Catatan Perjalanan Haji
Pengantar
Alhamdulillah, sebagai seorang
Muslim dapat memenuhi panggilan nabiullah Ibrahim AS menlaksanakan rukun Islam
ke-5 adalah hal yang sangat sangat diharapakan. Atas izinNya, melalui titipan
rezeqiNya kepada hambaNya almarhumah Dwi Puspita Rahyunie, SPd penulis
dapat berangkat. Berawal dari almarhumah sembuh dari demamnya, di kursi/sofa
tamu, almarhumah menyampaikan keinginannya untuk memenuhi panggilan Nabiullah Ibrahim
AS, melaksanakan rukun islam ke-5, menunaikan ibadah Haji. Niat itu
direalisasikan dengan membuka pendaftaran melalui tabungan Haji di BRI Syariah
Cabang Binjai dan tercatar di Kantor Departemen Agama Kota Binjai tanggal 10
Februari 2010. Waktu berlalu, dari detik ke menit, dari menit ke jam, dari jam
ke hari, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun. Tanggal 12 Februari 2012, isteri tercinta yang telah melahirkan 3 putra
Fadlun Rahmandika, Teguh Maliki Ramadhan dan Fajrul Azmi Syahputra diambil
pemiliknya. Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. Insya Allah, husnul
khatimah. Berharap posisi Beliau dapat digantikan secara otomatis, peraturan
yang berlaku tidak memungkinkan.
Keberangkatan
Menuju Tanah Suci
Akhirnya 18 September 2014 penulis
beserta rombongan berangkat dengan
Garuda nomor GA-3115 pukul 16.30 dari Bandara Polonia, Medan. Dilepas
anak-anak dan ibunya, Lilis Erni Pilli, penulis diantar sampai pendopo
Umar Baki sehari sebelumnya. Dalam pembagian kelompok, penulis dipercaya
menjadi ketua regu/karu. Bagi jemaah haji gelombang pertama, penentuan di mana
awal miqat tidak ada masalah. Pesawat yang membawa jemaah ke Madinah terlebih
dahulu, mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah, mereka
mengawali ihram dari Birr Ali. Tidak satupun yang tidak sepakat. Tidak demikan
dengan mereka yang tergabung dalam gelombang ke dua. Penentuan awal miqat masih
menjadi perbedaan termasuk di kalangan pimpinan persyarikatan Muhammadiyah.
Meski sudah ada keputusan tarjih terhadap masalah ini yang membolehkan Bandara
King Abdul Aziz (KAA) Jeddah bisa menjadi tempat miqat. Paling tidak itulah
yang penulis lihat dan rasakan. Sebelum berangkat, ketika masih
mengikuti manasik untuk persiapan keberangkatan para pembimbing di KBIH IPHI
Binjaipun ada 2 versi. Miqat harus di Yalamlam, dalam arti di pesawat sudah
harus dalam keadaan berihram. Bagi yang berfaham seperti ini menekankan jangan
sampai nilai rupiah ibadah haji yang lumayan besar, yang sudah dikeluarkan
sia-sia karena tidak diterimanya ibadah haji kita. Waktu yang tersedia di
bandara tidak memungkinkan jemaah untuk mandi, berihram dan sholat 2 rakaat !.
Bagi mereka berfaham boleh miqat di Bandara, sedikit longgar !. Karena tidak
harus krasak krusuk berihram di pesawat. Apalagi saat harus ke toilet pesawat
dengan kapasitas ruangan toilet sedemikian rupa. Seminggu sebelum berangkat, penulis dan
3 kawan lain dari persyarikatan membahas boleh tidaknya mengambil miqat di
bandara. Terlibat dalam diskusi ini, ketua Majelis Tarjih dan tajdid PD Muhammadiyah Binjai, H. Supriady Hasan
Basri. Berpedoman referensi yang ada, termasuk keputusan tarjih, disepakati bolehnya
miqat di bandara. Kenyataannya, dua diantara kami toh masih berihram juga di
pesawat !. Jadilah dalam pesawat itu, rombongan Gelombang ke-2, kloter 15
MES terdiri dari Binjai, Medan dan
Tanjungbalai 2 versi, sebahagian berihram di pesawat (sebahagian besar
rombongan Binjai) dan sebahagian yang lain di Bandara. Rombongan jemaah haji Medan,
pimpinan Dr. Maratua Simanjuntak awalnya
juga berkeinginan ihram di pesawat, tapi setelah diberi penjelasan oleh Al Ustadz
Irwan Syahputra (Sekretaris PW Muhammadiyah, Sumatera Utara) yang bertugas
sebagai wakil pimpinan kloter, Beliau turut. Beliau dan rombongan yang
dibawanya, berihram di Bandara. Penulis, yang menjadi karu 8 juga
memberikan penjelasan kepada teman-teman satu regu, bolehnya berihram di
Bandara. Alhamdulillah, mereka turut. Mendarat dinihari di bandara, masya allah,
penulis cari posisi, sujud syukur !. Tidak disangka, seorang cleaning
service di mesjid taqwa Muhammadiyah kebunlada Binjai menginjakan kakinya di
bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Fasilitas mck yang siap digunakan bahkan
sampai untuk berihram, kemudian sholat dua rakaat di dalam tenda super besar,
layaknya musholla di Indonesia dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa
khawatir diburu waktu. Bahkan dengan
beberapa teman yang berihram di bandara
kami masih sempat memesan minuman dan menikmati teh hangat ala bandara,
waktu masih tersisa.
Labbaik
allahumma labbaik. Labbaikala syarikalaka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka
wal mulk laa syarikalak. Kloter 15 gelombang kedua yang penulis masuk
dalam rombongan, tidak terdaftar dalam peta persebaran funduuk. Tidak ada dalam
persebaran hotel. Dalam peta persebaran hotel, hanya sampai kloter 14 MES. Pimpinan
kloter sendiri, Drs. H. Baharuddin Damanik tidak tau dimana penginapan kami.
Dimana dibawa petugas, ikut saja. Menjelang waktu shubuh, bus rombongan yang
membawa kami memasuki area Hotel Arkan Bakkah di daerah Mahbas Jinn, tidak jauh
dari terowongan ke masjidil haram dan juga sekitar 2-3 km ke jamaraat.
(Di terowongan mahbass jinn, sebelah kiri hotel Arkan Bakkah)
Subhanallaah, rombongan kami adalah tamu
pertama yang memasuki hotel itu. Ternyata hotel itu, hotel yang baru selesai di
bangun, bahkan di sana sini beberapa pekerja kulit hitam masih melakukan
finishing, poles sana poles sini. Karena kami tamu pertama, penyambutan jadi
istimewa. Makanan ringan dan minuman segar telah tersedia. Disediakan khusus
untuk kami. Dalam kesempatan lain, al ustadz Dr. Maratua Simanjuntak (ketua
forum kerukunan umat beragama Sumatera Utara) yang masuk dalam rombongan kloter
15 MES, yang sudah berulang kali ke Mekkah, mengaku inilah tempat yang
dirasakan paling mewah. Beberapa teman dari kloter lain juga mengakui hal
demikian. Fasilitas hotel luar biasa. Di kamar mandi, perlengkapan untuk mandi
tersedia, lengkap. Di kamar tidur, di dalam kulkas minuman soft drink dan buah
tersedia. Cukup banyak. Selama di hotel, untuk minuman soft drink tidak pernah
kehabisan. Aqua galon tersedia di depan pintu masuk. 1 galon setiap tiga kamar
!. Di lantai paling atas, puluhan mesin cuci baru dikeluarkan dari kotaknya
tersedia. Petugas cleaning service membersihkan tempat cuci stand bye untuk
mengeringkan genangan air buangan cucian.
Beberapa kali penulis menikmati sholat malam di lantai paling
atas hotel Arkan Bakkah. Beratapkan langit, menikmati nikmat Allah swt yang sungguh
tidak terkira !. Menikmati sunrise, matahari terbit di timur dan sunset
matahari terbenam di barat kota Mekkah. Subhanallaah.
Pertama
sekali menatap Ka’bah, tidak terasa air mata membasahi pipi. Hati dan jiwa
tergetar menatap bangunan agung. Subhanallah. Usai melaksanakan tawaf qudum,
istirahat kembali ke hotel. Kali kedua, bareng teman penulis kembali
tawaf. Air mata masih meleleh. Waktu menjelang masuk shubuh. Disela kesibukan
mencari posisi, seorang jemaah menawarkan kami di sisi beliau. Alhamdulillah. Dengan
kesungguhan yang ada, atas izin Allah tangan mungil penulis sempat
mengusap piringan hajar aswad. Kami juga sempat melaksanakan sholat dua rakaat
di Hijr Ismail. Walaupun untuk memperoleh itu, harus mengikhlaskan diri disikut
sana, di sikut sini. Bahkan kepala teman penulis sempat tidak kelihatan.
Penulis sempat ketakutan, sempat histeris. Khawatir kalau si teman
kepalanya diinjak-injak orang. Ya Allaaah.
Menjelang
dan sesudah pelaksanaan wukuf di Arafah ada juga diantara teman teman rombongan
yang melaksanakan umroh berkali-kali. Beralasan, aji mumpung. Mumpung ada
kesempatan. Orangtuanya yang sudah meninggalpun mereka umrohkan. Begitulah
keyakinan mereka. Penulis sendiri, kalau tidak diberi tahu ustadz Irwan
Syahputra, juga mau jadi Pak Turut. Pelaksanaan wukuf di Arafah pada haji tahun
2014 itu bersamaan dengan hari Jum’at. Di Indonesia dikenal dengan haji akbar.
Hal ini membuat situasi di Arafah semakin ramai, karena penduduk pribumipun
ikut melaksaksanakan wukuf di Arafah. Jarang ditemukan wukuf di Arafah
bersamaan dengan hari Jum’at. Jika hari hari biasa pelaksanaan wukuf, penduduk
pribumi banyak berliburan ke luar negeri. Tapi tidak, jika pelaksanaan wukuf jatuh
hari jum’at. Tanggal 8 Zhulhijjah pagi hari, di depan hotel kami sudah banyak
orang berjalan kaki menuju arafah. Hujan sempat membasahi bumi Mekkah. Tidak
lama !. Sementara rombongan kami bakda ashar bersiap siap menuju arafah. Ini kali ke dua, penulis ke Arafah. Sebelumnya, sekedar berziarah
sesuai schedule yang telah ditetapkan dalam buku panduan. Sebagai bagian dari
hak peserta ibadah haji. Disaat tengah hari, panas menyengat. Tidak sedikit
para jemaah mendaki sampai ke puncak jabal rahmah. Berbagai tingkah laku
manusia bisa dilihat, mulai dari berdoa menghadap tugu sampai tindakan kanibal,
menulisi dinding batu di sekitar jabal. Walaupun berjarak sekitar 25 km dari
Mekkah, karena kepadatan arus lalu lintas, waktu yang ditempuh jadi cukup lama.
Di Padang Arafah, hanya berbalut dua helai kain ihram yang sudah dipakai sejak
keberangkatan dari hotel. Setelah pelaksanaan sholat zhuhur jamak taqdim qashar
dengan ashar dilanjutkan dengan khutbah arafah. Kamar mandi tempat mck
yang tersedia cukup memadai. Dua lantai.
Lantai atas ruang terbuka. Dari atas dapat dilihat sejauh mata memandang, tenda
melulu. Bahkan tugu jabal rahmahpun tidak kelihatan dari lokasi posisi
rombongan kami berasda. Kadang terlihat sirine ambulan, membawa jemaah safari
wukuf. Karena dalam kegiatan satu ini, tidak boleh diwakilkan. “Tidak ada haji
tanpa wukuf (di) Arafah, demikian sabda Rasulullah saw. Di tenda kami, barengan
dengan wakil walikota Binjai, Timbas Tarigan,
khutbah arafah disampaikan Dr. Maratua Simanjuntak. Selesai khutbah,
masing masing mencari tempat untuk berdoa. Sebagian ada juga yang bertahan di
tenda. Beralaskan kertas kardus yang ada, penulis mengambil posisi
tersendiri, berkhalwat. Menumpahkan segala yang mengganjal. Berharap belas
kasihan Allah swt. Isak tangis menyesali
kesalahan prilaku dan banyaknya beban dosa yang dirasakan, membuat tangis dan
ingus meleleh. Ya Allah........
(Di lantai atas
kamar mandi, Padang Arafah)
Menjelang
isya rombongan bersiap menuju muzdalifah. Mengambil batu !. Tengah malam,
beratapkan langit yang cerah sejauh mata memandang manusia berihram masing
masing sibuk dengan kegiatannya. Kalau di Arafah masih ada tenda, tidak untuk
di Muzdalifah. Karena hanya sesaat singgah untuk mengambil batu dan bersiap
siap ke mina. Langit kota Mekkah, sangat bersahabat. Mutiara-mutiara langit
menghiasi pandangan. Kelap kelip, berzikir !. Justru kesakralannya lebih terasa di sini.
Paling tidak itu yang penulis rasakan. Usai sholat shubuh, rombongan
kami menuju Mina. Beberapa barang tercecer, seperti rial, arloji. Satupun tidak
ada yang berani membawanya. Istirahat di tenda, kegiatan dilanjutkan dengan
melontar jumrah aqabah. Penulis dan rombongan kebagian lantai 3
jamaraat. Usai menjelang zhuhur mahkota di kepalapun dicukur habis. Tanggalah
pakaian ihram. Dengan pelaksanaan nafar sani, hari hari selanjutnya lempar
jumrah dapat dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah, menjelang zhuhur !. Berangkat
dari tenda, pukul 11.00 waktu setempat, sampai di lokasi jamaraat menjelang
zhuhur. Alhamdulillah, semua terasa dimudahkanNya. Kembali ke penginapan, Arkan Bakkah. Penulis
dan beberapa teman lain membawa banyak buah dan minuman kaleng sisa dari dapur
umum di Mina.
Bermodalkan berkali kali ke Masjidil
haram, baik sendiri maupun bareng teman rasanya tidak mungkin tersesat.
Kesombongan dalam hati ini ditegur Allah swt. Selesai tawaf, pintu keluar yang
biasa penulis lalui berbeda. Jadilah penulis terbodoh.
Linglung. Bingung. Penulis tersesat.
Tanya sana, tanya sini bingung. Jam gadangpun tidak kelihatan. Penulis sadar.
Penulis istighfar. Penulis kembali masuk ke area tawaf dan
mengikuti penunjuk arah masa’i. Akhirnya penulis kembali menemukan jalan
keluar. Astaghfirullah.
Berkunjung ke Gua Hira’ dan Jamarat
Oleh
wakil pimpinan kloter 15 MES, ustadz Irwan Syahputra penulis ditawari ikut rombongan Beliau
ke gua hira’. Pukul 03.00 dinihari kumpul di lobby hotel Arkan Bakkah. Bersama
kami, turut serta bapak Timbas Tarigan (wakil walikota Binjai) dan 2 teman yang
lain. Dari seberang hotel, naik bus gratis ke masjidil haram. Berjalan kaki di
sisi kanan masjidil haram sampai ke jalan raya, kemudian kami naik taxi. Jarak
yang hanya 6-7 km ditempuh dalam waktu singkat. Jabal nur (Gunung Cahaya) yang
di puncaknya terletak gua hira’ termasuk tempat favorit yang dikunjungi jemaah
yang melaksanakan ibadah haji dan atau umroh. Disinilah Muhammad dilantik
menjadi Nabi dan RasulNya. Segera setelah Jibril as menyampaikan wahyu surat al
alaq 1-5. Saat itu usia Beliau, Nabi Muhammad saw sekitar 40 tahun 6 bulan 8
hari menurut kalender Qamariyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kalender
Syamsiyah. Tinggi puncak gunung cahaya diperkirakan sekitar 200 meter
dikelilingi gunung dan bukit batu yang curam. Gua hira’ sendiri terletak di
belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit dengan ketinggian
sekitar 2 meter. Karena kurang berkoordinasi, pendakian dilaksanakan
sendiri-sendiri. Jalan menuju puncak sudah dikondisikan sedemikian rupa. Ada
anak tangga sedemikian rupa yang dibuat oleh mereka kaum pendatang yang umumnya
berkulit hitam. Tua muda, silih berganti. Ada yang turun, tidak sedikit pula
yang naik. Menjelang puncak, di kiri kanan akan kita jumpai orang-orang
berkulit hitam yang cacat. Mereka kaum pendatang yang karena sesuatu dan lain
hal dibuat cacat. Hidup mereka dari mengemis. Menjelang puncak, penulis
masih berpapasan dengan bapak Timbas Tarigan yang beristirahat. Tidak lama
sampai di puncak, sayup kedengaran azan shubuh. Dengan kondisi seadanya, penulis
berbaur dengan pengunjung lain melaksanakan shubuh berjemaah. Situasi masih
gelap gulita. Gua hira masih harus turun sedikit ke bawah.
(Selangkah
lagi, Gua Hira’)
Berjalan perlahan tanpa penerangan. Puluhan
manusia mencari posisi masing-masing. Ketika sampai ke lorong sempit menjelang
gua, penulis mengurungkan niat untuk masuk. Situasi gelap gulita membuat
nyali penulis tidak cukup berani untuk masuk. Terpaksa penulis
bertahan. Menunggu sampai waktu dan situasi sedikit agak terang. Disela
penantian, ustadz Irwan Syahputra memanggil penulis. Mengajak ke ruang
yang lebih terbuka di sisi lain di gunung cahaya. Seiring dengan terbitnya
matahari, dikejauhan terlihat jam gadang masjidil haram. Makin terang, makin
jelas lingkungan jabal nur. Jabal yang terdiri dari bebatuan besar dan tandus.
(Puncak Jabal
Nur)
Sulit
dibayangkan, bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalani rutinitas keseharian
beliau di sini dengan hanya berjalan kaki dari rumah beliau yang sekarang
menjadi perpustakaan. Paling tidak 8-9 km jalan yang tandus dan tebing batu
yang curam harus beliau lalui untuk mencari petunjuk Allah swt. Mengasingkan
diri sebagai protes melihat sikap jahiliyah masyarakat di lingkungannya. Setelah
mengalami perjuangan lumayan melelahkan, penulis sampai juga ke lubang
gua. Penulis harus puas dengan hanya melihat, melongok sedikit situasi
di dalam gua. Karena masing masing pengunjung berusaha untuk masuk. Ketika
turun, penulis menemukan seekor kambing kecil. Ajaib, kambingnya sangat
jinak. Malah penulis sempat foto bareng kambing. Rombongan berangkat 5
orang, yang pulang ke hotel barengan 3 orang dan dua lainnya, masing-masing.
Dikesempatan
lain, dengan rombongan berbeda penulis dengan kawan kawan berkunjung ke
jamaraat. Hanya dengan berjalan kaki, lokasi jamaraat di sebelah kanan hotel
Arkan Bakkah tempat kami menginap. Situasi sepi. Hanya beberapa pengunjung
terlihat menikmati arsitek bangunan jamaraat. Memasuki area jamaraat, kami
turun menggunakan eskalator untuk sampai ke tingkat lebih bawah.
(Bersama Timbas
Tarigar, wakil walikota Binjai, di Jamaraat)
Situasi lingkungan berubah, dari
modal bahasa yang dikuasai oleh salah seorang teman, kami kembali ke hotel
Arkan Bakkah. Kami datang di lantai dua jamaraat dan pulang dari lantai dasar
!. Selama di Mekkah, usai pelaksanaan
haji, kegiatan sholat di Mesjidil Haram, kadang shubuh sampai zhuhur. Kadang
Ashar-Magrib. Kadang di dalam area Masjil Haram, Kadang di luar. Sekali waktu,
karena usai sholat yang keluar ratusan jemaah dan saling dahulu mendahului, penulis
mencoba jalan memutar. Penulis ambil jalan memutar dari sisi kiri
rumah nabi, terus kebelakangnya melalu jalan setapak sampai akhirnya tiba di
stasiun bus. Walau agak jauh, tapi tidak perlu berdesak-desakan. Kadang di
ruangan luas yang telah disediakan hotel. Kadang di mesjid dekat terowongan di
daerah mahbass jinn.
Madinah
Di Madinah, penulis beserta rombongan kebagian hotel lapis
ketiga dari pagar mesjid nabawi gate 8. Dari pintu 8 ini berjalan lurus sampai
menjelang pintu 6, posisi raudhah ada di sebelah kiri. Di sebelah kanan mesjid
nabawi dari gate 8 ada bangunan memanjang. Mirip sekolah. Sebelum penulis mengetahui
bangunan apa gedung itu, penulis pernah ditanyai jemaah lain dari
Indonesia, “Dimana museum asmaul husna....?”. Penulis menggeleng, tidak
tahu. Dalam suatu kesempatan, menjelang ashar penulis berniat ke
raudhah. Masuk dari babu ssalaam, antri. Dengan bahasa arab sepotong-sepotong,
penulis keluar dari antrian. Ambil jalan pintas, satu lapis dari mimbar di
raudhah, seorang petugas keamanan menarik lengan penulis dan menyuruh
berdiri persis disisi kanan mimbar. Subhanallaah. Kesempatan tersebut tidak
disia siakan. Sambil berzikir dan berdoa, penulis perhatikan persis
dibelakang posisi muazzin. Jadilah ashar di sisi kanan mimbar kemudian bergeser
sedikit ke kiri bahagian dari raudhah. Penulis sempatkan sholat dua
rakaat persisi di depan Mihrab, gumaman rasa syukur diberi kesempatan sholat
ashar dan berdoa di raudhah, membuat penulis seperti bermimpi. “Ya
Allah, janganlah kehadiran hamba di sini adalah kehadiran terakhir, berilah
hamba dan seluruh keluarga hamba, isteri dan anak anak hamba untuk dapat juga
beribadah di taman surga ini ya Allah.......”. Area raudhah ditandai dengan
karpet hijau. Membentang dari rumah Rasulullah SAW (yang kini menjadi makam
beliau) hingga ke mimbar. Sekitar 26 x 15 meter. Selain area raudhah (karpet
hijau), semua area sholat masjid Nabawi berkarpet merah. Jadi selama yang kita
injak masih karpet merah, ya belum sampai di Raudhah. Wallahu a’lam. Menjelang
keluar, di sisi kiri ada makam yang mulia Rasulullah Muhammad saw beserta
sahabat-sahabat beliau, Abu Bakar Sidiq dan Umar bin Khatab. “Assalamu’alaika
ya Rasulallah, Assalamu’alaika ayyuha nnabiyu warahmatullaahi wa
barakaatuh......”. Keluar dari mesjid nabawi, sisi kanan ada hamam 7. Kamar
mandi 7.
(Di depan salah
satu mesjid Nabawi)
Melangkah terus, di sisi kiri bangunan seperti sekolah, itulah
museum asmaul husna. Bangunan 2 petak yang terhubung. Satu bangunan berisi
diorama perkembangan kota Madinah, diawali dengan silsilah nabi Adam as sampai
pada nabi Muhammad saw. Terdapat di dalamnya market mesjid nabawi dari awal
sampai seperti sekarang. Bangunan satu lagi, asmaul husna !. Nama-nama Allah
dengan segala penjelasan ayat al quran pendukungnya. Ada juga komputer layar
sentuh menyajikan kebesaran Allah. Tidak banyak yang tahu keberadaan gedung
mirip sekolah ini. Tidak jauh dari gate
6, terdapat beberapa bangunan sejarah antara lain mesjid Abu Bakar, Mesjid
Ghamamah dan Mesjid Ali Sayangnya ketika penulis berkunjung ke sana,
mesjid dalam keadaan terkunci. Terkesan kurang perawatan !. Lebih lebih mesjid
Abu Bakar yang terletak agak di pojok pasar. Ada dua versi tentang latar belakang sejarah Masjid Abu
Bakar, versi pertama menyebutkan bahwa di lokasi masjid ini, Khalifah Abu Bakar
Siddiq semasa hidupnya pernah menyelenggarakan sholat Hari Raya bersama Rosululah
dan muslim terdahulu. Versi kedua menyebutkan bahwa dilokasi masjid ini berdiri
dulunya merupakan rumah kediaman Abu Bakar Siddiq. R.A. Dibangun dengan batu basal. Bagian dalam dicat dengan
wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan. Di sebelah kanan dan kiri
jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang Menara adzannya berada di sudut timur laut. Bagian fondasinya
memiliki area persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir
dengan muqamas penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam
berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk bulan sabit.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah. Masjid Ghamama berada sekitar 300 meter sebelah barat daya (sebelah timur bagian selatan) Masjid Nabawi, tak bejauhan dengan Masjid (Sahabat) Umar r.a dan Masjid (Sahabat) Ali r.a. Bangunan masjid ini dibangun untuk mengenang beberapa peristiwa penting dimasa kehidupan Rosulullah S.A.W. dan peristiwa peristiwa penting tersebut juga yang hingga kini melekat sebagai nama masjid ini. Disebut sebagai masjid Ghamama (Ghamama = awan mendung), di lahan masjid ini berdiri merupakan tempat Rosulullah S.A.W melaksanakan Salatul Istiskah (sholat untuk meminta hujan). Segera setelah pelaksanaan sholat awan mendung pun datang dan hujan pun turun. Itu sebabnya sampai kini masjid ini disebut Masjid Ghamama.Disebut sebagai Masjid Id (Masjid hari raya) karena di lokasi tempat masjid ini berdiri merupakan tempat Nabi Muhammad S.A.W melaksanakan sholat hari raya di empat tahun terahir kehidupan Beliau. Yang ketiga mesjid Ali. Masjid ini berbentuk persegi panjang. Dari timur ke barat, panjangnya 35 meter dan lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah; timur dan barat dengan satu kamar kecil. Pengunjung cukup puas menikmati bangunan mesjid mesjid tersebut dari luar.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah. Masjid Ghamama berada sekitar 300 meter sebelah barat daya (sebelah timur bagian selatan) Masjid Nabawi, tak bejauhan dengan Masjid (Sahabat) Umar r.a dan Masjid (Sahabat) Ali r.a. Bangunan masjid ini dibangun untuk mengenang beberapa peristiwa penting dimasa kehidupan Rosulullah S.A.W. dan peristiwa peristiwa penting tersebut juga yang hingga kini melekat sebagai nama masjid ini. Disebut sebagai masjid Ghamama (Ghamama = awan mendung), di lahan masjid ini berdiri merupakan tempat Rosulullah S.A.W melaksanakan Salatul Istiskah (sholat untuk meminta hujan). Segera setelah pelaksanaan sholat awan mendung pun datang dan hujan pun turun. Itu sebabnya sampai kini masjid ini disebut Masjid Ghamama.Disebut sebagai Masjid Id (Masjid hari raya) karena di lokasi tempat masjid ini berdiri merupakan tempat Nabi Muhammad S.A.W melaksanakan sholat hari raya di empat tahun terahir kehidupan Beliau. Yang ketiga mesjid Ali. Masjid ini berbentuk persegi panjang. Dari timur ke barat, panjangnya 35 meter dan lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah; timur dan barat dengan satu kamar kecil. Pengunjung cukup puas menikmati bangunan mesjid mesjid tersebut dari luar.
Jika kita keluar dari gate 1 atau 2 menyeberang jalan,
melewati bawah jalan layang, di situ ada mesjid Bilal. Terletak lebih kurang
700 meter menyeberang jalan King Faisal. Mesjid ini berlantai dua, di bawahnya
kios-kios tempat orang berdagang. Disalah satu ruangan kiosnya juga ada kantor
pos. Sebagai seorang filatelis, penulis sempatkan membeli souvenir
sheet, perangko dan amplop. Penulis sempat sholat maqrib dan isya di
sini. Artinya penulis tidak terlalu fokus mengejar arba’in yang oleh
sebahagian jemaah menjadi suatu kewajiban. Ketika berwudhu’ di kamar
mandi, penulis menemukan seorang anak muda dari Jawa. Bertugas sebagai
cleaning service. Usai sholat maqrib, imam sholat 2 rakaat, 3 kali. Penulis penasaran.
Penulis beranikan untuk bertanya, ayyu sholah ya abi ??. Rasulullah
sholat bakda maqrib, wahid marrah, rak’atain !!. Wa lakin, anta sholat tsalatsa
marrah, rak’atain, rak’atain. Imamnya terkejut, Beliau tinggalkan penulis.
Beliau ke belakang, duduk di tempat yang telah disediakan. Beberapa jemaah
mengikuti beliau, duduk setengah lingkaran. Ada juga beberapa bocah belajar
membaca al qur’an. Penulis nimbrung. Si imam menuangkan minuman ke beberapa
gelas seperti kemasan aqua dan membaginya ke jemaah yang ada kecuali penulis.
Kemudian beliau juga menawarkan kurma. Tidak kepada penulis. Akhirnya penulis
ambil sendiri, minuman termasuk kurma yang ada. “Halal ya abi ??” Beliau
menjawab dengan bahasa isyarat. Mempersilahkan. Ketika mengulang wudhu untuk
isya, setelah berwudhu dan akan sholat sunat 2 rakaat, seseorang menghantarkan
kepada penulis minuman. Rasanya berbeda. Bakda sholat isya, penulis sempatkan
bertanya kepada pemuda yang bertemu di kamar mandi mesjid perihal minuman yang
berbeda rasanya ketika diberi imam selesai maqrib tadi. Pemuda itu menjelaskan,
kalau di Indonesia namanya jamu. Istilah di situ qahwah !!. Melihat dialoq penulis
dengan pemuda itu, seorang jemaah paruh baya menyalami dan bertanya ke penulis
“Aanta hajj ?” “Na’am, ana haji minal Indonesia”. Beliau bertasbih dan berdoa,
“Subhanallah, Mabrur, Mabrur”. “Min aina anta?”, “Ana min Iraq, Ana ‘amil
huna”. Demikian obrol singkat penulis
dengan seorang jemaah ketika sholat maqrib dan isya di mesjid Bilal dengan
seseorang yang mengaku pekerja dari Iraq.
Dikesempatan
lain penulis berziarah juga ke mesjid Ijabah. Dari tanya sana sini sama
pribumi yang ketemu di jalanan penulis diantar kejalan raya yang membawa
penulis akhirnya sampai ke mesjid
Ijabah. Dibandingkan masjid-masjid yang ada di Madinah, masjid ini tidak
terlalu besar. Bercat paduan warna krem dan coklat tua, masjid ini dilengkapi
sebuah menara tinggi menjulang. Meski letaknya di pinggir jalan raya, persisnya
Jalan As-Sittin, Distrik Bani Muawiyah, masjid ini tidak terlalu mencolok
karena hampir menyatu dengan toko-toko yang ada di sekitarnya.Di sisinya ada
rumah sakit. Penulis sempat sholat Ashar di sini. Tersedia juga aqua
galon yang siap diminum. Saat penulis di sini, sedang ada tausiyah dari
kelompok jemaah negara lain. Penulis
juga sempat bertemu dengan warga negara Indonesia yang bekerja di Madinah dan
harus rela mengeluarkan uang jutaan untuk mendapatkan haji akbar. Dengan
berbagai cara dia tinggalkan pekerjaannya, naik bus ke Mekkah dan tidur
seadanya di Arafah saat wukuf dan aktifitas lain dalam rangka pelaksanaan
ibadah haji. Ketika kembali ke pemodokan, beberapa hotel sudah dikosongkan
bahkan diantaranya ada yang sudah dibongkar dalam rangka perluasan area mesjid
Nabawi. Tidak sengaja penulis melihat satu bangunan mesjid disela-sela toko. Di
dinding sebelah kiri mau masuk tertera jelas tulisan mesjid al Bukhari. Pintu
tidak terkunci, di dalamnya bersih. Apakah digunakan atau tidak wallahu a’lam.
Melihat kondisi mesjid yang bersih dan terawat, penulis berkeyakinan
mesjid itu digunakan walaupun posisinya sangat dekat dengan mesjid nabawi
khususnya gate 12.
10 hari di Madinah, penulis maksimalkan
mengamalkan hadits Rasulullah berikut
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو
الْأَبْرَدِ مَوْلَى بَنِي خَطْمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ
وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu
Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Abdul Hamid
bin Ja'far] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abul Abrad] mantan budak
bani Khathmah, ia mendengar [Usaid bin Zhuhair Al Anshari] -ia termasuk sahabat
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam- ia menceritakan dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Shalat di masjid Quba seperti
melakukan Umrah.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا
حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
سُلَيْمَانَ الْكَرْمَانِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ
يَقُولَ قَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ فَصَلَّى فِيهِ
صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Ammar]
berkata, telah menceritakan kepada kami [Hatim bin Isma'il] dan [Isa bin Yunus]
keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sulaiman Al
Karmani] berkata; aku mendengar [Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif] berkata; [Sahl
bin Hunaif] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba dan
shalat di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala umrah. [HR. ibnumajah
No.1402]
Selesai
sarapan penulis berjalan kaki dari hotel masuk gate/hammam 8, terus
sampai ke gate 6. Di jalan raya, banyak angkot menawarkan jasa angkutan. “quba......quba”
kata supir. “Kam riyal ?” “Isna riyal” jarinya mengisyaratkan angka 2. Jadilah penulis
barengan dengan jemaah haji negara lain ke mesjid quba.
(Prasasti di
sisi kiri Mesjid Quba)
Ada 4-5 kali atau 4-5 hari hal
demikian penulis lakoni. Kadang belum jauh masuk area mesjid ada
odong-odong. Kenderaan roda empat yang bersambung-sambung seperti kereta api. Penulis stop. “Ila aina ???” tanya
supir. “Baabun sittah ?” “Tafadhal” ujarnya. Lumayanlah, tidak terlalu
melelahkan di banding berjalan kaki. Kadang terjadi dialog singkat. “A anta,
zahabta ila Indonesia ?” Tanya penulis pakai bahasa yang penulis maksud,
“Engkau, Pernahkan engkau ke Indonesia ?” “Na’am. “Ila aina lau anta tazhaabu
ila Indonesia ?” “Puncak, Bogor !” Jawabnya. Di mesjid quba, penulis
juga bertemu petugas cleaning servicenya dari Jawa. Orangnya masih muda. Dia
banyak bercerita, termasuk tentang bangunan di sisi kiri Mesjid Quba yang ada
kran air, tapi airnya tidak keluar. Menurutnya itu bekas sumur, di mana di
sumur itu cincin Aisyah (isteri Nabi) jatuh dan tidak ditemukan. Beliau juga
anjurkan penulis, begitu keluar dari mesjid Quba di sisi kiri searah
qiblat mesjid ada bangunan. Ternyata bangunan itu semacam museum. Di dalamnya
ada diorama tentang sejarah mesjid Quba. Layar layar lebar memvisualisasikan
segala sesuatu tentang mesjid quba. Begitu keluar, sama dengan pintu masuk penulis
ditawarkan cd. Harganya 5 riyal. Penulis sempat foto bareng, salah
satu penjaganya bernama Salman, masih kuliah di Universitas Islam Madinah. Penulis
jadi ingat ketika ustadz Irwan Syahputra mengajak penulis ikut
jalan-jalan membelah malam kota Madinah bersama bekas mahasiswanya dengan
mobil. Mobil jenis sedan itu, stirnya sebelah kiri. Bareng istrinya, kami
diajak makan malam di suatu resto. Redup dan dingin karena pengaruh ac sampai
ketulang. Memasuki area Universitas Islam Madinah, tidak bisa masuk terlalu
jauh, karena forbidden.
Sekali
waktu, penulis nekat pulang jalan
kaki. Di tengah jalan ketemu jemaah dari Sunda. Jadilah kami berbarengan. Lebih
banyak yang dilihat. Diantaranya mesjid al Jum’ah. Sayang pintunya terkunci.
Sejarahnya Ketika Rasulullah berhijrah, beliau masuk di perbatasan Madinah pada
hari Senin, Rabiul Awwal 1 H. Saat itu beliau singgah di Quba selama empat hari
hingga Jumat pagi, bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Awwal pada tahun yang
sama. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Tidak jauh dari
Quba, waktu shalat Jumat telah masuk. Beliau pun shalat di Wadi Ranuna. Di
tempat shalat Jumat Rasulullah itu kemudian dibangun Masjid Al-Jum’ah (Jumat).
Masjid tersebut dibangun dari pecahan bebatuan. Masjid ini memiliki menara
tinggi yang sangat indah dan kubah utama tepat di atas area shalat bagian
tengah, ditambah dengan empat kubah kecil.Ada pula mesjid dengan bangunan warna
merah mencolok. Menurut jawaban warga yang ditanya, mereka menjawab, mesjid bin
Laden.
Di
sebelah Babussalaam, persis di seberang hamaam 3 ada pintu masuk ke dalam
mesjid nabawi. Penulis masuk. Naik tangga di sisi kanan. Ketemu
kantor/perpustakaan. Penulis sempat berdialog dengan petugasnya.
“Hal ‘indakum kutubu llughatul Indonesia, mitsal fiqhus sunnah ?”. “Anta mu’allim
?”
“Na’am”
”Min
Indonesia ?”
“Na’am” Saya mengangguk. “Indonesia
Jamil, Indonesia hebat” katanya. Saya Cuma tersenyum. “Uktub ismuka huna”,
katanya sambil menyodorkan daftar isian nama pengunjung. Kemudian dia masuk dan
keluar dengan membawa 1 tas buku buku tafsir, hadits dan buku lain termasuk
beberapa cd diantaranya ada cd maktabah syamiilah. Penulis terus naik ke
atas. Sampai lantai paling atas, penulis perhatikan puncak bangunan
gedung hotel yang kelihatan. Ternyata jalan kembali ke hotel jadi lebih singkat.
(Puncak mesjid
Nabawi menjelang terbit matahari)
Khotimah
Siapapun
PASTI berkeinginan beeribadahah ke haromain. Apakah itu haji atau umroh. Insya
Allah, dengan kesungguhan, bi iznillaah bisa terealisasi. Dari pengalaman yang penulis
alami, paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi mereka
yang hendak berangkat. Antara lain :
-
Walaupun
uang saku sudah disediakan untuk kebutuhan selama di haromain (khusus yang
berangkat haji), tidak salah kalau membawa bekal makanan semaksimal mungkin.
Karena kopor yang dibawa berangkat tidak begitu banyak, cukupkan saja dengan
makanan semisal mie istant dan makanan favorit lainnya. Di hotel sebahagian ada
menyediakan aqua galon yang dengan ini kita bisa menikmati bekal tadi. Tidak
usah pelit. Berbagi saja dengan rombongan kita.
-
Ketika
hendak tawaf, bawa fuluus secukupnya saja. Karena niat kita memang untuk ber
ibadah. Hindarilah bersikut-sikut dengan jemaah lain, apapun alasannya. Kalau
kenyataannya jarak pemondokan cukup jauh dari masjidil haram, jangan dipaksakan
sholat harus ke masjidil haram. Karena
banyak riwayat, selama di tanah haram, di manapun kita sholat nilainya sama
dengan sholat di masjidil haram. Paling tidak itulah petuah ustadz yang penulis
dengar ketika berceremah di mesjid sisi kiri terowongan mahbas jinn.
-
Jika
memungkinkan, jadilah jemaah mandiri dalam arti kata tidak bergantung kepada
orang lain. Jika memang dimintai tolong untuk ditemani ya, tafadhol. Penulis beberapa
kali dimintai tolong ibu-ibu untuk menemani mereka thawaf. Penulis iyakan,
tapi tidak di lantai satu !.
-
Modal
mengetahui dan memahami bahasa Arab, sangat sangat penting. Sepotong dua potong
kata ucapan sehari hari sangat membantu. Gunakan waktu semaksimal mungkin,
lebih-lebih gelombang ke dua untuk menziarahi daerah daerah seputar Mesjid
Nabawi. Apalagi yang tidak fokus pada arba’in. Banyak berjalan, banyak di lihat
dan tentu saja banyak pengalaman.Dan jangan lupakan pula merasakan sensasi
bersantap makanan cemilan kentucky fried chicken ala Madinah yang terletak di
pojok kiri gate 1 mesjid Nabawi. Kalau ke mari sore, dan bersiap-siaplan untuk
antri.
Binjai,
Muharram 1438 H/Oktober 2016 M
Kiriman
Fuad-Binjai