah yang terlambat datang karena baru tiba dari Malaysia terpaksa tidak dapat masuk karena tidak ada undangan. Saya sendiri bingung bagaimana membagi yang 4 yang ada di saya. Masalahnya dengan saya ada 4 orang, 3 bapak-bapak yang satu diantaranya beristeri jadi pas 4. Dibagi semua, saya tidak dapat. Akhirnya yang beristeri tidak saya libatkan. Beliau yang dari awal, di Binjai mencabut pendaftarannya karena akan berangkat naik pesawat kemudian mendaftar lagi sekaligus dengan isterinya. Beliau pula yang komplain akan fasilitas bus yang membawa rombongan dari Binjai ke Belawan. Beliau pula yang ngotot ingin kejelasan harga tiket saat di kapal. Kepada dua yang mendapat tiket saya wanti-wanti agar hal ini jangan sampai diketahui oleh si Bapak yang beristeri. Sisa yang satu saya niatkan untuk ibu yang memberi saya tambahan uang saku saat di kapal. 
Usai dari coban rondo, rombongan membubarkan diri di sekitar stadion Gajayana tempat pembukaan muktamar akan digelar bakda magrib. Masing-masing dengan kegiatannya. Saya hubungi Mas Edy Priono, saya katakan saya akan ke rumahnya dan saya belum makan. Ternyata dia ada di rumah. Setelah dibimbingnya melalui hape saya sampai ke rumah mas Edy Priono. Ketika sholat zhuhur di mesjid Siti Khadijah dekat rumah Mas Edy, terdapat puluhan penggembira dari Sulawesi Selatan yang menginap di situ dengan segala keterbatasan fasilitas MCK nya, sangat beda jauh dengan kami. Di rumah mas Edy saya disuguhi nasi goring dengan porsi jumbo, kemudian ditambahi lagi dengan cake ringan dan sebotol aqua.Saat itu saya dapat telepon dari teman rombongan pesawat menanyakan dimana posisi saya. Karena lokasi stadion Gajayana tak jauh dari rumah mas Edy, dengan berjalan kaki saya pergi ke Gajayana. Karena pintu stadion akan ditutup pukul 16.00. Disekitar stadion, orang sudah ramai. Badan saya rasanya tidak bertulang. Kelelahan akrab dengan saya saat itu. Saya rebahkan badan dipinggir jalan tak jauh dari pintu masuk stadion Gajayana persis di bawah billboard Presiden SBY dan loga Muhammadiyah. Saat bersamaan hembusan angin menerbangkan selembar plastik agak tebal ke arah saya. Saya sambar plastik itu.dan menjadikannya alas kemudian saya rebahan dan saya tertidur lelap seperti orang mati dan itu berlangsung hanya lima menit. Begitu saya tersentak, saya lihat jam, ya tidak lebih dari lima menit. Badan saya ringan, yang tadinya lelah luar biasa, sekarang agak ringan. Saya pandangi orang sekeliling dengan kegiatan masing-masing. Di sisi saya satu keluarga beranak kecil kebingungan entah mau kemana karena tidak memiliki undangan masuk. Saya hubungi mas Priono, menanyakan di mana posisi beliau. Tak lama kemudian, saya lihat ibu-ibu rombongan saya sudah berpakaian seragam organisasi didampingi mas Priono. Saya tanyakan perihal ibu Jamilah. Saya mendapat jawaban bahwa ibu Jamilah masih perlu istirahat. Saya bingung, masing-masing ibu-ibu sudah memegang undangan masuk. Belakangan saya ketahui, ternyata undangan itu diberi panitia sebagai tambahan yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan ibu-ibu di Bukit Cemara Tidar. Termasuk dua nenek-nenek yang datang belakangan. Sebenarnya ketika ibu Kartini (salah seorang rombongan yang memberi saya tambahan uang saku di kapal) ditawarkan undangan, setelah menyebut jumlah yang diperlukan, hitungan beliau tidak masuk kepada dua yang datang belakangan. Kenapa akhirnya yang dua bisa dapat ?. Rupanya ketika ibu-ibu menjemput ke tempat penginapan bapak-bapak, bapak yang dicari bareng isterinya tidak ada. Jadi mereka tinggalkan saja, karena memang tidak ada di rumah. Alhamdulillah, semua rombongan saya, kecuali ibu Jamilah dan bapak beserta isterinya yang tertinggal, semua dapat berkumpul karena pintu gerbang masuk undangan kami sama. Bekal penganan yang diberi mas Edy langsung habis. Posisi kami persis berseberangan dengan podium tempat Presiden menyampaikan amanah pembukaannya. Jauh sekali. Tapi kami tetap bergembira, paling tidak karena kami dapat masuk. Belakangan saya dapat informasi tidak satupun rombongan penggembira dari Binjai yang berangkat dengan pesawat udara dapat masuk. Bahkan dengan bertengkar sekalipun dengan penjaga pintu stadion, mereka tetap tidak dapat izin untuk masuk karena tidak memiliki undangan.
Usai acara pembukaan, saya dimarahi habis-habisan oleh Bapak yang berangkat dengan isterinya karena menganggap saya tidak transparan dalam pembagian undangan masuk. Saya kaget, tidak menyangka sama sekali kenapa bapak ini tiba-tiba ada di situ, persis setelah kami menyeberang jalan. Sepertinya memang sengaja menunggu saya. Saya tidak bisa berikan alasan. Saya cuma diam menerima umpatan dan kejengkelan beliau. Isterinya coba menenangkan suaminya yang kalap. Malah isterinya bilang, “Bersyukur kita tidak dapat undangan dari si Fuad, karena dengan begitu kita malah dapat masuk lewat gerbang VIP”. Rupanya ketika mereka sadar ditinggal oleh rombongan, mereka berinisiatif berangkat berdua saja ke Gajayana. Saat celingak-celinguk itu, mereka bertemu dengan ibu Mahyunas, peserta utusan dari Binjai. Jadi oleh penjaga gerbang, dikira bapak dan ibu suami isteri ini juga utusan/pesera dengan alasan undangan tertinggal. Sungguh demikian, beliau tetap kecewa dengan sikap saya yang disebutkan beliau tidak transparan. Malah beliau menuduh saya menerima sejumlah uang dari dua bapak-bapak yang saya beri undangan. Situasi seperti in, jelas tidak enak. Karena kami satu penginapan. Saya hubungi mas Edy Priono, agar menjemput saya dan ingin tidur di tempat beliau. Secara kebetulan, mas Edy memang sedang berada diseputar Gajayana. Tak lama beliau datang menjemput dengan mobilnya. Saya pamit dengan teman-teman yang lain dan mohon pengertian mereka. Menjelang rumah mas Edy, pendirian saya beubah. Biarlah ini saya tanggung. Ini adalah konsekwensi dari tugas saya. Saya minta mas Edy menghantar saya ke Bukit Cemara Tidar. Tapi saya tidak pulang ke penginapan. Saya bergabung dengan ibu-ibu yang juga diantaranya ada seorang bapak.. kami tidur di sofa, ruangan tamu. 
Hari senin pagi selesai sarapan, bapak yang tadi malam memarahi saya habis-habisan pamitan. Beliau akan ke rumah keluarganya di Bogor. Tinggalah saya dengan dua bapak yang lain, pak Mawardi dan pak Achmadsjah. Perasaan saya sedikit tenang. Dalam satu kesempatan, saya keluarkan uneg-uneg hati saya kepada kedua bapak-bapak ini. Saya kecewa dan penasaran, kenapa koq bapak itu bisa tahu kalau ada pembahagian undangan. Padahal sewaktu di air terjun Coban Rondo, saya sudah wanti-wanti betul bagaimana supaya pembagian undangan itu tidak diketahuinya. Karena kenyataannya, kalau bapak dan isterinya dapat berarti satu diantara bapak bapak itu pasti tidak dapat. Bapak itu satu kesatuan tapi kenyataan berdua dengan isterinya. Dua tapi satu atau satu tapi dua. Bahkan sampai keluar ungkapan dari mulut saya omongan yang seharusnya tidak pantas saya keluarkan. Lebih-lebih pada ke dua bapak-bapak ini. Hal itu menyebabkan komunikasi antar kamipun jadi tersendat. 
Senin pagi kesehata ibu Jamilah sudah membaik. Beliau sudah kembali bersama rombongan lain. Menjelang siang, beberapa ibu-ibu pamitan ke saya untuk ke rumah keluarga mereka. Dengan kenderaan mas Priono, saya menghantarkan ibu jamilah beserta beberapa ibu yang ikut dengannya, ke rumah keluarganya di perumahan mewah Puncak Dieng. Kemenakan ibu Jamilah mengurus rumah mewah ini. Pemiliknya sendiri, khabarnya pejabat di Jawa Tengah. Di rumah ini, malah ada fasilitas kolam renangnya. Saya dan kawan-kawan yang ikut sempat beristirahan di rumah ini. Pada hari yang sama. Ibu Jamilah memberitahu saya, bahwa hari Sabtu beliau sudah harus tiba di Binjai. Karena hari itu ada acara di rumah Beliau. Jadi beliau menyuruh saya mencari informasi tiket Surabaya-Medan. Sepulang dari Perumahan Puncak Dieng menuju Bukit Cemara Tidar bareng mas Priono beberapa travel kami singgahi hasilnya nihil.. 
Dua anak gadis yang mendapat jatah undangan, malah pamitan ke Surabaya . Dengan modal informasi seadanya dan melibatkan arahan dari mas Edy Priono, Sugria Kurniawaty dan temannya berangkat dengan menggunakan taxi. Mas Edy menyesalkan sikap saya yang melepaskan kedua anak gadis ini pergi. Tapi, saya tidak pula bisa menghalangi niat mereka. Dengan Bismillah dan Tawakal’alallaahi, menjelang malam mereka sampai ke tempat yang dituju dengan selamat. Alhamdulillah. 
Hari Selasa bakda shubuh, saya jalan-jalan mengitari perumahan Bukit Cemara Tidar. Dari ketinggian di perumahan ini, wajah kota Malang terlihat dengan jelas. Diketinggian sekitar 600-an meter dpl. perumahan ini memiliki hawa sejuk. Tak jauh dari perumahan, tanpa sengaja kami menemukan situs sejarah Candi Badut. Menururt informasi Mas Priono, keberadaannya sudah ada sejak masa kerajaan singosari. Dari penelusuran kami, candi ini cukup terawat walau di sana-sini terdapat kerusakan karena ulah tangan jahil pengunjung. Hari ini rombongan Binjai semakin berkurang. 
Ketika mengikuti salah satu sesi acara bareng ibu-ibu seorang teman memberitahu saya ada tiket city link Surabaya-Medan. Dia akan booking jika saya mau. Sayangnya saya tidak bisa mengiyakan kemauannya, karena harus konfirmasi dulu ke ibu Jamilah. Saya hubungi ibu Jamilah dan teman serombongan beliau di Perumahan Puncak Dieng, hasilnya satupun tidak dapat dihubungi. Dengan bantuan mas Priono, saya datangi bu Jamilah dan menjelaskan apa yang saya alami. Beliau awalnya menyesalkan saya kenapa tidak membooking tiket city link, tapi akhirnya memaklumi karena ibu Jamilah belum memberikan uang beli tiket ke saya. Kemudain beliau memberi saya sejumlah uang untuk beli tiket Dengan uang yang ada di saya pemburuan tiket dilaksanakan, tapi hasilnya nihil. Sementara beliau tetap bersikeras agar saya dapat mengupayakan tiket Surabaya-Medan. Saya jelaskan, agak sulit menceri tiket Surabaya-Medan. Tapi kalaupun ada, Jakarta-Medan.Kalau Jakarta-Medan, Insya allah tiket akan mudah didapat. Ibu Jamilah keberatan, karena merasa tidak memiliki keluarga di Jakarta . Saya jelaskan, bahwa saya adalah anak ibu, jadi kakak saya di Jakarta juga anak ibu, Insya Allah mereka dapat membatu. Saya hubungi keluarga di Jakarta , dan mereka siap membantu. Akhirnya Ibu Jamilah menyerahkan segalanya kesaya dan beliau hanya manut saja, setelah saya jelaskan segala sesuatunya tentang rencana yang akan saya jalankan. Sebagai konsekwensi dari pernyataan saya ini, saya harus pulang lebih awal dari rencana semula yakni sampai penutupan muktamar. Ibu Jamilah juga menyampaikan keinginannya untuk mendatangi keluarganya di luar kota dan rencananya menginap di sana . 
Hari Rabu hanya tinggal kami bertiga di perumahan Bukit Cemara Tidar. Atas permintaan keluarga saya transfer uang ke Jakarta untuk biaya beli dua tiket Jakarta-Medan dengan jadwal keberangkatan Sabtu pagi. Karena salah pilih angkot dan tidak pula tanya sana-sini, pulang dari bank turun dari angkot terpaksa saya naik taxi. Jelas biaya jadi berkali lipat, apa boleh buat. Tak lama pulang dari bank, saya dan dua bapak-bapak yang masih tinggal, Pak Mawardi dan pak Ahmadsjah mendapat kunjungan dari Mas Edi Priono dan keluarganya. Dengan senang hati beliau mengajak kami jalan-jalan dan makan siang di satu resto lesehan yang bernuansa alami. Saya lupa nama resto dan lokasinya. Kami juga mampir di lokasi bazaar muktamar dan membeli beberapa buah tangan. Saya juga membelikan satu set pulpen dengan logo muktamar dan diukir nama untuk puteri Mas Edi Priono, Lala. Ketika berjalan-jalan itu, pak Mawardi minta dicarikan tempat penjualan tiket.Saat beliau menanyakan menanyakan tiket kereta api ke suatu daerah, di travel yang letaknya berseberangan dengan tempat penjualan tiket kerta api saya iseng menanyakan ada tidak sheet Jakarta-Medan untuk penerbangan hari Kamis. Kebetulan ada. Setelah tahu harga tiketnya, dan menururt saya tidak terlalu mahal langsung saja saya booking. Saya ajak Pak Ahmadsjah untuk berbuat yang sama, seraya mengingatkan paling tidak untuk pulang kita sudah aman. Akhirnya beliau setuju. Setelah pulang jalan-jalan, pak Mawardi setengah memaksa agar kami singgah ditempat penjualan tiket tadi. Untung tiket dengan penerbangan yang sama masih ada tersisa satu. Terang saja keadaan ini tak disia-siakan beliau dan membuat beliau senang. Niat naik kereta api ke keluarganya batal dengan alasan keluarganya tak dapat dihubungi. 
Hari Kamis dengan bus kramat jati, diantar mas Priono saya dan ibu Jamilah beserta adik beliau meninggalkan kota Malang menuju Jakarta . Kami tiba di rumah kakak saya di perumahan Larangan Indah, Ciledug menjelang magrib hari jumat tanpa halangan berarti. Adik saya menginformasikan bahwa pesawat yang bakal ditumpangi adalah pesawat transit dari Malaysia dan berangkat pukul 05.30 dari Cengkareng. Setelah makan malam dan berbasa-basi, ibu Jamilah istirahat. Pukul 03.00 dinihari mereka sudah bersiap-siap. Saya pastikan beliau-beliau ini tidak tidur. Dengan bantuan adik saya Fadly, dengan taxi kami menuju bandara Cengkareng. Saya sholat shubuh di salah satu sudut ruangan di bandara. Saya hubungi keluarga ibu Jamilah di Binjai tentang pesawat yang ditumpangi ibu Jamilah. Ketika saya kembali ke rumah kakak di Larangan, semua yang saya alami kembali menarik dipelupuk mata saya. Bapak yang mengundurkan diri, kemudian mendaftar lagi karena melonjaknya harga tiket pesawat, bahkan mendaftar ulang bareng isterinya. Kemudian komplain dengan fasilitas bus yang disediakan pihak travel ketika akan berangkat ke Belawan, kemudian bus L-300 nya yang mengalami kerusakan, kemudian mencari kejelasan harga tiket saat di kapal, kemudian tercecernya seorang anak gadis di tanjung priuk akibatnya saya dimarahi habis-habisan oleh orang tua sigadis, kemudian dituduh menerima uang saat membagi undangan masuk acara pembukaan, kemudian pulang lebih awal dari jadwal yang direncanakan, kemudian, kemudian, kemudian. 
Akhirnya sesuai jadwal, kami berkumpul kembali di Cengkareng bareng pak Ahmadsjah, pak Mawardi. Ketika kami tiba di bandara polonia medan , mobil Toyota kijang putih punya anak pak Mawardi sudah menanti kami untuk membawa kami kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Muktamar 1 Abad Muhammadiyah Yogyakarta
Yogya, I am comeback
Muktamar 1 Abad Muhammadiyah memang LUAR BIASA GAUNG nya. Saya kembali dipercaya sebagai koordinator penggembira, ketuanya Niswansyah. Atas kesepakatan bersama unsur pimpinan memaksimalkan biaya yang ada dan mengambil hikmah/pelajaran dari pengalaman Muktamar Muhammadiyah sebelumnya di Malang, semua jaringan kumaksimalkan. Termasuk mohon bantuan kakakku dan suaminya dengan adikku untuk menghubungi jasa transportasi Jakarta-Yogya. Sebagai tanda turut berbahagia dan ingin melihat bagaimana besarnya Muhammadiyah disaat berusia 1 abad itu, kakakku Nefertiti ikut juga. Alhamdillah, malah sekalian dengan adik ibuku. Masya Allaah. Sesuatu yang tidak pernah kuduga selama ini. Karena kami membooking 1 bus dengan kapasitas seat penumpang masih tersisa, jadi mereka bisa nimbrung.
Untuk mengantisipasi dan meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi, 4 pantitia dan utusan Muktamar kulibatkan mendampingi rombongan penggembira yang naik kapal laut. pada hari yang sama, sorenya aku naik Batavia untuk menunggu mereka di tanjung priuk dengan bus yang akan membawa kami ke Yogya nantinya. Karena memungkinkan, isteriku kuajak ikut. Dia tidak keberatan. Isteriku dan aku belum pernah meninggalkan anak-anak. Begitu pesawat tinggal landas, air mata galau membasahi pipi isteriku. Anak-anaknya jadi beban pikirannya. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan mereka. aku mencoba menghiburnya. Tawaqqal ala llaahi. Bisikku ditelinganya. Alhamdulillah semua berjalan dengan baik.
Keesokan harinya, diantar abang iparku, saya bersama isterti, kakakku Nefertiti dan adikku mengambil bus yang sudah dicarter mereka ke terminal. Dari terminal, bus yang sudah dibooking kami bawa ke Tanjung priuk. Sebelumnya sempat terjadi silang pendapat perihal biaya bus Jakarta-Yogya. Mereka meminta biaya lebih dari kesepakatan yang sudah dibuat. Demi semuanya berjalan lancar, saya harus menambah biaya untuk administrasi bus yang dimaksud. Sore hari bus yang kami sewa stand by di terminal tunggu Tanjung Priuk. Kegelisahan dan kekhawatiran memikirkan penggembira yang di kapal membuat saya sempat down. Menjelang magrib kapal merapat di dermaga. Iqbal, Hairil Anwar dan kawan-kawan yang difasilitasi panitia penggembira segera saya konfirmasi. Setelah mencek seluruh penumpang, bus yang kami tumpangi membelah kota Jakarta menuju Yogyakarta. Alhamdulillah, secara umum berjalan dengan lancar. Rombongan sempat beristirahat di rest area menjelang Yogyakarta.
Bulan Juli 2010, Yuyunku ultah. Tepatnya tanggal 14 Juli. Saat makan siang rombongan kami beristirahat di rumah makan Pringsewu. Siapa yang berultah juni-juli oleh pengusaha rumah makan diundang maju ke depan untuk dirayakan dengan kawan dan anggota lain yang juga berlangtahun di bulan Juni-Juli itu.Hebat juga kiat pengusaha rumah makan ini. Harga makanan sangat-sangat mahal. Dan saya sebagai pimpinan rombongan tidak sedikitpun mendapat potongan. Sementara supir dan kernet makan di ruang lain, gratis. Padahal sebelumnya sudah kelihatan beberapa rumah makan, berhenti-tidak, berhenti-tidak. Akhirnya Pringsewu menjadi pilihan.
Dari komunikasi dengan panitia tempat, saya dan rombongan diinapkan di ranting Muhammadiyah Nitikan. Kami sampai ke lokasi menjelang sore. Di sini sudah ada rombongan Binjai dibawah koordinasi Ibu Nurbaiti. Penggembira dari Binjai terbagi dua kelompok, kelompok saya resmi mendapat SK dari PDM Binjai, rombongan lain dipimpin ibu Nurbaiti. Karena beliau duluan sampai dan menjual nama Binjai, panitia tanpa melihat kelengkapan administrasi menerima mereka dengan baik. Fasilitas mereka lebih maksimal. Karena mereka duluan sampai. Apa boleh buat. Dari informasi yang beredar, ribuan orang tumpah ruah di Yogyakarta. Sementara beredar juga berita untuk dapat masuk ke stadion dalam rangka pembukaan muktamar, harus ada undangan. Melalui panitia, saya sudah usahakan undangan, tidak berhasil.
 Hari Pertama di Yogyakarta.
Pukul 04.00 kurang, shubuh sudah masuk. Saya sholat di penginapan saja. Tidak ke mesjid. Menjelang pagi datang sarapan sebanyak 78 porsi sesuai anggota yang saya bawa. Kenyataannya, karena malam itu juga sudah ada yang keluar, nasi banyak tersisa. Tapi kita tetap membayar kali 10 ribu perporsi. Karena belum ada niat keluar, saya santai-santai saja. Ada sms masuk ke hp saya. Dari ibu Maimunah. Beliau menyuruh saya dan rombongan untuk segera ke stadion. Ada tempat yang masih tersisa yang mereka siapkan. Sms ini tidak saya gubris. Pak As adinata menelepon saya menginformasikan posisi ibu Nurbaiti yang masuk ke stadion. Ibu Maimunah juga menelepon saya untuk hal yang sama. Akhirnya informasi itu saya halo-halokan dari kamar ke kamar. Ternyata seorang ibu rombongan saya menyeletuk, “wajar kalau ibu Nurbaity masuk, diakan dapat undangan”. Saya kaget. “apa betul ibu melihat dia dapat undangan ?”. “Betul pak, yang melihat undangannya ibu B”. “Betul bu B, betul ibu melihat undangan yang ada dengan ibu Nurbaiti ?” Tanya saya ke ibu B. “Betul pak”, “saya sendiri melihatnya”. Langsung saya telepon pak Adinata. Akhirnya pak Adinata sendiri maklum.
Kakakku dan bunda Hakimah sudah pergi duluan. Padahal janji kemaren, mau barengan sekalian menghadiri undangan. Apa boleh buat. Sementara itu mendengar rombongan pesawat berhasil masuk stadion, beberapa kawan-kawan protes, bahkan mengajukan keberatan dengan saya dan PRM Nitikan. Saya dan kawan-kawanpun mengajukan keberatan kepada panitia penerima muktamar. Kami diterima komandan laskar bapak Hasan, ketua panitia penerima Mas Akhid dan lain-lain. Setelah semua uneg-uneg dikeluarkan, akhirnya kawan-kawan dapat menerima dengan rasa penasaran dan gregetan. Apa boleh buat. Beberapa teman-teman berinisiatif membentuk kelompok sendiri-sendiri.
Saya sendiri bareng isteri dan pak Nurnuh yang juga dengan isteri sepakat ke stadion mandala krida. Sesampainya di lokasi, keramaian penggembira muktamar menjadi pemandangan tersendiri yang mengasyikkan. Kami diantar mas Bahar dangan L-300 nya yang terpaksa menurunkan kami dalam radius lumayan jauh karena ramainya pengunjung saat pembukaan Muktamar 1 abad Muhammadiyah tanggal 3 juli 2010.. dengan berjalan kaki, akhirnya kami sampai di sekitar stadion mandala krida. Karena belum sarapan, kebetulan bawa cemilan dari penginapan, isteriku dan orang rumah pak nurnuh mengambil tempat diantara keramaian orang dan mencicipi apa yang dibawa. Sebelum itu, sempat beberapa butir air turun dari langit yang memang cuacanya sangat akrab. Walau agak mendung, tapi panasnya lumayan juga. 
 Gambar di bawah, menunjukkan isteriku dan orang rumah pak nurnuh sedang menikmati penganan yang dibawa dari penginapan.


Karena mereka sedang makan, kami, saya dan pak nurnuh meninggalkan mereka. Masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Saya dengan hape saya dan pak Nurnuh dengan kamera digitalnya. 



Pada foto di atas dan di bawah terlihat antusiasme pengunjung yang ingin masuk ke stadion dan keinginan sebagian pengunjung yang kegerahan berada I dalam dan ingin keluar. Boleh jadi yang keluar, berada di stadion sejak dinihari paling tidak bakda shubuh sudah mengambil posisi di dalam stadion. Akhirnya, karena kurang persiapan, tidak membawa konsumsi dlsb, akhirnya lapar, lelah, lesu dan letoy. Demi Muhammadiyah yang sudah 1 abad.



Puas lihat keramaian, saya kembali ke posisi isteri saya yang saya tinggalkan. Mereka tidak ada. Saya bingung. Saya cari dan Tanya ke ibu-ibu yang ada di dekat situ. Dua ibu yang saya tanya, dua jawaban berbeda yang say terima. Bingung tidak menemukan yang saya, saya hubungi pak Nurnuh. Hp saya tidak berfungsi. Saya coba test telepon ke rumah di Binjai, Hp saya tidak berfungsi. Saya sumpahi hp saya yang disaat genting dan penting tidak dapat digunakan. Dari gerbang F stadion, di saat-saat cari mencari isteri, saya sebenarnya punya kesempatan untuk dapat masuk stadion. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya kembali cari isteri keposisi semula, kali ini baru berhasil. Rupanya, kecewa karena ditinggal suami, akhirnya mereka berinisiatif mencari suami masing-masing. Jadilah baku cari. Demikian juga ruoanya yang dialami bapak Nurnuh.

Foto di atas, dijepret pak Nurnuh, sesaat kami meninggalkan isteri ketika mereka menggelar sarapan di sela keramaian orang. Tak enak hati diambil terus, gentian saya yang mengambil foto pak Nurnuh. Inilah hasilnya.

Setiap kesempatan, pak nurnuh dan saya jadi baku ambil foto di sekitar stadion. Beberapa hasilnya terlihat di bawah ini. Saya nimbrung disela-sela petugas keamanan yang berpatisipasi di arena pembukaan muktamar. Isteri saya dan orang rumah pak Nurnuh sementara saya mencoba sok akrab dengan petugas keamanannya. Dikejauhan, beberapa pengunjung melepas lelah di sekitar stadion.
Puas menikmati keramaian orang, kami meninggalkan arena pembukaan. Disaat-saat seperti itu pak Nurnuh mengambil momen-momen yang beliau anggap ok untuk diambil. Inilah hasilnya.


Ketika selesai buang air kecil, saya ketemu dengan kawan yang masih saya ingat betul. Namanya Misdi. Momen seperti ini, oleh pak Nurnuh diabadikan beliau. Alhamdulillah. Percakapan seru antar teman yang sudah dua puluhan tahun tak ketemu, berlangsung penuh kekeluargaan.

Sekarang Misdi bertugas di Siglie, Aceh. Karier beliau bagus. Setahun di Fasas USU B. Arab beliau hijrah ke IAIN dan sukses menyelesaikan studinya. Sekarang dia kepala sekolah di sana. Siapa sangka, kalau sudah kehendak yang maha kuasa untuk ketemu, ya ketemu. Padahal itu diluar rencana dan tidak pernah diduga sama sekali. Sementara kami terlibat dalam pembicaraan, isteri saya dan orang rumah pak Nurnuh sibuk dengan aktifitas masing-masing. Inilah yang terlihat ketika saya asyiik bernostalgia dengan Misdi.
Dalam perjalanan menjauh dari arena stadion, isteriku dan orang rumah pak Nurnuh menelusuri stand demi stand bazaar yang digelar di areal UAD atau Universitas Ahmad Dahlan. Kesempatan berfoto dan mencari momen-momen tepat terus dilakukan oleh Pak Nurnuh. Beberapa hasilnya seperti terlihat pada uraian foto berikut. Gambar di bawah, dengan latar belakangstudio ADITV UAD, stasiun televise milik Muhammadiyah yang mengudara beberapa bulan sebelum Muktamar 1 Abad Muhammadiyah digelar.
Berikutnya, kami ketemu salah seorang penggembira yang sudah uzur dari daerah Jawa. Oleh pak Nurnuh, momen saya ngobrol sama Bapak tua, diabadikannya. Inilah hasilnya.

Dalam perjalanan keluar menjauh dari arena pembukaan muktamar, gerimis kecil menyergap kami. Kami mencari tempat istirah. Di suatu teras perkantoran, kami beristirahat. Kami sempat kehilangan isteri masing-masing. Masya Allah, ternyata mereka sudah membawa 4 nasi kotak yang dibagikan secara cuma-cuma dipelataran gedung tempat kami istirah itu. Semua merasa lucu. Semua merasa heran. Semua merasa kaget. Pucuk dicinta ulam tiba, perut lapar nasi kotak dapat. He he he he he. Sebelum menyantap nasi dari syurga, kami istirah. Lokasinya lumayan bersih. Golek seperti di bawah ini adalah kesempatan yang sangat mahal. Makanya kesempatan ini tidak disia-siakan. Walaupun hanya sekian menit, kesegaran minimal sudah di dapat. Yah lumayanlah. Sementara di teras lebih besar dari tempat kami, orang agak rame, bersempit-sempit ria. Kami agak ke belakang dari posisi mereka, tapi bersih dan lapang. Pemandanganpun lepas.
Kata pak Nurnuh, kalau lelah berjalan, sambil golek kaki dinaikkan. Ya seperti gambar Beliau ini. 
Lepas istirah, bersantap ria dengan nasi kotak rezeki dari langit. Inilah gambarnya.
Usai mengisi kampung tengah kami telusuri jalan menuju malioboro. Dari petugas yang kami tanyai dengan situsai kepadatan lalu lintas seperti saat itu disarankannya lebih baikberjalan kaki saja. Itulah yang kami buat. Dalam perjalanan menuju Malioboro kami melewati jalan Taman siswa. Saya langsung ingat amanah Pak Mui S dari Binjai , jika ke Yogya usahakan singgah ke jalan Taman siswa. Rumah keluarga beliau. Dari Tanya sana sini, akhirnya yang di cari ketemu juga. Kami disuguhi penganan ringan dan makan siang. Padahal barusan makan. Apa boleh buat. Selesai sholat jamak zhuhur ashar, kami makan lagi. Selesai makan, kami diantar tuan rumah ke Malioboro. Macet yang menyergap di sana sini membuat tuan rumah yang menghantar kami agar repot. Akhirnya kami berganti kenderaan dengan delman. Beberapa foto berikut menggambarkan situasi saat kami berdelman ria menuju Malioboro.
Hujan lebat menyambut kedatangan kami di Malioboro. Sambil menuju ke pasar Beringharjo, isteriku dan orang rumah pak Nurnuh berbelanja di lorong-lorong Malioboro. 
Perburuan akan barang-barang diperkirakan murah dan khas Yogya, diteruskan di Pasar Beringharjo. Dari hasil omong sana-sini, Pak Nurnuh ketemu sama tetangganya. Pembicaraanpun menjadi ramai.

Menjelang senja, beberapa toko sudah tutup. Beberapa pedagang yang masih buka, nekat membanting harga.Tawar menawar berlangsung seru. 

Belanja hari itu berakhir juga. Pulangnya, karena kepadatan kota Yogya di hari pembukaan Muktamar 1 Abad Muhammadiyah sangat ramai, kami berinisiatif pulang naik beca.
Kembali ke penginapan, berarti kembali untuk beristirahat. Hari Minggu itu dilalui dengan kelelahan yang lumayan. Istirah dulu lah. Tak usah mandi. Cukup lap badan dan istirah. Malam itu sebagai pimpinan rombongan saya diundang panitia tempat, membicarakan keberadaan kami di Nitikan. Mereka menanyakan biaya administrasi penginapan. Saya jelaskan bahwa sepanjang yang kami ketahui, penginapan gratis. Dari diskusi bareng teman-teman rombongan disepakati untuk memberikan sekedar biaya kebersihan. Ranting Nitikan termasuk ranting yang maju.

Tour de Muhammadiyah
Untuk mengisi kegiatan penggembira, pantita Muktamar mengadakan acara dengan tajuk Tour De Muhammadiyah.  Diantara ratusan ribu penggembira yang hadir di Muktamar, tak banyak yang tahu bahwa panitia syiar Muktamar menyelenggarakan paket tour de Muhammadiyah. Paket Tour de Muhammadiyah mengambil 3 jalur rute, yakni jalur utara, selatan dan timur.
Jalur Selatan melalui Mesjid Gedhe Kauman, PRM Karangkajen, PRM Nitikan, PRM Imogiri, Ponpes Darul Ulum Sewu Galur dan Bazaar Muktamar Muhammadiyah.
Jalur Timur melewati Mesjid Gedhe Kauman, PRM Potorono, PCM Prambanan, Mesjid dan Bazaar Muktamar Aisyiyah.
Jalur Utara melewati Mesjid Gedhe Kauman, PCM Nanggulan, Kebun Buah Salak turi dan Bazaar Muktamar Muhammadiyah.
Oleh panitia seksi syiar, penyelenggaraan Tour de Muhammadiyah dimaksudkan untuk menapak tilasi kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Berikut beberapa foto yang diambil selama proses mengikuti Tour de Muhammadiyah lewat Lajur Selatan yang saya ikuti :




Mesjid Gedhe Kauman, yang juga jadi bagian dari logo Muktamar 1 Abad Muhammadiyah adalah titik awal tempat berkumpul seluruh peserta Tour de Muhammadiyah dari ke tiga Jalur, yakni Selatan, Utara dan Timur. Sebelum berjalan menelusuri kampung Kauman. Kampung Kauman ini terletak tepat di Barat Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. Pada tahun 1912 Muhammadiyah didirikan di kampung ini oleh KHA Dahlan, karena itulah seiring dengan perkembangan Muhammadiyah, kampung ini menjadi saksi tumbuh, berkembang dan majunya Muhammadiyah yang kini sudah berusia 100 tahun alias 1 Abad.




Oleh pantia, kami yang dari awal memilir rute lajur Selatan oleh panitia dialihkan ke lajur Timur. Apa boleh buat, sebagai kepala rombongan terpaksa saya harus menjelaskan ke kawan-kawan, tentang perbedaan id card. Karena masing-masing jalur id cardnya berbeda warna. Terpaksa idcard yang kami pakai id card jalur Timur (Gambar atas). 



Karena sebagian ibu-ibu sudah pernah ke Imogiri, mereka beranggapan akan sia-sia ikut Tour de Muhammadiyah karena sudah dua kali. Mereka minta ke saya, khusus rombongan Binjai, Tournya diganti arah agar mengunjungi Candi Borobudur, atau Candi Prambanan atau ke Parang Tritis. Terpaksa sekali lagi saya harus meyakinkan bahwa hal itu tidak akan mungkin dilaksanakan.


Sebagian mereka mengundurkan diri karena berfikir tidak akan memperoleh manfaat apa-apa dari Tour de Muhammadiyah. Masak iya…………………………Tournya masuk kampung ke luar kampong jalan kaki lagi. “Mungkin itu yang ada di benak mereka”.



Foto di atas, adalah poster besar yang dibuat dan dipersembahkan oleh SD Muhammmadiyah Kauman, lokasi pertama yang kami kunjungi selepas dari Mesjid Gedhe Kauman. Kelihatan urutan pengurus PP Muhammadiyah dari periode awal KHA Dahlan sampai periode Din Syamsuddin.


Pernyataan KHA Dahlan terpampang dipintu masuk SD Muhammadiyah Kauman, untuk mengingatkan seluruh keluarga besar Muhammadiyah, agar tidak lupa akan Muhammadiyah yang membutuhkan tenaga-tenaga trampil.



Di SD Muhammadiyah ini penggembira juga di hibur oleh penyanyi cilik siswa SD Muhammadiyah Kauman, pemenang lomba cipta lagu se Yogyakarta.



Keluar dari SD Muhammadiyah Kauman, menelusuri lorong-lorong kecil, kami sampai ke area pemakaman Nyai Ahmad Dahlan yang terletak di Kauman. Foto di atas adalah nisan peringatan yang dibuat oleh Pemerintah. Padahal dalam keyakinan Muhammadiyah, pembangunan nisan seperti ini adalah hal yang tabu.
Menelusuri lorong-lorong, kami sampai kekediaman KHA Dahlan, sebagian peserta membuka bekal sarapan di rumah ini. Melihat bilik kamar di mana KHA Dahlan tidur. Konon bangku dan meja yang ada di kamar itu adalah bangku dan meja yang digunakan oleh KH Ahmad Dahlan dulu. Saat itu pulas tertidur cicit KHA Dahlan, karena kebisingan ramainya pengunjung tidak merasa dia terganggu. Disisi kiri rumah Beliau terdapat langgar yang Beliau dirikan.


Langgar ini, terlihat jelas dalam film Sang Pencerah. Kelihatan, kemiringan arah qiblat dari bangunan awal sampai setelah berubahnya arah yang menjadi kontroversi di kalangan ulama saat itu. Ketegangan dan nyaris terjadinya pertumpahan darah di kalangan sesama Muslim, saat KHA Dahlan melakukan perubahan arah qiblat. Dari lurus ke barat sampai agak miring sedikit ke kanan



Masih tidak jauh dari Kauman, peserta tour di bawa ke ke lokasi bersejarah lain, yakni Suronatan-Notoprajan. Dua kampung ini terletak di kec. Ngampilan yang dibatasi oleh jl. Nyai Ahmad Dahlan yang dulu namanya jalan Gerjen. Di kampung ini terdapat SD Muhammadiyah yang juga didirikan oleh KHA Dahlan.. di kampung ini juga terletak kantor PP Muhammadiyah yang lama.
Lepas dari Suronatan-Notoprajan kami dibawa ke Karangkajen. Sejarah mencatat, karangkajen tidak dapat dilepaskan dari Kauman. Dakwah Muhammadiyah di Karangkajen berkembang dengan diadakannya pengajian al Fajr di salah satu mesjid di sana. Pengajian itu di adopsi dari pengajian al Maun nya KHA Dahlan. Satu lagi hal yang menarik dari Karangkajen ini, adalah banyaknya makam pendiri dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah antara lain KH A Badawi, KH Ibrahim, KH Ahmad Dahlan, KH Noor, KH AR Fakhruddin. 





Di tempat ini juga ada lokasi pembuatan batik. Gambar di atas memperlihatkan salah seorang karyawan selesai mencuci batik setelah melalui beberapa proses sebelumnya. Sebelum sampai ke lokasi makam, kami disuguhi minuman agua botol gratis dan disambut oleh drumband cilik yang dibawa oleh anak-anak TK ABA.


Dari Karangkajen, peserta dibawa ke ranting Muhammadiyah Nitikan. Ranting ini tempat pemondokan penggembira Muktamar Muhammadiyah dari Binjai. Ranting Muhammadiyah Nitikan yang berdiri tahun 1954 memiliki Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan pernah menjadi ranting terbaik di lingkungan PWM Yogyakarta. Beberapa sumber lisan bahkan menceritakan bahwa Muhammad Darwis alias KHA Dahlan kecil lahir di Nitikan. Di sini juga terdapat mesjid bersejarah yakni Mesjid Sulthaniah. Kami menginap di TK yang berada di komplek Mesjid Ath Thohirin. Disamping TK ABA, di sini juga terdapat Pendidikan al quran Nitikan, Toko Al Amin, BMT El Bummi dan Kantor Sekretariat Ranting.
Ketika pengunjung Tour de Muhammadiyah menerima gambaran mengenai perkembangan ranting yang disebut juga ranting 1 milyar, waktu ini sebagian peserta Tour de Muhammadiyah dari Binjai karena menginap di situ memanfaatkannya untuk beristirahat di kamar masing-masing. Keliling kampung Kauman barusan ternyata cukup melelahkan. Gambar-gambar di bawah, adalah dinding-dinding pagar sekolah yang dilukis sehingga kelihatan menarik. 

           

Dari PRM Nitikan, rombongan Tour de Muhammadiyah meneruskan perjalanan ke PRM Imogiri. Suasana sudah lewat tengah hari. Menurut buku panduan, makan siang dibagi di ranting Nitikan, kenyataannya berubah diganti menjadi di ranting Imogiri. Sesampainya di ranting Imogiri, satu pemandangan mengharukan terpampang di depan mata. Betapa tidak, di siang hari yang lumayan panas, anak-anak TK ABA kembali menerima kehadiran kami dengan drumband dan lagu mereka. Rasa haru dan bangga berkecamuk jadi satu dalam diri. Masya allah, mudah-mudahan keikhlasan yang mereka tampilkan menjadi amaliyah tersendiri bagi mereka. 



Dari bayangan matahari yang menyinari mereka kelihatan bahwa panasnya cukup maximal, tapi anak-anak tersebut tetap bersemangat. Begitu sampai di area acara, SMP Muhammadiyah Imogiri, pemandangan lain kembali kami lihat. Ibu-ibu Aisyiyah ranting menampilkan lagu dan musik khas jawa. Hadir juga dalam menyambut kedatangan kami, Bapak Camat.



Bukti akte pendirian Aisyiyah di Imogiri, tulisan tangan Nyai Ahmad Dahlan masih tersimpan baik di sini. Di Imogiri khususnya Karang tengah dikembangkan pertanian ulat sutera yang dikelola oleh ibu-ibu Aisyiyah setempat.
Di sela-sela acara penjelasan selayang pandang tumbuh dan berkembangnya Muhammadiyah Imogiri, nasi kotak dibagikan panitia Tour. Apa boleh buat, konsentrasi jadi berbagi antara mengisi perut dan mendengarkan paparan pembawa acara. 



Dari ranting Imogiri, perjalanan kembali diteruskan. Kali ini ke Madrasah Wustha Muhammadiyah Sewugalur. Keberadaan Madrasah ini menjadi terkenal di kalangan Persyarikatan, karena salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah alumni dari madrasah ini dengan nomor induk siswa 001.yakni KH Abdul Rozzaq Fahruddin (pak AR). Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama dan dikenal sangat merakyat dan sederhana, beliau menuntut ilmu di madrasah ini sejak tahun 1930 atas perintah ayahnya. Madrasah ini terletak di desa Wanapel, Kecamatan Sewugalur, Kabupaten Kulonprogo. Berbeda dengan sambutan di tempat kunjungan awal, di sini rombongan diterima oleh para pimpinan madrasah, beserta guru-guru dan pengurus Muhamadiyah.



Dari poster raksasa yang dipajang oleh Madrasah, dapat diketahui kapan Pak AR, menyelesaikan pendidikannya di Madrasah ini. Acara silaturahim berlangsung penuh kekeluargaan. Mewakili rombongan penggembira atau peserta Tour de Muhammadiyah, sambutan disampaikan oleh Bapak As Adinata, penggembira peserta Tour de Muhammadiyah dari Binjai seperti terlihat di gambar bawah ini.


Menjelang sore, perjalanan terakhir Tour de Muhammadiyah jalur Selatan adalah bazaar Muhammadiyah di komplek Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menjelang Maqrib, rombongan sampai ke komplek UMY. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh peserta untuk berbelanja oleh-oleh dan cendera mata khas Muktamar. Kelelahan selama mengikuti Tour de Muhammadiyah seharian begitu saja sirna. Berganti kepada situasi menggembirakan.



Beberapa penggembira peserta Tour de Muhammadiyah menyatakan rasa syukurnya dapat mengikuti Tour de Muhammadiyah. Dari Tour de Muhammadiyah dapat diketahui jejak sejarah tumbuh dan berkembangnya Muhammadiyah yang dibawakan oleh KHA Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan. Kalau penggembira lain ke Borobudur atau ke Prambanan atau ke Parang Tritis itu sudah umum. Dari Tour de Muhammadiyah dapat dibayangkan bagaimana KHA Dahlan dulu berbuat. Rumah dan Langgarnya masih utuh. Sekolah yang pertama Beliau dirikan juga masih ada. Bekas dia merubah arah qiblat, masih kelihatan. Paling tidak sebagian ini persis yang dapat dilihat pada film Sang Pencerah. 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops