Muktamar Muhammadiyah ke-46 berlangsung 3-8 juli 2010. dikota kelahirannya Yogyakarta. Muktamar ini disebut juga Muktamar 1 abad Muhammadiyah karena menurun hitungan tahun Hijriyah, pada Zulhijjah 1430 Hijriyah lalu Muhammadiyah resmi berusia 100 tahun.. Pelaksanaan Muktamar dari tahun ke tahun selalu bulan Juli, bulan liburan panjamg anak-anak sekolah dan sebagian besar anggota persyarikatan Muhammadiyah sekarang adalah mereka yang berperofesi sebagai guru. Jadilah arena Muktamar arena liburan dan refreshing bagi mereka yang mengisi liburan sekolah. Muktamar ke-45 di Malang, Juli 2005. Sebelumnya Muktamar Muhamadiyah ke-44 di Jakarta, Juli 2000. Muktamar sebelumnya, Muktamar Muhammadiyah ke-43, Juli 1995 di Banda Aceh. Muktamar Muhammadiyah ke-42 sebelumnya di Yogyakarta, Juli 1990. alhamdulillah, semua saya dapat ikuti dengan baik sebagai penggembira. Kenapa saya dapat berangkat ke Yogyakarta ???. Gagal karena dieliminasi dari bursa pencalonan utusan Muktanar Muhammadiyah ke-42 di yogyakarta, saya berpikir keras bagaimana bisa berangkat ke sana.Secara kebetulan, saya dapat bocoran informasi bahwa Dirut Inosat yang baru adalah famili yang baru dari Jakarta. Atas kebaikan ketua PDM yang memberikan katabelece sehingga saya dapat proposal untuk cari dana sendiri. Dengan berbekal sepotong surat, saya titip proposal ke satpam di Indosat menerangkan hubungan saya dengan informan di Jakarta dengan lampiran proposal panitia muktamaar. Kebetulan Dirutnya, Abangnda Ir. Ardin Ikhwan S.MBA sedang berada di Jakarta. Seminggu setelah proposal masuk ke Indosat, melalui bantuan teman satu esde, Edi Faisal yang bekerja di PT Telkom Binjai saya hubungi bang Edi via telepon dari ruangan si Edi. Gayung bersambut. Pucuk di cinta rezeki tiba. Sekretaris Bang Ardin, menyampaikan berita gembira bahwa proposal pantia muktamar yang meminta 1 tiket pp Medan-Yogya dapat dipenuhi. Hari berikutnya, melalui tangan bang Ardin, saya terima satu cheque yang saya uangkan saat itu di Bank Bali Binjai yang terkenal dengan logo si jempolnya. Hasil jerih payah saya dapat menembus Indosat jadi bahan gunjingan di internal PDM Binjai. “Siapa yang menerima bantuan dari Indosat atas nama panitia muktamar ?”. akhirnya saya buka kartu. Alhamdulillah, tanpa kerepotan yang berarti akhirnya saya dapat berangkat bareng rombongan yang lain.
“Foto-foto muktamar muhamadiyah ke-42 Yogyakarta seperti terlihat di bawah ini” :
“(Gambar di atas, saat kami dalam pelayaran Belawan- Tanjung Priuk, ada Bp. Drs. H. Abdul Choliq, dan teman seperkuliahan yang secara kebetulan ketemu di kapal Hadiyar)”
Selama di Yogya, kesempatan untuk menikmati liburan dan suasana Yogya saya manfaatkan betul. Kalau ke Yogya tidak ke Borobudur ibarat gulai tanpa garam. Dengan rombongan ibu-ibu, akhirnya sayapun berkesempatan menikmati satu diantara 7 keajaiban dunia yakni candi Borobudur . kelihatan di foto saya, pak Achmadsjah, Bang Erizal, Kak Wahyuni, Ibu Elly Marni dan beberapa rombongan lain sebagai wisatawan local foto bareng dengan wisatawan manca Negara.
Foto dibawah ini, sempat membuat ibu-ibu rombongan penggembira muktamar muhammadiyah ke-42 Yogyakarta tahun 1990 meradang melihat kelakuan saya yang kurang ajar. Dengan enteng saya redam kemarahn ibu-ibu dengan mengatakan teman di foto saya itu adalah calon ibu aisyiyah dari Eropa. Kemarahan ibu-ibu rombongan dapat saya maklumi karena fotonya dianggap terlalu berani. Weleh-weleh –weleh. Apa boleh buat. Mudah-mudahan teman bareng di foto ini betul-betul menjadi ibu aisyiyah. Paling tidak dirinya sendiri menjadi muslimah.
Kenangan manis di candi Borobudur. Yogya memang ok. Muhammadiyahpun ok. Saya menjadi bagian dari stupa Borobudur.
Bareng ibu-ibu penggembira dari Binjai. Asssyyyikk.
Ibu-ibupun tak mau kalah dalam mengambil kesempatan foto bareng dengan muhammadiyah dan aisyiyah eropa.
Sukses mendapat bantuan Indosat saat muktamar muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di yogyakarta, memberi saya inspirasi untuk berbuat yang sama di Muktamar muhammadiyah tahun 1995 di Banda Aceh. Saya kirim surat permohonan ke abangnda Ardin Ikhwan yang sudah pindah ke kantor pusat di Jakarta. Dengan melampirkan satu proposal. Alhamdulillah proposal panitia muktamar yang saya layangkan mendapat tanggapan. Dana bantuan keluar dari Indosat Medan. Saya tidak transparan. Sekedar penambah uang saku. Niatpun disusun dari Binjai. Kebetulan saat itu saya aktip pula di filateli. Kepala kantor pos Binjai pindahan dari Banda Aceh, Bapak Heri Setianto. Menjelang Banda Aceh, bus kami tergelincir ke kanan, masuk parit. Tepatnya di Saree. Hari masih sangat pagi saat kejadian itu berlangsung. Ketika jalan-jalan ke kantor pos Banda Aceh saya malah dititipkan surat untuk mendapat fasilitias menginap di kantor pos ujung utara pulau Sumatera, yakni di Sabang. Berarti saya harus menyeberang. Rencana tinggal rencana. Hanya selangkah lagi untuk menyeberang, niat itu tidak kesampaian. Bahkan travel cheque yang saya beli di kantor pos Binjai utuh kembali saya uangkan saat pulang dari sana.
Satu kenangan yang lumayan berkesan adalah ketika menjadi salah satu dari sekian banyak saksi mata saat berlangsungnya akad nikah keluarga Bapak AM Fatwa. Keringat peluh Beliau berceceran. Sang mempelai berkemungkinan demam panggung melihat banyaknya mata yang menatap saat terjadinya prosesi ijab qabul sehingga harus diulang beberapa kali.
Saya numpang foto bareng sesaat prosesi ijab qabul dilaksanakan.
Lima tahun pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 Banda Aceh, Ibukota RI menjadi tuan rumah Muktamar Muhammadiyah ke-44. Alhamdulillah, ada rezeki. Saya berangkat satu keluarga, isteri tercinta Dwi Puspita Rahyunie, Fadlun Rahmandika si sulung, Teguh Maliki Ramadhan dan si bungsu Fajrul Azmi Syahputra. Kami ikut paket wisata yang diselenggakarakan oleh panitia. Begitu sampai di tanjung priuk, kami dijemput dan dibawa ke penginapan di Cibubur, lokasi perkemahan pramuka.. Berpisah dengan penggembira lain yang menginap di amal-amal usaha muhammadiyah. Kegiatan kami sudah terjadwal. Usai pembukaan di Istora Bung Karno, langsung rekreasi. TMII, Ancol dan sebagainya.
Foto-foto berikut menggambarkan kebahagiaan dan keceriaan mereka, isteri dan anak-anakku.
Dikira paling berpengalaman dibanding yang lain, pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang saya ditunjuk sebagai kordinator penggembira dengan tugas membawa penggembira muktamar ke Malang. Kemajuan tehnologi saya maksimalkan. Komunikasi ke panitia tempat di Malang terus saya bangun. Dengan bantuan abangnda Ir. Syaiful Azri yang mengurus pengadaan bus Jakarta-Malang akhirnya saya menjadi pemimpin dengan membawa anggota 17 orang sebagian besar ibu-ibu. Dari awal keberangkatan sudah terbangun mis komunikasi internal. Sa;ah seorang penggembira yang telah mendaftar membatalkan pendaftarannya dan berniat naik pesawat akhirnya mendaftar lagi karena mendadak ongkos pesawat naik. Tidak menerima bergabung dengan penumpang lain dalam satu kenderaan L-300 saat berangkat dari Binjai menuju Belawan. Di kapal dirongrong pertanyaan discount manula dan lain sebagainya. Sampai pada puncaknya, tercecernya salah seorang anggota yang saya bawa di tanjung priuk. Pukul 15, kamis hari itu saya sudah dihubungi awak bus. Karena menurut jadwal bus berangkat pukul 14.00 siang menuju Malang. Pukul 15.00 saya masih di laut. Begitu menjejakkan kaki di tanjung priuk, tanpa cek dan recek saya langsung berangkat. Dalam perjalanan menuju terminal bus kramat jati, ibu Wirda almh, menelepon saya dari Binjai. Bukan salam yang saya terima. Langsung makian karena kegoblokan dan dianggap saya tidak bertanggung jawab, Anak gadisnya tinggal sendirian di tanjung priuk. Tak bias saya bayangkan, bagaimana gusarnya seorang ibu melihat kenyataan anak gadisnya tertinggal sendiri di tanjung priuk. Anak gadis yang baru tumbuh, baru menyelesaikan kuliahnya. Belum pernah ke Jakarta. Tiba-tiba harus tertinggal dalam dunia yang sangat asing. Saya mati suri. Darah saya hilang. Masya allah, allah swt memberikan kasih sayangnya ke saya. Ntah bagaimana ceritanya, sianak akhirnya dapat bergabung dengan teman rombongan lainnya di Malang. Saat diterminal bus kramat jati, penumpang sudah pada meradang. Awak bus tak dapat berbuat apa-apa. 4 jam lebih hanya menunggu kami. Akhirnya seorang ibu paruh baya harus saya tinggalkan menunggu sianak yang menyusul ke terminal bus kramat jati. Melihat fakta, yang naik sebagian besar nenek-nenek sebagian penumpang dari kesal menjadi kagum dan simpati. Hanya gara-gara muktamar, mau-maunya si nenek-nenek itu berpayah-payahkan diri, menyeberangi lautan lagi. Menghabiskan uang lagi. Pakaian yang saya pakai bayah oleh derasnya hujan. Sampai di terminal kramat jati senja itu, air seperti ditumpahkan dari langit. Hujan sangat lebat. Seorang ibu bermurah hati meminjamkan sarung dan saya ambil posisi di belakang, lokasi khusus untuk penumpang yang merokok. Teman sebangku saya Mas Edy Priono malah memberikan kartu namanya ke saya dan menyatakan siap membantu saya selama di Malang.Pukul 23.00 malam saya dapat telepon, dapat khabar dari ibu yang saya suruh mnunggu sianak yang tercecer di tanjung priuk, bahwa sianak sudah ada dengan dia. Bulu kuduk saya nerinding. Saya terharu. Alhamdulillah. Akhirnya si anak dapat kembali bersama. Karena waktu yang tertunda cukup panjang dan lama, seyogyanya bus kramat jati yang membawa kami sampai ke malang bakda shubuh, akhirnya molor sampai bakda jumat. Mas Priono datang menjemput kami dan membawa kami ke penginapan. Perumahan Bukit Cemara Tidar.
Sabtu pagi para ibu-ibu dan rombongan lain sudah siap-siap berekreasi. Mereka mengajak saya ikut. Mereka mengatakan akan ke Batu Malang, ke Selecta dan lain-lain. Hebatnya malah mereka sudah dapat mobil carteran punya warga komplek perumahan. Badan saya sangat lelah. Biarlah saya sendirian di perumahan bareng Mas Priono. Saat kawan-kawan berekreasi, saya dihubungi ibu yang menunggu anak tercecer, agar dapat menjemput mereka di terminal. Bareng mas Pri yang terus stand by, kami jemput mereka. Saat dalam perjalanan menjelang terminal, Bapak Dasril Suar mengambil alih tanggung jawab sianak yang tercecer dan siibu yang menunggu. Akhirnya sampai detik ini, 05 tahun berlalu saya tidak pernah ketemu secara langsung dengan sianak yang tercecer itu.Batal menjemput, Mas Pri menawarkan saya jalan-jalan bareng keluarganya. Malang memang luar biasa. Pusat kota, rumah-rumah peninggalan orang-orang kaya tempo doeloe dipelihara dan dijaga. Ketika mampir di komplek bazaar universitas muhammadiyah malang (UMM), di depan pintu kulihat ibu Jamilah terduduk, lemas. Beliau kelelahan. Teman rombongan lain, asyik berbelanja di arena bazaar. Sebelum kemari saya bareng Mas Pri mengurus id card penggembira. Ternyata mengurus kartu itu oleh panitia dikenakan biaya. Ketika diminta kepada rombongan, ada pro dan kontra. Apa boleh buat. Ibu jamilah terpaksa kami bawa ke penginapan didampingi bapak Legiman dan isteri Beliau. Gagal menghubungi panitia seksi kesehatan, akhirnya kami sepakat ibu Jamilah dibawa ke balai pengobatan yang ada dikomplek perumahan. Beliau perlu istirahat. Beliau memaksa agar aku menghubungi anaknya di Binjai. Apa boleh buat, keinginan Beliau terpaksa tidak dapat kupenuhi. Masalahnya, keluarganya di Binjai heboh dan Beliau toh tetap tidak dapat langsung sim salabim, sehat dan bugar.
“Foto di bawah ini memperlihatkan saat di sekitar arena bazaar Universitas Muhammadiyah Malang. Saya lelaki paling tampan diantara ibu-ibu itu”.
Pengalaman di Malang meninggalkan torehan khusus di hati saya. Mulai dari rongrongan menanyakan discount tiket untuk manula, pembagian undangan yang tidak mencukupi jumlah anggota akhirnya menyebabkan ada anggota yang tidak dapat, menimbulkan miskomunikasi dan fitnah.
Terpaksa Edi Priono teman satu bus kulibatkan. Sepulang dari rekreasi Cuban rondo kami langsung ke komplek Staion Gajayana. Saat di Cuban rondo tadi, seorang anggota rombongan memberikan saya 4 undangan sementara orang yang ada disaya berlima, jadi kurang satu. Akhirnya harus ada yang dikorbankan. Ketika di sekitar gajayana Malang, saya hubungi mas Edi Priiono, saya katakana saya ingin mampir dan saya belum makan siang. Ternyata rumah mas Edi tidak begitu hauh dari stadion. Sebelum sampai ke rumah beliau, saya sholat di mesjid siti khadijah. Masya Allah, dimesjid itu ada 40-an anggota penggembira dari Sulawesi. Saya tidak habis pikir, kenapa mereka bias “nyasar” di Mesjid ?, Bagaiamana tidur dan MCK mereka ??. Kami di perumahan, fasilitas lengkap. Luar biasa, di rumah mas Edi saya dilayani maximal. Ketemu sama isteri Beliau. Saat di rumah beliau saya dua kali menerima telepon, dari bp. Hendra Jones dan Bp. Dasril Suar. Selesai makan siang, saya pun dibekali makanan ringan yang cukup banyak. Dalam hitungan detik, kue tersebut ludes oleh kawan-kawan yang kebetulan berkumpul kembali. Karena gerbang masuk stadion kami sama.
Usai acara pembukaan saya langsung dilabrak oleh seorang penggembira yang merasa dikhianati karena tidak kebagian kartu undangan masuk stadion yang memang terbatas saya terima. Situasi ini kembali membuat saya stress, bingung dan tak bisa berbuat apa-apa. Padahal si Bapak yang marah-marah karena merasa ditinggal dan dikhianati malah dapat masuk dari pintu peserta. Isterinya mencoba menenangkan tapi si Bapak terus mengeluarkan kejengkelannya karena melihat ulah saya merasa dikhianati. Berniat pindah tidur, kembali saya hubungi mas Edi Priono yang secara kebetulan berada dilokasi sekitar stadion Gajayana. Begitu sudah berada di mobil dan menuju ke rumahnya pikiran saya berubah. Apapun kejadian, saya tidak mungkin lari dari kenyataan. Resiko apapun harus saya terima. Saya harus kembali ke pemondokan saya. Mas Edi kubuat repot jadinya. Beliau putar 190 derjat mobilnya, dan membawa saya kembali ke Bukit Cemara Tidar. Keesokan harinya si Bapak dan isterinya pamitan mau ke Bogor. Situasi saya jadi agak ringan. Gentian saya melabrak 2 teman sekamar saya yang sudah uzur. Apa boleh buat.. padahal waktu menerima undangan sudah ada kesepakatan agar tutup mulut.
Sikap saya mengizinkan kepergian dua penggembira yang masih belia pergi ke Surabaya juga mendapat teguran dari Mas Edi Priono. Masalahnya dua penggembira belia tadi adalah dua gadis dengan modal nekad dan bismillah berangkat ke Surabaya, mereka Sugria dan rekannya Tari. Atas izin Allah dan bantuan mas Edi Priono yang selalu memandu mereka lewat komunikasi yang tak putus-putus, akhirnya mereka sampai di tempat yang dituju. Dalam kesempatan lain, saya dan dua teman yang saya labrak tadi, berkenan dibawa jalan-jalan oleh Mas Edi Priono. Mereka sempat mampir kepemodokan kami dengan membawa makaan, bershilaturrahiem. Kami senang. Saya, pak Mawardi dan pak Achmadsjah. Makan di suatu tempat lesehan yang cukup ternama, sudah agak keluar dari kota Malang dan singgah di arena bazaar. Aku sempat membelikan oleh2 buat Lala, putrid beliau satu-satunya sebuah pulpen logo muktamar dengan torehan nama putrinya itu. Saat yang sama pula, kami mrmbrli tiket pesawat pulang ke Medan di suatu travel. Pembelian ini tidak disengaja, karena niatnya bukan beli tiket pesawat, melainkan menemani pak Mawardi mencari tiket kereta api ke suatu daerah di Jawa. Akhirnya beliau sendiri batal beli tiket kereta api dan sepulang dari rekreasi itu, beli tiket dengan pesawat yang sama dengan kami. Untung tiket yang dimaksud masih tersedia.
Niat untuk lebih lama di Malang tak terpenuhi. Saya harus menemani ibu Jamilah ke Jakarta untuk seterusnya via Jakarta menuju medan. Ibu Jamilah sudah harus tiba di Binjai hari Sabtu karena ada acara arisan keluarga di rumah Beliau. Bareng dengan adiknya Ibu Kamaliah Dar.harus meninggalkan Malang lebih awal. Ibu jamilah harus sudah sampai di Binjai hari Sabtu. Atas bantuan keluarga di Jakarta, tiket Jakarta-Medan di dapat setelah mencari di Malang tidak dapat. Kamis sudah berangkat ke Jakarta sampai jumat sore, Shubuh pagi dinihari ibu Jamilah sudah stand by. Fadly adikku sudah menghubungi taxi. Akhirnya tidak ketemu dengan kakak dan abangku karena mereka masih tidur. Begitu sampai ke Bandara, kuhubungi keluarga ibu Jamilah di Binjai. Begitu pesawat mereka landing, aku plong dan kembali ke rumah.
0 komentar:
Posting Komentar