Oedin kecil
Buya Oedin (atau Udiang menurut
pelafalan orang kampugnya) begitu beliau biasa dipanggil di masa tuanya lahir
tahun 1906 (informasi lain menyebutkan bulan Agustus 1907) dari rahim Raalin,
seorang pengurus Aisyiah yang tangguh di Kuraitaji dan Hatta seorang upalo uban
(setingkat kepala lingkungan/kepling sekarang). Masa remaja Buya Oedin kecil
dihabiskan di kampungnya. Walaupun ayahnya sebagai kepling, Buya Oedin yang
hanya 2 bersaudara, (adiknya Umi Rohana) cuma bisa mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas 2 Sekolah
Rakyat. Buya Oedin kecil, dikenal sebagai anak yang bagak, preman.
Menurut penuturan Qne, Buya Oedin kecil suka mengadu ayam. Dia akan senang bila
mana berada di arena adu ayam. Terkekeh melihat bagaimana seekor ayam
ngos-ngosan setelah diadu. Sebagian waktunya dihabiskan hanya dengan bermain,
adu ayam, ka pasa (ke pasar) dan kegiatan lain non produktif. Walaupun
senang dengan kegiatan ini, teman sepermainannya waktu kecilnya mengakui Beliau
sebagai seorang yang sportif. Kesulitan
hidup dan situasi yang kurang menguntungkan menempa dirinya menjadi orang yang
sadar akan tanggung jawab, perlu membantu kehidupan orangtua dan Umi Rohana,
sang adik. Buya Oedin ketika kecil tidak segan segan menjadi tukang pikul
sekalipun di Pasar. Seiring berjalannya waktu jiwa kepemimpinannya tumbuh. Jiwa
kepemimpinan yang mengalir dari kedua
orangtuanya, ibunya yang seorang pengurus Aisyiyah dan ayahnya seorang kepling.
Karena Cuma kelas 2 sekolah rakyat, tidak banyak yang bisa dia buat kecuali
hanya karengkang dengan penjajah.
Masa Muda/ Masa Penjajahan
*)
Lingkungan dan keadaan sekitarnya di
masa penjajahan Belanda, Jepang dan Belanda membuat Oedin tampil sebagai seorang yang pemberani,
dan karengkang. Masa mudanya sudah berurusan dengan penjajah. Oedin sejak remaja sudah tidak senang dengan penjajahan Belanda. Beliau
berjuang tidak melalui perjuangan fisik, melainkan melalui jalur politik.
Organisasi politik yang dimasuki Buya Oedin adalah Komunis. Pada masa permulaan
perjuangan Buya Oedin oleh pihak Belanda semua kelompok yang menantang penjajah
dinamakan Kaum atau Kelompok Komunis. Sedangkan organisasi keagamaan Buya Oedin adalah Muhammadiyah.
Dalam perjuangan organisasi ini Buya
Oedin mendapat dukungan dari teman-temannya dan masyarakat, sehingga Beliau
menjadi pengurus dimana organisasi yang dimasukinya. Beliau sering mengadakan
pertemuan pertemuan dan dikunjungi oleh teman temannya untuk membicarakan
langkah langkah menghasut masyarakat agar benci dan engkar kepada Belanda. Kegiatan
Buya Oedin ini diketahui oleh pihak Belanda dan Beliau ditangkap Belanda
dikampungnya sendiri yaitu di Kuraitaji pada tahun 1926. Beliau ditangkap baru
berumur 19 tahun.
Pada hari pertama Beliau ditangkap, Beliau ditahan di Kantor Kepala Nagari
Kuraitaji. Pada malam harinya Buya Oedin dapat melarikan diri melalui jendela
kamar tahanan yang kebetulan tidak terkunci.
Beliau lari dari tahanan dan dan pergi ke rumah teman dan bersembunyi di
rumah teman tersebut sampai pagi. Besok paginya Beliau meninggalkan Kuraitaji
menuju Sicincin dengan diantar oleh teman yang punya rumah tempat bermalam.
Dari Sicincin Beliau meneruskan perjalanannya ke Solok. Setelah satu minggu di
Solok , Beliau merencanakan hendak pergi ke Palembang dengan mampir lebih
dahulu di beberapa tempat antara lain Sijunjung dan Muara Tebo.
Di Muaro Buya Oedin tinggal satu bulan. Selama satu bulan itu Beliau
menumpang di rumah seorang China Komunis dan China itulah yang memberi
makan yang dibelikannya dari kedai nasi. Dari Muara Tebo Buya Oedin meneruskan
perjalanannya ke Jambi. Di Jambi Beliau tinggal satu bulan dan menumpang di
rumah teman.
Pada saat Buya Oedin di Jambi, Belanda telah menyebar marsosenya di
seluruh Pulau Sumatera. Tugas marsose Belanda ini antara lain mengawasi rakyat
Pribumi, kalau kalau ada yang engkar menentang Belanda. Juga menjadi tugas
marsose adalah mencari orang-orang yang melarikan diri dari tahanan Belanda,
terutama yang mempunyai kesalahan menentang dan memberontak terhadap Belanda.
Berita tentang melarikan diri Buya Oedin dari tahanan Belanda di Kurai taji
sudah ada pada marsose di beberapa daerah dan begitu juga di Jambi. Hal ini
terdengar oleh Buya Oedin. Mendengar berita tentang adanya marsose mencari di Jambi,
maka Beliau ingin berangkat atau meneruskan perjalanannya ke Palembang.
Sewaktu akan naik kapal yang hendak pergi ke Palembang, maka diketahuilah
oleh marsose Belanda bahwa salah seorang yang akan naik kapal adalah orang yang
melarikan diri dari tahanan Belanda yang bernama Oedin. Dia langsung ditangkap.
Buya Oedin ditahan dalam bui Jambi selama satu bulan. Selama dalam bui Jambi Buya
Oedin tidak mengalami siksaan fisik.
Peristiwa tertangkapnya kembali Buya Oedin di Jambi, maka kontroler
Pariaman meminta kepada kontroler Jambi agar tahanan yang bernama Oedin berasal
dari daerah Pariaman dapat dikirim kembali ke Pariaman. Permintaan itu
dikabulkan oleh kontroler Jambi dan mempersiapkan pengawalan untuk mengantar
Buya Oedin agar jangan lari dalam perjalanan menuju Sijunjung, dan terlebih
dahulu mampir dulu di Muaro Tebo. Dalam perjalanan kembali ke Pariaman banyak
juga peristiwa yang dialami oleh Buya Oedin baik yang merupakan siksaan maupun
ujian terhadap agama.
Peristiwa-peristiwa Sewaktu Kembali ke Pariaman
Dari bui Jambi dikirim oleh kontroler Jambi ke Muaro Tebo, dan ditahan di
sana selama lima hari. Kemudian dari Muaro Tebo diantar oleh militer Belanda ke
Sijunjung. Perjalanan menuju Sijunjung dengan jalan kaki dan kaki satu dipasang
rantai yang cukup panjang. Dalam perjalanan ini Buya Oedin dikawal oleh militer
Belanda sebanyak sebelas orang.
Setelah tiga kilo meter berjalan kaki dari Muaro Buya Oedin meminta kepada
pengawal agar belenggu rantai yang terpasang dikaki dapat dibuka. Mula mula
militer Belanda yang mengawal tidak mau. Buya Oedin mendesak terus akhirnya
pengawal mau dengan syarat jika menjauhi pengawal seratus meter tanpa memberi
tahukan akan ditembak. Syarat tersebut diterima oleh Buya Oedin dan belenggu
rantai dibuka.
Selama dalam perjalanan Buya Oedin disamping siksaan fisik, juga
keimanannya terhadap agama juga diuji. Peristiwa ini terjadi sewaktu sampai di
Teluk Kuali, saat itu pengawal menembak babi hutan, kemudian dimasak. Masakan
babi itu disuruh makan oleh Buya Oedin, dan Beliau tidak mau dan dikatakannya
dilarang oleh orang tua. Dijawab oleh pengawal bukan orang tua yang melarang
melainkan agama. Buya Oedin tetap tidak mau.
Lama perjalanan dari Muaro Tebo menuju Pulau Punjung dilaksanakan/memakan
waktu selama sepuluh hari. Sampailah Buya Oedin yang dikawal sebelas militer di
Pulau Punjung pada malam hari. Keesokan harinya Buya Oedin minta pada pengawal
agar dapat membicarakan dengan Asisten Demang supaya perjalanan ke Sijunjung
dapat dengan mobil. Mobil ada di Sawahlunto.Buya Oedin minta agar Asisten
Demang menelepon ke Sawahlunto. Asisten Demang tidak mau dan akhirnya Buya
Oedin sendiri yang menelepon.
Besok paginya datanglah prah oto dari Sawahlunto membawa rombongan ke Sijunjung.
Sampai di Sijunjung. Buya Oedin diserah terimakan kepada Jaksa Sijunjung
yang bernama Sildo. Oleh jaksa Sijunjung ditahan dalam bui selama lima hari,
kemudian dibawa ke Sawahlunto dan dikawal oleh dua orang polisi. Setibanya di
Sawahlunto, ternyata bui di Sawahlunto penuh dengan orang orang yang
memberontak kepada Belanda di Silungkang. Akhirnya. Buya Oedin ditahan dalam
kantor polisi selama satu minggu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pariaman.
Dalam perjalanan menuju Pariaman Buya Oedin tangannya dibelenggu dan
dikawal oleh dua orang polisi. Perjalanan dengan menggunakan kereta api. Sejak
mulai berangkat dari Sawahlunto, Buya Oedin memperhatikan logat bahasa polisi
pengawal dan menerka polisi ini pasti orang Pariaman. Kemudian Buya Oedin
bertanya pada polisi pengawal, “Komandan kedengarannya seperti orang Pariaman
?”. langsung dijawab, “Ya”. Pertanyaan dilanjutkan dimana Pariamannya. Dijawab:
“Sikapak”. “Kalau begitu sama sama orang Sikapak kita.
Setelah perkenalan demikian maka Buya Oedin minta agar belenggu yang
terpasang ditangannya dibuka. Permintaan ini dikabulkan, sehingga sampai di
Pariaman tidak terbelenggu lagi. Sampailah di Pariaman kira-kira jam 17.30,
langsung diserahkan kepada kontroler. Dan kontroler berkata, “Sudah telat ini”.
Maka dijawab langsung oleh Buya Oedin, “Buka saya yang telat tuan”. Kemudian
langsung masuk bui Pariaman. Kejadian ini terjadi dalam tahun 1927.
Di Bui Pariaman.
Buya Oedin ditahan dalam bui Pariaman selama satu tahun delapan bulan.
Menurut peraturan bui Pariaman, para tahanan tidak diperkenankan keluar bui.
Peraturan ini memang tidak enak bagi Buya Oedin dan berfikir bagaimana cara
dapat keluar penjara atau bui. Kemudian Buya Oedin minta kepada penjaga penjara
agar dapat bertugas membersihkan pekarangan. Kalau membersihkan pekarangan
berarti membuangkan sampah harus keluar pekarangan yaitu ke kali yaitu ke
jembatan. Permintaan ini dikabulkan oleh penjaga bui.
Hampir setiap hari Buya Oedin membuang sampah ke jembatan. Di jembatan
tersebut Beliau beristirahat dan sering bertemu dengan teman teman atau orang
orang yang berasal dari Kuraitaji. Pada umumnya teman teman yang bertemu itu
memberi uang untuk belanja. Tetapi uang yang diberikan oleh teman itu tidak
dibelanjakan tetapi diberikan kepada kepada penjaga bui dengan demikian Buya Oedin banyak dapat kebebasan dalam bui
serta keringanan dalam pekerjaan. Selama dalam bui Pariaman Buya Oedin tidak
ada mengalami siksaan fisik atau dipukuli.
Setelah satu tahun delapan bulan dalam tahanan bui Pariaman datanglah Prof.
Skrike dari Batavia Centrum untuk memeriksa tahanan yang disebabkan masalah
politik. Teman teman Buya Oedin yang sama sama ditahan dalam bui Pariaman
adalah:
1. Mantari Juli
2. Rum dari Paingan
3. Bakar Ongkang dari Kampung Dalam
Pemeriksaan Buya Oedin dilakukan oleh Prof. Skrike dengan pertanyaan :
“Betul mau perang, memberontak kepada Belanda”. Dijawab oleh Buya Oedin, :
“Saya tidak mengerti tuan, perkara itu”. Setelah pemeriksaan, maka Prof. Skrike
berbicara dengan kontroler dan akhirnya,
- Buya Oedin
- Rum
- Mantari Juli, bebas dari tahanan.
Khusus untuk Buya Oedin yang menyebabkan bebas dari tahanan adalah karena dianggap
masih kecil, yang pada saat itu berumur 21 tahun. Sedangkan Bakar Ongkang
dibuang ke Digul.
Setelah Keluar Dari Tahanan
Selama satu minggu dirumah setelah keluar dari bui Buya Oedin selalu
dikunjungi oleh teman-temannya. Melihat keadaan yang demikian orang tuanya,
Raanin dan Hatta menjadi gelisah, takut kalau kalau anaknya ditangkap lagi oleh
Belanda. Orang tua Buya Oedin menganjurkan agar anaknya pergi ke daerah lain.
Anjuran ini diterima oleh Buya Oedin dan pergi ke Payakumbuh. Dari Payakumbuh
terus ke Pekanbaru. Dari Pekanbaru terus ke Singapura dan berada di Singapura
selama enam bulan. Di Singapura berinduk semang dengan seorang keling dan
bekerja sebagai penjual roti. Sesudah enam bulan di Singapura Beliau tidak
merasa enak lagi di sana dan ingin kembali ke Sumatera. Untuk kembali ke
Sumatera tentu memerlukan biaya untuk menyewa kapal yang jumlahnya cukup besar kalau
dibanding dengan kemampuan Buya Oedin pada waktu itu. Maka timbulah akal bagi Buya
Oedin untuk menyewa pakaian klasi kapal yang akan berangkat ke Belawan. Rencana
ini dilaksanakannya dan berhasil membawanya ke Belawan dan turun dengan
selamat.
Turun di Belawan Buya Oedin terus ke Medan. Sampai di Medan menumpang di
rumah Ketua Muhammadiyah di Kampung Keling. Beliau tinggal di rumah Ketua
Muhammadiyah itu selama satu bulan. Kemudian Buya Oedin mendengar bahwa
kontroler yang menangkapnya dulu di Pariaman sudah pindah. Mendengar hal itu
Buya Oedin berangkat pulang ke Pariaman, ke kampung halamannya di Kurai taji.
Masa Penjajahan Jepang
Orang Jepang di Pariaman, khususnya di Kuraitaji menggelari Buya Oedin
denganTuan Besar Piaman. Buya Oedin diamanahi memimpin organisasi
bentukan Jepang yang surat keputusannya berhuruf kanji bersama Saalah
Yusuf Sutan Mangkuto memimpin Gyu Gun Tyo Sa Ngi Kai sementara Buya AR Sutan
Mansur menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera (Tyo Sa Ngi Ru) dan Malik Ahmad menjadi
Komandan Bo Go Dan Tyo *). Tak lama setelah Buya Oedin menerima surat
pengangkatan yang berhuruf kanji yang dimengerti Buya Oedun cuma teraan
nama Beliau, Udin. Surat itu diterima Buya Oedin di Padang Panjang melalui
prosesi ala Jepang. Terima surat kemudian tunduk tiga kali membungkukan badan
kemudian mundur. Bersama kawan-kawannya, seperti Saalah Yusuf Sutan Mangkuto,
Malik Ahmad, Marzuki Yatim, Abdullah Kamil, Buya Oedin sering mengikuti
rapat-rapat menggalang kekuatan untuk untuk tujuan Revolusi Kemerdekaan. Dengan
surat pengangkatan itu, Buya Oedin mengalami beberapa kali peristiwa yang akhirnya membantu banyak
orang. Di mesjid Muhammadiyah Kuraitaji , para serdadu Jepang disamping
mandi ala cowboy texas juga mengeringkan badan/berhanduk di mesjid. Rakyat
kecil yang terjajah tidak dapat berbuat banyak. Beberapa dari mereka melaporkan
perilaku orang / serdadu itu ke Buya yang ketika itu di Padang Panjang. Sesaat
setelah mendengarkan laporan itu, Buya Oedin menemui komandan Jepang yang ada
di Kuraitaji, memperotes prilaku orang Jepang yang tidak menghormati rumah
ibadah umat Islam itu. Mendapat protes dari masyarakat terjajah, komandan
Jepang tidak menerima. Komandan Jepang mengeluarkan samurai dari sarungnya,
sebagai ancaman jika Buya Oedin masih memprotes maka nyawa taruhannya. Buya Oedin
bergeming, Buya Oedin tetap protes dengan mengeluarkan surat berhurup kanji
yang selalu dibawa-bawa Buya Oedin dalam sakunya. Surat berhurup kanji itu
diletakan di atas ujung samurai. Komandan Jepang terkejut. Keringat dingin
meleleh di dahinya, hormat membungkukan badan tiga kali, persis ketika Buya
Oedin menerima surat itu. Hari itu juga, serdadu Jepang mandi dengan sopan dan
tidak lagi mengeringkan badan di mesjid.
Tidak semua orang Jepang mengetahui perihal Buya Oedin mendapat surat
berhuruf kanji itu. Dilain peristiwa, dengan beberapa anak negeri Buya Oedin
berbaur dalam satu truk. Disamping supir, komandannya tertidur pulas. Rombongan
Buya Oedin, seorang anak negeri rebut, berisik. Ricuh. Buya Oedin sudah
mengingatkan, bahwa dengan sikap anak negeri itu berarti menganggu tidur
komandan yang pulas di samping supir. Peringatan Buya Oedin tidak digubris.
Benar saja, komandan yang merasa terganggu tidurnya karena berisiknya para
penumpang truk, menyuruh supir memberhentikan truk. Setiap penumpang disuruh
turun satu persatu dan menerima tendangan telak dari kaki komandan Jepang.
Ketika giliran Buya Oedin, Buya Oedin mengeluarkan surat itu dari sakunya.
Sebelum turun, Buya Oedin memperlihatkan surat sakti itu. Komandan terkejut,
hormat tiga kali dan mempersilahkan Buya Oedin menggantikannya duduk disamping
supir.
Stasiun kereta api Lubuk Alung Pariaman. Surat sakti ini kembali
menyelesaikan masalah. Seorang anak negeri yang karena mabuk tidak menyadari
sedang berhadapan dengan seorang serdadu Jepang. Serdadu yang merasa tuan yang
perlu dilayani, dihormati, akhirnya menjadi emosi melihat sianak negeri yang
mabuk ini. Sebelum terjadi peristiwa lebih lanjut yang tidak diinginkan, Buya
Oedin yang kebetulan berada di sana mencoba melerai perselisihan. Si Jepang
tidak menerima. Kemudian Buya Oedin mengeluarkan surat sakti itu. Hasilnya sama
seperti dengan dua peristiwa di atas. Tentera Jepang hormat tiga kali seraya ngeluyur
pergi meninggalkan Buya.
Ramli seorang tukang jahit yang merasa bagak mengajak berkelahi seorang
tentera Jepang. Perbuatan diluar pertimbangan akal sehat itu berbuntut dengan
dianiayanya Ramli dengan beberapa tentera Jepang. Ramli diikat di batang pohon
dadak. Di pohon itu kebetulan sarang semut merah. Bisa dibayangkan bagaimana
menderitanya Ramli yang merasa bagak tadi, dengan menghiba orangtua Ramli
datang ke Buya Oedin. Syukur, penderitaan Ramli tidak berkelanjutan lebih
lama.. Surat yang membawa Buya Oedin ke dalam kejadian-kejadian luar biasa itu,
dibakar ketika dalam satu perjalanan Belanda melakukan razia disaat untuk kedua
kalinya Belanda masuk ke Indonesia. Belanda mencari pribumi yang terlibat
langsung dengan pemerintahan Jepang-Indonesia.
“Dalam referensi asli yang ditandatangani Buya Oedin, saya mencoba
menganalisa bahwa surat itu adalah surat pengangkatan Buya Oedin sebagai
penasehat pemerintah Jepang. Pemerintahan Indonesia merasa terbantu karena
Penjajah Belanda berhasil angkat kaki dengan kedatangan Jepang di awal-awal.
Kedatangan Jepang dianggap sebagai saudara. Jepang perlu pribumi yang
berpengaruh dan Pemerintah merasa tidak terjajah, serta Buya Oedin dengan
kawan-kawan yang menerima surat pengangkatan sebagai orang pemerintahan
Jepang-Indonesia yang memang sudah punya basik atau dasar karena aktivitas
Beliau di Muhammadiyah, menyebabkan Buya Oedin dan kawan-kawan tidak lagi perlu
menjalani seleksi”. Surat yang telah menyeret Buya Oedin ke hal hal yang unik,
sementara Beliau sendiri tidak tahu arti huruf-huruf kanji di surat surat
tersebut. Surat itu di bakar ketika Belanda masuk kembali ke Republik
ini (Clash ke-2).
Sebagai bentuk penghargaan atas partisispasi tokoh-tokoh Muhammadiyah,
mereka diamanahi jabatan strategis baik di pemerintahan maunpun militer.
Marzuki Yatim terpilih sebagai ketua KNI Sumatera Barat, Saalah Yusuf Sutan
Mangkuto diangkat jadi Bupati Solok, Oedin jadi Bupati Rengat, termasuk Malik
Ahmad *) (Dua tokoh Muhammadiyah meninggal dunia, Pandji Masyarakat November
1993)
(Terkesan, ada unsur balas budi dari Pemerintah dan yang bersangkutan
dengan senang hati menerimanya !). Dalam salah satu arsip Buya Oedin,
surat bertanggal 10 Djuli 1955 dibuat di Sungai Penuh ditujukan kepada sahabat
Beliau Zainal Abidin Sjueb di Bengkulu ada tertulis “...........Sudara Zaz,
kalau kita lihat dari sudut zaman pantjaroba sekarang ini, zaman manusia banjak
lupa daratan, zaman gembak gembor, akan ada orang jang berkata, mendjadi
pegawailah jang sangat baek, jang sangat
beruntung, karena dia mendpat hidup
mewah, hidup tjukup, senang, dan banjak lagi sebutan seribu satu kalimat,
sehingga kelihatannja banjak sudara2
kita jang telah masuk kedalam, dan jang akan masukpun masih ada. Tapi kalau
saja erangkan kepada sudara bagaimana perasaan kita jang sedang didalam ini,
mungkin djuga sudara tidak begitu pertjaja, karena saja kelihatannja masih
bertahan ditempat jang sekarang, tapi baek djuga saja uraikan serba sedikit. Sudara, alam pegawai memang berlainan dengan
alam jang lain dia mendjadi satu tradisi sendiri, didalamnja ada perasaan yang
harus dipunjai oleh setiap orang mendjadi pegawai, umpama sadja, pegawai ingin
naik pangkat, pegawai ingin tambah gadji, ingin mewah, ingin senang, dan merasa
lebih dari jang lainnja. Kalau seorang pegawai jang tidak mempunjai dasar hidup,
dan kurang rasa agama bagi mereka, akan tjepat sekalilah dianja terperosok
kedalam djurang jang dalam, dan karenanja dia lupa akan dirinja, jang berachir
mareka terdjerumus. sekarang saja termasuk orang jang merugi, sebab tidak
banjak lagi mempunjai waktu berbuat seperti jang dahulu terhadap Moehammadijah,
sedang saja tidak lebih hanya orang Moehammadijah itulah. Kalau
pegawai lain berlagak dengan sekolah ini itu, saja hanja menjebut bahwa
saja dari Moehammadijah, saja bersjukur djuga rumah tangga saja masih
sebagaimana biasa, do’a dari sudara sangat saja harapkan, semoga saja tetap
berpegang teguh kepada pedoman besar kita jang selama ini kita pegang teguh,
jaitu AGAMA. Oleh sebab itu, saja menghargakan
pendirian sudara sekarang ini, sudara masih dapat berbuat sebagai sediakala,
masih terus difron menunaikan wadjib sebagai seorang ridjal Islam, semoga sdr
dapat terus sebagai sekarang ini, mudah-mudahan”.
Jiwa muda yang mengalir dalam darahnya
dengan sifat bagak dan karengkang ternyata menjadi potensi
positif di belakang hari. Berkat gemblengan Buya AR Sutan Mansur, Buya Oedin
yang bagak dan karengkang tumbuh menjadi seorang yang sangat
diperhitungkan. Sifat bagak dan karengkang negatif berubah 180
derajat. Pengaruh pendidikan Buya AR Sutan Mansur sangat terhunjam dalam
sanubarinya. Pendidikan non formal yang diperolehnya semenjak bergabung dalam
kegiatan pengkaderan Muhammadiyah yang dimotori oleh Buya AR. Sutan Mansur
betul-betul menghunjam dalam darah dagingnya. Dalam dokumen yang masih ada,
Beliau ada membuat pernyataan”..........baik rasanya saya
terangkan, bahwa saya tidak seorang ulama, saya hanya anak pimpinan dari
orangtua saya AR Sutan Mansur selama 9 tahun di Padang Panjang..” Jelas bahwa
melalui pendidkan dan pengarahan Buya AR Sutan Mansur, Buya Oedin mampu menjadi
“orang” yang kalau berbicara, pembicaraannya senantiasa diperhatikan. Bagi Buya
Oedin, tidak ada kusust yang tidak bisa diperbaiki. Artinya semua masalah dpat
diselesaikan secara baik seraya berharap kepada Allah swt, berharap redhaNya,
Insya Allah, semua akan berjalan dengan baik.
Dari uraian di atas,
tak pelak bahwa Buya Oedin memang telah ditaqdirkan buat berpijak dan berjuang
dibawah panji Muhammadiyah. Karena beliau menyadari sekali bahwa peranan Muhammadiyah
sangat besar dalam hidup beliau. Muhammadiyahlah yang mengarahkan Beliau ke
jalan yang baik, mengarahkan dan mengajarkan kepada Beliau bahwa perbuatan
mengadu ayam dan lain sebagainya adalah perbuatan buruk, perbuatan sia-sia dan
melahirkan dosa, dibenci Allah swt. Beliau menyadari betul hal tersebut, sampai-sampai Beliau sendiri
memintakan kepada isterinya, One Rafiah Jaafar untuk senantiasa turut mendoakan
kesalahan dan kealpaan Beliau semasa muda yang bagak dan tidak bakatantuan.
Oedin dan Muhammadiyah
Melalui Muhammadiyah, hasil pengkaderan 9 tahun oleh Buya AR
Sutan Mansur yang Beliau anggap sebagai orangtuanya, Buya Oedin tumbuh menjadi
pribadi yang tangguh. Melalui persyarikatan Muhammadiyah, organisasi yang
didirikan oleh KHA Dahlan 08 Zulhijjah 1330 H/11 November 1912, Buya Oedin menjadi sosok yang
diperhitungkan. Melalui Muhammadiyah juga
Buya Oedin dapat berteman sangat
akrab dengan tokoh-tokoh nasional. Bapak TNI Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Buya HAMKA, Wapres Bung Hatta. Bahkan,
Presiden RI I, Soekarno pernah menjadi sekretaris Beliau dalam satu kesempatan
rapat internal Muhammadiyah di Bengkulu. Baik ibunya Raalin dan mertuanya Ramalat
sama-sama aktivis Aisyiyah. Bahkan mertuanya, Ramalat bersama anak bujangnya
Mu’az Ja’far pernah sampai ke Aceh Utara, berkeliling Sumarera dalam rangka
menghimpun dana dari para dernawan/donatur, meminta bantuan masyarakat Muslimin
dalam rangka menyempurnakan pembangunan
gedung semi permanen bertingkat dua dengan dua kamar untuk kantor dan dua
ruangan panjang untuk 6 lokal belajar. Disitulah ‘Aisyiyah cabang kurai
taji membuka secara resmi sekolah rendah
dengan nama “Meisyes Volkschool Aisyiyah (Sekolah rakyat untuk gadis-gadis)
yang dibuka tahun 1932 sementara ibundanya Raalin mencari guru *). Salah satu
gurunya adalah Kasim Munafy. Sudah menjadi satu program khusus dalam Muhammadiyah, selama pendudukan
tentera Jepang di Indonesia, karena terputusnya hubungan Jawa-Sumatera, di
sumatera khususnya Sumatera Barat dibawah pimpinan AR. St. Mansur yang
ditetapkan oleh HB Muhammadiyah Yogyakarta memikul tanggung jawab untuk seluruh
Sumatera, konsul Muhammadiyah untuk Sumatera di Padang Panjang, setiap tahunnya
dibulan Ramadhan diadakan Algemene Kennis Muhammadiyah (Semacam pengkaderan
kepemimpinan, termasuk AMM) yang lamanya tak kurang dari 15 hari, siang-malam. Pengkaderan tersebut dilaksanakan di bulan-bulan Ramadhan.. Algemeene
Kennis Muhammadiyah (Semacam Baitul Arqam sekarang) diikuti oleh Angkatan Muda
Muhammadiyah. Pelaksanaannya sampai berhari-hari. Bahkan bisa sampai 15 hari.
Siang dan malam. Non stop. Pidato yang keluar dari bibir AR Sutan Mansur dalam
setiap pelaksanaan Algemeene Kennis Muhammadiyah berisi tafsir, sejarah Nabi,
ajaran Tauhid kian lama kian mendalam, kian menarik. Menghunjam kedalam hati sanubari. Tercatat
beberapa pemuda yang terbuka hatinya setelah mendengar wejangan dari AR Sutan
Mansyur antara lain Zain Jambek dari Kurai Lima Jorong. Abdul Malik Siddik,
Zain Jambek. St. Mangkuto beserta iparnya Abdul Malik yang belakangan dikenal
sebagai HAMKA. Sd. M. Ilyas, Rasyid Idris Dt. Sinaro Panjang dan lain lain
serta seorang pemuda anak Kurai Taji bernama Oedin, yang tidak keluaran mengaji
di Surau dan tidak pula bersekolah agak tinggi, namun dapat maju menjadi
seorang pemimpin yang berkelebihan. Di zaman merdeka sampai jadi Bupati*). Buya
Oedin disegani oleh kawan maupun lawan. Dalam satu kesempatan memberikan kata
sambutan Kasim Munafy yang saat itu berusia 14 tahun dalam suatu pidato tanpa
konsep di acara konfrensi Muhammadiyah se cabang Pariaman disuruh kepala
sekolahnya mewakili sekolahnya (Schakel Muhammadiyah Pariaman) untuk
memperkenalkan dunia pendidikan Muhammadiyah kepada peserta dan yang hadir,
karena begitu semangatnya membuat Kepala PID (Dinas mata-mata) Pemerintah
Belanda yang hadir pada acara itu bersama Buya Udin sebagai peangngung jawab
konfrensi berkata “…….coba kalau bukan anak didik Muhammadiyah yang diasuh oleh
engku Udin , saya akan seret anak ini ke muka Pengadilan *). Sosok kepiawian Beliau dikarenanakan pengaruh
pengkaderan AR Sutan Mansur dikomentari oleh Buya HAMKA dalam buku Beliau
“Muhammadiyah di Minangkabau” sebagai berikut, “......Udin salah seorang anak
kuraitaji yang tidak pernah mengecap bangku pendidikan akhirnya dapat menjadi
Bupati...”. Satu surat yang dikirim HAMKA kepada Asdie
Oedin kesalah seorang putra ke lima
Oedin menarik untuk disimak. Salinan surat itu adalah :
Buya HAMKA Kebayoran Baru, 8 Shafar 1382 H/11 Juli 1962
Ananda sayang Asdi Udin, SMA Negeri Pariaman,
Sudah agak lama surat ananda Buya terima, baru sekarang dapat membalasnya.
Ingin segera Buya membalas, tetapi maafkanlah Buya, Buya sibuk benar, mana
mengarang, mana membaca, mentelaah, manapula mengaji dan mengaji. Besar hati
Buya mendengar kemajuan anada dalam belajar agar nasib kalian anak-anak kami
jauh lebih baik dari pada kami,Buya-Buya kalian.
Buyamu itu, Angku Udin menurut istilah orang Pariaman ialah “Sikanduang
Buya”, sesakit sesenang, sehina semalu, seperasaan sepemandangan, satu
pandangan hidup (way of life). Meskipun hubungan surat menyurat diantara kami
amat jarang, namun hubungan bathin tidak pernah putus. Belum lahir kalian ke
dunia kami sudah berdunsanak dengan dia ialah tahun 1929. Ketika Buya datang
melantik Muhammadiyah Kuraitaji bertempat di pasar Pariaman. Modal kamipun sama
yaitu :
“Tarahok tali alang-alang/Cabiak karate tantang bingkai/Hiduik nan jangan
mangapalng/Tak kayo barani pakai…………Khabaraja konon sakatik. Buya si Adie itu
masuk hutan, kalau dia bacakap,mahota dengan kawan-kawan yang lain, seumpama
dengan sdr. Syarif Usman, selalu Buya ini menjadi buah mulut mereka. Kami kalau
sudah duduk bertiga tiga, yaitu Buya Udin, Buya ZAS, Buya HAMKA, kami selalu
bernyanyi, berlagu Pariaman, berlagu baruh (Serantih), dan pernah kami menangis
tersedu-sedu di pengaruhi keindahan alam di Padang Panjang, karena kami melihat
panas pagi pukul 09 dari halaman sekolah Muhammadiyah Guguk Malintang,
menengadah ke arah Bukit Tui.
Buyamu itu dahulu agak pereman, Buya ZAS tidak manantu pelajarannya di
Thawalib, dan Buya Hamka sendiripun sekolah tidak tammat. Tetapi kami mendapat
didikan dari guru kami, Buya AR St, Mansur. Beliaulah yang menimbulkan dan
membuntangkan naik kepribadian kami, sehingga kami layak menjadi pemimpin
kemajuan ummat di Minang dengn perantaraan Muhammadiyah. Niscaya kalian
sekarang mendapati hal yang lebih baik dari pada kami. Sebab kalian sudah
sekolah, sekolahmu sendiri di SMA kalau di zaman dahulu sama dengan HBS atau AMS.
Maka hendaklah kalian lebih berbahagia dari kami dan lebih maju dari kami.
Sedangkan kami yang hanya dengan modal keberanian lagi sanggup, apatah lagi
kalian dengan modal ilmu pengetahuan yang cukup.
Dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT
dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko, tetapi penilaian secara jujur, Sebab
Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak Dr dan ipar konsul (AR St. Mansur),
jadi masih ada dasar, padahal Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya
dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar,
didengar orang bicaranya,diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang
kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres.
Di tahun 1957 (sebelum bergolak) beliau ada datang ke Jakarta, berbuka
puasa di rumah Buya di Kebayoran, ketika itu rambutnya sudah banyak yang putih.
Bagaimana sekarang, Buya belum tahu. Tetapi sudah terang sebagai buya HAMKA
juga, sudah sama-sama mulai patut disebut tua, walaupun kami belum mau
menyerah. Bagaimana ummi kalian, bagaimana adik adik asdi, bagamana
keadaan kampong. Berilah Buya khabar. Sudah bolehlah pemuda-pemuda aktif
bergerak seumpama dalam PII atau Pemuda Muhammadiyah ?. Pertanyaan yang
ananda kemukakan untuk Gema Islam, ada diperlihatkan kepada Redaksi kepada
Buya, ah, terlalu tinggi, mengenai jiwa ke jiwa saja. Payah orang menjawabnya
barangkali.
Salam Buya buat Buya Udin itu. Tentu beliau tetap di Kuraitaj, di kampung.
Barangkali Asdi pulang sekolah, terus kembali ke Kuraitaji, bukan ?
Salam Buya ;
HAMKA
Dalam buku Muhammadiyah di di Minangkabau tulisan buya HAMKA, beliau
menulis antara lain “……………Udin salah seorang anak Kuraitaji yang
tidak pernah mengecap bangku pendidikan akhirnya dapat menjadi Bupati……”. Kenapa
buya Udin diunggulkan oleh buya HAMKA, hal ini dapat disimpulkan dari surat
buya HAMKA keputra kelima buya Udin seperti “……………..dan kalau ditimbang-timbang
lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia
muko, tetapi penilaian secara jujur, Sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya
HAMKA anak Dr dan ipar konsul (AR St. Mansur), jadi masih ada dasar, padahal
Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat
Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang
bicaranya,diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun
kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres”. Menurut Hamka, buya Oedin juga memiliki peran penting pasca revolusi kemerdekaan. Selain aktif di
Muhammadiyah, Buya Oedin juga aktif di Masyumi Sumatera Tengah.
Kehebatan Buya Oedin harus diakui, sebagai orang yang tidak makan
sekolahan, mampu menjadi sosok yang sangat diperhitungkan. Tetapi tidak dalam
hal pepatah-petitih. Dalam satu kunjungan Buya HAMKA ke Sumatera Barat/Padang
yang didampingi putranya Rusjdi HAMKA, mereka menginap di salah satu ruangan
Mesjid Taqwa Muhammadiyah Padang yang runtuh pada tahun 1974. Karena menginap
di salah satu ruangan mesjid, banyak tamu yang datang. Termasuk Buya Udin,
datang menemui mereka. Seperti biasa mereka awali dialog serius dengan berbalas
pantun. Rusjdi menulis “Diantara tamu-tamu itu, ada almarhum Buya Udin, seorang
pemimpin Muhammadiyah asal Pariaman. Seperti ayah, Buya Udin inipun banyak
simpanan pantun-pantun. Maka, terjadilah berbalas pantun sampai 1 jam.
Tampaknya Buya Udinlah yang letih. “Kalah ambo”, kata Buya Udin. “Ayahmu bukan
hanya hafal pantun-pantun, tapi juga pencipta pantun Minang”, kata Buya Udin ke
saya *).
Persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau melamar ke Pimpinan Pusat
Muhammadiyah di Yogya, agar kongres Muhammadiyah XIX tahun 1930 diadakan di
Minangkabau. Lamaran Persatuan Daerah Minangkabau dapat sambutan hangat dari
Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogya. Penerimaan oleh Pengurus Besar
Muhammadiyah di Yogyakarta terhadap
niatan Muhammadiyah Minangkabau sebagi tuan rumah kongres XIX Muhammadiyah
bukan tanpa alasan. Sebagian dari alasan itu adalah disebabkan saat kongres
XVIII di Solo, utusan Muhammadiyah dari Minangkabau termasuk yang cukup banyak.
Seperti cabang Sungai Batang Tanjung Sani, Padang Panjang, Simabur dan cabang Muhammadiyah Kurai Taji, Demikian menurut HAMKA *)
Karena Minangkabau akan mengadakan perhelatan besar dengan ditunjuknya jadi
tuan rumah Kongres atau setingkat Muktamar sekarang, maka Buya Oedin yang sudah
kental ke Muhammadiyah annya, dihimbau pulang oleh buya Engku Haroun L Maaniy.
Saat itu Buya Oedin sedang berada di Jambi. Buya Oedin yang saat itu sudah
duda, berperan aktif dalam kongres ke-XIX Muhammadiyah di Bukittinggi. Hal ini
terbukti dari realisasi dari hasil kongres tersebut, diadakannya konprensi
Muhammadiyah ke-5 di Payakumbuh, pada tanggal 13-16 juni 1930. Hasil dari
konprensi Muhammadiyah ke-5 tersebut adalah dibubarkannya persatuan
Muhammadiyah Daerah Minangkabau dan menetapkan pengurus baru Muhammadiyah
Sumatera Tengah dengan struktur kepemimpinan sebagai berikut : Konsul : Buya AR
ST Mansur. Sekretaris Abdullah Kamil, wakil sekertaris merangkap Bendahara
adalah RT Dt.Sinaro Panjang dengan anggota SY Sutan Mangkuto, Oedin, Ya’coeb
Rasyid dan Marzuki Yatim. Setahun sebelum itu, Buya Oedin bersama-sama dengan H. Sd. M .Ilyas,
HM. Noer, H.Haroun L Ma’any, M. Luthan dan lain-lain, mempelopori berdirinya
Muhammadiyah di Kurai taji yang resmi berdiri pada 25-10-1929. Muhammadiyah
Kuraitaji adalah Muhammadiyah ke tiga setelah Bukittinngi dan Padangpanjang.
Proses perkembangan Muhammadiyah Kurai
Taji menurut Fikrul Hanif, bermula dari usaha yang dilakukan oleh Sd. M. Ilyas
yang selanjutnya direspon oleh eks murid-murid Tuanku Hitam Ketek, yakni Haji
Harun el-Maany, Buya Oedin, termasuk juga Kasim Munafy*). Masuknya Muhammadiyah ke Kuraitaji dibawa langsung oleh putera daerah Kuraitaji
sendiri yang sebelumnya sengaja pergi ke Yogyakarta untuk mempelajari
Muhammadiyah itu. Beliau adalah H. Sd. M. Ilyas adik ipar Buya Oedin. H. Sd. M.
Ilyas sendiri adalah bapak mertua Dr. H. Tarmizi Taher yang pernah menjabat
sebagai Menteri Agama masa Presiden Soeharto. Setelah konprensi Muhammadiyah,
kesibukan Oedin bertambah-tambah. Oedin aktif
mensosialisasikan hasil kongkes XIX Muhammadiyah dengan ‘turbanya’ Beliau ke daerah-daerah yang
akan mendirikan Muhammadiyah. Antara lain bersama dengan M.Luth Hasan Beliau
memberikan petunjuk kepada Syarah Jamil dkk, untuk mendirikan Muhammadiyah
sampai diresmikanya, yaitu di Koto tinggi daerah Pakandangan.
Mendirikan Ranting Muhammadiyah Sei. Sarik Malai, Sei. Limau*)
Tahun 1935 Buya Oedin dan kawan-kawan mendirikan Muhammadiyah di Sungai
Sarik Malai. Setelah ada kesepakatan dengan beberapa kader Muhammadiyah dari
Sei. Sarik Malai Buya Oedin didampingi M. Luth Hasan dengan menaiki bendi
kepunyaan Ajo Kundang berangkat ke Sei. Sarik Malai. Mereka sampai di sana
menjelang Maghrib, di rumah Bang Bisu salah seorang sponsor penggagas
berdirinya Muhammadiyah Ranting Sungai Sarik Malai. Ternyata kedatangan
rombongan sudah ditunggu oleh beberapa tokoh adat, ninik mamak Nagari Malai V
Suku. Begitu pelana kuda bendi di lepas, terjadilah dialog antara ninik mamak
Nagari Malai V Suku dengan Buya Oedin. Intinya para ninik mamak menolak
Muhammadiyah didirikan di Sei. Sarik Malai. Melihat penolakan demikian dengan
tenang Buya Oedin menanggapi bahwa hal itu tidak masalah. “Tidak masalah bagi
kami, Muhammadiyah tidak boleh berdiri di sini. Tapi kami mau beristirahat.
Jelas Buya Oedin. Hal demikian juga tidak membuat senang para ninik mamak.
Mereka juga menolak jika Buya Oedin dan rombongannya harus bermalam di rumah
Bang Bisu itu. Oleh Buya Oedin dijelaskan, bagi kami juga tidak masalah, kemana
para ninik mamak membawa kami untuk bermalam semalam ini, kami dengan senang
hati menurutinya. Cuma kalsu disuruh pulang ia berat bagi kami. Apakah
tuan-tuan tega melihat kuda ini, belum lepas rasa lelahnya setelah menempuh
perjalanan 30 km, belum habis rasa hausnya sudah harus kembali pulang, katanya.
Mendengar argumen yang diberikan Buya Oedin, para ninik mamak yang ada menjadi
terdiam. Mereka akhirnya harus menerima kenyataan. Kuda bendi itu juga makhluk
Tuhan, kuda itu juga perlu istirahat. Tapi mereka tetap tidak beranjak. Mereka
tetap menunggui Buya Oedin dan rombongan. Hari semakin larut. Tapi para ninik
mamak tetap tidak beranjak dari depan rumah Bang Bisu. Kalau begitu, baiklah.
Silahkan engku-engku yang berasal dari Kurai Taji menginap di rumah Bang Bisu sini, namun untuk mendirikan Muhammadiyah dalam pertemuan orang
ramai, tidak dapat kami benarkan. Nanti malam, seetelah selesai makan minum dan
sholat Isya, semua harus tidur dan matikan lampu. Begitu segala sesuatunya,
makan minum dan sholat Isya sudah mereka laksanakan para ninik mamak tetap
tidak beranjak. Sampai akhirnya Buya Oedin berkata, bahwa mereka akan tidur dan
lampu segera dimatikan. Tapi kami merasa tidak enak, sementara para ninik mamak
masih tetap berada di situ. Jadi kami idak berani mematikan lampunya. Baiklah,
matikanlah lampunya kamipun akan segera pulang, ujar mereka. Akhirnya mereka
meninggalkan rumah panggung itu. Sepeninggal ninik mamak, lampu rumah
dimatikan. Beberapa tetamu yang
mendukung kelahiran Muhammadiyah mengambil posisi berbaring di ruang tengah
rumah panggung berlantai papan itu. Dengan suara setengah berbisik Buya Oedin
memulai pembicaraan, “Nah saudara-saudara, kita sudah sama mendengarkan perkataan ninik mamak tadi, Muhammadiyah
tidak boleh didirikan di negeri kita Sei. Sarik Malai ini, bukan ?. Bagaimana dengan
kita ?. Setuju atau tidak Muhammadiyah didirikan ?. Serentak mereka yang
berhadir menjawab, Setuju engku !. Perkara dengan ninik mamak, perkara
belakangan. Baiklah, sudah bulat kata kita itu kan. Ke bukit sama mendaki, ke
lurah sama menurun, bagaimana ?. Iyaaaa,
Jawab mereka serentak. Kemudian Buya Oedin mengetuk lantai papan itu tiga kali
seperti lazimnya dalam rapat-rapat Muhammadiyah seraya berkata. “Besok kami
kembali ke Kurai Taji. Sepeninggal kami, pasang plank merk Muhammadiyah Sei.
Sarik Malai di muka rumah ini. Siapa yang berani menurunkan itulah lawan kita,
sambungnya. Bagaimana perkara selanjutnya, akan kita urus belakangan.
Demikianlah, sekembali dari Sei. Sarik Malai dipagi itu, bendi dikelolakan
ke pekarangan rumah tuan Kontler yang waktu itu tuan kontlernya adalah tuan
Kator, seorang pejabat Pemerintah Belanda yang cukup ramah dan kenal baik
dengan Buya Oedin. Melihat dipagi hari ada bendi yang masuk ke pekarangan
rumahnya, tuan Kator sengaja keluar untuk memperhatikan. Jelas terlihat olehnya
di atas bendi itu Buya Oedin dan Muh. Luth Hasan dari Pimpinan Cabang
Muhammadiyah Kurai Taji yang telah lama Beliau kenal. Beliau menegur lebih
dahulu, “Hai Engku Oedin, kok masih pagi begini sudah datang ke mari, ada apa
gerangan ?” Buya Oedin menjawab, Iya tuan, ini khabar baik saja, ada satu peristiwa
tadi malam di Sei. Sarik Malai, wilayah asisten Demang Sei.Limau yang perlu
segera sampaikan kepada Tuan. “Nah baiklah, kita duduk di serambi rumah. Hari
masih pagi, tak usah di kantor”. Setelah mereka sama duduk di serambi muka
rumah tuan Kontler, maka Buya Oedin menceritakan semua peristiwa yang terjadi
kemaren dan akhirnya juga menceritakn
bahwa Muhammadiyah Sei. Sarik Malai sudah berdiri. Tadi malam, dalam situasi tidur tanpa cahaya
lampu yang menerangi sudah diketokkan palu pertanda SAHNYA KEPUTUSAN BERDIRI itu
degan memukul lantai dan juga sudah saya perintahkan untuk menaikkan plank merk
Muhammadiyah itu sepeninggal saya. Sekarang terserah sama Tuan.
Mendengar cerita Buya Oedin itu tuan Kontler berkata,, “Ninik mamak Sei.
Sarik Malai melarang berdirinya Muhammadiyah ?. Sedangkan untuk Muhammadiyah itu bagi wilayah Hindia
Timur seluruhnya telah DIBERI IZIN oleh Gubernur Jenderal Wakil Kerajaan
Belanda di sini. “Tapi, biarlah Engku Oedin, saya akan menyelesaikan soal ini dengan Beliau Ninik Mamak itu, Engku Oedin terima
selesainya”. “Dalam minggu ini juga akan
saya panggil semua Ninik Mamak Sei.
Sarik Malai itu untuk menghadap saya”.
Keesokan harinya, tuan Kontler Kator menelepon ke kantor Asisten Demang di
Sungai Limau. Dia memerintahkan Asisten
Demang memanggil semua Ninik Mamak Sei.
Sarik Malai agar hadir di kantor Asisten Demang
Sei. Limau pada hari Minggu pekan itu juga. (Dapat dijelaskan Dalam masa
pemerintahan Belanda untuk wilayah ke
Asisten Demang di Sei. Limau (Asisten Distrik) kantor itu tetap dibuka. Untuk
memudahkan pegawai-pegawai negeri dari negeri-negeri yang berada di sekitarnya
berurusan ke kantor Aisten Demang, berkebetulan hari Minggu adalah hari pekan.
Hari aktivitas pasar menggeliat. Transportasi bendi banyak tersedia.
Pada hari Minggu yang telah ditetapkan , pagi hari Ninik Mamak Sei. Sarik
Malai sudah hadir di kantor Asisten
Demang Sungai Limau menanti kedatangan tuan Kontler, tuan Kator dari Pariaman.
Sekitar pukul 09.00 pagi tuan Kontler datang dan langsung masuk melalui serambi
depan kantor itu dan melihat para Ninik Mamak Sei. Sarik Malai sudah
berkumpul.. Sambil berjalan naik dan
terus Masuk ke ruang kantor di mana Asisten Demang sudah menunggu, tuan Kator
berkata, “He...Ninik Mamak Sei. Sarik Malai yang MELARANG BERDIRINYA
MUHAMMADIYAH itu sudah datang semua ya...”. Beliau terus masuk ke kantor
Asisten Demang. Kira-kira 5 menit kemudian kembali keluar dan menghadapi para
Ninik Mamak yang kelihatan gelisah. Setelah Beliau duduk, Kapalo nagari Sei.
Sarik Malai sebagai pimpinan rombongan mengacungkan tangan, isyarat meminta
izin untuk berbicara. Melihat itu, tuan Kontler mempersilahkannya untuk
berbicara.
“Tuan !, saya minta bicara terlebih dahulu
kepada Tuan dan supaya diberi maaf kalau ada bicara saya yang salah.
Tuan tadi sambil berjalan memasuki kantor ini ada mengatakan ‘KAMI NINIK MAMAK
SEI. SARIK MALAI MELARANG BERDIRINYA MUHAMMADIYAH”. Itu salah tuan. Itu tidak
benar. MUHAMMADIYAH telah berdiri di Sei. Sarik Malai. Lihatlah oleh tuan ke
situ, plank mereknya telah dinaikkan. Jadi ada kemungkinan orang memberikan laporan salah kepada tuan”,
ujarnya.
“Heh, benarkah begitu ?. Kalau begitu jadinya, benarlah salah laporan yang
saya terima itu. Dan, inilah kedatangan saya ini hari untuk memberi tahu Ninik
Mamak Sei. Sarik Malai, bahwa di
mana-mana MUHAMMADIYAH diberi izin oleh
Tuan Gubernur Jenderal, wakil Kerajaan Belanda untuk Hindia Belanda ini. Kok
Ninik Mamak Sei. Sarik Malai sampai berani melarangnya. Kalau benar sudah
berdiri, berarti sudah tidak ada masalah dengan Ninik Mamak lagi, dan sekarang
pertemuan ini saya tutup, dan Ninik Mamak boleh bubar dan pulang kembali.
Disamping kegiatan Beliau tersebut, dengan surat
No.18/m-37 Cabang Muhammadiyah Padang Panjang, Daerah Minangkabau, tertanggal
12 Zulkaedah 1356 H bertepatan dengan 26 Januari 1937, hasil keputusan
konsprensi wilayah ke-4 di Solok, Oedin ditunjuk sebagai ketua dua. Lengkapnya
surat tersebut :
Tjabang Moehammadijah Padang Pandjang, Daerah Minangkabau
Padang Pandjang 12 Zulkaedah 1355/26 Janwari 1937
No 18/m-37
Lampiran..................
Dari hal keanggotaan menjadi Anggota pengoeroes Moehammadijah
tjabang P. Pandjang
Assalamoe’alaikoemm w.wb.
Moedah2anlah kiranya Toehan swt akan tetap memberikan
rahmanijat dan rahimiyatnya kepada engkoe sampai pada haripembalasan nanti.
Dengan segala hormat :
Mendjoenjoeng tinggi janji boenji kepoetoesan Algemenever
Gadering Persjerikatan Moehammadijah dalam wilajah Padang Panjang pada
Conferentie wilayahnya ke 4 di Solok pada 31 Dec. 36 djalan 1 Djanwari 37,
vergadering mana telah mengambil kepoetoesan menetapkan (……………………….) diri
mendjadi anggota pengoeroes tjabang Moehammadijah Padangpandjang boeat tahoen
1937 sampai tahoen 1939 dengan 232 suara.
Dan menoeroet poetoesan tjabang vergedering pada petang
Ahad malam senen/isnen ddo 24 djalan 25 djanwari 1937, kami telah tetapkan
djabatan engkoe dalam badan pengoeroes tjabang, ialah menjadi :
Ketoea Doea
Ketoea Doea
Maka kami selakoe pengoeroes tjabang Moehammadijah
Padangpandjang mentanfidhkan kepoetoesan ini kapada engkoe, tidak lain hanyalah
mengharap dengan sepenoehnya, moedah2an djabatan dan keanggotaan ini dapat
engkoe terima dengan amat baek sekali dan engkoe dapat memegang djabatan
terseboet dengan mengingat boenji Statuten dan Reglement kita (Moehammadijah).
Kemoedian kami atoerkan selamat bekerja dan selamatlah
kita serta kaoem moeslimin sekalian adanya. Salam dan hormat pengoeroes tjabang
Moehammadijah Padang Pandjang
DeVoorzitter Seketaris
Kehadapan jht. Engkoe Oedin dengan selamat Di Padang
Panjang
Surat pengangkatan tersebut, tidak mempunyai nama di bawah De Voorzitter dan Sekretaris, hanya tandatangan dan stempel.
Surat pengangkatan tersebut, tidak mempunyai nama di bawah De Voorzitter dan Sekretaris, hanya tandatangan dan stempel.
(Sementara (.........) dalam tanfidh di atas karena
dokumen resminya koyak, jadi ada beberapa kata tidak terbaca).
Berikut dokumen asli tanfidhz yang bertahun 1937
Dari catatan – catatan/dokumen resmi yang ada pada
penulis, kelihatan bahwa bagi pengurus Muhammadiyah yang tidak mempunyai
penghasilan tetap, biaya rumah tangga ditanggung oleh persyarikatan. Hal ini
penulis ketahui dari lembaran yang berbunyi seperti di bawah ini
Keterangn Penerimaan Biaya Consul dalam Conferentie ke – 12 di Padang
Masoek :
1. Dari biaya consul f 183,50
2. Potongan dari Madjlis Sjoera f 97,50
Totaal f 281,-
(doea ratoes delapan poeloeh satoe roepiah)
Keloear
1. Bajar Biaja M.Sjoera jg terpakai tahoen 1936 f 46,50
2. Bidoek boeat e. S. Soetan Mansoer 12,-
3. Boeat H. Aboe Samah 2,50
4. Anwar Rasjid katja mata 3,00
5. Rasjidah Rasjid ongkos kembali ke P.P dari Padang 1,50
6. Ja’coeb Rasjid 5,-
7. Gadji pegawai mengerdjakan penerimaan biaja 3,-
8. Roemah tangga Oedin 25,-
9. Roemah tangga Soetan Mangkoeto 25,-
10. Roemah tangga A. Kamil 20,-
11. Roemah tangga Rasyid Idris 15,-
12. Bajar sewa Consulaat Oct t/m Dec 36 dan makanConsul
di Int. 50,-
13. Bajar oetang sama Nasjroeddin 5,25
14. Bajar soesoe Fathamah Kariem 4,-
15. Toekar anak gadai barang isteri Consul 5,-
16. Beli djawi perahan boeat Consul 40,-
Totaal f 262,75
Saldo di kas 18,25
Totaal f 281
Padang den 28 April 1937
Distorkan oleh Oedin (t.t)
Diterimakan oleh S.St, Mangkoeto wd. Consul (t.t)
Berikut dokumen asli catatan keuangan tersebut :
Dengan demikian, semua pengurus mempunyai banyak
kesempatan untuk mengurus jalannya roda persyarikatan. Dalam hal rapat/
congres, bagaimanapun keadaan dan kondisi badan, kalau menyangkut Muhammadiyah
plus kelangsungan hidup umat, tetap diupayakan untuk menghadirinya.
Oedin dan Bung Karno
Tahun 1941 sebagian sumber menyebut April 1940 di Bengkulu di laksanakan
pertemuan internal Muhammadiyah. Saat itu Presiden I, Soekarno menjadi tokoh
yang diasingkan oleh Belanda. Pengasingan Bung Karno ke Bengkulu disambut plus
dan minus oleh masyarakat. Disebut plus karena banyak capaian-capaian yang
diperoleh warga, khususnya Muhammadiyah. Disebut minus, karena Bung Karno,
tokoh yang diasingkan. Dibuang !. Pengaruh mendengar tausiyah dan pengajian
dari KHA Dahlan dan beberapa tokoh pembaharu, membuat Bung Karno kepingin
bertemu dengan tokoh-tokoh dimaksud. Beliau menyampaikan keinginannya itu dengan
pimpinan Muhammadiyah Bengkulu, Oey Tjeng Hien (H. Abdul Karim). Atas
kesepakatan berbagai pihak dengan melibatkan semua unsur di Muhammadiyah
termasuk Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) yang saat itu WMPM Bengkulu diketuai oleh Semaun Bakrie *)..
Beberapa hari menjelang dimulainya konperensi, masyarakat Bengkulu gempar.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah berdatangan dari seluruh pelosok Sumatera, termasuk
ketua Pengurus Besar Muhamadiyah KH Mas Mansur. Oedin hadir sebagai utusan
mewakili Muhammadiyah Minangkabau tepatnya Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah
Minangkabau.
Resepsi pembukaan konperensi Daeratul Kubra dilaksanakan di Bioskop Royal.
Gedung besar itu melimpah sampai keluar. Sebagai tuan rumah, H. Abdul Karim
(Oey Tjeng Hien) membuka acara. Pada waktu akan memilih ketua sidang, Oey Tjeng
Hien meminta masukan dari peserta siapa yang akan memimpin sidang-sidang
berikutnya. Atas saran peserta, terpilih Udin (Syamsudin) dari Sumatera Barat.
Sebagai tokoh yang dibuang oleh Belanda, sebagian peserta menolak kehadiran
Bung Karno dipersidangan. Lebih-lebih beberapa saat sebelum sidang dimulai,
Soekarno ditahan oleh Belanda. Tetapi atas penjelasan Buya Oedin kenapa Bung
Karno dibuang, akhirnya peserta yang menolak kehadiran Bung Karno dapat
menerimanya. Mendengar penjelasan Buya Oedin, Bung Karno merasa mendapat
perlindungan. Bahkan oleh Buya Oedin, Bung Karno ditunjuk sebagai sekretaris
sidang. Bung Karno sempat berucap, “Selama Bung Bung Oedin menjadi pimpinan
sidang, saya bersedia menjadi sekretarisnya”. Beberapa kali sidang dalam
konperensi Daeratul Kubro itu, beberapa kali Buya Oedin jadi pimpinan sidang,
selama itu pula Bung Karno jadi sekretarisnya.
Catatan : Penggunaan nama Udin Syamsuddin tercantum dalam buku Napak Tilas
Sejarah Muhammadiyah Bengkulu (Membangun Islam Berkemadjuan di Bumi Raflesia,
tulisan Salim Bella Pilli dan Hardiansyah halaman 119 mengambil sumber dari
Buku Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa.
Sahabat Karib Bung Karno. H. Abdul Karim (Oey Tjeng Hien) halaman 71. Penulis
sendiri, sebelum membaca kedua referensi di atas, sudah pernah mendengar cerita
ini dari Buya. Penulis konfirmasi ke Buya RB Khatib Pahlawan Kayo (mantan ketua
PWM Sumatera Barat, perihal keberadaan tokoh Udin Syamsudin. Beliau tidak
pernah mendengar nama itu untuk Muhammadiyah di Sumatera Barat. Beliau juga
pernah mendengar kisah Oedin menjadi pimpinan sidang dimana Bung Karno menjadi
sekretarisnya, dari tokoh Muhammadiyah Padang Pariaman, Kasim Munafy.
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh ketua MUI Padang Pariaman H. Johar
Muiz dalam kesempatan memberikan kata sambutan saat penguburan putera bungsu
Buya Oedin, Soemarman Oedin SH di Simpang Kurai Taji, Pariaman beberapa tahun
lalu.
Pada tahun 1944 Bung Karno dipindahkan dari Bengkulu ke Jakarta, untuk berangkat
ke Jakarta Bung Karno dibawa terlebih dahulu ke Padang. Di Padang Bung Karno
dibantu oleh Buya Oedin untuk mengurus keberangkatannya. Buya Oedin menemui
pembesar Jepang, untuk meminjam mobil. Usaha Buya Oedin berhasil yaitu dapat
pinjaman mobil untuk membawa bung karno ke Palembang dan dari palembang akan
terus ke Jakarta *).
Dalam satu kesempatan beberapa tahun setelah itu, Oedin pernah diundang
kekediaman Beliau. Terjadi dialog antara keduanya.
Oedin : “Kalau yang mengundang Presiden, saya
takut. Karena kediamannya banyak pengawalnya”
Soekarno : “Jangan begitu Bung, Yang
mengundang Bung ini, sekretaris Bung ketika di Bengkulu dulu”.
(Dalam satu acara Muhammadiyah, Soekarno, Buya AR. Sutan Mansur dan Oedin/Baris
Belakang)
Ketika AR Sutan Mansur mengemban amanah menjadi Wakil Pengurus Besar
(Muhammadiyah) untuk wilayah Sumatera tahun 1942, jabatan konsul diserah
terimakan kepada SY Sutan Mangkuto didampingi oleh ahli-ahli musyawarah seperti
Hitam Sutan Mudo, Abdullah Kamil, Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA),
Rasyid Idris Datuk Sinaro Panjang, Oedin dan seorang wanita *)
Sebagai anggota
Majelis Konsul Muhammadiyah Buya Oedin ditugaskan oleh Pengurus Muhammadiyah Minangkabau
untuk menghadiri pertemuan Muhammadiyah
di Malang. Beliau ditugaskan sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah
Minangkabau (WMPM). Sewaktu mengikuti kongres inilah Oedin berkenalan dengan
Soedirman yang saat itu menjabat sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah
(WMPM) Banyumas yang kemudian menjadi Bapak TNI Jenderal Soedirman. Karir
Soedirman di Muhammadiyah diawali dengan keaktifannya di Hizbul Wathan. Perkenalan
ini semakin erat karena mereka seia sekata dalam rapat. Bahkan dalam satu
kesempatan, mereka Walk Pertemuan dengan Pangsar Soedirman berlanjut
saat diadakankan kongres Pemuda di Yogyakarta. Pada tanggal 10 Nopember
1945 Buya Oedin bersama Bagindo Aziz Chan menghadiri kongres pemuda, beliau
hadir sebagai Wakil Pemuda Muhammadiyah Minangkabau. Kongres diadakan di
Yogyakarta. Hadir dalam kongres antara lain Bung karno dan Bung Hatta. Kongres
dihadiri oleh lebih kurang 300 orang pemuda Indonesia. Pada akhir kongres
dipimpin oleh Buya Oedin dan kongres dapat berjalan dengan lancar dengan pokok
pembicaraan menghadapi masalah “Surabaya”. Sewaktu akan menutup kongres jam 5
pagi Oedin berpantun : “Lancang kuning berlayar malam/angin ribut
haripun kelam/kalau nahkoda paham tak dalam/dipinggir pantai kapal
tenggelam”. Tanggal 11 November, Oedin
berkesempatan berbicara didepan pertemuan wanita-wanita di Yogyakarta yang
intinya membangkitkan semangat para kaum hawa untuk turut berjuang dengan cara
membagi bagikan nasi bungkus kepada para pejuang. Hasilnya para ibu/wanita
tersebut menyumbangkan nasi bungkus untuk dibwa ke Surabaya. Selama 1
minggu Oedin di Yogya, setiap jam 1 siang selalu dijemput
Panglima Soedirman untuk makan siang. Dalam satu kesempatan kunjungan Buya Oedin ke
Jakarta, disaat Beliau bersepeda dengan santai. Tiba-tiba sebuah mobil sedan
memepet sepeda Buya Oedin ke pinggir. Hal tersebut, mengharuskan Buya Oedin
turun dari sepedanya dan mengangkatnya ke trotoar. Dari mobil sedan itu, turun
seorang laki-laki seusia Buya Oedin. Terjadi dialog diantara keduanya : “Bung
kenal dengan saya ?” Tanya laki-laki yang turun dari mobil. “Kenal”, Jawab Buya Oedin. “Siapa ?” “Bung
Soedirman” “Bukan,
bukan, Tapi Jenderal Soedirman” Buya Oedin mengulang pertanyaan orang itu. “Bung kenal dengan saya ?”
“Kenal”, “Bung Oedin”. “Bukan, bukan Saya WMPM Minangkabau”.
Mereka terbahak. Mereka berangkulan. “Sekarang kita ke rumah”, “Saya undang
Bung makan di rumah saya” “Sekarang juga”. “Tapi, saya takut, kalau Jenderal yang
mengundang”. “Jangan begitu Bung” “Yang
mengundang Bung ini WMPM Banyumas”, kata laki-laki itu yang ternyata memang
Panglima Besar TNI, Soedirman. “Bagaimana dengan sepeda ini”, tanya Buya Oedin. “Itu perkara gampang” Tambah laki-laki itu”.
Seperda itu sempat jadi rebutan diantara pedagang yang menyaksikan itu.
Akhirnya sepeda itu dititpkan sama seorang china yang tokonya persis di tempat
kejadian. Penghormatan besar bagi china itu, mendapat titipan sepeda dari
seorang Panglima Besa TNI, dari Jenderal Soedirman. Begitu mobil masuk
pekarangan rumah yang dituju, Soedirman berkata, “Ini dia, ini dia orangnya !”
“Bung Oedin dari Pariaman, dari Minangkabau”. Teriak Soedirman kepada isterinya.
Ternyata Soediriman pernah bercerita dengan isterinya perihal sosok Buya Oedin.
Akan mendirikan
Hizbullah. Pada tahun 1944 Buya Oedin bermaksud akan
mendirikan organisasi Hizbullah bersama sama dengan teman temannya. Maksudnya
ini dibicarakan terlebih dahulu dengan pembesar Jepang, dengan hasil bahwa
Jepang tidak dapat menyetujui berdirinya Hizbullah Pada saat itu isteri Buya
Oedin sedang hamil tua. Karena keadaan isterinya sudah hamil tua Buya Oedin
pulang ke rumah isterinya di Kurai taji. Setelah beberapa hari di rumah
isterinya maka isterinya melahirkan anak laki laki. Oleh karena usahanya gagal
untuk mendirikan organisasi maka nama organisasi itu dinamakannya pada anak
yang baru lahir. Setelah beberapa hari anak Buya Oedin lahir maka Buya Oedin
berangkat kembali ke Padang Panjang. Sesampai di Padang Panjang bertemu dengan
temannya AR Sutan Mansur, dan dikatakannya bahwa di Kurai taji sudah ada
Hizbullah. AR Sutan Mansur kaget. Buya AR Sutan Mansur mendesak apakah benar
saudara sudah mendirikan Hizbullah di Kurai taji ? Buya Oedin menjawab : “Betul
di Kuraitaji sudah ada Hizbullah”, yaitu anak saya yang baru lahir dinamakan
Hizbullah. (Hizbullah Oedin adalah anak ke enam Buya Oedin dengan Rafiah
Ja’afar).
Periodeisasi
Keterlibatan Oedin dalam Muhammadiyah *)
:
Pengurus Majlis
Consul Hoofdbestuur Muhammadiyah Minangkabau (Periode 1930-1942)
Consul Hoofdbesteur : AR. Sutan Mansur Sekretaris Majlis
Consul : Abdullah Kamil Wakil Sekretaris/ Bendahara : RI Datuk Sinaro Panjang Anggota :
SY Sutan Mangkuto, Oedin, Ja’cub Rasjid, Marzuki Yatim, HAMKA, A.Malik Ahmad, Samik
Ibrahim, H. Haroun L’ Ma’any, I. Zulkarnaini
Dalam buku
Muhammadiyah Minangkabau (Sumatera Barat) Dalam Perspektif Sejarah tulisan Drs.
H. RB. Khatib Pahlawan Kayo dan Drs. H. Marjohan MM di halaman 304 di bawah
susunan kepengurusan di atas ada catatan 1. Pengesahan PB Muhammadiyah sulit
dilacak !. (Alhamdulillah,
Penulis sendiri masih menyimpan tanfidz SK tersebut yang penulis kutip utuh di
atas).
Pimpinan Perwakilan
Muhammadiyah Sumater Tengah Periode 1956-1958
Ketua : H. A. Malik Ahmad Ketua I :
Oedin Ketua II :
R. I. Dt. Sinaro Panjang Sekretaris : Mahmud Yatim Anggota : Iskandar Zulkarnaen, H. Sd. M. Ilyas, Nur Yunus, Duski
Samad, Darwis Thaib, H. Haroun L’ Ma’any, A. Malik Sidik, Baidarus Muhammad,
Syarbaini Karim, Diniyah Sidik, Hasan Ahmad, Zubir Wahid, Sudin St. Bagindo
Pimpinan Muhammadiyah
Wilayah Sumatera Barat Periode 1969-1972
Ketua : HAK Dt. Gunung Hijau Wakil Ketua I : Oedin Wakil Ketua II: Drs. Djam’an
Shaleh Wakil Ketua III : Zainuddin Zen Sekretaris I : H. M. Idris Manaf Sekretaris II : M. Daris BA Bendahara : M. Yusuf Sidin Pengurus di atas dibantu dengan
beberapa pembantu/majelis.
Dari dokumen yang
ada, Pusat Pimpinan Muhammadijah mengirim surat kepada 10 orang tokoh Muhammadiyah termasuk Udin. 9
tokoh tersebut adalah HS Daeng Muntu,
SJS St. Mangkuto, KH Mas Masjhur Azhari, Ja’cub Rasjid, Oei Tjing Hien,
Marzuki Jatim, Sami’ Ibrahim, Djalil Abdillah dan M. Rasjid Thalib. Surat
bernomor 306/I-C/UB-Pers/PM, perihal Sambutan Nota tertanggal 23 Sja’ban
1376/25 Maret 1957. Lengkapnya sebagai berikut,
Assalamu’alaikum ww. Wa ba’du.
Dengan ini kami permaklumkan bahwa Nota saudara-saudara tertanggal 20 Maret
1957 jang disampaikan oleh wakil saudara-saudara, sdr. SJS St. Mangkuto dan Oey
Tjing Hien telah kami terima pada hari Senin tg : 25 Maret 1957 dalam satu
pertemuan dari anggauta-2 Pusat Pimpinan Muhammadijah mulai djam 11.30 sampai
djam 13.00. di Kantor Pusat Pimpinan Muhammadijah. Setelah nota tersebut didjelaskan oleh sdr SJ
St Mangkuto jang disambunge oleh sdr. Oei Tjing Hien, maka kesemuanja itu
mendapat sambuttan dan perhatian jang semestinja. Semua pandangan jang
disampaikan oleh kedua wakil saudara mengenai keketjewaan dan kelemahan-2
potensi Persjarikatan kita Muhammadijah pada umumnja dan Pusat Pimpinan pada
chususnja, adalah sedjalan dengan apa jang terasa dan terfikir didalam Pusat
Pimpinan Muhammadijah. Selanjutnja dalam pertemuan tersebut,
sama-2 diinsjafi bahwa tidaklah tjukup semata-2 hanja diketahui serba
kekurangan dan kelemahan jang ada dalam
Persjarikatan Muhammadijah dan pimpinannja, tetapi sesungguhnja sesudah itu jang sangat perlu dipikirkan dan
diusahakan ialah mentjari djalan keluar
untuk mengatasinja. Bagi Pusat Pimpinan sendiri soal itu senantiasa adalah
merupakan soal jang terpenting dalam perhatiannja, dan sudah diusahakan untuk
mengatasinja dengan berbagai-2 djalan dan tjara, tetapi kiranja belumlah lagi
mendapatkan hasil jang memuaskan, karena sering dan selalu terbentur pada
kekurangan tenaga uang dan tenaga manusia. Maka dari itu, kepada wakil saudara-2 dan
djuga dengan ini kami sampaikan kepada saudara-2 pengharapan kami jang sangat
dan sungguh-2, kiranja saudara-2 dapat membuat satu perumusan jang merupakan
konsepsi jang konkreet untuk mengatasi
serba kekurangan dan kelemahan Muhammadijah sebagaimana jang telah
saudara-2 simpulkan dalam pertemuan saudara-2 pada tg :20 Maret 1957 itu, jang
selandjutnja dapat kita bitjarakan sebaik-2nja menurut kebidjaksanaan dan
saluran jang semestinja, dengan memilih waktu dan tempat jang setepat-tepatnja.
Dalam hal ini, dalam pertemuan tersebut ada satu hal jang benar-2 menarik dan
mendjadi perhatian kami, ialah pendjelasan dari wakil saudara-2, sdr SJS St.
Mangkuto dalam menerangkan kemungkinan kelandjutannja fasal 3 dari nota
saudara-2 itu, jang oleh sdr. SJS St. Mangkuto ditandaskan bahwa kebidjaksanaan
jang akan diambil itu antara lain meisalnja dengan : 1. Mendirikan satu
organisasi baru lagi. 2. Bertindak dengan nama
Muhammadijah, tetapi akan melepaskan hubungan
dengan Pusat Pimpinan Muhammadijah. Demikianlah sambutan kami atas nota
saudara-2 itu, moga-2 mendjadi maklum adanja, dan berman faat
jang sebsar-besarnja.. Kemudian kami doakan mudah-mudahan
Allah SWT selalu memberi hidajat dan taufiq kepada kami dan saudara-2 sekalian.
Amien. Wassalam, Atas nama Pusat Pimpinan Muhammadijah
Oedin dan
Pergerakannya Dalam Pergerakan Kemerdekaan RI (Riwayat Pekerjaan Beliau)
Tahun 1945
Bulan September memberikan pengertian kepada
rakyat tentang proklamasi 17 Agustus 1945 , dan tanggung jawab sebagai bangsa
yang merdeka tentang proklamasi itu, ini dikerjakan oleh Muhammadiyah Daerah
Minangkabau saya memegang pimpinan pemuda (WMPM) Wakil Majelis Pemuda
Muhammadiyah. Bulan Oktober
turut mengadakan konferensi Pemuda daerah Minangkabau di Padang dengan acara
“Menyatukan langkah pemuda” untuk membela kemerdekaan yang telah
diproklamasikan oleh dua orang pemimpin besar Bung Karno dan Bung Hatta dan
membicarakan utusan untuk menghadiri kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta
tanggal 10 November 1945.
Bulan November tanggal 01 utusan kongres berangkat dari Padang Panjang dengan mobil via Tanjung Karang, saya turut dalam rombongan itu. Tanggal 08 November pagi kami selamat sampai di Yogya. 10 November kongres Pemuda Indonesia I dibuka. Duduk di meja pimpinan saudara-saudara : Soepardo, Chaerul Saleh, Wikana dan lain-lain. Kongres menyatukan tujuan perjuangan Pemuda se Indonesia dengan membentuk Badan Kongresive Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Saya terpilih duduk dalam badan itu mewakili Pemuda Andalas begitu pula Saudara Soepardo dan Chaerul Saleh. Kongres dapat berlangsung hanya 1 malam karena Surabaya di gempur oleh Belanda dan sekutu. Pemuda Surabaya yang hadir dalam kongres dipanggil pulang oleh Pak Gubernur, kalau tidak keliru waktu itu Pak Soewirjo, tanggal 10 November dijadikan Hari Pahlawan. (Pada tanggal 10 Nopember 1945 Oedin bersama Bagindo Aziz Chan menghadiri kongres pemuda, beliau hadir sebagai wakil pemuda Muhammadiyah Minangkabau. Kongres diadakan di Yogyakarta. Hadir dalam kongres antara lain Bung karno dan Bung Hatta. Kongres dihadiri oleh lebih kurang 300 orang pemuda Indonesia. Pada akhir kongres dipimpin oleh Oedin dan kongres dapat berjalan dengan lancar dengan pokok pembicaraan menghadapi masalah “Surabaya”. Suatu akan menutup kongres jam 5 pagi Oedin berpantun : “Lancang kuning berlayar malam/angin ribut haripun kelam/kalau nahkoda paham tak dalam/dipinggir pantai kapal tenggelam”. Tanggal 11 November, Oedin berkesempatan berbicara didepan pertemuan wanita-wanita di Yogyakarta yang intinya membangkitkan semangat para kaum hawa untuk turut berjuang dengan cara membagi bagikan nasi bungkus kepada para pejuang. Hasilnya para ibu/wanita tersebut menyumbangkan nasi bungkus untuk dibwa ke Surabaya *). Nah disinilah seninya. Buya Oedin seorang tokoh outodidak seangkatan Buya AR . St. Mansur , ketika memimpin rapat Pemuda se Indonesia di Yogyakarta tahun 1947, berpantun “Lancang kuning berlayar malam - Hari hujan malampun kelam - Bila Pemimpin berpaham tak dalam - Di pinggir Pantai kapal tenggelam *. Sesudah kongres urusan selesai saya kembali, 10 hari terkepung di Jakarta, tanggal 25 Desember baru sampai di Padang Panjang.
Tahun 1946. Januari s/d April mengadakan rapat-rapat dengan mendatangi negeri negeri menyampaikan putusan kongres Pemuda Indonesia I, menyatukan langkah Pemuda sebagaimana keputusan kongres.
Tanggal 06 Mei saya dilantik di Padang oleh Residen Dr. Jamil, menjadi Ketua Dewan Polisi Sumatera Barat dengan tugas memberi semangat kepada seluruh kepolisian kita. Dewan ini berjalan sampai 1947. (Pada waktu Perintis Kemerdekaan Oedin akan pulang diberi tugas oleh Panglima Soedirman sebagai Penasihat Panglima Sumatera di Bukit Tinggi. Penunjukkan itu dengan surat yang dibuat sendiri Panglima Soedirman *).
Bulan November tanggal 01 utusan kongres berangkat dari Padang Panjang dengan mobil via Tanjung Karang, saya turut dalam rombongan itu. Tanggal 08 November pagi kami selamat sampai di Yogya. 10 November kongres Pemuda Indonesia I dibuka. Duduk di meja pimpinan saudara-saudara : Soepardo, Chaerul Saleh, Wikana dan lain-lain. Kongres menyatukan tujuan perjuangan Pemuda se Indonesia dengan membentuk Badan Kongresive Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Saya terpilih duduk dalam badan itu mewakili Pemuda Andalas begitu pula Saudara Soepardo dan Chaerul Saleh. Kongres dapat berlangsung hanya 1 malam karena Surabaya di gempur oleh Belanda dan sekutu. Pemuda Surabaya yang hadir dalam kongres dipanggil pulang oleh Pak Gubernur, kalau tidak keliru waktu itu Pak Soewirjo, tanggal 10 November dijadikan Hari Pahlawan. (Pada tanggal 10 Nopember 1945 Oedin bersama Bagindo Aziz Chan menghadiri kongres pemuda, beliau hadir sebagai wakil pemuda Muhammadiyah Minangkabau. Kongres diadakan di Yogyakarta. Hadir dalam kongres antara lain Bung karno dan Bung Hatta. Kongres dihadiri oleh lebih kurang 300 orang pemuda Indonesia. Pada akhir kongres dipimpin oleh Oedin dan kongres dapat berjalan dengan lancar dengan pokok pembicaraan menghadapi masalah “Surabaya”. Suatu akan menutup kongres jam 5 pagi Oedin berpantun : “Lancang kuning berlayar malam/angin ribut haripun kelam/kalau nahkoda paham tak dalam/dipinggir pantai kapal tenggelam”. Tanggal 11 November, Oedin berkesempatan berbicara didepan pertemuan wanita-wanita di Yogyakarta yang intinya membangkitkan semangat para kaum hawa untuk turut berjuang dengan cara membagi bagikan nasi bungkus kepada para pejuang. Hasilnya para ibu/wanita tersebut menyumbangkan nasi bungkus untuk dibwa ke Surabaya *). Nah disinilah seninya. Buya Oedin seorang tokoh outodidak seangkatan Buya AR . St. Mansur , ketika memimpin rapat Pemuda se Indonesia di Yogyakarta tahun 1947, berpantun “Lancang kuning berlayar malam - Hari hujan malampun kelam - Bila Pemimpin berpaham tak dalam - Di pinggir Pantai kapal tenggelam *. Sesudah kongres urusan selesai saya kembali, 10 hari terkepung di Jakarta, tanggal 25 Desember baru sampai di Padang Panjang.
Tahun 1946. Januari s/d April mengadakan rapat-rapat dengan mendatangi negeri negeri menyampaikan putusan kongres Pemuda Indonesia I, menyatukan langkah Pemuda sebagaimana keputusan kongres.
Tanggal 06 Mei saya dilantik di Padang oleh Residen Dr. Jamil, menjadi Ketua Dewan Polisi Sumatera Barat dengan tugas memberi semangat kepada seluruh kepolisian kita. Dewan ini berjalan sampai 1947. (Pada waktu Perintis Kemerdekaan Oedin akan pulang diberi tugas oleh Panglima Soedirman sebagai Penasihat Panglima Sumatera di Bukit Tinggi. Penunjukkan itu dengan surat yang dibuat sendiri Panglima Soedirman *).
Sesampai di Bukittinggi Buya Oedin menemui Panglima di Bukit tinggi dan
memperlihatkan surat yang diberikan oleh Panglima TNI Soedirman. Pembesar
militer di Bukit tinggi yang bertemu berkata : “Sudah dapat pangkat saja” dan dijawab
oleh Buya Oedin :”Saya tidak tahu, ini yang buat adalah panglima
Soedirman”. Pada tahun 1946 Buya Oedin dipanggil oleh Dr. Jamil agar datang ke
Padang menemuinya. Sewaktu pertemuan Buya Oedin dengan Dokter Jamil maka Dokter
jamil menunjuk Buya Oedin sebagai Kepala
Dewan Polisi Sumatera Tengah di Padang. Kemudian pindah ke Bukittinggi karena
sekutu sudah mengadakan penyerangan.
Tahun 1947 Awal Januari
diangkat oleh yang mulia Presiden menjadi anggota KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat), kami berangkat menuju Malang. Rombongan dikepalai oleh Bapak
Mr. Nasroen via Palembang. (Demikianlah, untuk wilayah pemerintahan
Padang-Pariaman ketika itu, salah seorang anggota KNIP yang harus turut hadir
ialah Am. Engku Oedin yang selama ini telah bertugas juga dalam pengukuhan
pemerintahan daerah yang berkedudukan di dalam wilayah kenegarian Sungai
Geringging. Sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat antara wakil militer
Belanda di Pariaman dengan pemerintahan RI, maka pada satu yang ditentukan,
Alm. E. OEDIN dijemput oleh penguasa Belanda ke negeri Basung di dalam wilayah
kecamatan V KOTO KAMPUNG DALAM, untuk
seterusnya diterbangkan ke Yogyakarta dan terus ke Malang *). (Untuk menghadiri sidang KNIP di Malang pada
masa itu, kami bersama dengan Buya Oedin, Karim Halim, dll terpaksa menyeberangi
Selat Sunda dengan Perahu layar *). Saya menghadiri sidang dari awal sampai
akhir, acaranya Perjanjian Linggarjati tanggal 25 Maret sampai kembali di Bukit
Tinggi.
20 Maret saya bertemu dengan Pangsar Soedirman di Yogya, pertemuan ini di rumah Beliau menyambung pembicaraan yang telah berlangsung di Selecta Malang. Sebagai anggota KNIP saya ditugaskan Beliau mendampingi saudara Jenderal Mayor Soeharjo, dalam hal-hal kemasyarakatan, tugas ini saya terima dengan satu ketetapan dari Pangsar, surat ketetapan itu dibakar waktu perang dengan Belanda (Clash II).
Baik saya terangkan kejadian ini, terbawa dari perhubungan kami sewaktu sama-sama memimpin pemuda Muhammadiyah, Beliau WMPM Purwokerto (Banyumas) saya WMPM di Minangkabau.
Di Minangkabau terjadi peristiwa 3 Maret, saya ditugaskan juga menjadi Badan Penyelesaian Peristiwa ini sampai selesai.
Tanggal 21 Juli Belanda menyerang Republik, Linggarjati dikoyak-koyak Belanda, Lubuk Alung didudukinya. Wakil Presiden Bung Hatta pindah dari Siantar ke Bukti Tinggi, Oleh sidang partai-partai politik di gedung Wakil Kepresidenan segera Beliau membentuk Front Pertahanan Nasional yang beranggotakan Sdr. Chatib Soelaiman, Hamka, , Rasyuna Said, Karim Halim dan saya. FPN kemudian bertukar nama MPRD (Markas Pertahanan Rakyat Daerah). Saya tetap duduk sebagai anggota sampai penyerahan kedaulatan dengan tugas pokok seksi Kelasykaran. (Dalam tahun 1947 itu juga Bung karno datang ke Padang. Perintis Kemerdekaan Oedin dibawa bung karno ke Pariaman, Solok dan Maninjau.
20 Maret saya bertemu dengan Pangsar Soedirman di Yogya, pertemuan ini di rumah Beliau menyambung pembicaraan yang telah berlangsung di Selecta Malang. Sebagai anggota KNIP saya ditugaskan Beliau mendampingi saudara Jenderal Mayor Soeharjo, dalam hal-hal kemasyarakatan, tugas ini saya terima dengan satu ketetapan dari Pangsar, surat ketetapan itu dibakar waktu perang dengan Belanda (Clash II).
Baik saya terangkan kejadian ini, terbawa dari perhubungan kami sewaktu sama-sama memimpin pemuda Muhammadiyah, Beliau WMPM Purwokerto (Banyumas) saya WMPM di Minangkabau.
Di Minangkabau terjadi peristiwa 3 Maret, saya ditugaskan juga menjadi Badan Penyelesaian Peristiwa ini sampai selesai.
Tanggal 21 Juli Belanda menyerang Republik, Linggarjati dikoyak-koyak Belanda, Lubuk Alung didudukinya. Wakil Presiden Bung Hatta pindah dari Siantar ke Bukti Tinggi, Oleh sidang partai-partai politik di gedung Wakil Kepresidenan segera Beliau membentuk Front Pertahanan Nasional yang beranggotakan Sdr. Chatib Soelaiman, Hamka, , Rasyuna Said, Karim Halim dan saya. FPN kemudian bertukar nama MPRD (Markas Pertahanan Rakyat Daerah). Saya tetap duduk sebagai anggota sampai penyerahan kedaulatan dengan tugas pokok seksi Kelasykaran. (Dalam tahun 1947 itu juga Bung karno datang ke Padang. Perintis Kemerdekaan Oedin dibawa bung karno ke Pariaman, Solok dan Maninjau.
Sewaktu Bung karno akan berangkat ke Jakarta Perintis Kemerdekaan Oedin
ikut mengantar ke Tabing. Di pelabuhan udara Tabing Bung Karno berkata kepada
Oedin, saya dengar saudara menolak jadi Bupati. Dan dijawab oleh Oedin iya,
karena di hati saya tidak ada keinginan. Kemudian Bung Karno memerintahkan
kepada Perintis Kemerdekaan Oedin agar dari lapangan ini terus ke kantor
Gubernur di Bukittinggi.
Di kantor Gubernur Perintis Kemerdekaan Oedin dibujuk agar mau jadi Bupati.
Atas nasehat Dokter Rahim maka jabatan Bupati diterima. Tetapi panggilan Bupati
ditolak dan ditukar sebagai pegawai tinggi yang ditugaskan di Kabupaten
Pariaman. Kemudian dipindahkan ke Batusangkar sebagai Patih, dan ke Rengat
sebagai Bupati kemudian ke Pesisir Selatan sebagai Bupati *).
Tahun
1948.
Tanggal 19 Desember pagi Belanda menyerang Bukit tinggi dari udara, petang selasa 21 Desember kota Bukit tinggi dibumi hanguskan, saya mengikuti rombongan Residen malam itu keluar dari Bukititnggi menuju Suliki.
Tahun 1949
10 Januari saya ditugaskan oleh Residen M. Djamil ke Pariaman sebagai anggota KNIP dan MPRD guna memulihkan pemerintahan, sedang tanggal 06 januari kota Pariaman sudah diduduki Belanda, 16 Januari saya selamat sampai di Kp. Dalam Pariaman.
Tanggal 20 Januari ada pertemuan langsung dipimpin oleh saudara /Bupati Ibrahim gelar Datuk Pamuncak. Rapat membentuk Dewan Perang Kabupaten dipimpin langsung oleh Kepala Daerah, saya dipilih menjadi wakil ketua dan mewakili Bupati. Tugas saya adalah Kordinator Penerangan Kabupaten Pd. Pariaman dengan tugas kewajiban sebagai yang tertera dalam surat Yml. Gubernur Daerah Sumatera Barat tanggal 07 Pebruari 1949 No. 15/G.M/Instr. Dan Penasehat Politik pada Bupati Militer Pd. Pariaman dengan tugas kewajiban memberi nasehat dan pertimbangan-pertimbangan tentang aliran-aliran Politik dalam masyarakat serta menyatukan segala aliran politik dalam masyarakat dengan bendungan ideologi Negara.
11 Maret ada pertukaran Bupati antara saudara Ibrahim dengan B A Moerad, saya tetap mendampingi Bupati yang baru ini.
Penjelasan mengenai di atas, dikuatkan dengan surat ketetapan Bupati Militer Padang Pariaman no. 2/BM/Pd.Pr, 1949 tanggal 15 Maret 1949, kemudian disahkan oeh Ketapan Gubernur Militer Sumatera Barat no. 92/GM/Ist tanggal 9 April 1949 yang ditanda tangani Mr. ST Rasjid.
Tanggal 06 Mei diangkat oleh Residen M. Djamil menjadi ketua Dewan Polisi Sumatera Barat, di Padang. Bulan Mei kami berangkat menuju tempat Gubernur Militer di Suliki berdua dengan sekretaris kabupaten,, tanggal 30 Mei kembali. Semuanya ada salinan ketetapan saya lampirkan.
3 November kembali ke Suliki dipanggil Gubernur, kepada saya disampaikan panggilan ketua KNIP supaya datang ke Yogya menghadiri Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat. Saya disuruh pulang ke Pariaman tanggal 16 November saya sampai.
26 November saya masuk kota Pariaman, tanggal 27 November diantarkan ke Bukit Tinggi oleh mayor Belanda, selesai urusan dengan LJC saya terus ke Padang.
Tanggal 2 Desember saya berangkat dari Padang menuju Yogya tanggal 4 Desember saya selamat sampai di Yogya.
5 Desember sidang pleno KNIP dibuka, acara KMB 10 (sepuluh) hari sidang berturut turut, akhirnya KMB diterima dengan perimbangan suara sebagai berikut : 226 setuju 62 menolak. Sesudah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember kami pulang.
Tahun 1950
12 January 1950, dengan SK Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 12 January 1950 saya diangkat menjadi Pegawai Tinggi tingkat II dan diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman dengan No. Up/14/gmsb/K.- ditandatangi oleh Kepala urusan pegawai Dt.Djoendjoeng.
Tanggal 01 februari 1950 dengan SK dari Gubernur Sumatera Tengah di Bukit tinggi diangkat menjadi Patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman, pada bulan Oktober dipindahkan menjadi Patih di kantor Kabupaten Tanah Datar.
Sebelumnya tanggal 02 Mei mendapat SK dari Gubernur Sumatera Tengah diangkat menjadi Walikota Sawah Lunto.Kemudian dengan ketatapan Gubernur Sumatera Barat no. 1225/G/50 SK di atas dicabut dan dipindahkan menjadi Patih dibatukan pada Bupati tanah Datar.
Kemudian beberapa kali mengalami perpindahan, sampai akhirnya dengan SK Mendagri diangkat menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Inderagiri kemudian wakil Bupati/Kepala Daerah Kabupaten Tanah Datar/Batu Sangkar, tepatnya tanggal 23-12-1953.,
Dengan SK tanggal 06 Oktober 1954 dipindahkan menjadi Bupati/Ka Daerah Kabupaten Tanah Datar di Kota Batu Sangkar, tetapi SK itu dibatalkan dan dengan surat tanggal 29 Oktober 1954 dipindahkan ke Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci.
Oleh Menteri Sosial melalui surat No. Pol. 003/07.P.K.Djakarta 15 Agustus 1967 ditetapkan sebagai Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan. Demikianlah catatan ringkas ini saya tulis semoga dapat menjadi bahan pertimbangan seperlunya.
Tanggal 19 Desember pagi Belanda menyerang Bukit tinggi dari udara, petang selasa 21 Desember kota Bukit tinggi dibumi hanguskan, saya mengikuti rombongan Residen malam itu keluar dari Bukititnggi menuju Suliki.
Tahun 1949
10 Januari saya ditugaskan oleh Residen M. Djamil ke Pariaman sebagai anggota KNIP dan MPRD guna memulihkan pemerintahan, sedang tanggal 06 januari kota Pariaman sudah diduduki Belanda, 16 Januari saya selamat sampai di Kp. Dalam Pariaman.
Tanggal 20 Januari ada pertemuan langsung dipimpin oleh saudara /Bupati Ibrahim gelar Datuk Pamuncak. Rapat membentuk Dewan Perang Kabupaten dipimpin langsung oleh Kepala Daerah, saya dipilih menjadi wakil ketua dan mewakili Bupati. Tugas saya adalah Kordinator Penerangan Kabupaten Pd. Pariaman dengan tugas kewajiban sebagai yang tertera dalam surat Yml. Gubernur Daerah Sumatera Barat tanggal 07 Pebruari 1949 No. 15/G.M/Instr. Dan Penasehat Politik pada Bupati Militer Pd. Pariaman dengan tugas kewajiban memberi nasehat dan pertimbangan-pertimbangan tentang aliran-aliran Politik dalam masyarakat serta menyatukan segala aliran politik dalam masyarakat dengan bendungan ideologi Negara.
11 Maret ada pertukaran Bupati antara saudara Ibrahim dengan B A Moerad, saya tetap mendampingi Bupati yang baru ini.
Penjelasan mengenai di atas, dikuatkan dengan surat ketetapan Bupati Militer Padang Pariaman no. 2/BM/Pd.Pr, 1949 tanggal 15 Maret 1949, kemudian disahkan oeh Ketapan Gubernur Militer Sumatera Barat no. 92/GM/Ist tanggal 9 April 1949 yang ditanda tangani Mr. ST Rasjid.
Tanggal 06 Mei diangkat oleh Residen M. Djamil menjadi ketua Dewan Polisi Sumatera Barat, di Padang. Bulan Mei kami berangkat menuju tempat Gubernur Militer di Suliki berdua dengan sekretaris kabupaten,, tanggal 30 Mei kembali. Semuanya ada salinan ketetapan saya lampirkan.
3 November kembali ke Suliki dipanggil Gubernur, kepada saya disampaikan panggilan ketua KNIP supaya datang ke Yogya menghadiri Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat. Saya disuruh pulang ke Pariaman tanggal 16 November saya sampai.
26 November saya masuk kota Pariaman, tanggal 27 November diantarkan ke Bukit Tinggi oleh mayor Belanda, selesai urusan dengan LJC saya terus ke Padang.
Tanggal 2 Desember saya berangkat dari Padang menuju Yogya tanggal 4 Desember saya selamat sampai di Yogya.
5 Desember sidang pleno KNIP dibuka, acara KMB 10 (sepuluh) hari sidang berturut turut, akhirnya KMB diterima dengan perimbangan suara sebagai berikut : 226 setuju 62 menolak. Sesudah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember kami pulang.
Tahun 1950
12 January 1950, dengan SK Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 12 January 1950 saya diangkat menjadi Pegawai Tinggi tingkat II dan diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman dengan No. Up/14/gmsb/K.- ditandatangi oleh Kepala urusan pegawai Dt.Djoendjoeng.
Tanggal 01 februari 1950 dengan SK dari Gubernur Sumatera Tengah di Bukit tinggi diangkat menjadi Patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman, pada bulan Oktober dipindahkan menjadi Patih di kantor Kabupaten Tanah Datar.
Sebelumnya tanggal 02 Mei mendapat SK dari Gubernur Sumatera Tengah diangkat menjadi Walikota Sawah Lunto.Kemudian dengan ketatapan Gubernur Sumatera Barat no. 1225/G/50 SK di atas dicabut dan dipindahkan menjadi Patih dibatukan pada Bupati tanah Datar.
Kemudian beberapa kali mengalami perpindahan, sampai akhirnya dengan SK Mendagri diangkat menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Inderagiri kemudian wakil Bupati/Kepala Daerah Kabupaten Tanah Datar/Batu Sangkar, tepatnya tanggal 23-12-1953.,
Dengan SK tanggal 06 Oktober 1954 dipindahkan menjadi Bupati/Ka Daerah Kabupaten Tanah Datar di Kota Batu Sangkar, tetapi SK itu dibatalkan dan dengan surat tanggal 29 Oktober 1954 dipindahkan ke Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci.
Oleh Menteri Sosial melalui surat No. Pol. 003/07.P.K.Djakarta 15 Agustus 1967 ditetapkan sebagai Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan. Demikianlah catatan ringkas ini saya tulis semoga dapat menjadi bahan pertimbangan seperlunya.
Sumber
ini berasal dari 2 ketikan Beliau Buya Oedin yang ditanda tanganinya
(Sumber tertulis), yang pertama di buat di kurai taji tanggal 14 Mei 1962 dan yang kedua dibuat di Sungai Penuh tanggal 23 Agustus 1956.
(Sumber tertulis), yang pertama di buat di kurai taji tanggal 14 Mei 1962 dan yang kedua dibuat di Sungai Penuh tanggal 23 Agustus 1956.
Buya
Oedin, Teman Jenderal Sudirman dari Kurai Taji *) Oleh
Suryadi Sunuri
Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa seorang putra
Pariaman pernah bersahabat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dialah
Oedin, seorang akitivis Muhammadiyah dan pernah mengemban berbagai jabatan
politik di Sumatra Tengah ketika Republik ini masih muda remaja.
Buya Oedin (atau Udiang menurut
pelafalan orang kampugnya) begitu beliau biasa dipanggil di masa tuanya lahir
tahun 1906 (informasi lain menyebutkan bulan Agustus 1907) dari rahim Raalin,
seorang pengurus Aisyiah yang tangguh di Kuraitaji. Masa remaja Oedin kecil dihabiskan
di kampungnya. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 Sekolah Rakyat.
Selanjutnya, pemuda yang sedikit preman ini berdasarkan cerita Buya Hamka dalam
sepucuk suratnya kepada anak kelima beliau, Asdi Oedin tertanggal 11 Juli 1962
terpilih menjadi kader Muhammadiyah selama 9 tahun di bawah gemblengan Buya
A.R. Sutan Mansur, dedengkot Muhammadiyah yang kemudian terpilih menjadi ketua
organisasi itu dalam kongresnya di Purwokerto tahun 1953. Berkat gemblengan
A.R. Sutan Mansur, kepremanan Oedin berubah menjadi kepemimpinan.
Bersama beberapa orang rekannya, Oedin mempelopori
berdirinya Cabang Muhammadiyah di Kuraitaji (yang ketiga setelah Bukittinggi
dan Padang Panjang) pada 10 Oktober 1929. Muhammadiyah dibawa ke Kuraitaji oleh
putra daerah ini sendiri dari Yogyakarta, yaitu H. Sd. M. Ilyas, adik ipar Buya
Oedin sendiri, yang kelak menjadi mertua Dr. H.M. Tarmizi Taher, mantan Menteri
Agama RI di Zaman Orde Baru. Pada tahun 1937 Oedin diangkat menjadi ketua
Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh
Sukarno-Hatta, Oedin aktif menggalang semangat pemuda di daerahnya. Beliau,
yang pada waktu itu menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhamadiyah Minangkabau, giat
memberi pengertian kepada masyarakat Pariaman tentang arti dan cara mengisi
kemerdekaan. Pada bulan November 1945 Oedin dan rekan-rekannya menghadiri
Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta. Tujuan kongres itu adalah untuk
menyatukan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka mendapat banyak rintangan di jalan karena gempuran oleh pasukan
Belanda. Ketika itulah Oedin berhubungan dengan Soedirman yang waktu itu
mewakili pemuda Muhammadiyah Purwakarta (Banyumas).
Balik ke Sumatra Barat,
Oedin dan kawan-kawan aktif menyampaikan hasil kongres itu. Pada bulan Mei 1946
beliau dilantik oleh Residen Sumatra Barat, Dr. Jamil, menjadi Ketua Dewan
Polisi Sumatra Barat. Awal Januari 1947 beliau diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) mewakili Padang Pariaman. Beliau ikut dalam persidangan KNIP di
Malang (1947). Ketika singgah di Yogyakarta Oedin bertemu lagi dengan Soedirman
yang sudah menjadi Panglima Besar TNI. Sebagai anggota KNIP, beliau
ditugaskan oleh Panglima Soedirman untuk mendapingin Mayjen Soeharjo dalam
tugas-tugas kemasyarakatan. Kelak di suatu hari di Jakarta, Oedin bertemu
secara tak sengaja di jalan dengan Jenderal Soedirman, yang kemudian mengajak
sahabat lamanya itu mampir ke rumahnya.
Sampai tahun 1949 Oedin terlibat dalam berbagai
kegiatan politik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Barat
dari rongrongan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Pasca Aksi
Polisionil Belanda yang gagal itu, aktifitas Oedin dalam kancah pemerintahan
Sumatra Tengah cukup beragam. Beliau diangkat menjadi pegawai tinggi tingkat 2
dan kemudian patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman (Januari
1950); patih Kabupaten Tanah Datar (Oktober 1950); Walikota Sawahlunto (Mei
1950); Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; Pjs Bupati Tanah Datar
(Desember 1953); Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954)
(sebelumnya direncanakan menjadi Bupati Kab. Tanah Datar, tapi tidak jadi).
Demikianlah kisah hidup Buya Oedein yang pernah
menikah empat kali dan dikaruniai beberapa orang anak. Sewaktu bersekolah di
SMP 3 Kuraitaji, saya akrab dengan salah seorang cucu beliau, Fadilah Afsar.
Sering kami belajar bersama di rumah beliau di Rambai, Kurai Taji. Saya paling
suka melihat-lihat koleksi buku beliau yang tersusun rapi di rak-rak di
perpustakaan peribadi beliau.
Foto ini mungkin dibuat sekitar tahun 1970-an atau
sebelumnya. Foto ini, beserta bahan-bahan lain untuk penulisan artikel ini
bersumber dari dua keturunan beliau: Marindo Palar dan Fuad Afsar.
Buya Oedin meninggal di Jakarta
pada 17 Juni 1984 dan dimakamkan di Perkuburan Tanah Kusir. Demikianlah riwayat
singkat kehidupan seorang pahlawan kecil yang telah ikut berjasa dalam mengisi
kemerdekaan negeri ini.
Suryadi Leiden,
Belanda. (Sumber foto: Marindo Palar, Jakarta).
Singgalang, Minggu, 24 Juli 2011
Sedikit
Keterangan Foto Tentang Empat Orang *)
Foto ini
dibuat sekitar tahun 1950 sesudah berakhirnya sidang “Konfrensi Meja Bundar”
(KMB) antara negara RI dan Belanda untuk kembalinya pemerintahan RI. Agresi
Belanda ke-2 sebagai hasil KMB. Dimasa berhentinya tembak menembak itulah kami
berempat pergi ke Padang untuk berfoto sebagai satu kenangan sehabis melalui
masa darurat Agresi Belanda ke dua itu.
4 orang
dalam foto itu ialah :
1. Saya
Kasim Munafy yang sejak usia 13 tahun telah menurutkan aksi Gerakan
Muhammadiyah yang mulai 25 oktober 1929 didirikan di Kuraitaji atas usaha alm. Kakanda H. Sd M.
Ilyas (Nomor 2 dari kiri). Pada tahun 1929 didirikannya Muhammadiyah di
Kuraitaji itu saya masih berumur 13 tahun dan duduk belajar di Sekolah
GOEBERNEMEN (Sekolah Sambungan) dan telah masuk gerakan Kepanduan
“HIZBULWATHAN” dibawah naungan Muhammadiyah. Saya masuk dalam kelompok (Regu
Pengenal) membawahi 8 orang anggota pengenal (Usia 12-13 tahun). Dalam
perkembangan selanjutnya setelah tamat belajar Schakel Muhammadiyah Pariaman
(1934) saya diminta oleh pengurus Sekolah Aisyiyah Kuraitaji untuk menjadi guru
bantu di sekolah tersebut yang waktu itu dipimpin oleh Alm. M Louth Hasan
sebagai Kepala Sekolah. Dikantor Cabang Muhammadiyah Kuraitaji sepulang dari
mengajar saya diberi tugas sebagai Schrijver (juru tulis pembantu) untuk
menguruskan surat surat Persyarikatan. Dua tahun kemudian (mulai 1936) saya
ditetapkan menjabat sebagai guru bahasa Belanda di sekolah Tsanawiyah yang
dibangun juga oleh ‘Aisyiyah Cabang Kuraitaji dan bertempat juga di gedung
sekolah ‘Aisyiyah (ketika itu berlokasi di tepi jalan raya, Simpang Basoka
sekarang). Pada tahun 1939 saya diminta pindah ke Palembang menjabat sebagai
kepala Standaar School Muhammadiyah ranting Kertapati, atas perintah orang tua
“ande” karena Beliau sangsi kalau terembet bahaya perang Jepang-Belanda yang
mulai tahun itu sudah tersa mulai memanas. Sampai dengan suasana Agresi Belanda
ke-2 (1950) saya telah mempunyai pendirian untuk hidup sebagai orang swasta
(untuk tidak menjadi pegawai). Apa dalam kegiatan militer atau sipil. Yang
menjadi pokok patokan untuk mendirikan cara hidup ialah “Jangan Suka Memakan
Jasa Orang Lain” sebab ada obrolan di pelanta yang mengingatkan “Kalau terbiasa
mengandalkan jasa orang lain, maka lidah akan terhimpit”. Maka ditetapkan
pendirian untuk berwiraswasta “dalam Mhammadiyah”. Secara bertahap disamping
menjadi guru Muhammadiyah saya juga menduduki kursi Kepemimpinan dalam
Persyarikatan Unggulan Alm. K. H. A. Dahlan ini. Sejak dari pimpinan Group
(Ranting), Pimpinan Cabang dan terus menjabat sebagai Ketua Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Padang Pariaman (mulai tahun 1952) dalam musyawarah di Surau Tepi
Air Pariaman sebelum menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Purwokerto 91953).
Jabatan sebagai Ketua Daerah ini berakhir sudah harus diletakkan karena
pengaruh umur. Secara resmi dinyatakan dalam Musyawarah Daerah 91992) dan resmi
dilepaskan tahun 1993 bersamaan dengan juga melepaskan kerja sebagai Guru
Muhammadiyah di MtsN. Pada waktu menulis catatan ini jabatan sebagai Ketua
Pembangunan Gedung dan Mesjid Sejarah Muhammadiyah (merangkap sebagai Ketua
Badan Takmir Mesjid) serta memegan bagian Wakaf dan Kehartabendaan PDM Padang
Pariaman masih dapat dilaksanakan. Alhamdulillah, dua bangunan Muhammadiyah
Kuraitaji (Mesjid mulai 1952 dan Gedung Madrasah mulai tahun 1932) saya dapat
dipercayakan sebagai Ketua Pembangunan. Agaknya inilah hikmahnya dulu sehabis
masa Perang Kemerdekaan saya tidak mau menjabat sebagai Pegawai Negeri itu.
Dihari tua saya dapatmengujudkan berdirinya dua bangunan Muhammadiyah di desa
Kuraitaji sebagai tempat kelahiran saya.
2. Alm. Kakanda H. Sd. M. Ilyas asal Kuraitaji seorang yang berjasa mendirikan Muhammadiyah (1929: yang pertama untuk daerah Padang Pariaman) setelah mempelajari seluk beluk persyarikatan Agama Islam ini langsung ke tempat mula berdirinya Yogyakarta. Sebelum masuk tahun tahun kemerdekaan, Persyarikatan ini sudah berkembang hampir kesemua pelosok daerah Kabupaten (termasuk ke daerah XII Koto wilayah tiku dan Sei. Geringging/ Batu Besar-cacang-koto muaro) dan negeri negeri dalam wilayah VII Koto (Sei. Sarik, Tandikat-Batu kalang dll). Sayangnya, khusus Daerah kecamatan Sei.Geringging keseluruhannya, Muhammadiyah ini pada umumnya tak hidup organisasi lagi, mungkin karena pengaruh lingkungan atau kekurangan kader angkatan muda. Alm. H. Sd. M. Ilyas meninggal di Jakarta. Beliau meninggalkan dua isteri dengan anak cucu yang cukup banyak yang pada umumnya mendapat pendidikan cukup baik dan berhasil menuju hidup aman tenteram. Waktu menulis kenangan ini kedua isteri beliau masih hidup (Dibawah perawatan anak cucu). Isteri pertama (Ummi H. Rohana) adik dari Dr. Tarmidzi Taher (menteri agama). Rumah tua dari H. Ummi Rohana telh diperbaharui oleh seorang Pengasuh (?)/Pengusaha wanita, usaha dari anak-anaknya. Rumah tua dari Ummi H. Nur’aini berdekatan dengan Gedung MtsN Kuraitaji, yang dipercayakan cukup baik, sedang Beliau dengan anak cucunya menetap di Jakarta.
3. Almarhum engku Oedin asal Kuraitaji, kakak ipar dari H. Sd. M. Ilyas (saudara tua dari H. Rahana SDM). Beliau dikenal juga sebagai seorang dari pemimpin Muhammadiyah Minangkabau yang konon tidak menamatkan bangku sekolah desapun (Hanya sampai di kelas II sekolah desa (Volkschool zaman Belanda). Namun beliau dikenal sebagai seorang yang cerdas dan tangkas dalam bicaranya, pandai bersilat lidah serta memahami persoalan politik. Tenaga beliau dapat dimanfaatkan Muhammadiyah dalam menghadapi politik kolonial Belanda. Beliau diminta oleh Konsul PB Muhammadiyah untuk duduk dalam kepemimpinan Muhammadiyah Minangkabau sejak masa Belanda. Dalam gerakan Pemuda Muhammadiyah Minangkabau beliau mempunyai jabatan yang sama dengan Panglima Besar Soedirman, ialah sebagai Wakil Majelis Pimpinan Pemuda Muhammadiyah (Beliau untuk Sumatera Barat dan Pak Dirman untuk daerah Magelang). Maka tidak heran waktu Indonesia di proklamirkan/merdeka dan beliau diangkat menjadi Panglima Besar TNI, maka Pak Dirman mengangkat Oedin sebagai Penasehat TNI untuk wilayah Sumatera. Dalam suasana perang Jepang beliau termasuk diantara bintang bintang Muhammadiyah Minangkabau yang mendampingi Alm. Buya AR sutan Mansur di Padang Panjangmelayarkan bahtera Muhammadiyah Minangkabau itu. Ketika itu PadangPanjang tersebut sebagai pusat Kegiatan Konsulat Muhammadiyah Minangkabau. Sejak selesainya agresi Belanda ke-2, Oedin banyak berperan dalam Muhamamdiyah untuk Republik Indonesia. Misalnya :
- Khusus diberangkatkan ke Jakarta dengan pesawat Tentera Belanda terpanggil untuk hadir disidang KNIP Malang untukmembicarakan hasil Konfrensi Meja Bundar dengan Belanda menerima pembentukan Negara Indonesia Serikat.
- Kembali dari sidang KNIP Malang Beliau mendapat surat kuasa dari Panglima Besar Soedirman untuk tugs sebagai Penasehat TNI seluruh Sumatera.
- Beliau juga menerima surat kuasa dari Pimpinan Pusat Partai Masyumi yang ketika itu masih berkantor di Yogyakarta untuk mendirikan Masyumi seluruh Sumatera.
- Dalam bidang pemerintahan beliau juga mendapat SK sebagai pegawai tinggi diperbantukan kepada Gubernur Sumatera (yang ketika itu berkedudukan di Bukittinggi), memegang dua kedudukan sebagai secretaris:
1. Sebagai sekretaris Dewan Pertahanan Partai yang ketuanya Beliau sendiri.
2. Sebagai sekretaris Masyumi Sumatera Tengah yang berkantor di muka stasiun Kereta Api Bukittinggi.
- Selesai sidang KNIP di Malang, Oedin ditetapkan sebagai Pegawai Negeri menjabat Patih Indragiri dan kemudian dipindahkan ke Sei, Penuh. Jabatan ini dipegang Beliau sampai datangnya masa kemelut PRRI.
3. Almarhum Syailendra seorang Pemuda asal Kp. Apar-Pasar Usang Batang Anai, tamatan INS Kayutanam. Aktif dalam gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Beliau terpilih untuk sebagai pimpinan partai Masyumi padang pariaman dan juga duduk sebagai wakil partai masyumi dalam DPRD Padang Pariaman. Pernah bersama beliau sebagai rombongan Pemerintah Daerah melakukan torne ke Mentawai selama16 hari. Kami bersama Bupati Padang Pariaman (Harun Arrasyid), kepala jawatan dan anggota DPD wakil wakil partai lebih kurang 50 orang dengan satu kapal khusus selama 16 hari itu menjelajahi kepulauan mentawai dengan 4 kecamatannya. Demikianlah pada tahun 1957 itu, penulis mulai mengetahui secara agak jelas bagaimana kedudukan penduduk kepulauan Mentawai yang termasuk dalam Daerah Padang Pariaman itu. Dalam perjalanan penelitian di Mentawai itu penulis berada dalam rmbongan Kepala Kesehatan Daerah yang dikepalai oleh Dr. KAVARELLI (asal Italia Kota Roma) beserta rombongannya Menteri Kesehatan Iskandar asal Kayutanam dan Bidan Nurma asal kepala Hilalang. Dalam perjalanan ke Mentawai ini penulis sengaja memakai pakaian seragam kepanuan Muhammadiyah (Hizbul Wathan) sebagai satu alat perangsang masyarakat untuk ajar kenal dengan kegiatan Muhammadiyahdari penghayatan di Mentawai ini. Hal ini kemudian penulis terapkan pada kehidupan pribadi ialah memungut anak-anak Mentawai untuk diasuh/ajar dalam pendidikan Muhammadiyah khususnya. Mulai tahun 1984 penulis memengut gadis Mentawai nama Rosmin asal Desa Sigitsi (Sipora), mulai duduk di kelas IV SD Negeri Kuraitaji, terus ke MTsN dan SMAN Pariaman. Akhirnya Rosmin dipindahkan kebawah asuhan PP/LDK Muhammadiyah Jakarta mulai tahun 1993, tinggal bersama keluarga ananda H. Anhar Burhanudin MA yang juga ketua LDK Pusat di Jakarta itu. Gadis Mentawai kedua yang penulis pungut ialah Aniarti juga dari desa Sigisi tinggal bersama penulis tiga tahun belajar di MtsN Kuraitaji. Setamat dari MtsN tidak mau belajar lagi, akhirnya pada tahun 1994 diantar ke Mentawai untuk kawin. Ia tinggal bersama pegawai asrama Mentawai di Sipora-di desa Tuepejat. Suaminya asal Mentawai juga (Pagai Selatan) bekerja sebagai penjaga asrama anak-anak Mentawai di Tuepejat/Sipora. Demikianlah sekedar penjelasan. Kuraitaji 10 zhulhijjah 1415 H/10 Mei 1995. Penulis Kasim Munafy
2. Alm. Kakanda H. Sd. M. Ilyas asal Kuraitaji seorang yang berjasa mendirikan Muhammadiyah (1929: yang pertama untuk daerah Padang Pariaman) setelah mempelajari seluk beluk persyarikatan Agama Islam ini langsung ke tempat mula berdirinya Yogyakarta. Sebelum masuk tahun tahun kemerdekaan, Persyarikatan ini sudah berkembang hampir kesemua pelosok daerah Kabupaten (termasuk ke daerah XII Koto wilayah tiku dan Sei. Geringging/ Batu Besar-cacang-koto muaro) dan negeri negeri dalam wilayah VII Koto (Sei. Sarik, Tandikat-Batu kalang dll). Sayangnya, khusus Daerah kecamatan Sei.Geringging keseluruhannya, Muhammadiyah ini pada umumnya tak hidup organisasi lagi, mungkin karena pengaruh lingkungan atau kekurangan kader angkatan muda. Alm. H. Sd. M. Ilyas meninggal di Jakarta. Beliau meninggalkan dua isteri dengan anak cucu yang cukup banyak yang pada umumnya mendapat pendidikan cukup baik dan berhasil menuju hidup aman tenteram. Waktu menulis kenangan ini kedua isteri beliau masih hidup (Dibawah perawatan anak cucu). Isteri pertama (Ummi H. Rohana) adik dari Dr. Tarmidzi Taher (menteri agama). Rumah tua dari H. Ummi Rohana telh diperbaharui oleh seorang Pengasuh (?)/Pengusaha wanita, usaha dari anak-anaknya. Rumah tua dari Ummi H. Nur’aini berdekatan dengan Gedung MtsN Kuraitaji, yang dipercayakan cukup baik, sedang Beliau dengan anak cucunya menetap di Jakarta.
3. Almarhum engku Oedin asal Kuraitaji, kakak ipar dari H. Sd. M. Ilyas (saudara tua dari H. Rahana SDM). Beliau dikenal juga sebagai seorang dari pemimpin Muhammadiyah Minangkabau yang konon tidak menamatkan bangku sekolah desapun (Hanya sampai di kelas II sekolah desa (Volkschool zaman Belanda). Namun beliau dikenal sebagai seorang yang cerdas dan tangkas dalam bicaranya, pandai bersilat lidah serta memahami persoalan politik. Tenaga beliau dapat dimanfaatkan Muhammadiyah dalam menghadapi politik kolonial Belanda. Beliau diminta oleh Konsul PB Muhammadiyah untuk duduk dalam kepemimpinan Muhammadiyah Minangkabau sejak masa Belanda. Dalam gerakan Pemuda Muhammadiyah Minangkabau beliau mempunyai jabatan yang sama dengan Panglima Besar Soedirman, ialah sebagai Wakil Majelis Pimpinan Pemuda Muhammadiyah (Beliau untuk Sumatera Barat dan Pak Dirman untuk daerah Magelang). Maka tidak heran waktu Indonesia di proklamirkan/merdeka dan beliau diangkat menjadi Panglima Besar TNI, maka Pak Dirman mengangkat Oedin sebagai Penasehat TNI untuk wilayah Sumatera. Dalam suasana perang Jepang beliau termasuk diantara bintang bintang Muhammadiyah Minangkabau yang mendampingi Alm. Buya AR sutan Mansur di Padang Panjangmelayarkan bahtera Muhammadiyah Minangkabau itu. Ketika itu PadangPanjang tersebut sebagai pusat Kegiatan Konsulat Muhammadiyah Minangkabau. Sejak selesainya agresi Belanda ke-2, Oedin banyak berperan dalam Muhamamdiyah untuk Republik Indonesia. Misalnya :
- Khusus diberangkatkan ke Jakarta dengan pesawat Tentera Belanda terpanggil untuk hadir disidang KNIP Malang untukmembicarakan hasil Konfrensi Meja Bundar dengan Belanda menerima pembentukan Negara Indonesia Serikat.
- Kembali dari sidang KNIP Malang Beliau mendapat surat kuasa dari Panglima Besar Soedirman untuk tugs sebagai Penasehat TNI seluruh Sumatera.
- Beliau juga menerima surat kuasa dari Pimpinan Pusat Partai Masyumi yang ketika itu masih berkantor di Yogyakarta untuk mendirikan Masyumi seluruh Sumatera.
- Dalam bidang pemerintahan beliau juga mendapat SK sebagai pegawai tinggi diperbantukan kepada Gubernur Sumatera (yang ketika itu berkedudukan di Bukittinggi), memegang dua kedudukan sebagai secretaris:
1. Sebagai sekretaris Dewan Pertahanan Partai yang ketuanya Beliau sendiri.
2. Sebagai sekretaris Masyumi Sumatera Tengah yang berkantor di muka stasiun Kereta Api Bukittinggi.
- Selesai sidang KNIP di Malang, Oedin ditetapkan sebagai Pegawai Negeri menjabat Patih Indragiri dan kemudian dipindahkan ke Sei, Penuh. Jabatan ini dipegang Beliau sampai datangnya masa kemelut PRRI.
3. Almarhum Syailendra seorang Pemuda asal Kp. Apar-Pasar Usang Batang Anai, tamatan INS Kayutanam. Aktif dalam gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Beliau terpilih untuk sebagai pimpinan partai Masyumi padang pariaman dan juga duduk sebagai wakil partai masyumi dalam DPRD Padang Pariaman. Pernah bersama beliau sebagai rombongan Pemerintah Daerah melakukan torne ke Mentawai selama16 hari. Kami bersama Bupati Padang Pariaman (Harun Arrasyid), kepala jawatan dan anggota DPD wakil wakil partai lebih kurang 50 orang dengan satu kapal khusus selama 16 hari itu menjelajahi kepulauan mentawai dengan 4 kecamatannya. Demikianlah pada tahun 1957 itu, penulis mulai mengetahui secara agak jelas bagaimana kedudukan penduduk kepulauan Mentawai yang termasuk dalam Daerah Padang Pariaman itu. Dalam perjalanan penelitian di Mentawai itu penulis berada dalam rmbongan Kepala Kesehatan Daerah yang dikepalai oleh Dr. KAVARELLI (asal Italia Kota Roma) beserta rombongannya Menteri Kesehatan Iskandar asal Kayutanam dan Bidan Nurma asal kepala Hilalang. Dalam perjalanan ke Mentawai ini penulis sengaja memakai pakaian seragam kepanuan Muhammadiyah (Hizbul Wathan) sebagai satu alat perangsang masyarakat untuk ajar kenal dengan kegiatan Muhammadiyahdari penghayatan di Mentawai ini. Hal ini kemudian penulis terapkan pada kehidupan pribadi ialah memungut anak-anak Mentawai untuk diasuh/ajar dalam pendidikan Muhammadiyah khususnya. Mulai tahun 1984 penulis memengut gadis Mentawai nama Rosmin asal Desa Sigitsi (Sipora), mulai duduk di kelas IV SD Negeri Kuraitaji, terus ke MTsN dan SMAN Pariaman. Akhirnya Rosmin dipindahkan kebawah asuhan PP/LDK Muhammadiyah Jakarta mulai tahun 1993, tinggal bersama keluarga ananda H. Anhar Burhanudin MA yang juga ketua LDK Pusat di Jakarta itu. Gadis Mentawai kedua yang penulis pungut ialah Aniarti juga dari desa Sigisi tinggal bersama penulis tiga tahun belajar di MtsN Kuraitaji. Setamat dari MtsN tidak mau belajar lagi, akhirnya pada tahun 1994 diantar ke Mentawai untuk kawin. Ia tinggal bersama pegawai asrama Mentawai di Sipora-di desa Tuepejat. Suaminya asal Mentawai juga (Pagai Selatan) bekerja sebagai penjaga asrama anak-anak Mentawai di Tuepejat/Sipora. Demikianlah sekedar penjelasan. Kuraitaji 10 zhulhijjah 1415 H/10 Mei 1995. Penulis Kasim Munafy
Muhammadiyah
Kurai Taji Pariaman *)
Oleh Fikrul
Hanif
Sudah lama rasanya tidak menulis tentang kampung halaman saya. Saat
ini saya akan mengajak facebooker untuk mengikuti kisah seorang aktivis Muhammadiyah
asal Kurai Taji yang pernah menjadi Regent di Indragiri.
Sebagai salah satu "balahan" dari keluarga besar pendiri Muhammadiyah Kurai Taji Pariaman, saya akan mencoba menulis secara lugas tentang sisi historis Boeya Oedin. Tulisan ini saya simpulkan dari Manuskrip yang ditulis Kasim Munafi (adik kakek saya Buya Sulaiman Munaf, Direktur Madrasah Muhammadiyah Kurai Taji yang didirikan tahun 1931) yang berjudul "Muhammadiyah yang Aku Kenal, Manuskrip, 1985)
Buya Oedin atau yang akrab dipanggil di Kurai Taji dengan sebutan Boeya Udiang (atau Udiang menurut pelafalan orang kampungnya) lahir tahun 1906. Di kalangan aktivis Muhammadiyah Kurai Taji, Boeya Oedin lebih dikenal sebagai sosok politisi ketimbang sebagai seorang ulama atau pun pendidik.
Meskipun ia hanya berpendidikan kelas 2 Sekolah Rakyat, Oedin yang juga kader dari AR Sutan Mansur tersebut pernah ikut merintis berdirinya Muhammadiyah Ranting Kurai Taji (bagian dari Cabang Muhammadiyah Padang Panjang) tanggal 25 Oktober 1929, pimpinan redaksi Majalah Bahtera Massa yang diterbitkan dua edisi oleh Muhammadiyah ranting Kurai Taji. Namun karena Bahtera Massa dianggap isinya provokatif, maka majalah yang berusia seumur jagung tersebut dibredel dan dibakar Belanda.
Melalui tangannya, menurut Moh. Natsir, Masyumi berkembang di Sumatera Barat. Kisah ini berawal dari partisipasinya pada acara silaturrahmi Muhammadiyah yang dilaksanakan tahun 1946. Dalam acara tersebut Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan kepada peserta bahwa telah berdiri partai politik Islam Masyumi sebagai representasi suara ummat Islam di Indonesia. Sejak saat itu, Oedin berinisiatif menyebarluaskan berita ini ke Sumatera Barat.
Bahkan saat terjadinya kisruh antara Masyumi (label Muhammadiyah) dan Masyumi (label MIT), Buya Hamka dan Oedin turut turun ke daerah-daerah untuk menenangkan massa dan menjaga keutuhan dari Masyumi.
Pasca kemerdekaan, kariernya pun semakin melejit. Pada Januari 1950, ia diangkat sebagai pegawai tinggi tingkat 2 dan kemudian patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman; Oktober 1950 sebagai patih Kabupaten Tanah Datar; Mei 1950 sebagai Walikota Sawahlunto; Oktober 1952 sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; dan terakhir sebagai Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954).
Sumber:
Kasim Munafy, "Muhammadiyah yang Aku Kenal", Manuskrip. (Kurai Taji: Sejarah Kehidupan Pribadiku, 1985) Fikrul Hanif Sufyan, "Muhammadiyah Daerah Padang Pariaman", Skripsi. (Padang: Universitas Andalas, 2003). Suryadi Sunuri, Blog Minang Saisuak, dengan judul "Buya Oedin: Teman Jenderal Sudirman dari Kuraitaji"
Sebagai salah satu "balahan" dari keluarga besar pendiri Muhammadiyah Kurai Taji Pariaman, saya akan mencoba menulis secara lugas tentang sisi historis Boeya Oedin. Tulisan ini saya simpulkan dari Manuskrip yang ditulis Kasim Munafi (adik kakek saya Buya Sulaiman Munaf, Direktur Madrasah Muhammadiyah Kurai Taji yang didirikan tahun 1931) yang berjudul "Muhammadiyah yang Aku Kenal, Manuskrip, 1985)
Buya Oedin atau yang akrab dipanggil di Kurai Taji dengan sebutan Boeya Udiang (atau Udiang menurut pelafalan orang kampungnya) lahir tahun 1906. Di kalangan aktivis Muhammadiyah Kurai Taji, Boeya Oedin lebih dikenal sebagai sosok politisi ketimbang sebagai seorang ulama atau pun pendidik.
Meskipun ia hanya berpendidikan kelas 2 Sekolah Rakyat, Oedin yang juga kader dari AR Sutan Mansur tersebut pernah ikut merintis berdirinya Muhammadiyah Ranting Kurai Taji (bagian dari Cabang Muhammadiyah Padang Panjang) tanggal 25 Oktober 1929, pimpinan redaksi Majalah Bahtera Massa yang diterbitkan dua edisi oleh Muhammadiyah ranting Kurai Taji. Namun karena Bahtera Massa dianggap isinya provokatif, maka majalah yang berusia seumur jagung tersebut dibredel dan dibakar Belanda.
Melalui tangannya, menurut Moh. Natsir, Masyumi berkembang di Sumatera Barat. Kisah ini berawal dari partisipasinya pada acara silaturrahmi Muhammadiyah yang dilaksanakan tahun 1946. Dalam acara tersebut Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan kepada peserta bahwa telah berdiri partai politik Islam Masyumi sebagai representasi suara ummat Islam di Indonesia. Sejak saat itu, Oedin berinisiatif menyebarluaskan berita ini ke Sumatera Barat.
Bahkan saat terjadinya kisruh antara Masyumi (label Muhammadiyah) dan Masyumi (label MIT), Buya Hamka dan Oedin turut turun ke daerah-daerah untuk menenangkan massa dan menjaga keutuhan dari Masyumi.
Pasca kemerdekaan, kariernya pun semakin melejit. Pada Januari 1950, ia diangkat sebagai pegawai tinggi tingkat 2 dan kemudian patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman; Oktober 1950 sebagai patih Kabupaten Tanah Datar; Mei 1950 sebagai Walikota Sawahlunto; Oktober 1952 sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; dan terakhir sebagai Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954).
Sumber:
Kasim Munafy, "Muhammadiyah yang Aku Kenal", Manuskrip. (Kurai Taji: Sejarah Kehidupan Pribadiku, 1985) Fikrul Hanif Sufyan, "Muhammadiyah Daerah Padang Pariaman", Skripsi. (Padang: Universitas Andalas, 2003). Suryadi Sunuri, Blog Minang Saisuak, dengan judul "Buya Oedin: Teman Jenderal Sudirman dari Kuraitaji"
Surat-surat Buya Oedin
(I)
BUPATI/KEPALA DAERAH
KABUPATEN P.S.K.
Priaman
14. Nopember 1956.
Perihal
: Pembitjaraan saja dengan Bapak Gobernur Roslan
Moeljo Hardjo di
P a d a n g.
Dengan
horma, bersama ini saja sampaikan lagi verslag hasil pembitjaraan saja dengan
bp. Gobernur Ste dirumah beliau djalan Soekarno Padang pada hari Arba’a 7.
Nopember 1956 djam 9 pagi, djalan pembitjaraan sebagai berikut
1. Saja bertanja kepada bp. Gobernur “BAGAIMANA SAJA SESUDAH TJUTI ?, SEDANG
TJUTI SAJA HABISNJA SEWAKTU BP SEDANG BERADA DI BANDUNG ?, SUDARA KEMBALI KE
P.S.K. DAN BEKERDJA SEBAGAI BIASA
Berita Ringkas Kedatangan PJ WK Presiden ke Kabupaten
Indragiri
1. Mendapat Khabar Pertama
Hari Arba’a tanggal 18
Maret djam 5 sore, saja Kepala Daerah beserta dengan dua orang DPD Hasan
‘Arifin dan Jamal Lako Sutan, menemui P. Bapak Gobernur dirumah B
2 komentar:
Bismillah. Assalamu'alaikum, Pak. Saya mengira bahwa Prof. Skrike yang Bapak maksud adalah Prof. Bertram Johannes Otto (B.J.O.) Schrieke. Betulkah dugaan saya, Pak? Salam kenal dari saya di Kota Padang, Pak.
Posting Komentar