Lencana Facebook

Selasa, 05 Oktober 2010

Matahari itu terbit Bakda Isya

Seperti biasa, selesai makan malam di ruang tamu yang berlantaikan papan, sebelum masuk ke kamarnya, Buya selalu bercerita tentang kisah masa lalunya.kali ini Beliau bersiap dengan kisah hidupnya dengan Muhammadiyah. Saya yang masih duduk di kelas III SMP Negeri III Pariaman ditemani One kembali mendengar dengan seksama kisah yang Beliau akan paparkan.
Beginilah kisahnya………….Pada suatu hari dalam tahun 1935 telah ada kata sepakat antara para anggota Muhammadiyah yang berasal dari negeri Sei. Sarik Malai untuk mendirikan ranting Muhammadiyah di situ, maka diambil kata persetujuan, bahwa dari pimpinan cabang Muhammadiyah Kuraitaji yang akan datang ke situ ialah Engku Oedin dan Muhammad Luth Hasan. Demikianlah, pada hari yang ditentukan diberangkatkan dari Kuraitaji dengan naik kuda bendi kepunyaan almarhum Ajo Kundang. Menjelang waktu maqrib, mereka sampai di Sei.Sarik Malai dan kuda diberhentikan dimuka rumah alm. Bang Bisu, salah seorang propaganda/sponsor di situ.
Rupanya kedatangan bendi yang membawa Engku Oedin dan temannya Luth Hasan ini sudah dinanti-nanti oleh beberapa orang ninik mamak negari Malai V Suku di Sei. Sarik Malai itu. Tak lama setelah kuda dibuka dari pasangannya, terjadilah dialoq antara ninik mamak itu dengan engku Oedin, sekitar kedatangan Beliau kesitu untuk sengaja mendirikan Muhammadiyah atas permintaan kawan-kawan yang sudah menjadi anggota di situ. Secara tegas dari pihak ninik mamak dijelaskan kepada Engku Oedin bahwa Muhammadiyah tidak boleh didirikan di negari Sei. Sarik Malai itu. Terhadap pendirian ini, mula-mula engku Oedin menerimanya secara tenang saja, dengan ucapannya :”Kalaulah engku ninik mamak di sini yang telah menentukan bahwa Muhammadiyah tak boleh didirikan di sini, ya apa boleh buat”. “Kami tentunya menghargai pendirian ninik mamak itu”.Kata Engku Oedin.
Tapi, rupanya ninik mamak itu meningkatkan pembicaraan kepada masalah bermalam di rumah bang Bisu, yang juga dilarang oleh ninik mamak itu. Mendengar larangan itu dan ditambah lagi dengan katanya kuda bendi harus dipasang kembali dan rombongan harus kembali sekarang juga, maka engku Oedin menyambut sikap ninik mamak itu dengan berkata : “Kalau itu yang engku-engku ninik mamak perintahkan kepada kami, iya mungkin tidak dapat kami penuhi, cobalah pikirkan, baru sebentar ini kami sampai di sini dalam perjalanan yang tidak kurang 30 km jaraknya, baru saja kuda kami dibuka dari pasangan bendi, belum ini kering keringatnya yang tadi, sekarang akan harus kami pasang kembali, iko rasonyo barek bagi kami”. “Adapun kalau kami tidak dibenarkan menumpang semalam di rumah engku abang Bisu ini, bawalah kami oleh ninik mamak kemana saja yang disenangi untuk tempat tidur semalam ini. Turut bermalam di rumah engku ninik mamakpun kami setuju asal kami tidak disuruh kembali sekarang juga ke kurai taji”. Dengan perkataan engku Oedin itu, menurunlah ketegangan ninik mamak kemudian keluarlah keputusan dari beliau-beliau itu dengan katanya, “Nah, kalau begitu baiklah, engku engku yang datang dari kurai taji ini kami benarkan juga bermalam di sini, di rumah bang Bisu ini, namun untuk mengadakan acara mendirikan Muhammadiyah dalam pertemuan orang ramai tidak dapat kami benarkan. Nanti malam setelah selesai makan minum dan sholat isya semua harus tidur dan lampu dipadamkan.
Setelah berakhir pembicaraaan itu maka ninik mamak itu sama duduk di serambi muka dan kawan kawan dari Muhammadiyah bersama engku Oedin dan M. Luth Hasan masuk ke rumah untuk beristirahat. Selanjutnya setelah selesai minum makan dan sholat Isya, sesuai dengan pembicaraan sore tadi Oedin memerlukan menemui ninik mamak itu yang masih menanti di ruang muka. Engku Oedin memulai pembicaraan, “Angku angku ninik mamak kami sesuai pembicaraan tadi sore, kami telah selesai sholat isya, minum dan makan. Kini kami akan tidur dan mematikan lampu, tapi kami lihat ninik mamak kami masih duduk dimuka, tentu tidak berani kami mematikan lampu”, Mendengar sindiran halus itu, spomtan beliau beliau itu menjawab “Yo, baiklah matikan lampu dan kami segera berangkat”. Setelah beliau beliau itu berangkart dan semua kawan kawan di dalam rumah mengambil posisi masing masing untuk tidur maka lampupun dimatikan. Namun apa yang terjadi setelah lampu dimatikan. Dengan suara agak berbisik engu Oedin menyampaikan kepada semua yang hadir yang jumlahnya sekitar 18 orang. “Nah saudarara saudarakan sudah sama mendengarkan pembicaraan dengan ninik mamak tadi bahwa Muhammadiyah tidak boleh didirikan di negari kito, Sei. Sarik Malai ini, kan ?” Salanjuiknya, baa jo kita ?, Iyo indak akan jadi mandirikan Muhamadiyah di negari kito ko ?. Spontan kawan-kawan yang hadir dalam tidur itu menyatakan : “Oooooo indak engku Oedin !, nan Muhammadiyah di negari kito ko, kito dirikan juo”. Kudian diituang parakaro !”. Engku Oedin menyahuti : “Iyo, kini bulek kato kito tu ?” Kok kabukik samo mandaki, kok ka lurah sama manuruni ?”. “Iyo….!, Jawab mereka serentak.
Engku Oedin mengetuk lantai rumah yang terbuat dari papan itu sampai tiga kali, persis dalam rapat resmi Muhammadiyah, menetapkan satu keputusan. Kemudian beliau menyambung, “esok pagi, kami akan kembali ke kuraitaji, sepeninggal kami naikkan plank merk Muhammadiyah Sei. Sarik Malai di muka rumah ini.”Siapa nanti yang menurunkan, itulah lawan kita. Bagaimana perkara selanjutnya, akan kita urus……..”.





Demikianlah, kembali dari Sei. Sarik Malai di pagi itu bendi dikelokkan ke pekarangan rumah tuan kontler di Pariaman yang saat itu tuan kontlernya tuan Kator, seorang pejabat pemerintah Belanda yang cukup ramah dan kenal baik dengan Engku Oedin.
Melihat ada bendi di pagi itu masuk ke pekarangan rumahnya, tuan Kator sengaja keluar untuk memperhatikan siapa tamu yang datang, setelah tampak olehnya di atas bendi itu Engku Oedin dan M Luth Hasan dari pimpinan cabang Muhammadiyah Kurai taji yang telah beliau kenal. Beliau duluan menegur : “Hai, Engku Oedin !, kok masih pagi, sudah datang ke mari, ada apa gerangan ?”. Engku Oedin menjawab, ;”Iyo tuan, iko kabar baik saja, ada satu peristiwa tadi malam di sei. Sarik malai-wilayah asisten demang Sei. Limau yang perlu segera saya sampaikan kepada tuan”.”Baiklah” kata beliau, “mari kita duduk di serambi rumah, hari masih pagi, tak usah di kantor”.
Setelah mereka sama duduk di serambi rumah tuan kontler itu, maka engku Oedin menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi kemaren itu dan akhirnya juga menceritakan bahwa Muhammadiyah sei. Sarik Malai sudah berdiri, tadi malam juga dalam kami tertidur tanpa cahaya lampu, sudah ditokokan palu tanda sahnya keputusan berdirinya Muhammadiyah itu sepeninggal saya. Sekarang terserah tuan. Mendengar cerita engku Oedin itu, tuan kontler berkata, “Ninik mamak Sei. Sarik Malai melarang berdirinya Muhammadiyah ?”, “Sedangkan untuk Muhammadiyah itu bagi wilayah Hindia seluruhnya telah diberi izin oleh Gubernur Jenderal, Wakil Kerajaan Belanda di sini”. “Tapi, biarlah engku Oedin, saya akan menyelesaikan masalah ini dengan beliau ninik mamak Sei.Sarik Malai itu, engku Oedin terima selasainya”.”Dalam mnggu ini juga, akan saya panggil semua ninik mamak Sei. Sarik Malai itu menghadap saya”
Keesokan harinya, tuan kontler Kator itu menelepon ke kantor Asisten Demang di Sei. Limau dan memerintahkan agar Asisten demang memanggil semua ninik mamak Sei. Sarik Malai agar hadir di kantor asisten Demang Sei. Limau pada hari Minggu di pekan itu juga, (dijelaskan, dalam masa pemerintahan Belanda untuk wilayah ke-Asistenan Demang Sei. Limau (asisten distrik) kantor keresidenan itu tetap dibuka di hari Minggu, ialah untuk memudahkan pegawai-pegawai negeri dari negari-negari yang berada di I sekitarnya berurusan ke kantor demang, sebab hari minggu itu adalah hari pekan pasar Sei. Limau dan ada kenderaan bendi yang dapat ditumpangi untuk hari itu.
Pada hari Minggu yang ditentukan, pagi hari Ninik mamak sei, sarik malai sudah hadir di kantor asisten demang Sei. Limau untuk menanti kedatangan kontler dari Pariaman. Kira kira sekitar jam 09.00 pagi, tuan kontler datang dan langsung masuk ke serambi muka kantor asisten demang dan melihat ada ninik mamak sei.sarik malai telah siap menanti di serambi muka kantor itu. Sambil berjalan naik dan masuk ke kantor di mana asisten demang menantinya, tuan kontler itu berucap sambil menoleh kepada ninik mamak yang sedang duduk :”He, ninik mamak Sei. Sarik Malai yang Melarang berdirinya Muhamadiyah itu sudah datang semua ya ?”. Beliau terus masuk ke dalam kantor Asisten Demang. Kira-kira 15 menit kemudian keluar dan duduk menghadap ninik mamak sei. Sarik Malai yang sudah gelisah. Setelah beliau duduk maka menunjuklah Kepala negari Sei. Sarik Malai yang sekaligus sebagai pimpinan rombongan, sebagai isyarat minta izin untuk berbicara. Melihat itu, tuan kontler mengangguk mempersilahkan kepala negari untuk berbicara. “Tuan, saya minta bicara lebih dulu kepada tuan dan saya mohon maaf jika bicara saya ini salah. Tuan tadi sambil naik dan masuk ke kantor ini mengatakan, Kami ninik mamak sei. Sarik malai melarang berdirinya Muhammadiyah” Itu salah tuan. Muhammadiyah telah berdiri di sei. Sarik malai. Lihatlsah oleh tuan ke situ, plank merknya telah pula di naikkan”. “jadi kemungkinan orang beri laporan salah pada tuan”. “Heh, benarkah begitu ?” Tuan Kontler, bertanya pura-pura terkejut. “Kalau begitu benarlah salah laporan yang saya terima. Dan inilah, kedatangan saya hari ini untuk memberi tahu ninik mamak sei.sarik malai bahwa di mana-mana Muhammadiyah diberi izin oleh Gubernur Jenderal, wakil kerajaan Belanda untuk Hindia Belanda ini. Kok ninik mamak sei sarik malai sampai berani melarangnya. Kalau benar sudah berdiri, tentu artinya sudah tidak ada masalah dengan ninik mamak lagi, dan sekarang pertemuan ini saya tutup dan ninik mamak boleh bubar dan pulang kembali”.
Tak terasa, malam semakin larut, sebelum Buya masuk ke kamarnya kembali pantun yang kemaren-kemaren Beliau sampaikan diulang kembali, “Dek, kalau Adek pai ka pasa, iyu bali balanak bali, ikan panjang bali dahulu, kalau Adek pai bajalan, ibu cari dunsanak cari, induak samang cari dahulu”

Medio Oktober 2010
Tulisan ini Hasil Dari Yang Kuingat dan Catatan dari Manuskrip “Muhamadiyah Yang Aku kenal, Sejarah Kehidupan Pribadiku” Tulisan Engku Kasim Munafy

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktops