Lencana Facebook

Senin, 18 September 2017

Oedin








            Oedin kecil
 Buya Oedin (atau Udiang menurut pelafalan orang kampugnya) begitu beliau biasa dipanggil di masa tuanya lahir tahun 1906 (informasi lain menyebutkan bulan Agustus 1907) dari rahim Raalin, seorang pengurus Aisyiah yang tangguh di Kuraitaji dan Hatta seorang upalo uban (setingkat kepala lingkungan/kepling sekarang). Masa remaja Buya Oedin kecil dihabiskan di kampungnya. Walaupun ayahnya sebagai kepling, Buya Oedin yang hanya 2 bersaudara, (adiknya Umi Rohana) cuma bisa mengenyam pendidikan  formal hanya sampai kelas 2 Sekolah Rakyat.  Buya Oedin kecil, dikenal sebagai anak yang bagak, preman. Menurut penuturan Qne, Buya Oedin kecil suka mengadu ayam. Dia akan senang bila mana berada di arena adu ayam. Terkekeh melihat bagaimana seekor ayam ngos-ngosan setelah diadu. Sebagian waktunya dihabiskan hanya dengan bermain, adu ayam, ka pasa (ke pasar) dan kegiatan lain non produktif. Walaupun senang dengan kegiatan ini, teman sepermainannya waktu kecilnya mengakui Beliau sebagai seorang yang sportif.  Kesulitan hidup dan situasi yang kurang menguntungkan menempa dirinya menjadi orang yang sadar akan tanggung jawab, perlu membantu kehidupan orangtua dan Umi Rohana, sang adik. Buya Oedin ketika kecil tidak segan segan menjadi tukang pikul sekalipun di Pasar. Seiring berjalannya waktu jiwa kepemimpinannya tumbuh. Jiwa kepemimpinan yang  mengalir dari kedua orangtuanya, ibunya yang seorang pengurus Aisyiyah dan ayahnya seorang kepling. Karena Cuma kelas 2 sekolah rakyat, tidak banyak yang bisa dia buat kecuali hanya karengkang dengan penjajah.
Masa Muda/ Masa Penjajahan *)
Lingkungan dan keadaan sekitarnya di masa penjajahan Belanda, Jepang dan Belanda membuat  Oedin tampil sebagai seorang yang pemberani, dan karengkang. Masa mudanya sudah berurusan dengan penjajah. Oedin sejak remaja sudah tidak senang dengan penjajahan Belanda. Beliau berjuang tidak melalui perjuangan fisik, melainkan melalui jalur politik. Organisasi politik yang dimasuki Buya Oedin adalah Komunis. Pada masa permulaan perjuangan Buya Oedin oleh pihak Belanda semua kelompok yang menantang penjajah dinamakan Kaum atau Kelompok Komunis. Sedangkan organisasi keagamaan Buya  Oedin adalah Muhammadiyah.
Dalam perjuangan organisasi ini  Buya Oedin mendapat dukungan dari teman-temannya dan masyarakat, sehingga Beliau menjadi pengurus dimana organisasi yang dimasukinya. Beliau sering mengadakan pertemuan pertemuan dan dikunjungi oleh teman temannya untuk membicarakan langkah langkah menghasut masyarakat agar benci dan engkar kepada Belanda. Kegiatan Buya Oedin ini diketahui oleh pihak Belanda dan Beliau ditangkap Belanda dikampungnya sendiri yaitu di Kuraitaji pada tahun 1926. Beliau ditangkap baru berumur 19 tahun.
Pada hari pertama Beliau ditangkap, Beliau ditahan di Kantor Kepala Nagari Kuraitaji. Pada malam harinya Buya Oedin dapat melarikan diri melalui jendela kamar tahanan yang kebetulan tidak terkunci.
Beliau lari dari tahanan dan dan pergi ke rumah teman dan bersembunyi di rumah teman tersebut sampai pagi. Besok paginya Beliau meninggalkan Kuraitaji menuju Sicincin dengan diantar oleh teman yang punya rumah tempat bermalam. Dari Sicincin Beliau meneruskan perjalanannya ke Solok. Setelah satu minggu di Solok , Beliau merencanakan hendak pergi ke Palembang dengan mampir lebih dahulu di beberapa tempat antara lain Sijunjung dan Muara Tebo.
Di Muaro Buya Oedin tinggal satu bulan. Selama satu bulan itu Beliau menumpang  di rumah seorang China Komunis dan China itulah yang memberi makan yang dibelikannya dari kedai nasi. Dari Muara Tebo Buya Oedin meneruskan perjalanannya ke Jambi. Di Jambi Beliau tinggal satu bulan dan menumpang di rumah teman.
Pada saat Buya  Oedin di Jambi, Belanda telah menyebar marsosenya di seluruh Pulau Sumatera. Tugas marsose Belanda ini antara lain mengawasi rakyat Pribumi, kalau kalau ada yang engkar menentang Belanda. Juga menjadi tugas marsose adalah mencari orang-orang yang melarikan diri dari tahanan Belanda, terutama yang mempunyai kesalahan menentang dan memberontak terhadap Belanda.
Berita tentang melarikan diri Buya Oedin dari tahanan Belanda di Kurai taji sudah ada pada marsose di beberapa daerah dan begitu juga di Jambi. Hal ini terdengar oleh Buya Oedin. Mendengar berita tentang adanya marsose mencari di Jambi, maka Beliau ingin berangkat atau meneruskan perjalanannya ke Palembang.
Sewaktu akan naik kapal yang hendak pergi ke Palembang, maka diketahuilah oleh marsose Belanda bahwa salah seorang yang akan naik kapal adalah orang yang melarikan diri dari tahanan Belanda yang bernama Oedin. Dia langsung ditangkap. Buya Oedin ditahan dalam bui Jambi selama satu bulan. Selama dalam bui Jambi Buya Oedin tidak mengalami siksaan fisik.
Peristiwa tertangkapnya kembali Buya Oedin di Jambi, maka kontroler Pariaman meminta kepada kontroler Jambi agar tahanan yang bernama Oedin berasal dari daerah Pariaman dapat dikirim kembali ke Pariaman. Permintaan itu dikabulkan oleh kontroler Jambi dan mempersiapkan pengawalan untuk mengantar Buya Oedin agar jangan lari dalam perjalanan menuju Sijunjung, dan terlebih dahulu mampir dulu di Muaro Tebo. Dalam perjalanan kembali ke Pariaman banyak juga peristiwa yang dialami oleh Buya Oedin baik yang merupakan siksaan maupun ujian terhadap agama.
Peristiwa-peristiwa Sewaktu Kembali ke Pariaman
Dari bui Jambi dikirim oleh kontroler Jambi ke Muaro Tebo, dan ditahan di sana selama lima hari. Kemudian dari Muaro Tebo diantar oleh militer Belanda ke Sijunjung. Perjalanan menuju Sijunjung dengan jalan kaki dan kaki satu dipasang rantai yang cukup panjang. Dalam perjalanan ini Buya Oedin dikawal oleh militer Belanda sebanyak sebelas orang.
Setelah tiga kilo meter berjalan kaki dari Muaro Buya Oedin meminta kepada pengawal agar belenggu rantai yang terpasang dikaki dapat dibuka. Mula mula militer Belanda yang mengawal tidak mau. Buya Oedin mendesak terus akhirnya pengawal mau dengan syarat jika menjauhi pengawal seratus meter tanpa memberi tahukan akan ditembak. Syarat tersebut diterima oleh Buya Oedin dan belenggu rantai dibuka.
Selama dalam perjalanan Buya Oedin disamping siksaan fisik, juga keimanannya terhadap agama juga diuji. Peristiwa ini terjadi sewaktu sampai di Teluk Kuali, saat itu pengawal menembak babi hutan, kemudian dimasak. Masakan babi itu disuruh makan oleh Buya Oedin, dan Beliau tidak mau dan dikatakannya dilarang oleh orang tua. Dijawab oleh pengawal bukan orang tua yang melarang melainkan agama. Buya Oedin tetap tidak mau.
Lama perjalanan dari Muaro Tebo menuju Pulau Punjung dilaksanakan/memakan waktu selama sepuluh hari. Sampailah Buya Oedin yang dikawal sebelas militer di Pulau Punjung pada malam hari. Keesokan harinya Buya Oedin minta pada pengawal agar dapat membicarakan dengan Asisten Demang supaya perjalanan ke Sijunjung dapat dengan mobil. Mobil ada di Sawahlunto.Buya  Oedin minta agar Asisten Demang menelepon ke Sawahlunto. Asisten Demang tidak mau dan akhirnya Buya Oedin sendiri yang menelepon.
Besok paginya datanglah prah oto dari Sawahlunto membawa rombongan ke Sijunjung. Sampai di  Sijunjung. Buya Oedin diserah terimakan kepada Jaksa Sijunjung yang bernama Sildo. Oleh jaksa Sijunjung ditahan dalam bui selama lima hari, kemudian dibawa ke Sawahlunto dan dikawal oleh dua orang polisi. Setibanya di Sawahlunto, ternyata bui di Sawahlunto penuh dengan orang orang yang memberontak kepada Belanda di Silungkang. Akhirnya. Buya Oedin ditahan dalam kantor polisi selama satu minggu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pariaman.
Dalam perjalanan menuju Pariaman Buya Oedin tangannya dibelenggu dan dikawal oleh dua orang polisi. Perjalanan dengan menggunakan kereta api. Sejak mulai berangkat dari Sawahlunto, Buya Oedin memperhatikan logat bahasa polisi pengawal dan menerka polisi ini pasti orang Pariaman. Kemudian Buya Oedin bertanya pada polisi pengawal, “Komandan kedengarannya seperti orang Pariaman ?”. langsung dijawab, “Ya”. Pertanyaan dilanjutkan dimana Pariamannya. Dijawab: “Sikapak”. “Kalau begitu sama sama orang Sikapak kita.
Setelah perkenalan demikian maka Buya Oedin minta agar belenggu yang terpasang ditangannya dibuka. Permintaan ini dikabulkan, sehingga sampai di Pariaman tidak terbelenggu lagi. Sampailah di Pariaman kira-kira jam 17.30, langsung diserahkan kepada kontroler. Dan kontroler berkata, “Sudah telat ini”. Maka dijawab langsung oleh Buya Oedin, “Buka saya yang telat tuan”. Kemudian langsung masuk bui Pariaman. Kejadian ini terjadi dalam tahun 1927.
Di Bui Pariaman.
Buya Oedin ditahan dalam bui Pariaman selama satu tahun delapan bulan. Menurut peraturan bui Pariaman, para tahanan tidak diperkenankan keluar bui. Peraturan ini memang tidak enak bagi Buya Oedin dan berfikir bagaimana cara dapat keluar penjara atau bui. Kemudian Buya Oedin minta kepada penjaga penjara agar dapat bertugas membersihkan pekarangan. Kalau membersihkan pekarangan berarti membuangkan sampah harus keluar pekarangan yaitu ke kali yaitu ke jembatan. Permintaan ini dikabulkan oleh penjaga bui.
Hampir setiap hari Buya Oedin membuang sampah ke jembatan. Di jembatan tersebut Beliau beristirahat dan sering bertemu dengan teman teman atau orang orang yang berasal dari Kuraitaji. Pada umumnya teman teman yang bertemu itu memberi uang untuk belanja. Tetapi uang yang diberikan oleh teman itu tidak dibelanjakan tetapi diberikan kepada kepada penjaga bui dengan demikian  Buya Oedin banyak dapat kebebasan dalam bui serta keringanan dalam pekerjaan. Selama dalam bui Pariaman Buya Oedin tidak ada mengalami siksaan fisik atau dipukuli.
Setelah satu tahun delapan bulan dalam tahanan bui Pariaman datanglah Prof. Skrike dari Batavia Centrum untuk memeriksa tahanan yang disebabkan masalah politik. Teman teman Buya Oedin yang sama sama ditahan dalam bui Pariaman adalah:
1. Mantari Juli
2. Rum dari Paingan
3. Bakar Ongkang dari Kampung Dalam
Pemeriksaan Buya Oedin dilakukan oleh Prof. Skrike dengan pertanyaan : “Betul mau perang, memberontak kepada Belanda”. Dijawab oleh Buya Oedin, : “Saya tidak mengerti tuan, perkara itu”. Setelah pemeriksaan, maka Prof. Skrike berbicara dengan kontroler dan akhirnya,
-  Buya Oedin
-  Rum
-  Mantari Juli, bebas dari tahanan.
Khusus untuk Buya Oedin yang menyebabkan bebas dari tahanan adalah karena dianggap masih kecil, yang pada saat itu berumur 21 tahun. Sedangkan Bakar Ongkang dibuang ke Digul.
Setelah Keluar Dari Tahanan
Selama satu minggu dirumah setelah keluar dari bui Buya Oedin selalu dikunjungi oleh teman-temannya. Melihat keadaan yang demikian orang tuanya, Raanin dan Hatta menjadi gelisah, takut kalau kalau anaknya ditangkap lagi oleh Belanda. Orang tua Buya Oedin menganjurkan agar anaknya pergi ke daerah lain. Anjuran ini diterima oleh Buya Oedin dan pergi ke Payakumbuh. Dari Payakumbuh terus ke Pekanbaru. Dari Pekanbaru terus ke Singapura dan berada di Singapura selama enam bulan. Di Singapura berinduk semang dengan seorang keling dan bekerja sebagai penjual roti. Sesudah enam bulan di Singapura Beliau tidak merasa enak lagi di sana dan ingin kembali ke Sumatera. Untuk kembali ke Sumatera tentu memerlukan biaya untuk menyewa kapal yang jumlahnya cukup besar kalau dibanding dengan kemampuan Buya Oedin pada waktu itu. Maka timbulah akal bagi Buya Oedin untuk menyewa pakaian klasi kapal yang akan berangkat ke Belawan. Rencana ini dilaksanakannya dan berhasil membawanya ke Belawan dan turun dengan selamat.
Turun di Belawan Buya Oedin terus ke Medan. Sampai di Medan menumpang di rumah Ketua Muhammadiyah di Kampung Keling. Beliau tinggal di rumah Ketua Muhammadiyah itu selama satu bulan. Kemudian Buya Oedin mendengar bahwa kontroler yang menangkapnya dulu di Pariaman sudah pindah. Mendengar hal itu Buya Oedin berangkat pulang ke Pariaman, ke kampung halamannya di Kurai taji.

Masa Penjajahan Jepang
Orang Jepang di Pariaman, khususnya di Kuraitaji menggelari Buya Oedin denganTuan Besar Piaman. Buya Oedin diamanahi memimpin organisasi bentukan Jepang yang surat keputusannya berhuruf kanji bersama Saalah Yusuf Sutan Mangkuto memimpin Gyu Gun Tyo Sa Ngi Kai sementara Buya AR Sutan Mansur menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera  (Tyo Sa Ngi Ru) dan Malik Ahmad menjadi Komandan Bo Go Dan Tyo *). Tak lama setelah Buya Oedin menerima surat pengangkatan yang berhuruf kanji yang dimengerti Buya Oedun cuma teraan nama Beliau, Udin. Surat itu diterima Buya Oedin di Padang Panjang melalui prosesi ala Jepang. Terima surat kemudian tunduk tiga kali membungkukan badan kemudian mundur. Bersama kawan-kawannya, seperti Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Malik Ahmad, Marzuki Yatim, Abdullah Kamil, Buya Oedin sering mengikuti rapat-rapat menggalang kekuatan untuk untuk tujuan Revolusi Kemerdekaan. Dengan surat pengangkatan itu, Buya Oedin mengalami beberapa kali  peristiwa yang akhirnya membantu banyak orang. Di mesjid Muhammadiyah Kuraitaji , para serdadu Jepang disamping mandi ala cowboy texas juga mengeringkan badan/berhanduk di mesjid. Rakyat kecil yang terjajah tidak dapat berbuat banyak. Beberapa dari mereka melaporkan perilaku orang / serdadu itu ke Buya yang ketika itu di Padang Panjang. Sesaat setelah mendengarkan laporan itu, Buya Oedin menemui komandan Jepang yang ada di Kuraitaji, memperotes prilaku orang Jepang yang tidak menghormati rumah ibadah umat Islam itu. Mendapat protes dari masyarakat terjajah, komandan Jepang tidak menerima. Komandan Jepang mengeluarkan samurai dari sarungnya, sebagai ancaman jika Buya Oedin masih memprotes maka nyawa taruhannya. Buya Oedin bergeming, Buya Oedin tetap protes dengan mengeluarkan surat berhurup kanji yang selalu dibawa-bawa Buya Oedin dalam sakunya. Surat berhurup kanji itu diletakan di atas ujung samurai. Komandan Jepang terkejut. Keringat dingin meleleh di dahinya, hormat membungkukan badan tiga kali, persis ketika Buya Oedin menerima surat itu. Hari itu juga, serdadu Jepang mandi dengan sopan dan tidak lagi mengeringkan badan di mesjid.
Tidak semua orang Jepang mengetahui perihal Buya Oedin mendapat surat berhuruf kanji itu. Dilain peristiwa, dengan beberapa anak negeri Buya Oedin berbaur dalam satu truk. Disamping supir, komandannya tertidur pulas. Rombongan Buya Oedin, seorang anak negeri rebut, berisik. Ricuh. Buya Oedin sudah mengingatkan, bahwa dengan sikap anak negeri itu berarti menganggu tidur komandan yang pulas di samping supir. Peringatan Buya Oedin tidak digubris. Benar saja, komandan yang merasa terganggu tidurnya karena berisiknya para penumpang truk, menyuruh supir memberhentikan truk. Setiap penumpang disuruh turun satu persatu dan menerima tendangan telak dari kaki komandan Jepang. Ketika giliran Buya Oedin, Buya Oedin mengeluarkan surat itu dari sakunya. Sebelum turun, Buya Oedin memperlihatkan surat sakti itu. Komandan terkejut, hormat tiga kali dan mempersilahkan Buya Oedin menggantikannya duduk disamping supir.
Stasiun kereta api Lubuk Alung Pariaman. Surat sakti ini kembali menyelesaikan masalah. Seorang anak negeri yang karena mabuk tidak menyadari sedang berhadapan dengan seorang serdadu Jepang. Serdadu yang merasa tuan yang perlu dilayani, dihormati, akhirnya menjadi emosi melihat sianak negeri yang mabuk ini. Sebelum terjadi peristiwa lebih lanjut yang tidak diinginkan, Buya Oedin yang kebetulan berada di sana mencoba melerai perselisihan. Si Jepang tidak menerima. Kemudian Buya Oedin mengeluarkan surat sakti itu. Hasilnya sama seperti dengan dua peristiwa di atas. Tentera Jepang hormat tiga kali seraya ngeluyur pergi meninggalkan Buya.
Ramli seorang tukang jahit yang merasa bagak mengajak berkelahi seorang tentera Jepang. Perbuatan diluar pertimbangan akal sehat itu berbuntut dengan dianiayanya Ramli dengan beberapa tentera Jepang. Ramli diikat di batang pohon dadak. Di pohon itu kebetulan sarang semut merah. Bisa dibayangkan bagaimana menderitanya Ramli yang merasa bagak tadi, dengan menghiba orangtua Ramli datang ke Buya Oedin. Syukur, penderitaan Ramli tidak berkelanjutan lebih lama.. Surat yang membawa Buya Oedin ke dalam kejadian-kejadian luar biasa itu, dibakar ketika dalam satu perjalanan Belanda melakukan razia disaat untuk kedua kalinya Belanda masuk ke Indonesia. Belanda mencari pribumi yang terlibat langsung dengan pemerintahan Jepang-Indonesia.
“Dalam referensi asli yang ditandatangani Buya Oedin, saya mencoba menganalisa bahwa surat itu adalah surat pengangkatan Buya Oedin sebagai penasehat pemerintah Jepang. Pemerintahan Indonesia merasa terbantu karena Penjajah Belanda berhasil angkat kaki dengan kedatangan Jepang di awal-awal. Kedatangan Jepang dianggap sebagai saudara. Jepang perlu pribumi yang berpengaruh dan Pemerintah merasa tidak terjajah, serta Buya Oedin dengan kawan-kawan yang menerima surat pengangkatan sebagai orang pemerintahan Jepang-Indonesia yang memang sudah punya basik atau dasar karena aktivitas Beliau di Muhammadiyah, menyebabkan Buya Oedin dan kawan-kawan tidak lagi perlu menjalani seleksi”. Surat yang telah menyeret Buya Oedin ke hal hal yang unik, sementara Beliau sendiri tidak tahu arti huruf-huruf kanji di surat surat tersebut. Surat itu di bakar ketika Belanda masuk kembali ke Republik ini (Clash ke-2).
Sebagai bentuk penghargaan atas partisispasi tokoh-tokoh Muhammadiyah, mereka diamanahi jabatan strategis baik di pemerintahan maunpun militer. Marzuki Yatim terpilih sebagai ketua KNI Sumatera Barat, Saalah Yusuf Sutan Mangkuto diangkat jadi Bupati Solok, Oedin jadi Bupati Rengat, termasuk Malik Ahmad *) (Dua tokoh Muhammadiyah meninggal dunia, Pandji Masyarakat November 1993)
(Terkesan, ada unsur balas budi dari Pemerintah dan yang bersangkutan dengan senang hati menerimanya !). Dalam salah satu arsip Buya Oedin, surat bertanggal 10 Djuli 1955 dibuat di Sungai Penuh ditujukan kepada sahabat Beliau Zainal Abidin Sjueb di Bengkulu ada tertulis “...........Sudara Zaz, kalau kita lihat dari sudut zaman pantjaroba sekarang ini, zaman manusia banjak lupa daratan, zaman gembak gembor, akan ada orang jang berkata, mendjadi pegawailah  jang sangat baek, jang sangat beruntung, karena dia mendpat hidup  mewah, hidup tjukup, senang, dan banjak lagi sebutan seribu satu kalimat, sehingga kelihatannja  banjak sudara2 kita jang telah masuk kedalam, dan jang akan masukpun masih ada. Tapi kalau saja erangkan kepada sudara bagaimana perasaan kita jang sedang didalam ini, mungkin djuga sudara tidak begitu pertjaja, karena saja kelihatannja masih bertahan ditempat jang sekarang, tapi baek djuga saja uraikan serba sedikit.                                                                Sudara, alam pegawai memang berlainan dengan alam jang lain dia mendjadi satu tradisi sendiri, didalamnja ada perasaan yang harus dipunjai oleh setiap orang mendjadi pegawai, umpama sadja, pegawai ingin naik pangkat, pegawai ingin tambah gadji, ingin mewah, ingin senang, dan merasa lebih dari jang lainnja. Kalau seorang pegawai jang tidak mempunjai dasar hidup, dan kurang rasa agama bagi mereka, akan tjepat sekalilah dianja terperosok kedalam djurang jang dalam, dan karenanja dia lupa akan dirinja, jang berachir mareka terdjerumus. sekarang saja termasuk orang jang merugi, sebab tidak banjak lagi mempunjai waktu berbuat seperti jang dahulu terhadap Moehammadijah, sedang saja tidak lebih hanya orang Moehammadijah itulah. Kalau pegawai lain berlagak dengan sekolah ini itu, saja hanja menjebut bahwa saja dari Moehammadijah, saja bersjukur djuga rumah tangga saja masih sebagaimana biasa, do’a dari sudara sangat saja harapkan, semoga saja tetap berpegang teguh kepada pedoman besar kita jang selama ini kita pegang teguh, jaitu AGAMA.                                                                 Oleh sebab itu, saja menghargakan pendirian sudara sekarang ini, sudara masih dapat berbuat sebagai sediakala, masih terus difron menunaikan wadjib sebagai seorang ridjal Islam, semoga sdr dapat terus sebagai sekarang ini, mudah-mudahan”.
Jiwa muda yang mengalir dalam darahnya dengan sifat bagak dan karengkang ternyata menjadi potensi positif di belakang hari. Berkat gemblengan Buya AR Sutan Mansur, Buya Oedin yang bagak dan karengkang tumbuh menjadi seorang yang sangat diperhitungkan. Sifat bagak dan karengkang negatif berubah 180 derajat. Pengaruh pendidikan Buya AR Sutan Mansur sangat terhunjam dalam sanubarinya. Pendidikan non formal yang diperolehnya semenjak bergabung dalam kegiatan pengkaderan Muhammadiyah yang dimotori oleh Buya AR. Sutan Mansur betul-betul menghunjam dalam darah dagingnya. Dalam dokumen yang masih ada, Beliau ada membuat  pernyataan”..........baik rasanya saya terangkan, bahwa saya tidak seorang ulama, saya hanya anak pimpinan dari orangtua saya AR Sutan Mansur selama 9 tahun di Padang Panjang..” Jelas bahwa melalui pendidkan dan pengarahan Buya AR Sutan Mansur, Buya Oedin mampu menjadi “orang” yang kalau berbicara, pembicaraannya senantiasa diperhatikan. Bagi Buya Oedin, tidak ada kusust yang tidak bisa diperbaiki. Artinya semua masalah dpat diselesaikan secara baik seraya berharap kepada Allah swt, berharap redhaNya, Insya Allah, semua akan berjalan dengan baik.
Dari uraian di atas, tak pelak bahwa Buya Oedin memang telah ditaqdirkan buat berpijak dan berjuang dibawah panji Muhammadiyah. Karena beliau menyadari sekali bahwa peranan Muhammadiyah sangat besar dalam hidup beliau. Muhammadiyahlah yang mengarahkan Beliau ke jalan yang baik, mengarahkan dan mengajarkan kepada Beliau bahwa perbuatan mengadu ayam dan lain sebagainya adalah perbuatan buruk, perbuatan sia-sia dan melahirkan dosa, dibenci Allah swt.                                         Beliau menyadari betul hal tersebut, sampai-sampai Beliau sendiri memintakan kepada isterinya, One Rafiah Jaafar untuk senantiasa turut mendoakan kesalahan dan kealpaan Beliau semasa muda yang bagak dan tidak bakatantuan.
Oedin dan Muhammadiyah
Melalui Muhammadiyah, hasil pengkaderan 9 tahun oleh Buya AR Sutan Mansur yang Beliau anggap sebagai orangtuanya, Buya Oedin tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Melalui persyarikatan Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh KHA Dahlan 08 Zulhijjah 1330 H/11  November 1912, Buya Oedin menjadi sosok yang diperhitungkan. Melalui Muhammadiyah juga  Buya Oedin dapat  berteman sangat akrab dengan tokoh-tokoh nasional. Bapak TNI Panglima Besar Jenderal Soedirman. Buya HAMKA, Wapres  Bung Hatta. Bahkan, Presiden RI I, Soekarno pernah menjadi sekretaris Beliau dalam satu kesempatan rapat internal Muhammadiyah di Bengkulu.  Baik ibunya Raalin dan mertuanya Ramalat sama-sama aktivis Aisyiyah. Bahkan mertuanya, Ramalat bersama anak bujangnya Mu’az Ja’far pernah sampai ke Aceh Utara, berkeliling Sumarera dalam rangka menghimpun dana dari para dernawan/donatur, meminta bantuan masyarakat Muslimin dalam rangka   menyempurnakan pembangunan gedung semi permanen bertingkat dua dengan dua kamar untuk kantor dan dua ruangan panjang untuk 6 lokal belajar. Disitulah ‘Aisyiyah cabang kurai taji  membuka secara resmi sekolah rendah dengan nama “Meisyes Volkschool Aisyiyah (Sekolah rakyat untuk gadis-gadis) yang dibuka tahun 1932 sementara ibundanya Raalin mencari guru *). Salah satu gurunya adalah Kasim Munafy.                                         Sudah menjadi satu program khusus dalam Muhammadiyah, selama pendudukan tentera Jepang di Indonesia, karena terputusnya hubungan Jawa-Sumatera, di sumatera khususnya Sumatera Barat dibawah pimpinan AR. St. Mansur yang ditetapkan oleh HB Muhammadiyah Yogyakarta memikul tanggung jawab untuk seluruh Sumatera, konsul Muhammadiyah untuk Sumatera di Padang Panjang, setiap tahunnya dibulan Ramadhan diadakan Algemene Kennis Muhammadiyah (Semacam pengkaderan kepemimpinan, termasuk AMM) yang lamanya tak kurang dari 15 hari, siang-malam.                                                                                   Pengkaderan tersebut dilaksanakan di bulan-bulan Ramadhan.. Algemeene Kennis Muhammadiyah (Semacam Baitul Arqam sekarang) diikuti oleh Angkatan Muda Muhammadiyah. Pelaksanaannya sampai berhari-hari. Bahkan bisa sampai 15 hari. Siang dan malam. Non stop. Pidato yang keluar dari bibir AR Sutan Mansur dalam setiap pelaksanaan Algemeene Kennis Muhammadiyah berisi tafsir, sejarah Nabi, ajaran Tauhid kian lama kian mendalam, kian menarik.  Menghunjam kedalam hati sanubari. Tercatat beberapa pemuda yang terbuka hatinya setelah mendengar wejangan dari AR Sutan Mansyur antara lain Zain Jambek dari Kurai Lima Jorong. Abdul Malik Siddik, Zain Jambek. St. Mangkuto beserta iparnya Abdul Malik yang belakangan dikenal sebagai HAMKA. Sd. M. Ilyas, Rasyid Idris Dt. Sinaro Panjang dan lain lain serta seorang pemuda anak Kurai Taji bernama Oedin, yang tidak keluaran mengaji di Surau dan tidak pula bersekolah agak tinggi, namun dapat maju menjadi seorang pemimpin yang berkelebihan. Di zaman merdeka sampai jadi Bupati*). Buya Oedin disegani oleh kawan maupun lawan. Dalam satu kesempatan memberikan kata sambutan Kasim Munafy yang saat itu berusia 14 tahun dalam suatu pidato tanpa konsep di acara konfrensi Muhammadiyah se cabang Pariaman disuruh kepala sekolahnya mewakili sekolahnya (Schakel Muhammadiyah Pariaman) untuk memperkenalkan dunia pendidikan Muhammadiyah kepada peserta dan yang hadir, karena begitu semangatnya membuat Kepala PID (Dinas mata-mata) Pemerintah Belanda yang hadir pada acara itu bersama Buya Udin sebagai peangngung jawab konfrensi berkata “…….coba kalau bukan anak didik Muhammadiyah yang diasuh oleh engku Udin , saya akan seret anak ini ke muka Pengadilan *).                                                                             Sosok kepiawian Beliau dikarenanakan pengaruh pengkaderan AR Sutan Mansur dikomentari oleh Buya HAMKA dalam buku Beliau “Muhammadiyah di Minangkabau” sebagai berikut, “......Udin salah seorang anak kuraitaji yang tidak pernah mengecap bangku pendidikan akhirnya dapat menjadi Bupati...”.  Satu surat yang dikirim HAMKA kepada Asdie Oedin kesalah seorang putra ke lima  Oedin menarik untuk disimak. Salinan surat itu adalah :                                           
Buya HAMKA Kebayoran Baru, 8 Shafar 1382 H/11 Juli 1962
Ananda sayang Asdi Udin, SMA Negeri Pariaman,
Sudah agak lama surat ananda Buya terima, baru sekarang dapat membalasnya. Ingin segera Buya membalas, tetapi maafkanlah Buya, Buya sibuk benar, mana mengarang, mana membaca, mentelaah, manapula mengaji dan mengaji. Besar hati Buya mendengar kemajuan anada dalam belajar agar nasib kalian anak-anak kami jauh lebih baik dari pada kami,Buya-Buya kalian.
Buyamu itu, Angku Udin menurut istilah orang Pariaman ialah “Sikanduang Buya”, sesakit sesenang, sehina semalu, seperasaan sepemandangan, satu pandangan hidup (way of life). Meskipun hubungan surat menyurat diantara kami amat jarang, namun hubungan bathin tidak pernah putus. Belum lahir kalian ke dunia kami sudah berdunsanak dengan dia ialah tahun 1929. Ketika Buya datang melantik Muhammadiyah Kuraitaji bertempat di pasar Pariaman. Modal kamipun sama yaitu :
“Tarahok tali alang-alang/Cabiak karate tantang bingkai/Hiduik nan jangan mangapalng/Tak kayo barani pakai…………Khabaraja konon sakatik. Buya si Adie itu masuk hutan, kalau dia bacakap,mahota dengan kawan-kawan yang lain, seumpama dengan sdr. Syarif Usman, selalu Buya ini menjadi buah mulut mereka. Kami kalau sudah duduk bertiga tiga, yaitu Buya Udin, Buya ZAS, Buya HAMKA, kami selalu bernyanyi, berlagu Pariaman, berlagu baruh (Serantih), dan pernah kami menangis tersedu-sedu di pengaruhi keindahan alam di Padang Panjang, karena kami melihat panas pagi pukul 09 dari halaman sekolah Muhammadiyah Guguk Malintang, menengadah ke arah Bukit Tui.
Buyamu itu dahulu agak pereman, Buya ZAS tidak manantu pelajarannya di Thawalib, dan Buya Hamka sendiripun sekolah tidak tammat. Tetapi kami mendapat didikan dari guru kami, Buya AR St, Mansur. Beliaulah yang menimbulkan dan membuntangkan naik kepribadian kami, sehingga kami layak menjadi pemimpin kemajuan ummat di Minang dengn perantaraan Muhammadiyah. Niscaya kalian sekarang mendapati hal yang lebih baik dari pada kami. Sebab kalian sudah sekolah, sekolahmu sendiri di SMA kalau di zaman dahulu sama dengan HBS atau AMS. Maka hendaklah kalian lebih berbahagia dari kami dan lebih maju dari kami. Sedangkan kami yang hanya dengan modal keberanian lagi sanggup, apatah lagi kalian dengan modal ilmu pengetahuan yang cukup.
Dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko, tetapi penilaian secara jujur, Sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak Dr dan ipar konsul (AR St. Mansur), jadi masih ada dasar, padahal Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang bicaranya,diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres.
Di tahun 1957 (sebelum bergolak) beliau ada datang ke Jakarta, berbuka puasa di rumah Buya di Kebayoran, ketika itu rambutnya sudah banyak yang putih. Bagaimana sekarang, Buya belum tahu. Tetapi sudah terang sebagai buya HAMKA juga, sudah sama-sama mulai patut disebut tua, walaupun kami belum mau menyerah. Bagaimana ummi kalian, bagaimana adik adik asdi, bagamana keadaan kampong. Berilah Buya khabar. Sudah bolehlah pemuda-pemuda aktif bergerak seumpama dalam PII atau Pemuda Muhammadiyah ?. Pertanyaan yang ananda kemukakan untuk Gema Islam, ada diperlihatkan kepada Redaksi kepada Buya, ah, terlalu tinggi, mengenai jiwa ke jiwa saja. Payah orang menjawabnya barangkali.
Salam Buya buat Buya Udin itu. Tentu beliau tetap di Kuraitaj, di kampung. Barangkali Asdi pulang sekolah, terus kembali ke Kuraitaji, bukan ?
Salam Buya ;
HAMKA
Dalam buku Muhammadiyah di di Minangkabau tulisan buya HAMKA, beliau menulis antara lain “……………Udin salah seorang anak Kuraitaji yang tidak pernah mengecap bangku pendidikan akhirnya dapat menjadi Bupati……”. Kenapa buya Udin diunggulkan oleh buya HAMKA, hal ini dapat disimpulkan dari surat buya HAMKA keputra kelima buya Udin seperti “……………..dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko, tetapi penilaian secara jujur, Sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak Dr dan ipar konsul (AR St. Mansur), jadi masih ada dasar, padahal Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang bicaranya,diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres”. Menurut Hamka, buya Oedin juga memiliki peran penting pasca revolusi kemerdekaan. Selain aktif di Muhammadiyah, Buya Oedin juga aktif di Masyumi Sumatera Tengah.
Kehebatan Buya Oedin harus diakui, sebagai orang yang tidak makan sekolahan, mampu menjadi sosok yang sangat diperhitungkan. Tetapi tidak dalam hal pepatah-petitih. Dalam satu kunjungan Buya HAMKA ke Sumatera Barat/Padang yang didampingi putranya Rusjdi HAMKA, mereka menginap di salah satu ruangan Mesjid Taqwa Muhammadiyah Padang yang runtuh pada tahun 1974. Karena menginap di salah satu ruangan mesjid, banyak tamu yang datang. Termasuk Buya Udin, datang menemui mereka. Seperti biasa mereka awali dialog serius dengan berbalas pantun. Rusjdi menulis “Diantara tamu-tamu itu, ada almarhum Buya Udin, seorang pemimpin Muhammadiyah asal Pariaman. Seperti ayah, Buya Udin inipun banyak simpanan pantun-pantun. Maka, terjadilah berbalas pantun sampai 1 jam. Tampaknya Buya Udinlah yang letih. “Kalah ambo”, kata Buya Udin. “Ayahmu bukan hanya hafal pantun-pantun, tapi juga pencipta pantun Minang”, kata Buya Udin ke saya *).
Persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau melamar ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogya, agar kongres Muhammadiyah XIX tahun 1930 diadakan di Minangkabau. Lamaran Persatuan Daerah Minangkabau dapat sambutan hangat dari Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogya. Penerimaan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah di  Yogyakarta terhadap niatan Muhammadiyah Minangkabau sebagi tuan rumah kongres XIX Muhammadiyah bukan tanpa alasan. Sebagian dari alasan itu adalah disebabkan saat kongres XVIII di Solo, utusan Muhammadiyah dari Minangkabau termasuk yang cukup banyak. Seperti cabang Sungai Batang Tanjung Sani, Padang Panjang, Simabur dan  cabang Muhammadiyah  Kurai Taji, Demikian menurut HAMKA *)
Karena Minangkabau akan mengadakan perhelatan besar dengan ditunjuknya jadi tuan rumah Kongres atau setingkat Muktamar sekarang, maka Buya Oedin yang sudah kental ke Muhammadiyah annya, dihimbau pulang oleh buya Engku Haroun L Maaniy. Saat itu Buya Oedin sedang berada di Jambi. Buya Oedin yang saat itu sudah duda, berperan aktif dalam kongres ke-XIX Muhammadiyah di Bukittinggi. Hal ini terbukti dari realisasi dari hasil kongres tersebut, diadakannya konprensi Muhammadiyah ke-5 di Payakumbuh, pada tanggal 13-16 juni 1930. Hasil dari konprensi Muhammadiyah ke-5 tersebut adalah dibubarkannya persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau dan menetapkan pengurus baru Muhammadiyah Sumatera Tengah dengan struktur kepemimpinan sebagai berikut : Konsul : Buya AR ST Mansur. Sekretaris Abdullah Kamil, wakil sekertaris merangkap Bendahara adalah RT Dt.Sinaro Panjang dengan anggota SY Sutan Mangkuto, Oedin, Ya’coeb Rasyid dan Marzuki Yatim. Setahun sebelum itu, Buya  Oedin bersama-sama dengan H. Sd. M .Ilyas, HM. Noer, H.Haroun L Ma’any, M. Luthan dan lain-lain, mempelopori berdirinya Muhammadiyah di Kurai taji yang resmi berdiri pada 25-10-1929. Muhammadiyah Kuraitaji adalah Muhammadiyah ke tiga setelah Bukittinngi dan Padangpanjang. Proses perkembangan Muhammadiyah Kurai Taji menurut Fikrul Hanif, bermula dari usaha yang dilakukan oleh Sd. M. Ilyas yang selanjutnya direspon oleh eks murid-murid Tuanku Hitam Ketek, yakni Haji Harun el-Maany, Buya Oedin, termasuk juga Kasim Munafy*). Masuknya Muhammadiyah ke Kuraitaji dibawa langsung oleh putera daerah Kuraitaji sendiri yang sebelumnya sengaja pergi ke Yogyakarta untuk mempelajari Muhammadiyah itu. Beliau adalah H. Sd. M. Ilyas adik ipar Buya Oedin. H. Sd. M. Ilyas sendiri adalah bapak mertua Dr. H. Tarmizi Taher yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama masa Presiden Soeharto. Setelah konprensi Muhammadiyah, kesibukan Oedin bertambah-tambah. Oedin aktif  mensosialisasikan hasil kongkes XIX Muhammadiyah  dengan ‘turbanya’ Beliau ke daerah-daerah yang akan mendirikan Muhammadiyah. Antara lain bersama dengan M.Luth Hasan Beliau memberikan petunjuk kepada Syarah Jamil dkk, untuk mendirikan Muhammadiyah sampai diresmikanya, yaitu di Koto tinggi daerah Pakandangan.
Mendirikan Ranting Muhammadiyah Sei. Sarik Malai, Sei. Limau*)
Tahun 1935 Buya Oedin dan kawan-kawan mendirikan Muhammadiyah di Sungai Sarik Malai. Setelah ada kesepakatan dengan beberapa kader Muhammadiyah dari Sei. Sarik Malai Buya Oedin didampingi M. Luth Hasan dengan menaiki bendi kepunyaan Ajo Kundang berangkat ke Sei. Sarik Malai. Mereka sampai di sana menjelang Maghrib, di rumah Bang Bisu salah seorang sponsor penggagas berdirinya Muhammadiyah Ranting Sungai Sarik Malai. Ternyata kedatangan rombongan sudah ditunggu oleh beberapa tokoh adat, ninik mamak Nagari Malai V Suku. Begitu pelana kuda bendi di lepas, terjadilah dialog antara ninik mamak Nagari Malai V Suku dengan Buya Oedin. Intinya para ninik mamak menolak Muhammadiyah didirikan di Sei. Sarik Malai. Melihat penolakan demikian dengan tenang Buya Oedin menanggapi bahwa hal itu tidak masalah. “Tidak masalah bagi kami, Muhammadiyah tidak boleh berdiri di sini. Tapi kami mau beristirahat. Jelas Buya Oedin. Hal demikian juga tidak membuat senang para ninik mamak. Mereka juga menolak jika Buya Oedin dan rombongannya harus bermalam di rumah Bang Bisu itu. Oleh Buya Oedin dijelaskan, bagi kami juga tidak masalah, kemana para ninik mamak membawa kami untuk bermalam semalam ini, kami dengan senang hati menurutinya. Cuma kalsu disuruh pulang ia berat bagi kami. Apakah tuan-tuan tega melihat kuda ini, belum lepas rasa lelahnya setelah menempuh perjalanan 30 km, belum habis rasa hausnya sudah harus kembali pulang, katanya. Mendengar argumen yang diberikan Buya Oedin, para ninik mamak yang ada menjadi terdiam. Mereka akhirnya harus menerima kenyataan. Kuda bendi itu juga makhluk Tuhan, kuda itu juga perlu istirahat. Tapi mereka tetap tidak beranjak. Mereka tetap menunggui Buya Oedin dan rombongan. Hari semakin larut. Tapi para ninik mamak tetap tidak beranjak dari depan rumah Bang Bisu. Kalau begitu, baiklah. Silahkan engku-engku yang berasal dari Kurai Taji  menginap di rumah Bang Bisu  sini, namun untuk  mendirikan Muhammadiyah dalam pertemuan orang ramai, tidak dapat kami benarkan. Nanti malam, seetelah selesai makan minum dan sholat Isya, semua harus tidur dan matikan lampu. Begitu segala sesuatunya, makan minum dan sholat Isya sudah mereka laksanakan para ninik mamak tetap tidak beranjak. Sampai akhirnya Buya Oedin berkata, bahwa mereka akan tidur dan lampu segera dimatikan. Tapi kami merasa tidak enak, sementara para ninik mamak masih tetap berada di situ. Jadi kami idak berani mematikan lampunya. Baiklah, matikanlah lampunya kamipun akan segera pulang, ujar mereka. Akhirnya mereka meninggalkan rumah panggung itu. Sepeninggal ninik mamak, lampu rumah dimatikan. Beberapa  tetamu yang mendukung kelahiran Muhammadiyah mengambil posisi berbaring di ruang tengah rumah panggung berlantai papan itu. Dengan suara setengah berbisik Buya Oedin memulai pembicaraan, “Nah saudara-saudara, kita sudah sama mendengarkan  perkataan ninik mamak tadi, Muhammadiyah tidak boleh didirikan di negeri kita Sei. Sarik Malai ini, bukan ?. Bagaimana dengan kita ?. Setuju atau tidak Muhammadiyah didirikan ?. Serentak mereka yang berhadir menjawab, Setuju engku !. Perkara dengan ninik mamak, perkara belakangan. Baiklah, sudah bulat kata kita itu kan. Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun, bagaimana ?.  Iyaaaa, Jawab mereka serentak. Kemudian Buya Oedin mengetuk lantai papan itu tiga kali seperti lazimnya dalam rapat-rapat Muhammadiyah seraya berkata. “Besok kami kembali ke Kurai Taji. Sepeninggal kami, pasang plank merk Muhammadiyah Sei. Sarik Malai di muka rumah ini. Siapa yang berani menurunkan itulah lawan kita, sambungnya. Bagaimana perkara selanjutnya, akan kita urus belakangan.
Demikianlah, sekembali dari Sei. Sarik Malai dipagi itu, bendi dikelolakan ke pekarangan rumah tuan Kontler yang waktu itu tuan kontlernya adalah tuan Kator, seorang pejabat Pemerintah Belanda yang cukup ramah dan kenal baik dengan Buya Oedin. Melihat dipagi hari ada bendi yang masuk ke pekarangan rumahnya, tuan Kator sengaja keluar untuk memperhatikan. Jelas terlihat olehnya di atas bendi itu Buya Oedin dan Muh. Luth Hasan dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kurai Taji yang telah lama Beliau kenal. Beliau menegur lebih dahulu, “Hai Engku Oedin, kok masih pagi begini sudah datang ke mari, ada apa gerangan ?” Buya Oedin menjawab, Iya tuan, ini khabar baik saja, ada satu peristiwa tadi malam di Sei. Sarik Malai, wilayah asisten Demang Sei.Limau yang perlu segera sampaikan kepada Tuan. “Nah baiklah, kita duduk di serambi rumah. Hari masih pagi, tak usah di kantor”. Setelah mereka sama duduk di serambi muka rumah tuan Kontler, maka Buya Oedin menceritakan semua peristiwa yang terjadi kemaren dan akhirnya juga  menceritakn bahwa Muhammadiyah Sei. Sarik Malai sudah berdiri.  Tadi malam, dalam situasi tidur tanpa cahaya lampu yang menerangi sudah diketokkan palu pertanda SAHNYA KEPUTUSAN BERDIRI itu degan memukul lantai dan juga sudah saya perintahkan untuk menaikkan plank merk Muhammadiyah itu sepeninggal saya. Sekarang terserah sama Tuan.
Mendengar cerita Buya Oedin itu tuan Kontler berkata,, “Ninik mamak Sei. Sarik Malai melarang berdirinya Muhammadiyah ?. Sedangkan  untuk Muhammadiyah itu bagi wilayah Hindia Timur seluruhnya telah DIBERI IZIN oleh Gubernur Jenderal Wakil Kerajaan Belanda di sini. “Tapi, biarlah Engku Oedin, saya akan menyelesaikan soal ini dengan  Beliau Ninik Mamak itu, Engku Oedin terima selesainya”. “Dalam minggu ini juga  akan saya panggil  semua Ninik Mamak Sei. Sarik Malai itu untuk menghadap saya”.
Keesokan harinya, tuan Kontler Kator menelepon ke kantor Asisten Demang di Sungai Limau. Dia memerintahkan  Asisten Demang memanggil semua Ninik Mamak  Sei. Sarik Malai agar hadir di kantor Asisten Demang  Sei. Limau pada hari Minggu pekan itu juga. (Dapat dijelaskan Dalam masa pemerintahan Belanda  untuk wilayah ke Asisten Demang di Sei. Limau (Asisten Distrik) kantor itu tetap dibuka. Untuk memudahkan pegawai-pegawai negeri dari negeri-negeri yang berada di sekitarnya berurusan ke kantor Aisten Demang, berkebetulan hari Minggu adalah hari pekan. Hari aktivitas pasar menggeliat. Transportasi bendi banyak tersedia.
Pada hari Minggu yang telah ditetapkan , pagi hari Ninik Mamak Sei. Sarik Malai  sudah hadir di kantor Asisten Demang Sungai Limau menanti kedatangan tuan Kontler, tuan Kator dari Pariaman. Sekitar pukul 09.00 pagi tuan Kontler datang dan langsung masuk melalui serambi depan kantor itu dan melihat para Ninik Mamak Sei. Sarik Malai sudah berkumpul.. Sambil berjalan naik  dan terus Masuk ke ruang kantor di mana Asisten Demang sudah menunggu, tuan Kator berkata, “He...Ninik Mamak Sei. Sarik Malai yang MELARANG BERDIRINYA MUHAMMADIYAH itu sudah datang semua ya...”. Beliau terus masuk ke kantor Asisten Demang. Kira-kira 5 menit kemudian kembali keluar dan menghadapi para Ninik Mamak yang kelihatan gelisah. Setelah Beliau duduk, Kapalo nagari Sei. Sarik Malai sebagai pimpinan rombongan mengacungkan tangan, isyarat meminta izin untuk berbicara. Melihat itu, tuan Kontler mempersilahkannya untuk berbicara.
“Tuan !, saya minta bicara terlebih dahulu  kepada Tuan dan supaya diberi maaf kalau ada bicara saya yang salah. Tuan tadi sambil berjalan memasuki kantor ini ada mengatakan ‘KAMI NINIK MAMAK SEI. SARIK MALAI MELARANG BERDIRINYA MUHAMMADIYAH”. Itu salah tuan. Itu tidak benar. MUHAMMADIYAH telah berdiri di Sei. Sarik Malai. Lihatlah oleh tuan ke situ, plank mereknya telah dinaikkan. Jadi ada kemungkinan orang  memberikan laporan salah kepada tuan”, ujarnya.
“Heh, benarkah begitu ?. Kalau begitu jadinya, benarlah salah laporan yang saya terima itu. Dan, inilah kedatangan saya ini hari untuk memberi tahu Ninik Mamak  Sei. Sarik Malai, bahwa di mana-mana  MUHAMMADIYAH diberi izin oleh Tuan Gubernur Jenderal, wakil Kerajaan Belanda untuk Hindia Belanda ini. Kok Ninik Mamak Sei. Sarik Malai sampai berani melarangnya. Kalau benar sudah berdiri, berarti sudah tidak ada masalah dengan Ninik Mamak lagi, dan sekarang pertemuan ini saya tutup, dan Ninik Mamak boleh bubar dan pulang kembali.
Disamping kegiatan Beliau tersebut, dengan surat No.18/m-37 Cabang Muhammadiyah Padang Panjang, Daerah Minangkabau, tertanggal 12 Zulkaedah 1356 H bertepatan dengan 26 Januari 1937, hasil keputusan konsprensi wilayah ke-4 di Solok, Oedin ditunjuk sebagai ketua dua. Lengkapnya surat tersebut :
Tjabang Moehammadijah Padang Pandjang, Daerah Minangkabau
Padang Pandjang 12 Zulkaedah 1355/26 Janwari 1937
No 18/m-37
Lampiran..................
Dari hal keanggotaan menjadi Anggota pengoeroes Moehammadijah tjabang P. Pandjang
Assalamoe’alaikoemm w.wb.
Moedah2anlah kiranya Toehan swt akan tetap memberikan rahmanijat dan rahimiyatnya kepada engkoe sampai pada haripembalasan nanti.
Dengan segala hormat :
Mendjoenjoeng tinggi janji boenji kepoetoesan Algemenever Gadering Persjerikatan Moehammadijah dalam wilajah Padang Panjang pada Conferentie wilayahnya ke 4 di Solok pada 31 Dec. 36 djalan 1 Djanwari 37, vergadering mana telah mengambil kepoetoesan menetapkan (……………………….) diri mendjadi anggota pengoeroes tjabang Moehammadijah Padangpandjang boeat tahoen 1937 sampai tahoen 1939 dengan 232 suara.
Dan menoeroet poetoesan tjabang vergedering pada petang Ahad malam senen/isnen ddo 24 djalan 25 djanwari 1937, kami telah tetapkan djabatan engkoe dalam badan pengoeroes tjabang, ialah menjadi :
Ketoea Doea
Maka kami selakoe pengoeroes tjabang Moehammadijah Padangpandjang mentanfidhkan kepoetoesan ini kapada engkoe, tidak lain hanyalah mengharap dengan sepenoehnya, moedah2an djabatan dan keanggotaan ini dapat engkoe terima dengan amat baek sekali dan engkoe dapat memegang djabatan terseboet dengan mengingat boenji Statuten dan Reglement kita (Moehammadijah).
Kemoedian kami atoerkan selamat bekerja dan selamatlah kita serta kaoem moeslimin sekalian adanya. Salam dan hormat pengoeroes tjabang Moehammadijah Padang Pandjang
DeVoorzitter Seketaris
Kehadapan jht. Engkoe Oedin dengan selamat Di Padang Panjang
Surat pengangkatan tersebut, tidak mempunyai nama di bawah De Voorzitter dan Sekretaris, hanya tandatangan dan stempel.
(Sementara (.........) dalam tanfidh di atas karena dokumen resminya koyak, jadi ada beberapa kata tidak terbaca).


Berikut dokumen asli tanfidhz yang bertahun 1937






















Dari catatan – catatan/dokumen resmi yang ada pada penulis, kelihatan bahwa bagi pengurus Muhammadiyah yang tidak mempunyai penghasilan tetap, biaya rumah tangga ditanggung oleh persyarikatan. Hal ini penulis ketahui dari lembaran yang berbunyi seperti di bawah ini

Keterangn Penerimaan Biaya Consul dalam Conferentie ke – 12 di Padang
Masoek :
1. Dari biaya consul f 183,50
2. Potongan dari Madjlis Sjoera f 97,50
Totaal f 281,-
(doea ratoes delapan poeloeh satoe roepiah)
Keloear
1. Bajar Biaja M.Sjoera jg terpakai tahoen 1936 f 46,50
2. Bidoek boeat e. S. Soetan Mansoer 12,-
3. Boeat H. Aboe Samah 2,50
4. Anwar Rasjid katja mata 3,00
5. Rasjidah Rasjid ongkos kembali ke P.P dari Padang 1,50
6. Ja’coeb Rasjid 5,-
7. Gadji pegawai mengerdjakan penerimaan biaja 3,-
8. Roemah tangga Oedin 25,-
9. Roemah tangga Soetan Mangkoeto 25,-
10. Roemah tangga A. Kamil 20,-
11. Roemah tangga Rasyid Idris 15,-
12. Bajar sewa Consulaat Oct t/m Dec 36 dan makanConsul di Int. 50,-
13. Bajar oetang sama Nasjroeddin 5,25
14. Bajar soesoe Fathamah Kariem 4,-
15. Toekar anak gadai barang isteri Consul 5,-
16. Beli djawi perahan boeat Consul 40,-
Totaal f 262,75
Saldo di kas 18,25
Totaal f 281
Padang den 28 April 1937
Distorkan oleh Oedin (t.t)
Diterimakan oleh S.St, Mangkoeto wd. Consul (t.t)

Berikut dokumen asli catatan keuangan tersebut :





Dengan demikian, semua pengurus mempunyai banyak kesempatan untuk mengurus jalannya roda persyarikatan. Dalam hal rapat/ congres, bagaimanapun keadaan dan kondisi badan, kalau menyangkut Muhammadiyah plus kelangsungan hidup umat, tetap diupayakan untuk menghadirinya.
Oedin dan Bung Karno
Tahun 1941 sebagian sumber menyebut April 1940 di Bengkulu di laksanakan pertemuan internal Muhammadiyah. Saat itu Presiden I, Soekarno menjadi tokoh yang diasingkan oleh Belanda. Pengasingan Bung Karno ke Bengkulu disambut plus dan minus oleh masyarakat. Disebut plus karena banyak capaian-capaian yang diperoleh warga, khususnya Muhammadiyah. Disebut minus, karena Bung Karno, tokoh yang diasingkan. Dibuang !. Pengaruh mendengar tausiyah dan pengajian dari KHA Dahlan dan beberapa tokoh pembaharu, membuat Bung Karno kepingin bertemu dengan tokoh-tokoh dimaksud. Beliau menyampaikan keinginannya itu dengan pimpinan Muhammadiyah Bengkulu, Oey Tjeng Hien (H. Abdul Karim). Atas kesepakatan berbagai pihak dengan melibatkan semua unsur di Muhammadiyah termasuk Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) yang saat itu WMPM  Bengkulu  diketuai oleh Semaun Bakrie *)..
Beberapa hari menjelang dimulainya konperensi, masyarakat Bengkulu gempar. Tokoh-tokoh Muhammadiyah berdatangan dari seluruh pelosok Sumatera, termasuk ketua Pengurus Besar Muhamadiyah KH Mas Mansur. Oedin hadir sebagai utusan mewakili Muhammadiyah Minangkabau tepatnya Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Minangkabau.
Resepsi pembukaan konperensi Daeratul Kubra dilaksanakan di Bioskop Royal. Gedung besar itu melimpah sampai keluar. Sebagai tuan rumah, H. Abdul Karim (Oey Tjeng Hien) membuka acara. Pada waktu akan memilih ketua sidang, Oey Tjeng Hien meminta masukan dari peserta siapa yang akan memimpin sidang-sidang berikutnya. Atas saran peserta, terpilih Udin (Syamsudin) dari Sumatera Barat. Sebagai tokoh yang dibuang oleh Belanda, sebagian peserta menolak kehadiran Bung Karno dipersidangan. Lebih-lebih beberapa saat sebelum sidang dimulai, Soekarno ditahan oleh Belanda. Tetapi atas penjelasan Buya Oedin kenapa Bung Karno dibuang, akhirnya peserta yang menolak kehadiran Bung Karno dapat menerimanya. Mendengar penjelasan Buya Oedin, Bung Karno merasa mendapat perlindungan. Bahkan oleh Buya Oedin, Bung Karno ditunjuk sebagai sekretaris sidang. Bung Karno sempat berucap, “Selama Bung Bung Oedin menjadi pimpinan sidang, saya bersedia menjadi sekretarisnya”. Beberapa kali sidang dalam konperensi Daeratul Kubro itu, beberapa kali Buya Oedin jadi pimpinan sidang, selama itu pula Bung Karno jadi sekretarisnya.
Catatan : Penggunaan nama Udin Syamsuddin tercantum dalam buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu (Membangun Islam Berkemadjuan di Bumi Raflesia, tulisan Salim Bella Pilli dan Hardiansyah halaman 119 mengambil sumber dari Buku  Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa. Sahabat Karib Bung Karno. H. Abdul Karim (Oey Tjeng Hien) halaman 71. Penulis sendiri, sebelum membaca kedua referensi di atas, sudah pernah mendengar cerita ini dari Buya. Penulis konfirmasi ke Buya RB Khatib Pahlawan Kayo (mantan ketua PWM Sumatera Barat, perihal keberadaan tokoh Udin Syamsudin. Beliau tidak pernah mendengar nama itu untuk Muhammadiyah di Sumatera Barat. Beliau juga pernah mendengar kisah Oedin menjadi pimpinan sidang dimana Bung Karno menjadi sekretarisnya, dari tokoh Muhammadiyah Padang Pariaman, Kasim Munafy. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh ketua MUI Padang Pariaman H. Johar Muiz dalam kesempatan memberikan kata sambutan saat penguburan putera bungsu Buya Oedin, Soemarman Oedin SH di Simpang Kurai Taji, Pariaman beberapa tahun lalu.
Pada tahun 1944 Bung Karno dipindahkan dari Bengkulu ke Jakarta, untuk berangkat ke Jakarta Bung Karno dibawa terlebih dahulu ke Padang. Di Padang Bung Karno dibantu oleh Buya Oedin untuk mengurus keberangkatannya. Buya Oedin menemui pembesar Jepang, untuk meminjam mobil. Usaha Buya Oedin berhasil yaitu dapat pinjaman mobil untuk membawa bung karno ke Palembang dan dari palembang akan terus ke Jakarta *).
Dalam satu kesempatan beberapa tahun setelah itu, Oedin pernah diundang kekediaman Beliau. Terjadi dialog antara keduanya.
Oedin      : “Kalau yang mengundang Presiden, saya takut. Karena kediamannya banyak pengawalnya”
Soekarno :  “Jangan begitu Bung, Yang mengundang Bung ini, sekretaris Bung ketika di Bengkulu dulu”.


(Dalam satu acara Muhammadiyah, Soekarno,                                        Buya AR. Sutan Mansur dan Oedin/Baris Belakang)

Ketika AR Sutan Mansur mengemban amanah menjadi Wakil Pengurus Besar (Muhammadiyah) untuk wilayah Sumatera tahun 1942, jabatan konsul diserah terimakan kepada SY Sutan Mangkuto didampingi oleh ahli-ahli musyawarah seperti Hitam Sutan Mudo, Abdullah Kamil, Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), Rasyid Idris Datuk Sinaro Panjang, Oedin dan seorang wanita *)
Sebagai anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Buya Oedin ditugaskan oleh Pengurus Muhammadiyah Minangkabau untuk menghadiri pertemuan  Muhammadiyah di Malang. Beliau ditugaskan sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Minangkabau (WMPM). Sewaktu mengikuti kongres inilah Oedin berkenalan dengan Soedirman yang saat itu menjabat sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) Banyumas yang kemudian menjadi Bapak TNI Jenderal Soedirman. Karir Soedirman di Muhammadiyah diawali dengan keaktifannya di Hizbul Wathan. Perkenalan ini semakin erat karena mereka seia sekata dalam rapat. Bahkan dalam satu kesempatan, mereka Walk                               Pertemuan dengan Pangsar Soedirman berlanjut saat diadakankan kongres Pemuda di Yogyakarta. Pada tanggal 10 Nopember 1945 Buya Oedin bersama Bagindo Aziz Chan menghadiri kongres pemuda, beliau hadir sebagai Wakil Pemuda Muhammadiyah Minangkabau. Kongres diadakan di Yogyakarta. Hadir dalam kongres antara lain Bung karno dan Bung Hatta. Kongres dihadiri oleh lebih kurang 300 orang pemuda Indonesia. Pada akhir kongres dipimpin oleh Buya Oedin dan kongres dapat berjalan dengan lancar dengan pokok pembicaraan menghadapi masalah “Surabaya”. Sewaktu akan menutup kongres jam 5 pagi  Oedin berpantun : “Lancang kuning berlayar malam/angin ribut haripun kelam/kalau nahkoda paham tak dalam/dipinggir pantai kapal tenggelam”.         Tanggal 11 November, Oedin berkesempatan berbicara didepan pertemuan wanita-wanita di Yogyakarta yang intinya membangkitkan semangat para kaum hawa untuk turut berjuang dengan cara membagi bagikan nasi bungkus kepada para pejuang. Hasilnya para ibu/wanita tersebut menyumbangkan nasi bungkus untuk dibwa ke Surabaya. Selama 1 minggu  Oedin di Yogya, setiap jam 1 siang selalu dijemput Panglima Soedirman untuk makan siang.                                                             Dalam satu kesempatan kunjungan Buya Oedin ke Jakarta, disaat Beliau bersepeda dengan santai. Tiba-tiba sebuah mobil sedan memepet sepeda Buya Oedin ke pinggir. Hal tersebut, mengharuskan Buya Oedin turun dari sepedanya dan mengangkatnya ke trotoar. Dari mobil sedan itu, turun seorang laki-laki seusia Buya Oedin. Terjadi dialog diantara keduanya : “Bung kenal dengan saya ?” Tanya laki-laki yang turun dari mobil.  “Kenal”, Jawab Buya Oedin.                                                                          “Siapa ?”                                                                                                “Bung Soedirman”                                                                           “Bukan, bukan, Tapi Jenderal Soedirman”                                            Buya Oedin mengulang pertanyaan orang itu.                            “Bung kenal dengan saya ?”                                                             “Kenal”, “Bung Oedin”.                                                                        “Bukan, bukan Saya WMPM Minangkabau”. Mereka terbahak. Mereka berangkulan.                                                                                           “Sekarang kita ke rumah”, “Saya undang Bung makan di rumah saya” “Sekarang juga”.                                                                                      “Tapi, saya takut, kalau Jenderal yang mengundang”.                       “Jangan begitu Bung” “Yang mengundang Bung ini WMPM Banyumas”, kata laki-laki itu yang ternyata memang Panglima Besar TNI, Soedirman. “Bagaimana dengan sepeda ini”, tanya Buya Oedin.                                        “Itu perkara gampang” Tambah laki-laki itu”. Seperda itu sempat jadi rebutan diantara pedagang yang menyaksikan itu. Akhirnya sepeda itu dititpkan sama seorang china yang tokonya persis di tempat kejadian. Penghormatan besar bagi china itu, mendapat titipan sepeda dari seorang Panglima Besa TNI, dari Jenderal Soedirman. Begitu mobil masuk pekarangan rumah yang dituju, Soedirman berkata, “Ini dia, ini dia orangnya !” “Bung Oedin dari Pariaman, dari Minangkabau”. Teriak Soedirman kepada isterinya. Ternyata Soediriman pernah bercerita dengan isterinya perihal sosok Buya Oedin.
Akan mendirikan Hizbullah.                                                                    Pada tahun 1944 Buya Oedin bermaksud akan mendirikan organisasi Hizbullah bersama sama dengan teman temannya. Maksudnya ini dibicarakan terlebih dahulu dengan pembesar Jepang, dengan hasil bahwa Jepang tidak dapat menyetujui berdirinya Hizbullah Pada saat itu isteri Buya Oedin sedang hamil tua. Karena keadaan isterinya sudah hamil tua Buya Oedin pulang ke rumah isterinya di Kurai taji. Setelah beberapa hari di rumah isterinya maka isterinya melahirkan anak laki laki. Oleh karena usahanya gagal untuk mendirikan organisasi maka nama organisasi itu dinamakannya pada anak yang baru lahir. Setelah beberapa hari anak Buya Oedin lahir maka Buya Oedin berangkat kembali ke Padang Panjang. Sesampai di Padang Panjang bertemu dengan temannya AR Sutan Mansur, dan dikatakannya bahwa di Kurai taji sudah ada Hizbullah. AR Sutan Mansur kaget. Buya AR Sutan Mansur mendesak apakah benar saudara sudah mendirikan Hizbullah di Kurai taji ? Buya Oedin menjawab : “Betul di Kuraitaji sudah ada Hizbullah”, yaitu anak saya yang baru lahir dinamakan Hizbullah. (Hizbullah Oedin adalah anak ke enam Buya Oedin dengan Rafiah Ja’afar).                           
Periodeisasi Keterlibatan Oedin dalam Muhammadiyah *)  :
Pengurus Majlis Consul Hoofdbestuur Muhammadiyah Minangkabau (Periode 1930-1942)
Consul Hoofdbesteur              : AR. Sutan Mansur                          Sekretaris Majlis Consul           : Abdullah Kamil                                         Wakil Sekretaris/ Bendahara           : RI Datuk Sinaro Panjang                 Anggota                                   : SY Sutan Mangkuto, Oedin, Ja’cub Rasjid, Marzuki Yatim, HAMKA, A.Malik Ahmad, Samik Ibrahim, H. Haroun L’ Ma’any, I. Zulkarnaini          
Dalam buku Muhammadiyah Minangkabau (Sumatera Barat) Dalam Perspektif Sejarah tulisan Drs. H. RB. Khatib Pahlawan Kayo dan Drs. H. Marjohan MM di halaman 304 di bawah susunan kepengurusan di atas ada catatan 1. Pengesahan PB Muhammadiyah sulit dilacak !.         (Alhamdulillah, Penulis sendiri masih menyimpan tanfidz SK tersebut yang penulis kutip utuh di atas).
Pimpinan Perwakilan Muhammadiyah Sumater Tengah                     Periode 1956-1958
Ketua              : H. A. Malik Ahmad                                                     Ketua I                     : Oedin                                                                           Ketua II       : R. I.  Dt. Sinaro Panjang                                        Sekretaris           : Mahmud Yatim                                                          Anggota           : Iskandar Zulkarnaen, H. Sd. M. Ilyas, Nur Yunus, Duski Samad, Darwis Thaib, H. Haroun L’ Ma’any, A. Malik Sidik, Baidarus Muhammad, Syarbaini Karim, Diniyah Sidik, Hasan Ahmad, Zubir Wahid, Sudin St. Bagindo
Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sumatera Barat                            Periode 1969-1972
Ketua              : HAK Dt. Gunung Hijau                                              Wakil Ketua I          : Oedin                                                                           Wakil Ketua II: Drs. Djam’an Shaleh                                                  Wakil Ketua III : Zainuddin Zen                                                       Sekretaris I         : H. M. Idris Manaf                                                   Sekretaris II    : M. Daris BA                                                                     Bendahara           : M. Yusuf Sidin                                                       Pengurus di atas dibantu dengan beberapa pembantu/majelis.
Dari dokumen yang ada, Pusat Pimpinan Muhammadijah mengirim surat kepada  10 orang tokoh Muhammadiyah termasuk Udin. 9 tokoh tersebut adalah HS Daeng Muntu,  SJS St. Mangkuto, KH Mas Masjhur Azhari, Ja’cub Rasjid, Oei Tjing Hien, Marzuki Jatim, Sami’ Ibrahim, Djalil Abdillah dan M. Rasjid Thalib. Surat bernomor 306/I-C/UB-Pers/PM, perihal Sambutan Nota tertanggal 23 Sja’ban 1376/25 Maret 1957. Lengkapnya sebagai berikut,
Assalamu’alaikum ww.                                                                              Wa ba’du.                                                                                                Dengan ini kami permaklumkan bahwa Nota saudara-saudara tertanggal 20 Maret 1957 jang disampaikan oleh wakil saudara-saudara, sdr. SJS St. Mangkuto dan Oey Tjing Hien telah kami terima pada hari Senin tg : 25 Maret 1957 dalam satu pertemuan dari anggauta-2 Pusat Pimpinan Muhammadijah mulai djam 11.30 sampai djam 13.00. di Kantor Pusat Pimpinan Muhammadijah.                                                               Setelah nota tersebut didjelaskan oleh sdr SJ St Mangkuto jang disambunge oleh sdr. Oei Tjing Hien, maka kesemuanja itu mendapat sambuttan dan perhatian jang semestinja. Semua pandangan jang disampaikan oleh kedua wakil saudara mengenai keketjewaan dan kelemahan-2 potensi Persjarikatan kita Muhammadijah pada umumnja dan Pusat Pimpinan pada chususnja, adalah sedjalan dengan apa jang terasa dan terfikir didalam Pusat Pimpinan Muhammadijah.                 Selanjutnja dalam pertemuan tersebut, sama-2 diinsjafi bahwa tidaklah tjukup semata-2 hanja diketahui serba kekurangan  dan kelemahan jang ada dalam Persjarikatan Muhammadijah dan pimpinannja, tetapi sesungguhnja  sesudah itu jang sangat perlu dipikirkan dan diusahakan  ialah mentjari djalan keluar untuk mengatasinja. Bagi Pusat Pimpinan sendiri soal itu senantiasa adalah merupakan soal jang terpenting dalam perhatiannja, dan sudah diusahakan untuk mengatasinja dengan berbagai-2 djalan dan tjara, tetapi kiranja belumlah lagi mendapatkan hasil jang memuaskan, karena sering dan selalu terbentur pada kekurangan tenaga uang dan tenaga manusia.                                                                          Maka dari itu, kepada wakil saudara-2 dan djuga dengan ini kami sampaikan kepada saudara-2 pengharapan kami jang sangat dan sungguh-2, kiranja saudara-2 dapat membuat satu perumusan jang merupakan konsepsi jang konkreet untuk mengatasi  serba kekurangan dan kelemahan Muhammadijah sebagaimana jang telah saudara-2 simpulkan dalam pertemuan saudara-2 pada tg :20 Maret 1957 itu, jang selandjutnja dapat kita bitjarakan sebaik-2nja menurut kebidjaksanaan dan saluran jang semestinja, dengan memilih waktu dan tempat jang setepat-tepatnja. Dalam hal ini, dalam pertemuan tersebut ada satu hal jang benar-2 menarik dan mendjadi perhatian kami, ialah pendjelasan dari wakil saudara-2, sdr SJS St. Mangkuto dalam menerangkan kemungkinan kelandjutannja fasal 3 dari nota saudara-2 itu, jang oleh sdr. SJS St. Mangkuto ditandaskan bahwa kebidjaksanaan jang akan diambil itu antara lain meisalnja dengan : 1. Mendirikan satu organisasi baru lagi.                                                       2. Bertindak dengan nama Muhammadijah, tetapi akan melepaskan hubungan  dengan Pusat Pimpinan Muhammadijah.                  Demikianlah sambutan kami atas nota saudara-2 itu, moga-2 mendjadi maklum adanja, dan berman    faat jang sebsar-besarnja..                     Kemudian kami doakan mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi hidajat dan taufiq kepada kami dan saudara-2 sekalian. Amien.    Wassalam,                                                                                                Atas nama Pusat Pimpinan Muhammadijah
Oedin dan Pergerakannya Dalam Pergerakan Kemerdekaan RI       (Riwayat Pekerjaan Beliau)
Tahun 1945
Bulan September memberikan pengertian kepada rakyat tentang proklamasi 17 Agustus 1945 , dan tanggung jawab sebagai bangsa yang merdeka tentang proklamasi itu, ini dikerjakan oleh Muhammadiyah Daerah Minangkabau saya memegang pimpinan pemuda (WMPM) Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah.                                                       Bulan Oktober turut mengadakan konferensi Pemuda daerah Minangkabau di Padang dengan acara “Menyatukan langkah pemuda” untuk membela kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh dua orang pemimpin besar Bung Karno dan Bung Hatta dan membicarakan utusan untuk menghadiri kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta tanggal 10 November 1945.
Bulan November tanggal 01 utusan kongres berangkat dari Padang Panjang dengan mobil via Tanjung Karang, saya turut dalam rombongan itu. Tanggal 08 November pagi kami selamat sampai di Yogya. 10 November kongres Pemuda Indonesia I dibuka. Duduk di meja pimpinan saudara-saudara : Soepardo, Chaerul Saleh, Wikana dan lain-lain. Kongres menyatukan tujuan perjuangan Pemuda se Indonesia dengan membentuk Badan Kongresive Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Saya terpilih duduk dalam badan itu mewakili Pemuda Andalas begitu pula Saudara Soepardo dan Chaerul Saleh. Kongres dapat berlangsung hanya 1 malam karena Surabaya di gempur oleh Belanda dan sekutu. Pemuda Surabaya yang hadir dalam kongres dipanggil pulang oleh Pak Gubernur, kalau tidak keliru waktu itu Pak Soewirjo, tanggal 10 November dijadikan Hari Pahlawan. (Pada tanggal 10 Nopember 1945 Oedin bersama Bagindo Aziz Chan menghadiri kongres pemuda, beliau hadir sebagai wakil pemuda Muhammadiyah Minangkabau. Kongres diadakan di Yogyakarta. Hadir dalam kongres antara lain Bung karno dan Bung Hatta. Kongres dihadiri oleh lebih kurang 300 orang pemuda Indonesia. Pada akhir kongres dipimpin oleh Oedin dan kongres dapat berjalan dengan lancar dengan pokok pembicaraan menghadapi masalah “Surabaya”. Suatu akan menutup kongres jam 5 pagi  Oedin berpantun : “Lancang kuning berlayar malam/angin ribut haripun kelam/kalau nahkoda paham tak dalam/dipinggir pantai kapal tenggelam”. Tanggal 11 November, Oedin berkesempatan berbicara didepan pertemuan wanita-wanita di Yogyakarta yang intinya membangkitkan semangat para kaum hawa untuk turut berjuang dengan cara membagi bagikan nasi bungkus kepada para pejuang. Hasilnya para ibu/wanita tersebut menyumbangkan nasi bungkus untuk dibwa ke Surabaya *). Nah disinilah  seninya. Buya Oedin seorang tokoh outodidak  seangkatan Buya AR . St. Mansur , ketika memimpin rapat Pemuda se Indonesia di Yogyakarta tahun 1947, berpantun “Lancang kuning berlayar malam - Hari hujan malampun kelam - Bila Pemimpin berpaham tak dalam - Di pinggir Pantai kapal tenggelam *.             Sesudah kongres urusan selesai saya kembali, 10 hari terkepung di Jakarta, tanggal 25 Desember baru sampai di Padang Panjang.
Tahun 1946.                                                                                        Januari s/d April mengadakan rapat-rapat dengan mendatangi negeri negeri menyampaikan putusan kongres Pemuda Indonesia I, menyatukan langkah Pemuda sebagaimana keputusan kongres.
Tanggal 06 Mei saya dilantik di Padang oleh Residen Dr. Jamil, menjadi Ketua Dewan Polisi Sumatera Barat dengan tugas memberi semangat kepada seluruh kepolisian kita. Dewan ini berjalan sampai 1947. (Pada waktu Perintis Kemerdekaan Oedin akan pulang diberi tugas oleh Panglima Soedirman sebagai Penasihat Panglima Sumatera di Bukit Tinggi. Penunjukkan itu dengan surat yang dibuat sendiri Panglima Soedirman *).
Sesampai di Bukittinggi Buya Oedin menemui Panglima di Bukit tinggi dan memperlihatkan surat yang diberikan oleh Panglima TNI Soedirman. Pembesar militer di Bukit tinggi yang bertemu berkata : “Sudah dapat pangkat saja” dan dijawab oleh Buya Oedin  :”Saya tidak tahu,  ini yang buat adalah panglima Soedirman”. Pada tahun 1946 Buya Oedin dipanggil oleh Dr. Jamil agar datang ke Padang menemuinya. Sewaktu pertemuan Buya Oedin dengan Dokter Jamil maka Dokter jamil menunjuk Buya  Oedin sebagai Kepala Dewan Polisi Sumatera Tengah di Padang. Kemudian pindah ke Bukittinggi karena sekutu sudah mengadakan penyerangan.
Tahun 1947                                                                                             Awal Januari diangkat oleh yang mulia Presiden menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), kami berangkat menuju Malang. Rombongan dikepalai oleh Bapak Mr. Nasroen via Palembang. (Demikianlah, untuk wilayah pemerintahan Padang-Pariaman ketika itu, salah seorang anggota KNIP yang harus turut hadir ialah Am. Engku Oedin yang selama ini telah bertugas juga dalam pengukuhan pemerintahan daerah yang berkedudukan di dalam wilayah kenegarian Sungai Geringging. Sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat antara wakil militer Belanda di Pariaman dengan pemerintahan RI, maka pada satu yang ditentukan, Alm. E. OEDIN dijemput oleh penguasa Belanda ke negeri Basung di dalam wilayah kecamatan V KOTO KAMPUNG DALAM,  untuk seterusnya diterbangkan ke Yogyakarta dan terus ke Malang *).   (Untuk menghadiri sidang KNIP di Malang pada masa itu, kami bersama dengan Buya Oedin, Karim Halim, dll terpaksa menyeberangi Selat Sunda dengan Perahu layar *). Saya menghadiri sidang dari awal sampai akhir, acaranya Perjanjian Linggarjati tanggal 25 Maret sampai kembali di Bukit Tinggi.
20 Maret saya bertemu dengan Pangsar Soedirman di Yogya, pertemuan ini di rumah Beliau menyambung pembicaraan yang telah berlangsung di Selecta Malang. Sebagai anggota KNIP saya ditugaskan Beliau mendampingi saudara Jenderal Mayor Soeharjo, dalam hal-hal kemasyarakatan, tugas ini saya terima dengan satu ketetapan dari Pangsar, surat ketetapan itu dibakar waktu perang dengan Belanda (Clash II).
Baik saya terangkan kejadian ini, terbawa dari perhubungan kami sewaktu sama-sama memimpin pemuda Muhammadiyah, Beliau WMPM Purwokerto (Banyumas) saya WMPM di Minangkabau.
Di Minangkabau terjadi peristiwa 3 Maret, saya ditugaskan juga menjadi Badan Penyelesaian Peristiwa ini sampai selesai.
Tanggal 21 Juli Belanda menyerang Republik, Linggarjati dikoyak-koyak Belanda, Lubuk Alung didudukinya. Wakil Presiden Bung Hatta pindah dari Siantar ke Bukti Tinggi, Oleh sidang partai-partai politik di gedung Wakil Kepresidenan segera Beliau membentuk Front Pertahanan Nasional yang beranggotakan Sdr. Chatib Soelaiman, Hamka, , Rasyuna Said, Karim Halim dan saya. FPN kemudian bertukar nama MPRD (Markas Pertahanan Rakyat Daerah). Saya tetap duduk sebagai anggota sampai penyerahan kedaulatan dengan tugas pokok seksi Kelasykaran. (Dalam tahun 1947 itu juga Bung karno datang ke Padang. Perintis Kemerdekaan Oedin dibawa bung karno ke Pariaman, Solok dan Maninjau.
Sewaktu Bung karno akan berangkat ke Jakarta Perintis Kemerdekaan Oedin ikut mengantar ke Tabing. Di pelabuhan udara Tabing Bung Karno berkata kepada Oedin, saya dengar saudara menolak jadi Bupati. Dan dijawab oleh Oedin iya, karena di hati saya tidak ada keinginan. Kemudian Bung Karno memerintahkan kepada Perintis Kemerdekaan Oedin agar dari lapangan ini terus ke kantor Gubernur di Bukittinggi.
Di kantor Gubernur Perintis Kemerdekaan Oedin dibujuk agar mau jadi Bupati. Atas nasehat Dokter Rahim maka jabatan Bupati diterima. Tetapi panggilan Bupati ditolak dan ditukar sebagai pegawai tinggi yang ditugaskan di Kabupaten Pariaman. Kemudian dipindahkan ke Batusangkar sebagai Patih, dan ke Rengat sebagai Bupati kemudian ke Pesisir Selatan sebagai Bupati *).
Tahun 1948.
Tanggal 19 Desember pagi Belanda menyerang Bukit tinggi dari udara, petang selasa 21 Desember kota Bukit tinggi dibumi hanguskan, saya mengikuti rombongan Residen malam itu keluar dari Bukititnggi menuju Suliki.
Tahun 1949
10 Januari saya ditugaskan oleh Residen M. Djamil ke Pariaman sebagai anggota KNIP dan MPRD guna memulihkan pemerintahan, sedang tanggal 06 januari kota Pariaman sudah diduduki Belanda, 16 Januari saya selamat sampai di Kp. Dalam Pariaman.
Tanggal 20 Januari ada pertemuan langsung dipimpin oleh saudara /Bupati Ibrahim gelar Datuk Pamuncak. Rapat membentuk Dewan Perang Kabupaten dipimpin langsung oleh Kepala Daerah, saya dipilih menjadi wakil ketua dan mewakili Bupati. Tugas saya adalah Kordinator Penerangan Kabupaten Pd. Pariaman dengan tugas kewajiban sebagai yang tertera dalam surat Yml. Gubernur Daerah Sumatera Barat tanggal 07 Pebruari 1949 No. 15/G.M/Instr. Dan Penasehat Politik pada Bupati Militer Pd. Pariaman dengan tugas kewajiban memberi nasehat dan pertimbangan-pertimbangan tentang aliran-aliran Politik dalam masyarakat serta menyatukan segala aliran politik dalam masyarakat dengan bendungan ideologi Negara.
11 Maret ada pertukaran Bupati antara saudara Ibrahim dengan B A Moerad, saya tetap mendampingi Bupati yang baru ini.
Penjelasan mengenai di atas, dikuatkan dengan surat ketetapan Bupati Militer Padang Pariaman no. 2/BM/Pd.Pr, 1949 tanggal 15 Maret 1949, kemudian disahkan oeh Ketapan Gubernur Militer Sumatera Barat no. 92/GM/Ist tanggal 9 April 1949 yang ditanda tangani Mr. ST Rasjid.
Tanggal 06 Mei diangkat oleh Residen M. Djamil menjadi ketua Dewan Polisi Sumatera Barat, di Padang. Bulan Mei kami berangkat menuju tempat Gubernur Militer di Suliki berdua dengan sekretaris kabupaten,, tanggal 30 Mei kembali. Semuanya ada salinan ketetapan saya lampirkan.
3 November kembali ke Suliki dipanggil Gubernur, kepada saya disampaikan panggilan ketua KNIP supaya datang ke Yogya menghadiri Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat. Saya disuruh pulang ke Pariaman tanggal 16 November saya sampai.
26 November saya masuk kota Pariaman, tanggal 27 November diantarkan ke Bukit Tinggi oleh mayor Belanda, selesai urusan dengan LJC saya terus ke Padang.
Tanggal 2 Desember saya berangkat dari Padang menuju Yogya tanggal 4 Desember saya selamat sampai di Yogya.
5 Desember sidang pleno KNIP dibuka, acara KMB 10 (sepuluh) hari sidang berturut turut, akhirnya KMB diterima dengan perimbangan suara sebagai berikut : 226 setuju 62 menolak. Sesudah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember kami pulang.
Tahun 1950
12 January 1950, dengan SK Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 12 January 1950 saya diangkat menjadi Pegawai Tinggi tingkat II dan diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman dengan No. Up/14/gmsb/K.- ditandatangi oleh Kepala urusan pegawai Dt.Djoendjoeng.
Tanggal 01 februari 1950 dengan SK dari Gubernur Sumatera Tengah di Bukit tinggi diangkat menjadi Patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman, pada bulan Oktober dipindahkan menjadi Patih di kantor Kabupaten Tanah Datar.
Sebelumnya tanggal 02 Mei mendapat SK dari Gubernur Sumatera Tengah diangkat menjadi Walikota Sawah Lunto.Kemudian dengan ketatapan Gubernur Sumatera Barat no. 1225/G/50 SK di atas dicabut dan dipindahkan menjadi Patih dibatukan pada Bupati tanah Datar.
Kemudian beberapa kali mengalami perpindahan, sampai akhirnya dengan SK Mendagri diangkat menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Inderagiri kemudian wakil Bupati/Kepala Daerah Kabupaten Tanah Datar/Batu Sangkar, tepatnya tanggal 23-12-1953.,
Dengan SK tanggal 06 Oktober 1954 dipindahkan menjadi Bupati/Ka Daerah Kabupaten Tanah Datar di Kota Batu Sangkar, tetapi SK itu dibatalkan dan dengan surat tanggal 29 Oktober 1954 dipindahkan ke Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci.
Oleh Menteri Sosial melalui surat No. Pol. 003/07.P.K.Djakarta 15 Agustus 1967 ditetapkan sebagai Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan.                                                               Demikianlah catatan ringkas ini saya tulis semoga dapat menjadi bahan pertimbangan seperlunya.
Sumber ini berasal dari 2 ketikan Beliau Buya Oedin yang ditanda tanganinya
(Sumber tertulis), yang pertama di buat di kurai taji tanggal 14 Mei 1962 dan yang kedua dibuat di Sungai Penuh tanggal 23 Agustus 1956.
Buya Oedin, Teman Jenderal Sudirman dari Kurai Taji *)                      Oleh Suryadi Sunuri
Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa seorang putra Pariaman pernah bersahabat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dialah Oedin, seorang akitivis Muhammadiyah dan pernah mengemban berbagai jabatan politik di Sumatra Tengah ketika Republik ini masih muda remaja.
Buya Oedin (atau Udiang menurut pelafalan orang kampugnya) begitu beliau biasa dipanggil di masa tuanya lahir tahun 1906 (informasi lain menyebutkan bulan Agustus 1907) dari rahim Raalin, seorang pengurus Aisyiah yang tangguh di Kuraitaji. Masa remaja Oedin kecil dihabiskan di kampungnya. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 Sekolah Rakyat. Selanjutnya, pemuda yang sedikit preman ini berdasarkan cerita Buya Hamka dalam sepucuk suratnya kepada anak kelima beliau, Asdi Oedin tertanggal 11 Juli 1962 terpilih menjadi kader Muhammadiyah selama 9 tahun di bawah gemblengan Buya A.R. Sutan Mansur, dedengkot Muhammadiyah yang kemudian terpilih menjadi ketua organisasi itu dalam kongresnya di Purwokerto tahun 1953. Berkat gemblengan A.R. Sutan Mansur, kepremanan Oedin berubah menjadi kepemimpinan.
Bersama beberapa orang rekannya, Oedin mempelopori berdirinya Cabang Muhammadiyah di Kuraitaji (yang ketiga setelah Bukittinggi dan Padang Panjang) pada 10 Oktober 1929. Muhammadiyah dibawa ke Kuraitaji oleh putra daerah ini sendiri dari Yogyakarta, yaitu H. Sd. M. Ilyas, adik ipar Buya Oedin sendiri, yang kelak menjadi mertua Dr. H.M. Tarmizi Taher, mantan Menteri Agama RI di Zaman Orde Baru. Pada tahun 1937 Oedin diangkat menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta, Oedin aktif menggalang semangat pemuda di daerahnya. Beliau, yang pada waktu itu menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhamadiyah Minangkabau, giat memberi pengertian kepada masyarakat Pariaman tentang arti dan cara mengisi kemerdekaan. Pada bulan November 1945 Oedin dan rekan-rekannya menghadiri Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta. Tujuan kongres itu adalah untuk menyatukan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka mendapat banyak rintangan di jalan karena gempuran oleh pasukan Belanda. Ketika itulah Oedin berhubungan dengan Soedirman yang waktu itu mewakili pemuda Muhammadiyah Purwakarta (Banyumas).
Balik ke Sumatra Barat, Oedin dan kawan-kawan aktif menyampaikan hasil kongres itu. Pada bulan Mei 1946 beliau dilantik oleh Residen Sumatra Barat, Dr. Jamil, menjadi Ketua Dewan Polisi Sumatra Barat. Awal Januari 1947 beliau diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Padang Pariaman. Beliau ikut dalam persidangan KNIP di Malang (1947). Ketika singgah di Yogyakarta Oedin bertemu lagi dengan Soedirman yang sudah menjadi Panglima Besar TNI. Sebagai anggota KNIP, beliau ditugaskan oleh Panglima Soedirman untuk mendapingin Mayjen Soeharjo dalam tugas-tugas kemasyarakatan. Kelak di suatu hari di Jakarta, Oedin bertemu secara tak sengaja di jalan dengan Jenderal Soedirman, yang kemudian mengajak sahabat lamanya itu mampir ke rumahnya.
Sampai tahun 1949 Oedin terlibat dalam berbagai kegiatan politik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Barat dari rongrongan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Pasca Aksi Polisionil Belanda yang gagal itu, aktifitas Oedin dalam kancah pemerintahan Sumatra Tengah cukup beragam. Beliau diangkat menjadi pegawai tinggi tingkat 2 dan kemudian patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman (Januari 1950); patih Kabupaten Tanah Datar (Oktober 1950); Walikota Sawahlunto (Mei 1950); Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; Pjs Bupati Tanah Datar (Desember 1953); Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954) (sebelumnya direncanakan menjadi Bupati Kab. Tanah Datar, tapi tidak jadi).
Demikianlah kisah hidup Buya Oedein yang pernah menikah empat kali dan dikaruniai beberapa orang anak. Sewaktu bersekolah di SMP 3 Kuraitaji, saya akrab dengan salah seorang cucu beliau, Fadilah Afsar. Sering kami belajar bersama di rumah beliau di Rambai, Kurai Taji. Saya paling suka melihat-lihat koleksi buku beliau yang tersusun rapi di rak-rak di perpustakaan peribadi beliau.
Foto ini mungkin dibuat sekitar tahun 1970-an atau sebelumnya. Foto ini, beserta bahan-bahan lain untuk penulisan artikel ini bersumber dari dua keturunan beliau: Marindo Palar dan Fuad Afsar.
Buya Oedin meninggal di Jakarta pada 17 Juni 1984 dan dimakamkan di Perkuburan Tanah Kusir. Demikianlah riwayat singkat kehidupan seorang pahlawan kecil yang telah ikut berjasa dalam mengisi kemerdekaan negeri ini.
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Marindo Palar, Jakarta).
Singgalang, Minggu, 24 Juli 2011



















Sedikit Keterangan Foto Tentang Empat Orang *)

Foto ini dibuat sekitar tahun 1950 sesudah berakhirnya sidang “Konfrensi Meja Bundar” (KMB) antara negara RI dan Belanda untuk kembalinya pemerintahan RI. Agresi Belanda ke-2 sebagai hasil KMB. Dimasa berhentinya tembak menembak itulah kami berempat pergi ke Padang untuk berfoto sebagai satu kenangan sehabis melalui masa darurat Agresi Belanda ke dua itu.
4 orang dalam foto itu ialah :
1. Saya Kasim Munafy yang sejak usia 13 tahun telah menurutkan aksi Gerakan Muhammadiyah yang mulai 25 oktober 1929 didirikan di  Kuraitaji atas usaha alm. Kakanda H. Sd M. Ilyas (Nomor 2 dari kiri). Pada tahun 1929 didirikannya Muhammadiyah di Kuraitaji itu saya masih berumur 13 tahun dan duduk belajar di Sekolah GOEBERNEMEN (Sekolah Sambungan) dan telah masuk gerakan Kepanduan “HIZBULWATHAN” dibawah naungan Muhammadiyah. Saya masuk dalam kelompok (Regu Pengenal) membawahi 8 orang anggota pengenal (Usia 12-13 tahun). Dalam perkembangan selanjutnya setelah tamat belajar Schakel Muhammadiyah Pariaman (1934) saya diminta oleh pengurus Sekolah Aisyiyah Kuraitaji untuk menjadi guru bantu di sekolah tersebut yang waktu itu dipimpin oleh Alm. M Louth Hasan sebagai Kepala Sekolah. Dikantor Cabang Muhammadiyah Kuraitaji sepulang dari mengajar saya diberi tugas sebagai Schrijver (juru tulis pembantu) untuk menguruskan surat surat Persyarikatan. Dua tahun kemudian (mulai 1936) saya ditetapkan menjabat sebagai guru bahasa Belanda di sekolah Tsanawiyah yang dibangun juga oleh ‘Aisyiyah Cabang Kuraitaji dan bertempat juga di gedung sekolah ‘Aisyiyah (ketika itu berlokasi di tepi jalan raya, Simpang Basoka sekarang). Pada tahun 1939 saya diminta pindah ke Palembang menjabat sebagai kepala Standaar School Muhammadiyah ranting Kertapati, atas perintah orang tua “ande” karena Beliau sangsi kalau terembet bahaya perang Jepang-Belanda yang mulai tahun itu sudah tersa mulai memanas. Sampai dengan suasana Agresi Belanda ke-2 (1950) saya telah mempunyai pendirian untuk hidup sebagai orang swasta (untuk tidak menjadi pegawai). Apa dalam kegiatan militer atau sipil. Yang menjadi pokok patokan untuk mendirikan cara hidup ialah “Jangan Suka Memakan Jasa Orang Lain” sebab ada obrolan di pelanta yang mengingatkan “Kalau terbiasa mengandalkan jasa orang lain, maka lidah akan terhimpit”. Maka ditetapkan pendirian untuk berwiraswasta “dalam Mhammadiyah”. Secara bertahap disamping menjadi guru Muhammadiyah saya juga menduduki kursi Kepemimpinan dalam Persyarikatan Unggulan Alm. K. H. A. Dahlan ini. Sejak dari pimpinan Group (Ranting), Pimpinan Cabang dan terus menjabat sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Padang Pariaman (mulai tahun 1952) dalam musyawarah di Surau Tepi Air Pariaman sebelum menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Purwokerto 91953). Jabatan sebagai Ketua Daerah ini berakhir sudah harus diletakkan karena pengaruh umur. Secara resmi dinyatakan dalam Musyawarah Daerah 91992) dan resmi dilepaskan tahun 1993 bersamaan dengan juga melepaskan kerja sebagai Guru Muhammadiyah di MtsN. Pada waktu menulis catatan ini jabatan sebagai Ketua Pembangunan Gedung dan Mesjid Sejarah Muhammadiyah (merangkap sebagai Ketua Badan Takmir Mesjid) serta memegan bagian Wakaf dan Kehartabendaan PDM Padang Pariaman masih dapat dilaksanakan. Alhamdulillah, dua bangunan Muhammadiyah Kuraitaji (Mesjid mulai 1952 dan Gedung Madrasah mulai tahun 1932) saya dapat dipercayakan sebagai Ketua Pembangunan. Agaknya inilah hikmahnya dulu sehabis masa Perang Kemerdekaan saya tidak mau menjabat sebagai Pegawai Negeri itu. Dihari tua saya dapatmengujudkan berdirinya dua bangunan Muhammadiyah di desa Kuraitaji sebagai tempat kelahiran saya.
2. Alm. Kakanda H. Sd. M. Ilyas asal Kuraitaji seorang yang berjasa mendirikan Muhammadiyah (1929: yang pertama untuk daerah Padang Pariaman) setelah mempelajari seluk beluk persyarikatan Agama Islam ini langsung ke tempat mula berdirinya Yogyakarta. Sebelum masuk tahun tahun kemerdekaan, Persyarikatan ini sudah berkembang hampir kesemua pelosok daerah Kabupaten (termasuk ke daerah XII Koto wilayah tiku dan Sei. Geringging/ Batu Besar-cacang-koto muaro) dan negeri negeri dalam wilayah VII Koto (Sei. Sarik, Tandikat-Batu kalang dll). Sayangnya, khusus Daerah kecamatan Sei.Geringging keseluruhannya, Muhammadiyah ini pada umumnya tak hidup organisasi lagi, mungkin karena pengaruh lingkungan atau kekurangan kader angkatan muda. Alm. H. Sd. M. Ilyas meninggal di Jakarta. Beliau meninggalkan dua isteri dengan anak cucu yang cukup banyak yang pada umumnya mendapat pendidikan cukup baik dan berhasil menuju hidup aman tenteram. Waktu menulis kenangan ini kedua isteri beliau masih hidup (Dibawah perawatan anak cucu). Isteri pertama (Ummi H. Rohana) adik dari Dr. Tarmidzi Taher (menteri agama). Rumah tua dari H. Ummi Rohana telh diperbaharui oleh seorang Pengasuh (?)/Pengusaha wanita, usaha dari anak-anaknya. Rumah tua dari Ummi H. Nur’aini berdekatan dengan Gedung MtsN Kuraitaji, yang dipercayakan cukup baik, sedang Beliau dengan anak cucunya menetap di Jakarta.
3. Almarhum engku Oedin asal Kuraitaji, kakak ipar dari H. Sd. M. Ilyas (saudara tua dari H. Rahana SDM). Beliau dikenal juga sebagai seorang dari pemimpin Muhammadiyah Minangkabau yang konon tidak menamatkan bangku sekolah desapun (Hanya sampai di kelas II sekolah desa (Volkschool zaman Belanda). Namun beliau dikenal sebagai seorang yang cerdas dan tangkas dalam bicaranya, pandai bersilat lidah serta memahami persoalan politik. Tenaga beliau dapat dimanfaatkan Muhammadiyah dalam menghadapi politik kolonial Belanda. Beliau diminta oleh Konsul PB Muhammadiyah untuk duduk dalam kepemimpinan Muhammadiyah Minangkabau sejak masa Belanda. Dalam gerakan Pemuda Muhammadiyah Minangkabau beliau mempunyai jabatan yang sama dengan Panglima Besar Soedirman, ialah sebagai Wakil Majelis Pimpinan Pemuda Muhammadiyah (Beliau untuk Sumatera Barat dan Pak Dirman untuk daerah Magelang). Maka tidak heran waktu Indonesia di proklamirkan/merdeka dan beliau diangkat menjadi Panglima Besar TNI, maka Pak Dirman mengangkat Oedin sebagai Penasehat TNI untuk wilayah Sumatera. Dalam suasana perang Jepang beliau termasuk diantara bintang bintang Muhammadiyah Minangkabau yang mendampingi Alm. Buya AR sutan Mansur di Padang Panjangmelayarkan bahtera Muhammadiyah Minangkabau itu. Ketika itu PadangPanjang tersebut sebagai pusat Kegiatan Konsulat Muhammadiyah Minangkabau. Sejak selesainya agresi Belanda ke-2, Oedin banyak berperan dalam Muhamamdiyah untuk Republik Indonesia. Misalnya :
- Khusus diberangkatkan ke Jakarta dengan pesawat Tentera Belanda terpanggil untuk hadir disidang KNIP Malang untukmembicarakan hasil Konfrensi Meja Bundar dengan Belanda menerima pembentukan Negara Indonesia Serikat.
- Kembali dari sidang KNIP Malang Beliau mendapat surat kuasa dari Panglima Besar Soedirman untuk tugs sebagai Penasehat TNI seluruh Sumatera.
- Beliau juga menerima surat kuasa dari Pimpinan Pusat Partai Masyumi yang ketika itu masih berkantor di Yogyakarta untuk mendirikan Masyumi seluruh Sumatera.
- Dalam bidang pemerintahan beliau juga mendapat SK sebagai pegawai tinggi diperbantukan kepada Gubernur Sumatera (yang ketika itu berkedudukan di Bukittinggi), memegang dua kedudukan sebagai secretaris:
1. Sebagai sekretaris Dewan Pertahanan Partai yang ketuanya Beliau sendiri.
2. Sebagai sekretaris Masyumi Sumatera Tengah yang berkantor di muka stasiun Kereta Api Bukittinggi.
- Selesai sidang KNIP di Malang, Oedin ditetapkan sebagai Pegawai Negeri menjabat Patih Indragiri dan kemudian dipindahkan ke Sei, Penuh. Jabatan ini dipegang Beliau sampai datangnya masa kemelut PRRI.
3. Almarhum Syailendra seorang Pemuda asal Kp. Apar-Pasar Usang Batang Anai, tamatan INS Kayutanam. Aktif dalam gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Beliau terpilih untuk sebagai pimpinan partai Masyumi padang pariaman dan juga duduk sebagai wakil partai masyumi dalam DPRD Padang Pariaman. Pernah bersama beliau sebagai rombongan Pemerintah Daerah melakukan torne ke Mentawai selama16 hari. Kami bersama Bupati Padang Pariaman (Harun Arrasyid), kepala jawatan dan anggota DPD wakil wakil partai lebih kurang 50 orang dengan satu kapal khusus selama 16 hari itu menjelajahi kepulauan mentawai dengan 4 kecamatannya. Demikianlah pada tahun 1957 itu, penulis mulai mengetahui secara agak jelas bagaimana kedudukan penduduk kepulauan Mentawai yang termasuk dalam Daerah Padang Pariaman itu. Dalam perjalanan penelitian di Mentawai itu penulis berada dalam rmbongan Kepala Kesehatan Daerah yang dikepalai oleh Dr. KAVARELLI (asal Italia Kota Roma) beserta rombongannya Menteri Kesehatan Iskandar asal Kayutanam dan Bidan Nurma asal kepala Hilalang. Dalam perjalanan ke Mentawai ini penulis sengaja memakai pakaian seragam kepanuan Muhammadiyah (Hizbul Wathan) sebagai satu alat perangsang masyarakat untuk ajar kenal dengan kegiatan Muhammadiyahdari penghayatan di Mentawai ini. Hal ini kemudian penulis terapkan pada kehidupan pribadi ialah memungut anak-anak Mentawai untuk diasuh/ajar dalam pendidikan Muhammadiyah khususnya. Mulai tahun 1984 penulis memengut gadis Mentawai nama Rosmin asal Desa Sigitsi (Sipora), mulai duduk di kelas IV SD Negeri Kuraitaji, terus ke MTsN dan SMAN Pariaman. Akhirnya Rosmin dipindahkan kebawah asuhan PP/LDK Muhammadiyah Jakarta mulai tahun 1993, tinggal bersama keluarga ananda H. Anhar Burhanudin MA yang juga ketua LDK Pusat di Jakarta itu. Gadis Mentawai kedua yang penulis pungut ialah Aniarti juga dari desa Sigisi tinggal bersama penulis tiga tahun belajar di MtsN Kuraitaji. Setamat dari MtsN tidak mau belajar lagi, akhirnya pada tahun 1994 diantar ke Mentawai untuk kawin. Ia tinggal bersama pegawai asrama Mentawai di Sipora-di desa Tuepejat. Suaminya asal Mentawai juga (Pagai Selatan) bekerja sebagai penjaga asrama anak-anak Mentawai di Tuepejat/Sipora.                     Demikianlah sekedar penjelasan.                                                    Kuraitaji 10 zhulhijjah 1415 H/10 Mei 1995. Penulis Kasim Munafy
Muhammadiyah Kurai Taji Pariaman *)
Oleh Fikrul Hanif

Sudah lama rasanya tidak menulis tentang kampung halaman saya. Saat ini saya akan mengajak facebooker untuk mengikuti kisah seorang aktivis Muhammadiyah asal Kurai Taji yang pernah menjadi Regent di Indragiri.

Sebagai salah satu "balahan" dari keluarga besar pendiri Muhammadiyah Kurai Taji Pariaman, saya akan mencoba menulis secara lugas tentang sisi historis Boeya Oedin. Tulisan ini saya simpulkan dari Manuskrip yang ditulis Kasim Munafi (adik kakek saya Buya Sulaiman Munaf, Direktur Madrasah Muhammadiyah Kurai Taji yang didirikan tahun 1931) yang berjudul "Muhammadiyah yang Aku Kenal, Manuskrip, 1985)

Buya Oedin atau yang akrab dipanggil di Kurai Taji dengan sebutan Boeya Udiang (atau Udiang menurut pelafalan orang kampungnya) lahir tahun 1906. Di kalangan aktivis Muhammadiyah Kurai Taji, Boeya Oedin lebih dikenal sebagai sosok politisi ketimbang sebagai seorang ulama atau pun pendidik.

Meskipun ia hanya berpendidikan kelas 2 Sekolah Rakyat, Oedin yang juga kader dari AR Sutan Mansur tersebut pernah ikut merintis berdirinya Muhammadiyah Ranting Kurai Taji (bagian dari Cabang Muhammadiyah Padang Panjang) tanggal 25 Oktober 1929, pimpinan redaksi Majalah Bahtera Massa yang diterbitkan dua edisi oleh Muhammadiyah ranting Kurai Taji. Namun karena Bahtera Massa dianggap isinya provokatif, maka majalah yang berusia seumur jagung tersebut dibredel dan dibakar Belanda.

Melalui tangannya, menurut Moh. Natsir, Masyumi berkembang di Sumatera Barat. Kisah ini berawal dari partisipasinya pada acara silaturrahmi Muhammadiyah yang dilaksanakan tahun 1946. Dalam acara tersebut Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan kepada peserta bahwa telah berdiri partai politik Islam Masyumi sebagai representasi suara ummat Islam di Indonesia. Sejak saat itu, Oedin berinisiatif menyebarluaskan berita ini ke Sumatera Barat.

Bahkan saat terjadinya kisruh antara Masyumi (label Muhammadiyah) dan Masyumi (label MIT), Buya Hamka dan Oedin turut turun ke daerah-daerah untuk menenangkan massa dan menjaga keutuhan dari Masyumi.

Pasca kemerdekaan, kariernya pun semakin melejit. Pada Januari 1950, ia diangkat sebagai pegawai tinggi tingkat 2 dan kemudian patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman; Oktober 1950 sebagai patih Kabupaten Tanah Datar; Mei 1950 sebagai Walikota Sawahlunto; Oktober 1952 sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; dan terakhir sebagai Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954).

Sumber:
Kasim Munafy, "Muhammadiyah yang Aku Kenal", Manuskrip. (Kurai Taji: Sejarah Kehidupan Pribadiku, 1985)                                                   Fikrul Hanif Sufyan, "Muhammadiyah Daerah Padang Pariaman", Skripsi. (Padang: Universitas Andalas, 2003).                                                    Suryadi Sunuri, Blog Minang Saisuak, dengan judul "Buya Oedin: Teman Jenderal Sudirman dari Kuraitaji"








            Surat-surat Buya Oedin
(I)
BUPATI/KEPALA DAERAH
KABUPATEN P.S.K.
                                                            Priaman 14. Nopember 1956.
            Perihal : Pembitjaraan saja dengan Bapak Gobernur                          Roslan Moeljo Hardjo                                                                         di P a d a n g.
            Dengan horma, bersama ini saja sampaikan lagi verslag hasil pembitjaraan saja dengan bp. Gobernur Ste dirumah beliau djalan Soekarno Padang pada hari Arba’a 7. Nopember 1956 djam 9 pagi, djalan pembitjaraan sebagai berikut
1.      Saja bertanja kepada bp. Gobernur “BAGAIMANA SAJA SESUDAH TJUTI ?, SEDANG TJUTI SAJA HABISNJA SEWAKTU BP SEDANG BERADA DI BANDUNG ?, SUDARA KEMBALI KE P.S.K. DAN BEKERDJA SEBAGAI BIASA
Berita Ringkas Kedatangan PJ WK Presiden ke Kabupaten Indragiri
1.      Mendapat Khabar Pertama
Hari Arba’a tanggal 18 Maret djam 5 sore, saja Kepala Daerah beserta dengan dua orang DPD Hasan ‘Arifin dan Jamal Lako Sutan, menemui P. Bapak Gobernur dirumah B

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops