Dari Muktamar ke
Muktamar
Sebelum mengikuti Muktamar Muhammadiyah,
saya sempat beberapa kali mengikuti muktamar organisasi otonom muhammadiyah,
yakni IMM dan Pemuda Muhammadiyah. Muktamar IMM dilaksanakan di kota Padang.
Setelah beberapa lama kepengurusan PP IMM vakum. Keaktifan saya di IMM berawal
ketika memulai perkuliahan di fakultas Sastra USU, jurusan Bahasa Arab. Setelah
mengikuti MAsa KAsih SAyang , kemudian Darul Arqam Dasar dan Darul Arqam Madya
yang master trainingnya ketua DPP IMM, Immawan Wahyudi. Usai mengikuti
pengkaderan, saat penutupan saya menangis. Darah ini perasaannya menjadi
dialiri warna muhammadiyah. Jenjang pengabdian saya dimulai dari komisariat
fakultas sastra USU, PC IMM Medan dan DPD IMM Sumatera Utara. Satu angkatan
dengan saya Anwar Bakti, Shohibul Anshar. Amirsjah Tambunan, Akrim Ashal Lubis,
Nizar Idris dan lain-lain. Termasuk Achlak Sidik Abidin yang pernah saya
idolakan. Pernah ketika pengkaderan, oleh Beliau saya disuruh “meminta” makanan
ke beberapa pabrik/toko roti di sekitar jalan Sutrisno. Dari dua pabrik/toko
yang dukunjungi, satu dapat, satu malah tukang pukulnya yang keluar.Bahkan
ketika PC IMM Medan harus “terusir” dari jalan Gedung Arca, saya dan Amirsjah
Tambunan barengan angkat lemari ke rumah saya di Jl. Halat/Jl. Utama Gang
Setia. Sebelum Muktamar dilaksanakan Musyda bertempat di UMTS Padang Sidempuan.
Jaket almamater saya hilang di sini. Karena sudah dekat dengan kampung halaman,
usai Musyda saya melanjutkan perjalanan ke kampung halaman. Sebelum berangkat
mendapat amanah dari senioren untuk mengantar adiknya ke kampung halamannya.
Dengan senang hati tugas mengantarkan Asliani Musba ke Matur saya laksanakan.
Beliau juga sempat saya bawa ke kampung. Lintas Padang Sidempuan-Bukit tinggi
memang indah.
Muktamar IMM di Padang dilaksanakan di
gedung Seni Budaya tepi Pantai, Padang. Saat istirah dan waktu senggang,
pemandangan laut dapat dinikmati ditemani hembusan angin yang menyapu lembut
wewajah yang menikmatinya. Ketika acara pembukaan, saya ketemu dengan engku
Kasim Munafy, tokoh Muhammadiyah di Pariaman. Usai muktamar saya sempatkan
singgah di simpang Kurai taji. Rumah One. Keberangkatan saya ke Padang tidak
lepas dari bantuan Pembantu Dekan III Fakultas Sastra USU ketika itu. Beliau
aktivis Muhammadiyah di Helvetia. Sementara kami menginap di Asrama haji.
Setiap acara ada bus yang menjemput. Usai acara, diantar kembali ke penginapan.
Kalau tidak salah, salah satu keputusan pokok muktamar adalah menunjuk IMMAWAN NIZAM
BURHANUDDIN SH menjadi ketua DPP IMM dibantu
sekjen M. ARIFIN NAWAWI.
Muktamar berikutnya adalah Muktamar
Pemuda Muhammadiyah. Pertama di Palembang kemudian di Bandung. Keaktifan di
Pemuda, berawal ketika mengikuti pengkaderan di bulan Ramadhan. Salah seorang
narasumbernya ustadz Thosim Burhani. Selesai pengkaderan mendapat KTA,
ditandatangani oleh Dalmy Iskandar, ketika itu sebagai Rektor UMSU. Sempat
aktif di ranting Muhammadiyah Desa Binjai, Pasar Merah Ujung. Dalam setiap
kegiatan, saya terlibat khususnya dalam pengutipan dana untuk mendukung
kegiatan. Di Pasar merah ujung ada Drs. Sunariyadi, guru MAN Medan. Guru kami
termasuk al utadzs Abdullah Sinaga, muallaf. Keaktifan terus berlanjut ketika
orang tua saya mendapat amanah menjadi kepala sekolah di SPG negeri I Binjai.
Saya yang aktivis IMM dan Pemuda Muhammadiyah dilibatkan oleh ketua PCM
Sambirejo, mantri H. Asmat Ali Akbar untuk bisa aktif di Pemuda Muhammadiyah.
Oleh kelurahan saya diminta aktif di kepemudaan desa, tapi saya tolak. Cukuplah
saya di Pemuda Muhammadiyah saja. Kesan khusus aktif di Pemuda saat saya menjadi Master of Training dalam pengkaderan Pemuda Muhammadiyah. Pengkaderan dilaksanakan di TK Kartini. Salah seorang pesertanya, Sujarno. Sekarang pejabat di Pemkab Langkat. Saat itu, isterinya melahirkan. Dia minta saran, siapa nama putera laki-lakinya yang baru lahir. Oleh kawan-kawan, karena Master of Trainingnya Fuad, maka pakailah nama itu. Sujarno juga pengagum Buya Syafi'i Ma'arif. Jadilah nama puteranya Fuad Ma'arif. Fu'ad Ma'arif juga sukses dalam jabatannya. Seperti IMM, muktamar pemuda pun adalah
muktamar sekian lama kepengurusannya vakum. Ketua PP Pemuda Muhammadiyah nya
sibuk dengan tugas lain. Sering ke luar. Sehingga logo muktamar pemuda ketika
itu, gambar burung diibaratkan begitu tingginya terbang burung sehingga lupa
membumi. Turut bersama rombongan kami Bapak Kalimin Sunar, sepuh Pemuda Muhammadiyah.
Acara dipusatkan di USU II, Universitas Sebrang Ulu. Sempat terkenal karena
ketika berlangsungnya acara, panitia membuat WC darurat. Jadilah USU II
memiliki WC terpanjang (di dunia). Waktu senggang saya dan kawan-kawan
berjalan-jalan di jembatan Sungai Musi. Kadang ke taman Sudirman ditemani
beberapa panitia. Salah seorang tim kesenian, karena kukuh mempertahankan
jilbabnya mengundurkan diri dari kelompoknya. Konon, saat penampilan pagelaran
kesenian jilbabnya disuruh buka. Antara penginapan dan lokasi acara, ditempat
yang sama. Jadi tidak perlu repot seperti muktamar IMM. Ketika usai penutupan,
saya dan kawan-kawan masih berjalan-jalan. Menikamati hari terakhir di
Palembang. Saat kembali ke lokasi penginapan, handuk pemberian Ardes Manita
Arleg, dari Pariaman hilang. Padahal dihanduk itu tertera nama saya. Ardes
manita arleg memberi saya handuk bernama sebagai cenderamata. Untungnya tape
recorder sepupu yang kuliah di UNSRI, El Fitri DS tidak turut hilang. Ketika pulang, saya
mendahului karena saya singgah ke kurai taji. Teman-teman rombongan punya
cerita seru ketika pulang. Bus ALS tumpangan mereka ditahan pihak keamanan.
Beberapa anggota rombongan sempat menerima perlakuan yang tidak enak dari
aparat. Sementara si korban tidak tahu menahu dengan kejadian. Di Binjai,
antara empek-empek dan kuahnya berpisah. Sebulan kemudian baru ketahuan, oohh
ini empek-empek !. Ooh ini cukanya untuk empek-empek. Muktamar pemuda
muhammadiyah di Palembang berlangsung
Muktamar selanjutnya yang saya ikuti
adalah Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Bandung. Sebelum berangkat, saya dan kawan-kawan beraudiensi dengan walikota Binjai. juru bicaranya Pariman Susilo. Dia mengaku dekat dengan pak Walikota. Rombongan berangkat melalui jalan darat, sampai ke Bakahueni, Lampung naik ferry ke Merak dan terus ke Bandung. Pada saat acara pembukaan dipintu masuk stadion bertemu dengan Misdi, teman sesama aktifis IMM. Entah kenapa, situasi Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Bandung ini, lebih banyak blank nya. Tidak seperti di Palembang, sebagian besar yang terjadi masih bisa diingat dengatv baik.
Muktamar Muhammadiyah
Pertama sekali mengikuti Muktamar
Muhammadiyah, yakni Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta. Saat
itu sebagai sekretaris Majelis Pustaka saya tereliminasi dari daftar calon
utusan yang akan berangkat karena tidak memiliki nomor baku. Ruangan sekolah
SMP Muhammadiyah 12 Binjai jadi saksi kesedihan saya tereliminasi.Padahal
keinginan untuk berangkat sangat-sangat kuat. Gagal sebagai calon utusan karena
dieliminasi dari bursa pencalonan utusan Muktamar Muhammadiyah ke-42 di
Yogyakarta, membuat saya berpikir keras bagaimana bisa berangkat ke sana. Ketika
sholat maghrib saya terbayang Indosat. Secara kebetulan, saya dapat bocoran
informasi bahwa Dirut Indosat yang baru adalah famili dari Jakarta. Spontan
saya menghubungi panitia untuk meminta proposal. Awalnya ketua panitia,
Supriady Hasan Basri keberatan, kecuali ada izin dari ketua PDM, Bapak Bachtiar
Hasan. Saya pun sowan ke ketua PDM. Minta katabelece beliau agar saya diberi
proposal untuk mencari biaya dana sendiri. Akhirnya proposal pun saya dapatkan.
Dengan berbekal sepotong surat, saya
titip proposal ke satpam di Indosat menerangkan hubungan saya dengan informan
di Jakarta, (adik ibu saya dari UPPINDO, mak tuan Asdie Oedin) dengan lampiran
proposal panitia muktamar. Kebetulan Dirutnya, Abangnda Ir. Ardhin Ikhwan S.MBA
sedang berada di Jakarta.Informasi ini saya peroleh dari penjaga rumahnya. Karena itulah, dititp di kantornya, pada satpam. Karena hari sudah malam. Kantor tutup. Seminggu setelah proposal masuk ke Indosat, melalui
bantuan teman satu esde, di SD Negeri nomor 16 jalan Rahmadsyah/ jalan Japaris
Medan Edi Faisal yang bekerja di PT Telkom
Binjai saya hubungi bang Edi. Gayung
bersambut. Pucuk di cinta rezeki tiba. Sekretaris Bang Ardhin, menyampaikan
berita gembira bahwa proposal pantia muktamar yang meminta 1 tiket pp
Medan-Yogya dapat dipenuhi. Hari berikutnya, melalui tangan bang Ardhin, saya
terima satu cheque yang saya uangkan saat itu di Bank Bali Binjai yang terkenal
dengan logo si jempolnya. Hasil jerih payah saya dapat menembus Indosat jadi
bahan gunjingan di internal PDM Binjai. Seorang anggota Muhammadiyah mendapat
bocoran, PDM Binjai melalui Panitia Muktamar mendapat bantuan dari Indosat.
“Siapa yang menerima bantuan dari
Indosat atas nama panitia muktamar ?”.
“Saya !”. Akhirnya saya buka kartu. Panitia
minta sebahagian. Alhamdulillah, tanpa kerepotan yang berarti akhirnya saya
dapat berangkat bareng rombongan yang lain. Kami dilepas di depan sekolah SMP
Muhammadiyah 12 Binjai, naik bus menuju Belawan. Ketika saya berumah tangga
tahun 1992, Bang Ardin dating bersama isteri Beliau.
“Foto-foto muktamar muhamadiyah ke-42 Yogyakarta
seperti terlihat di bawah ini” :
“(Gambar di atas, saat kami dalam pelayaran
Belawan- Tanjung Priuk, ada Bp. Drs. H. Abdul Choliq, dan teman seperkuliahan, Hadiyar yang secara kebetulan ketemu di kapal )”
Selama di Yogya, kesempatan untuk menikmati liburan
dan suasana Yogya saya manfaatkan betul. Kalau ke Yogya tidak ke Borobudur
ibarat gulai tanpa garam. Dengan rombongan ibu-ibu, akhirnya sayapun
berkesempatan menikmati satu diantara 7 keajaiban dunia yakni candi Borobudur .
kelihatan di foto saya, pak Achmadsjah, Bang Erizal, Kak Wahyuni, Ibu Elly
Marni dan beberapa rombongan lain sebagai wisatawan local foto bareng dengan
wisatawan manca Negara.
Foto dibawah ini, sempat membuat ibu-ibu
rombongan penggembira muktamar muhammadiyah ke-42 Yogyakarta tahun 1990
meradang melihat kelakuan saya yang kurang ajar. Dengan enteng saya redam
kemarahn ibu-ibu dengan mengatakan teman di foto saya itu adalah calon ibu
aisyiyah dari Eropa. Kemarahan ibu-ibu rombongan dapat saya maklumi karena
fotonya dianggap terlalu berani. Weleh-weleh –weleh. Apa boleh buat.
Mudah-mudahan teman bareng di foto ini betul-betul menjadi ibu aisyiyah. Paling
tidak dirinya sendiri menjadi muslimah.
Kenangan manis di candi Borobudur. Yogya memang
ok. Muhammadiyahpun ok. Saya menjadi bagian dari stupa Borobudur.
Bareng ibu-ibu penggembira dari Binjai.
Asssyyyikk.
Ibu-ibupun tak mau kalah dalam mengambil
kesempatan foto bareng dengan Muhammadiyah dan Aisyiyah Eropa.
Ketika acara pembukaan Muktamar
berlangsung di stadion saya dan Bang Erizal tidak dapat masuk. Karena tidak dapat memperlihatkan undangan masuk. Akhirnya kami putuskan ke kantor PP Muhammadiyah. Kami berjalan kaki ke kantor PP Muhammadiyah. Dari tanya sana-sini, akhirnya kami samapi ke kantor PP Muhammadiyah. Saya
langsung buat kartu. Karena segala sesuatunya sudah dilengkapi, tidak sampai 1
jam kartu saya selesai, nomornya 690.239. Dibuat di saat berlangsungnya acara
pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke 42. Kami tidur di rumah warga. Rumah kosong.
Sore hari kami nimbrung di alun-alun. Mencoba berjalan dengan mata terpejam diantara
dua beringin di alun-alun itu tapi tidak pernah berhasil. Karena ada dorongan kuat menulis outobiografi Buya Oedin, Waktu luang saya ingin saya manfaatkan untuk membaca majalah suara muhammadiyah langsung dari pusatnya. Sayangnya, majalah-majalah yang dimaksud tidak disimpan di situ. Saya juga bertemu dengan Bapak Kalimin Sunar dan foto bareng di depan gedung, kantor PP Muhammadiyah.
Dilain kesempatan, masih bersama Bang
Erizal kami menelusuri jalan-jalan kampung. Di suatu rumah kami melihat usaha
rumahan. Sablon baju. Bang Eri banyak bertanya. Di kesempatan lain kami menemukan
usaha mengolah kuningan. Bang Eri juga banyak bertanya. Sekarang Bang Eri menjadi
pengusaha dari konveksi.
Menikmati waktu luang disela-sela
sidang, Bapak Bachtiar Hasan membawa kami ke rumah keluarganya. Oleh
keluarganya, kami dibawa jalan-jalan ke pantai Parangtritis. Berangkat naik bus L-300. Dengan menyewa
kuda, saya sempatkan menikmati eloknya pantai. Kami juga dibawa melihat-lihat
kraton dari dekat. Para abdi dalem kelihatan begitu bersahaja. Pakaian khas
mereka, kelihatan lusuh. Ada kereta kencana. Ada berbagai macam keris. Dan
lain-lain. Terjadi keanehan, semua foto yang diambil dibeberapa sudut keraton, tidak satupun yang jadi. Bapak Ismail Haryono beserta isteri heran. Dari arena Muktamar saya membeli keris sebagai kenang-kenangan.
Muktamar Muhammadiyah Banda Aceh
Sukses mendapat bantuan dari Indosat, saat Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, memberi saya
inspirasi untuk berbuat yang sama di Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Banda
Aceh. Melalui proposal yang ada, saya
kirim surat permohonan ke abangnda Ardhin Ikhwan yang sudah pindah ke kantor
pusat di Jakarta. Dengan melampirkan satu proposal. Alhamdulillah proposal panitia
Muktamar yang saya layangkan mendapat tanggapan. Dana bantuan keluar dari
Indosat Medan. Saya tidak transparan. Sekedar penambah uang saku. Niatpun
disusun dari Binjai. Kebetulan saat itu saya aktip pula di filateli. Kepala
kantor pos Binjai pindahan dari Banda Aceh, Bapak Heri Setianto. Sebelum
berangkat, saya tukar rupiah saya dengan travel cek di kantor pos.
Bus rombongan kami dilepas walikota
Binjai dari depan pendopo, rumah dinas Walikota. Dikawal oleh voredes sampai
keperbatasan kabupaten Langkat. Di bus, duduk bersama saya paling belakang, Pak
Achmadsjah. Ketua PDM, Bapak Taufiq Rahman dan lain-lain. Menjelang Banda Aceh, bus kami tergelincir ke kanan, masuk parit.
Tepatnya di Saree. Hari masih sangat pagi saat kejadian itu berlangsung. Seorang
peserta harus diistirahatkan sebentar. Beliau terpental. Membentur tiang mobil.
Saya keluar melalui sisi jendela sebelah kanan. Tidak sadar bahwa bus oleng
masuk parit. Tanpa sadar kaki melangkah ke ruang kosong. Ruang yang dalam.
Dalam parit. Dada saya terbentur sisi parit. Masih beruntung yang lain tidak apa-apa. Beberapa penduduk berhamburan memberi bantuan. Tidak jauh dari lokasi kejadian, terdapat puskesmas Saree. Korban dibawa ke puskesmas Bidan dan petugasnya masih berstatus PTT.
Menjelang
siang, datang bus pengganti dari Banda Aceh menjemput kami. Ketika turun di
Banda Aceh, karena kelalaian, sepatu saya ketinggalan di Bus. Dibantu Abdul Rahman Ayun dan keluarganya, sepatu itu saya dapatkan kembali, persis ketika bus itu bersiap-siap
akan kembali ke Medan.
Di Banda Aceh, kami menginap di kantor
PPP. Ketika acara pembukaan berlangsung, saya sempat memborong minuman botol
untuk dijual kembali. Jadilah saya penjual minuman. Pembelinya dari dalam
stadion yang kehausan. Saya lemparkan botol minuman, pembelinya melemparkan
uang. Hal itu tidak berlangsung lama. Ada larangan dari panitia. Akhirnya
minuman itu habis dibagi kepada kawan-kawan. Demikian juga ketika ada
kesempatan berjualan di arena bazaar. Bersama Bang Erizal kami menggelar
dagangan di lapangan terbuka. Pedagang lain memakai lapak. Kami tidak. Akhirnya
kegiatan kami dilarang. Berikutnya kucing-kucingan. Sempat dibawa pak
Achmadsjah ke rumah keluarganya untuk makan siang. Rumahnya besar. Kami dijamu di ruang terbuka.
Ketika jalan-jalan ke kantor pos Banda
Aceh dan memperkenal diri sebagai teman Bapak Heri Setianto saya malah
dititipkan surat untuk mendapat fasilitias menginap di kantor pos ujung utara
pulau Sumatera, yakni di Sabang. Pulau we. Niat saya sudah bulat. Berarti saya
harus menyeberang. Rencana tinggal rencana. Hanya selangkah lagi untuk
menyeberang, niat itu tidak kesampaian. Ada kekhawatiran ditinggal teman. Tidak
ada kawan pulang dan lain sebagainya. Apa boleh buat, yang muncul adalah
penyesalan. Menyesal tidak jadi, karena tinggal selangkah lagi. Dari kantor pos
Banda Aceh saya membeli 3 album prangko ASEAN. Bahkan travel cek yang saya beli
di kantor pos Binjai utuh kembali saya uangkan saat pulang dari sana.
Satu kenangan yang lumayan berkesan adalah
ketika menjadi salah satu dari sekian banyak saksi mata saat berlangsungnya
akad nikah keluarga Bapak AM Fatwa yang dilaksanakan di Mesjid Baiturrahman
Banda Aceh. Keringat Beliau berceceran. Kelihatan wajah penasaran. Sang
mempelai berkemungkinan demam panggung melihat banyaknya mata yang menatap saat
terjadinya prosesi ijab qabul sehingga harus diulang beberapa kali.
Saya numpang foto bareng sesaat prosesi ijab
qabul dilaksanakan.
Muktamar Muhammadiyah Jakarta.
Muhammadiyah adalah organisasi terbesar
yang pernah tercatat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia . Tidak sedikit
kader putra putri terbaik Muhammadiyah yang memiliki andil dalam menegakkan
Bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia . Sebut saja, Ki Bagus
Hadikusumo, Kahar Muzakkar diawal-awal kemerdekaan. AR Fachruddin dengan ciri
khas dakwah Beliau, menjadikan Muhammadiyah tetap eksis sampai detik ini.
Karena masa kepemimpinan Beliau, Pemerintah menerapkan azas tunggal. Amien
Rais, yang dengan terawangannya didukung gerakan mahasiswa dan masyarakat,
berhasil mengakhiri sepak terjang kekuasaan orde baru. Insya Allah,
Muhammadiyah akan terus dan tetap eksis sampai akhir zaman.
Muktamar, adalah forum musyawarah tertinggi
dalam persyarikatan. Semenjak 5 periode yang lalu sebelum kepemimipinan
sekarang setiap pertemuan atau Muktamar digelar, senantiasa diramaikan oleh
anggota maupun simpatisan Muhamadiyah. Momen Muktamar yang bersamaan waktunya
dengan liburan anak sekolah, menjadi wahana pertemuan antara anggota dan
simpatisan dari seluruh Indonesia . Dari Sabang sampai Merauke. Bahkan juga
dari luar negeri. Para anggota dan simpatisan yang datang dengan keikhlasan
dari berbagai pelosok tanah air dengan biaya sendiri, menandakan kecintaan
mereka terhadap gerakan persyarikatan yang didirikan KHA Dahlan allahu yarham
ini. Dalam istilah mereka yang datang ini disebut dengan penggembira. Para
penggembira ini, oleh panitia tempat akan disediakan pemondokan seperti di
rumah-rumah penduduk, di unit-unit amal usaha Muhammadiyah seperti
sekolah-sekolah dan unit amal usaha lainnya. Berbeda dengan para peserta yang
diberi mandat oleh persyarikatan dan terikat dengan acara-acara, para penggembira
ini justru bebas dan merdeka. Mereka tidak terikat. Mau kemana, dan mau ngapain
terserah. Biasanya panitia tempat mengadakan kegiatan sampingan untuk para
penggembira. Atau para penggembira sendiri yang berinisiatif jadwalkan kegiatan
internal mereka. Jadi sementara para peserta berkutat dengan berbagai macam
kegiatan untuk memikirkan gerak Muhammadiyah ke depan,para penggembira
menggembirakan hati mereka dengan berekreasi atau aktivitas lain yang tidak
mengikat. Tidak sedikit yang memboyong keluarga besarnya. Anak isteripun
dibawa. Demikian yang saya lakukan di Muktamar ke-44 di Jakarta. Bahkan untuk mewujudkannya, atas kesepakatan bersama isteri, saya menggadaikan tanah sawah di cengkehturi, 4,5 rante lebih sedikit. Uang pembeliannya diperoleh dari Tante Erni, isteri Mak Tuan Asdie Oedin. Mudah-mudahan menjadi amal jariah bagi Beliau. Oleh panitia muktamar, bekerja sama dengan pihak ketiga, diadakan paket wisata. Saya memilih paket wisata. Bersama saya ada pak Achmadsjah, inu Hj. Maimunah Marpaung bersama suami. Penggembira dari Binjai yang ikut paket wisata, cuma kami. Berangkat menggunakan kapal laut. Saya senang, anak dan isteri menikmati liburnya bersama. Walau di kelas ekonomi, justru hal ini menambah suasana kegembiraan tersendiri. Di kapal malah penggembira yang bisa membaca peluang, sudah ada menjual pernak-pernik muktamar. Ketika kapal merapat di tanjung periuk, saya dan kawan-kawan yang ikut paket wisata dijemput tersendiri oleh panitia. Kami berpisah dengan penggembira lain. Oleh panitia, kami diinapkan di cadika bumi perkemahan pramuka cibubur. Melihat kondisi demikian, ibu Hj. Maimunah dan suami serta kami yang dari Binjai keberatan. Kami membayangkan menginap di hotel. Setelah mendapat penjelasan, akhirnya kami bisa menerima. Sewaktu acara pembukaan di lapangan Gelora Bung Karno, kami dapat masuk dengan mudah. Masing-masing kami mendapat undangan dan card sebagai penggembira. Kemeriahan acara pembukaan dapat dinikmati. Anak-anak happy menikmatinya. Setiap hari mereka yang berada di cadika pramuka Cibubur mengisi waktu dengan jalan-jalan. Ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Dufan, Taman Impian Jaya Ancol menikmati pertunjukan lumba-lumba, ke Monumen Nasional (Monas) dan lain-lain. Semua menggembirakan. Kecuali konsumsi yang dijatah sedemikian rupa. Ikut dalam paket wisata penggembira dari Kalimantan. Dari penggembira dari Kalimantan ini saya tahu Binjai nama buah. Buah Binjai. Menurut mereka, buah Binjai tumbuh dengan baik di kampung mereka. Saya juga sempatkan membawa isteri dan anak-anak ke Larangan Indah, Ciledug. Pak Achmadsjah juga ikut. Ketika kembali ke cadika, tempat kami menginap, alhamdulillah lancar. Arah jalan yang dituju berdasarkan feeling saja. Usai muktamar, saya dan keluarga menginap di Larangan Indah. Pada kesempatan ini, saya ditemani adik saya Ferry Furqan mengajak keluarga ke kebun binatang, Ragunan.Dilain kesempatan, menemani isteri berbelanja ke Mangga dua. Yang dibeli kaligrafi berbahan dasar kulit kambing. Perasaan saya, produk yang sama di Pusat Pasar Medan. Tapi menggembirakan isteri, saya diam. Pulang dari Jakarta, kami menumpang bus ALS. 5 bangku. Berjejer. Kaligrafi yang dibeli melalui tawar menawar yang cukup alot, mendapat perhatian extra. Takut rusak. Antara Merak-Bakaheuni, kami semua masuk ke ferry. Bergabung dengan yang lain. Meninggalkan pulau Jawa menuju pulau Sumatera. Sampai ke Medan hari sudah malam. Alhamdulillah, orang tua murid saya di MDA Muhammadiyah Cengkehturi sudah stand by menunggu saya. Cukup lama dia menunggu. Saya memang menelepon dia, untuk bisa menjemput.
Muktamar Muhammadiyah Malang.
Karena sudah berkali-kali berpartisipasi sebagai
penggembira, mulai dari muktamar Muhammadiyah di Yogya, muktamar Muhammadiyah
di Banda Aceh, dan muktamar Muhammadiyah di Jakarta, oleh kawan-kaawan di PDM
Binjai, pada Muktamar Muhamadiyah ke-45 yang lalu di kota apel Malang, saya
ditunjuk menjadi koordinator penggembira dari Binjai dengan tugas
menginventarisir para anggota dan simpatisan yang berminat ikut serta sebagai
penggembira, mendampingi mereka ke Malang dan bertanggung jawab terhadap segala
sesuatu yang menimpa mereka. Begitu sosialisasi muktamar diadakan, beberapa
orang langsung mendaftarkan diri untuk turut serta. Penggmbira yang berangkat
dibagi dua kelompok, satu kelompok dengan pesawat udara, satu lagi kelompok
kapal laut. Karena kemampuan financial saya di kapal laut, maka penggembira
lewat kapal laut jadi tanggung jawab saya. Setiap peserta yang mendaftar,
langsung saya belikan tiket kapalnya. Mengingat bersamaan dengan hari libur
anak sekolah. Sampai H min dua dari jadwal keberangkatan, masih saja ada yang
mendaftarkan dirinya untuk ikut rombongan. Bahkan ada pula diantara penggembira
yang awalnya mendaftar, kemudian menarik kembali pendaftarannya dengan alasan
ingin naik pesawat, belakangan kembali mendaftarkan diri karena beberapa hari
menjelang Muktamar ongkos pesawat mengalami kenaikan yang lumayan besar. Bahkan
tidak hanya mendaftarkan diri sendiri, malah berdua dengan isterinya. Sampai
pada hari keberangkatan, suami isteri yang paling akhir mendaftar sudah
menunjukkn sikap yang lain. Beliau komplain dengan fasilitas yang disediakan
olah travel, karena saling berhimpitan dengan sekalian barang penumpang. Dari
Binjai ke Belawan, kami disediakan L-300. bergabung dengan penumpang lain yang
juga akan berangkat dengan menggunakan kapal laut.
Dilepas oleh PDM Binjai, kamipun berangkat
menuju Belawan. Tercatat ada 17 orang yang harus saya pertanggung jawabkan
selama dalam perjalanan menuju Malang . Dua pertiganya ibu-ibu manula, sebagai
komitmen awal yang telah disepakati, tugas kordinator adalah menghantarkan para
penggembira sampai ke Malang . Selepas di Malang kemungkinan ada penggembira
yang akan dijemput keluarganya atau ingin ke rumah keluarganya, maka itu sudah
diluar tugas kordinator. Dalam perjalanan menuju Belawan, seorang teman peserta
penggembira menelepon saya karena L-300 yang ditumpanginya dengan rombongan
lain mengalamai kerusakan. Teman yang menelepon meminta saya mencarikan
solusinya. Saya katakana saja, karena dia bukan satu-satunya penumpang di L-300
itu, maka berembuk saja antar mereka untuk mencari jalan keluarnya. Bagaimana
mungkin saya di rombongan L-300 yang lain beserta dengan rombongan yang ada
kembali untuk bergabung dengan bus L-300 yang mengalami kerusakan. 10 menit
menjelang kapal melaut, jangkar diangkat, rombongan bus L-300 yang rusak tiba
di Belawan. Saya sempat cemas, karena dari information sudah menginformasikan
agar para penumpang kapal segera naik ke kapal karena kapal akan segera
diberangkatkan. Alhamdulillah. Setelah mencek segala sesuatunya, kamipun
barengan naik ke kapal.
Hari Selasa, hari pertama di kapal, beberapa
bapak-bapak manula rombongsn saya mempertanyakan discount dari harga tiket
kapal. Karena memang tercatat, usia sekian tahun ke atas dengan bukti foto copy
diri akan mendapatkan discount dari Pelni. Awalnya saya sempat kebingungan
untuk memberikan jawaban, karena berapa ongkos yang ditetapkan pihak travel
untuk kelas wisata sebanyak itulah yang saya berikan tanpa mau tahu dengan yang
lainnya. Sebenarnya, jika saja para Bapak-bapak itu menyadari posisinya dan
faham kesepakatan awal, seyogyanya berapa harga segala macam tetek bengek itu,
mereka tidak perlu tahu. Karena panitia pemberangkatan muktamar, c.q kordinator
penggembira telah disepakati dengan biaya lima ratus ribu rupiah adalah biaya
yang dibebankan kepada penggembira yang ingin turut serta ke Malang Perkara
berapa biaya yang digunakan, koordinator penggembira akan mempertanggung
jawabkannya ke PDM melalui panitia pemberangkatan muktamar. Hal ini sudah coba
saya jelaskan, tetapi sebagian mereka tetap mengotot untuk menjelaskan
perinciannya. Masya Allah. Terakhir, kami terpaksa melibatkan pihak Pelni yang
ada di kapal dengan menanyakan segala sesuatu yang menjadi ganjalan para
Bapak-bapak ini. Akhirnya, mereka dapat menerima. Alhamdulillah. Kegalauan saya
menghadapi tingkah para Bapak-bapak manula terbaca oleh ibu-ibunya. Mereka
bersimpati kepada saya dan memberikan saya uang saku. Saya awalnya menampik,
karena saya tidak ingin dikira macam-macam. Karena mereka terus memaksa
akhirnya pemberian mereka saya terima. , Alhamdulillah.
Hari Rabu, hari kedua kapal singgah di Batam.
Beberapa rombongan saya yang mempunyai keluarga di Batam sempat plesiran. Saya
sebenarnya diajak dan sudah saya iyakan walaupun hati mendua. Ikut plesiran
atau tetap di kapal dengan anggota rombongan lain. Akhirnya kedua-duanya tidak.
Karena saya mempunyai sepupu juga di sini, setelah mendapatkan no hp nya, saya
hubungi sepupu dan mendapat jawaban dengan terpaksa tidak dapat menjemput saya
karena sedang ada tugas yang tidak dapat ditinggalkan. Olehnya saya disarankan
untuk menghubungi keluarga yang lain di Batam dan sarannya saya ikuti. Dari
informasi tanya sana tanya sini, saya mengetahui lokasi kantor tempat keluarga
ini bekerja. Karena memang tak jauh dari pelabuhan, dengan berjalan kaki saya
selusuri kota Batam. Yang dicari, tidak ketemu. Ketika kapal kembali melaut,
saya dapat telepon dari panitia Malang menanyakan posisi saya dan rombongan
dimana. Saya jelaskan posisi dan kemungkinan jadwal tiba ke Malang . Saya
betul-betul memaksimalkan kemajuan teknologi yang saya ketahui. Nama rombongan
yang saya bawa, sudah saya fax kan bersamaan dengan no hp saya. Jadi komunikasi
dengan panitiapun berjalan lancar.
Hari Kamis,hari ketiga menjelang kapal tiba,
saya sudah dikontak oleh awak bus yang bakal kami tumpangi menuju Malang .
Dengan hanya 17 penumpang, tidak terpikirkan untuk mencarter bus penumpang.
Saya kontak teman-teman di PP Muhammadiyah, tak ada yang bisa diharapkan.
Akhirnya dengan bantuan keluarga di Jakarta saya minta tolong dicarikan bus
Jakarta-Malang. Keluarga sudah membantu saya, mereka memilih Kramat Jati. Awak
bus inilah yang menghubungi saya dengan mengatakan penumpang lain sudah
menunggu. Cuma rombongan saya yang belum ada. Jadwal keberangkatan bus
Jakarta-Malang pukul 14.00 sementara pukul 15.00 kami masih akan merapat. Jelas
situasi ini membuat saya deg-degan dan tidak enak. Pukul 16.00 kapal merapat, pukul
17.00 kaki baru menginjak Tanjung priuk. Sudah ada bus antar jemput dari Kramat
jati dan satu mobil keluarga. Alhamdulillah, saya sangat gembira semua selamat
sampai di tanjung periuk. Sebahagian ke bus antar jemput Kramat Jati sebagian
nimbrung dengan mobil keluarga karena kapasitas mobil antar jemputnya tidak
mencukupi untuk 17 peserta rombongan saya.
Jakarta menjelang maqrib adalah Jakarta dipuncak
kesibukan dan kepadatan lalu lintasnya karena bersamaan dengan jam pulang
karyawan kantor. Tidakpun jam pulang kantor, Jakarta memang sudah macet,
apalagi pada saat jam pulang kantor. Semua ingin duluan sampai ke tempat. Pada
saat itu ha-peku berdering “Assalamu’alaikum, siapa ini” tanyaku seraya memberi
salam. “Bu Wirda Fuad, dari Binjai” sahut suara di seberang telepon. “Ya ada
apa bu”. “Bagaimana kau ini, anak aku kau tinggalkan sendirian di Tanjubg
periuk”. Jelas ada kekhawatiran dalam nada suara ibu Wirda. “Ah ndak mungkinlah
buk, nanti kucoba mencek di mobil satu lagi, karena kami ada dua mobil dari
Tanjung periuk” Jelasku mencoba menenangkan dirinya.”Apa pula, dia menelepon
dari Tanjung periuk menyatakan dirinya kalian tinggal”, semakin tinggi suara bu
Wirda di seberang telepon. Aku terdiam tidak dapat berbuat apa-apa. Keluargaku
bingung, demikian juga temanku satu mobil. Ketika kujelaskan asal telepon dan
kejadian yang menimpaku, Kuhubungi temanku di bus antar jemput kramat jati yang
dua hari lalu meneleponku di saat bus L-300 yang ditumpanginya beserta
rombongan lain mogok dalam perjalanan dari Binjai ke Belawan. Kutanyakan
keberedaan si A. Begitu mendapat penjelasan si A memang tidak ada, spontan
keluar dari mulutku “Mampus si A tinggal”. Selesai bicara dengan nada demikian,
kurasakan darahku hilang. nyawakupun hilang setengah. Aku betul-betul down.
Keluargaku mengatakan tak mungkin kembali. Kita sudah terlalu terlambat. Hingar
binger suara klakson kenderaan disekelilingku tak lagi kudengarkan. Semua mati.
Semua lenyap. Semua gelap. Mobil yang kutumpangi tidak lagi kurasakan apakah
masih berjalan membelah jalanan Jakara atau tidak. Aku tidak tahu, ntah apa
yang ada dalam jiwaku, dalam benakku. Semua kosong. Semua bolong. Semua
gelap.
Tiba-tiba saja hapeku kembali berdering “Ya,
assalamu’alaikum”, sapaku tak bergairah. “Fuad, kau tunggu anakku di terminal,
dia menyusul naik taxi”. Ternyata bu Wirda yang menelepon. “Ya buk”
jawabku.
Di terminal Kramat jati, kami disambut hujan
seperti air yang sengaja dilimpahkan satu tong besar sekaligus. Hujan
selebat-lebatnya menyambut kedatangan kami. Semua rombongan langsung naik ke
bus kramat jati yang sudah stand by sejak pukul 14.00 siang Sementara
kuperkirakan saat itu sudah pukul 18.00 lewat. Badanku basah oleh lebatnya air
hujan. Lumayan kuyup. Kudengar gerutuan ketidak puasan dari sebahagian
penumpang yang terlunta-lunta karena menunggu kami dan rombongan. Awak buspun
tidak dapat lagi berkompromi. Mereka tidak perduli dengan anak gadis yang
tertinggal di tanjung periuk yang sedang menyusul dengan taxi. Disaat-saat aku
sedang negosiasi dengan awak bus, suara penumpang lain menyuruh supir untuk
segera memberangkatkan bus. Seorang ibu muda dengan terpaksa harus menunggu si
A yang tertinggal. Karena ibu muda ini, bu Ning memang mendapat titipan untuk
menjaga si A, mengingat si A adalah gadis hijau yang baru tumbuh dan belum
pernah ke Jakarta . Terpaksa dan sangat-sangat terpaksa. Bu Ningpun menerima
saranku dan itu pula memang keinginannya. Dia tidak dapat pergi tanpa si A
ikut. Disepakati bu Ning tinggal dan tidur di kantor Kramat Jati. Besok pagi
berangkat barengan dengan si A.
Dalam keadaan setengah menggigil karena
dingin akibat basah oleh air hujan dan mobil yang ber a-ce, seorang ibu
rombonganku menawarkan kain sarung untuk menggantikan celanaku yang memang
kuyup oleh hujan. Aku mengambil posisi di ruang yang disediakan untuk merokok
karena di situ tidak ber a ce. Perasaanku beragam. Serba salah. Serba susah.
Tak tahu mau berbuat apa. Teman yang lainpun tak dapat berbuat banyak. Mereka
semua pasrah tentang apa yang akan terjadi. Semua berharap sama, anak gadis
yang tinggal, dapat bertemu dengan bu Ning dengan selamat. Hampir pukul 23.00,
hapeku berdering, “Ya assalamu’alaikum” sahutku membuka percakapan dengan
salam.”Wa’alaikum salam, Pak Fuad ini kak Naning, saya cuma mau menyampaikan
bahwa si A sudah ada sama saya sekarang” sahut suara diseberang telepon.
“Alhamdulillah bu. Hati-hati ya buk. Mudah-mudahan kita bisa barengan di
Malang. ”. Terus terang, bulu kudukku merinding. Subhanallah. Allahu akbar,
puja dan puji syukur ke hadiratMu ya Allah. Terima kasih ya Allah, Engkau telah
mengabulkan permohonan kami. Mempersatukan si A dengan kak Naning, orang yang
memang diberi tanggung jawab untuk menjaganya Tak putus-putus aku mengucapkan
puji syukur atas keajaiban yang diberikan Allah swt kepada kami. Segera berita
gembira ini kusampaikan kepada rombonganku. Semua mengucapkan puji syukur.
Alhamdulillah. Penumpang lain malah ada juga yang bersimpati, turut
menyampaikan kegembiraannya. Mereka bersimpati padaku. Masalahnya, aku telah
mampu (paling tidak demikian penilaian mereka) mengkoordinasikan rombongan yang
sebahagian besar para manula dan ibu-ibu lagi.
Bayangkan, seorang anak gadis yang masih hijau
konon belum pernah ke Jakarta terlantar di tanjung periuk., sendirian.
Belakangan dari cerita-cerita yang kudengar , ternyata dalam sikapnya yang agak
lasak di kapal ia berkenalan dengan seorang ibu. Si A memang lebih suka dan
lebih sering bergabung dengan teman sekapal yang lain ketimbang dengan
rombongannya dari Binjai.. Barangkali dia punya pertimbangan tersendiri. Begitu
sampai ke darat, langsung si A mencari wartel dan menelepon ke keluarganya.
Kepergiannya ke wartel tanpa permisi dan tanpa sepengetahuan anggota rombongan
lainnya. Aku sendiri, karena tegesa-gesa akibat konfirmasi dari awak bus kramat
jati tentang kegelisahan penumpang yang menunggu kami, tidak lagi mencek
anggota. Siapa sangka, si A nyelonong pergi mencari wartel tanpa pemberitahuan
ke temannya yang lain dalam rombongan ?. Nah begitu selesai dari wartel, dia
kaget dan pucat pasi melihat tidak satupun rombongannya ada. Dia celingak
celinguk sendirian. Dalam kepanikannya dia menelepon keluarganya di Binjai
seperti kuceritakan di atas. Saat itulah, si ibu yang dikenalnya di kapal
menanyai keberadaannya. Sungguh, aku merasakan kasih sayang Allah swt saat itu
terhadap kami sungguh luar biasa. Aku sendiri belum pernah menyampaikan
informasi ke anak gadis ini akan bus yang kami tumpangi menuju Malang .
Analisaku, karena bu Ning lain bus denganku dari tanjung periuk ke terminal
kramat jati, terjadi komunikasi antara si A dengan buk Ning. Karena di tanjung
periuk, aku sudah menerima 17 tiket bus kramat jati yang diurus keluargaku.
Allahu akbar, secara kebetulan, ternyata rumah si ibu persis berseberangan
dengan terminal bus kramat jati. Seterusnya sudah dapat diterka, mereka
menginap di rumah ibu itu. Menurut informasi mereka berangkat keesokan paginya.
Hebatnya lagi, ibu itu adalah penganut nashrani. Masya allah.Luar biasa. Sampai
sekarangpun, jika mengingat kejadian ini, rasa syukur senantiasa saya ucapkan.
Saya tak dapat bayangkan, apa kejadian yang bakal menimpa saya jika saja si A
ini tercecer dan hilang ditelan belantara Jakarta .
Teman sebangku saya di bus Kramat jati mas Edi
Priyono. Beliau menyampaikan rasa simpatinya kesaya dan memberi saya card-name
nya. Beliau mengundang saya jika ada masalah, jangan sungkan menghubungi dia di
Malang . Seyogyanya, menurut jadwal bus masuk kota Malang bakda shubuh, tapi
karena berangkatnyapun sudah lewat jauh, bus yang seyogyanya berhenti di mesjid
memberi kesempatan penumpang untuk sholat, ini tidak terjadi dan tidak
biasanya. Bus terus melaju. Saat itu, saya lihat mas Edi tayamum dan sholat di
bus. Terus terang, saya malu. Saya mengakunya kader Muhammadiyah, tapi hal
seperti ini koq kayaknya masih terlalu asing bagi saya. Akhirnya, sayapun ikut
melaksanakan seperti apa yang dia lakukan. Tayamum dengan media jok bus dan
sholat duduk dengan kebimbangan karena belum pernah melaksanakan. Saya lihat
beberapa penumpang lain juga berbuat demikian.
Bakda jum’at bus masuk terminal. Mas Priyono
panitia, menjemput kami. Saya bergabung dengan mobil beliau dengan beberapa
kawan yang lain. Sementara yang lainnya disediakan L-300. L-300 tahunya pusat
kegiatan Muktamar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), langsung saja
membawa rombongan saya ke UMM. Sementara oleh Mas Priyono kami dibawa ke
Perumahan Bukit Cemara Tidar. Terpaksa, lagi-lagi saya dihebohkan akibat ulah
L-300 yang langsung saja terbang begitu dapat penumpang.Jaket kulit yang saya
pinjam tercecer di terminal bersama kain sarung ibu yang meminjamkan. Karena begitu
turun pegangan saya di bus saya letakkan di atas pagar dan mengurus yang
lain.Kain sarung saya dapatkan lagi dari sebuah kedai minuman di terminal itu
sementara jaket kulit pinjaman kakak saya lenyap.. Menjelang ashar, rombongan
baru berkumpul semua. Setelah mendapat tempat istirahat, sebahagian teman
langsung melepaskan rasa penatnya.
Hari sabtu, hari ke dua di Malang bakda sholat
shubuh saya diajak mas Priyono melihat rombongan yang baru tiba. Ternyata dari
Sibolga (Sumatera Utara). Lebih hebat lagi, mereka menggunakan L-300 ke Malang
dan busnya full. 5 hari 4 malam ditempuh dalam posisi duduk. Ini lebih luar
biasa lagi. Rombongan ini hanya semalam di Malang , karena mereka melanjutkan
perjalanan ke Bali begitu usai acara pembukaan. Sebahagian teman-teman langsung
membuat acara jalan-jalan. Setelah mendapat sewaan mobil dari warga komplek
mereka pergi melancong. Khabarnya mereka ke Batu Malang. Badan saya masih
sangat lelah. Saya tinggal sendirian di komplek. Saya masih ingin istirahat.
Menjelang siang, saya mendapat telepon dari Buk Ning agar menjemput dia dengan
si A di terminal. Atas bantuan mas Priyono, kami berangkat ke terminal. Dalam
perjalanan menuju terminal saya ditelepon teman penggembira yang berangkat naik
pesawat, agar saya tak usah pusing mengurus bu Ning dan si A lagi karena ke dua
orang ini akan bergabung dengan penggembira lain dari Binjai yang naik pesawat
dan menginap di rumah keluarga bu Wirda di Malang. Terlepas ada apa dibalik
semua ini, yang jelas sampai detik ini saya tidak dapat membayangkan bagaimana
wajah si A karena sampai kembali ke Binjai usai Muktamar dan selama di Malang
saya tidak pernah ketemu. Tas kopernya yang terbawa dalam rombongan saya,
dijemput anak bu Wirda yang di Malang . Akhirnya, dari menjelang siang sampai malam
saya dibawa jalan-jalan sama Mas Priyono yang juga membawa keluarganya sekalian
mengambil tanda penggembira. Ketika mampir di komplek UMM tempat pusat kegiatan
Muktamar, di depan pintu masuk bazaar saya lihat seorang rombongan saya letoy
tak bertenaga. Tampak, wajah tua itu sangat kelelahan. Bayangkan, usianya sudah
60-an tahun. Karena semangat dan rasa cintanya pada persyarikatan diusahakan
untuk ikut jadi penggembira muktamar. Yang lain sibuk shooping, si ibu
kelelahan. Dengan ditemani beberapa teman satu rombongan, ibu Jamilah kami bawa
pulang ke penginapan di Bukit Cemara Tidar. Setelah gagal menghubungi posko
kesehatan, ibu Jamilah kami bawa ke balai pengobatan yang ada di komplek untuk
melakukan check up. Kesimpulan diagnosa, ibu Jamilah kelelahan dan perlu
istirahat. Tinggalah beliau dibalai pengobatan itu ditemani rombongan ibu-ibu
yang lain. Bakda magrib, saya membezoek ibu Jamilah. Disini beliau merengek
minta pulang. Beliau meminta saya agar saya menghubungi anaknya yang ada di
Binjai. Terpaksa hal ini tidak saya penuhi. Saya hanya memberikan pengertian ke
beliau dan meminta beliau agar sabar serta berpikir dengan jernih. Akhirnya
beliau pasrah dengarkan penjelasan saya dan dikuatkan dengan kawan-kawan lain.
Hampir tengah, malam tanggung jawab saya bertambah dengan masuknya dua
penggembira baru nenek-nenek dari Binjai yang datang belakangan naik pesawat.
Keluarganya yang menghantarkan, mengantar ke Bukit Cemara Tidar karena
rombongan Binjai menurut panitia yang dihubunginya tercatat tinggal di situ.
Apa boleh buat.
Hari Minggu pagi sesuai kesepakatan,kami
rekkreasi ke air terjun Cuban Rondo. Semua ikut termasuk dua nenek-nenek yang
baru masuk tadi malam dan Ibu Jamilah yanf terpaksa tinggal. Beliau ditemani
ibu yang lain yang tidak ikut sengaja ingin menemani ibu Jamilah. Diareal
rekreasi ini saya diberi 4 undangan masuk oleh seorang ibu rombongan saya.
Menurut beliau dia diberi oleh panitita sebanyak 8 undangan. Kebetulan rumahnya
persis disebelah rumah tempat pemondokan ibu-ibu rombongan dari Binjai. Jadi
untuk gampangnya, diberinya ke saya 4 (karena saya kordinator, mungkin) dan yang
4 di dia, katanya akan diberikan ke dua gadis penggembira rombongan kami dengan
tujuan agar meningkat rasa keorganisasiannya. Saya setuju-setuju saja.
Otomatis, dalam rombongan saya ibu-ibu yang tua, tidak satupun mendapat
undangan masuk. Padahal dalam perhelatan muktamar, acara pembukaan adalah
peristiwa yang ditunggu-tunggu penggembira dan peserta lain. Jangan harap dapat
masuk jika tidak ada undangan. Konon, waktu pembukaan muktamar Muhammadiyah di
Yogya seorang anggota PP Muhammadiyah yang terlambat datang karena baru tiba
dari Malaysia terpaksa tidak dapat masuk karena tidak ada undangan. Saya
sendiri bingung bagaimana membagi yang 4 yang ada di saya. Masalahnya dengan
saya ada 4 orang, 3 bapak-bapak yang satu diantaranya beristeri jadi pas 4.
Dibagi semua, saya tidak dapat. Akhirnya yang beristeri tidak saya libatkan.
Beliau yang dari awal, di Binjai mencabut pendaftarannya karena akan berangkat
naik pesawat kemudian mendaftar lagi sekaligus dengan isterinya. Beliau pula
yang komplain akan fasilitas bus yang membawa rombongan dari Binjai ke Belawan.
Beliau pula yang ngotot ingin kejelasan harga tiket saat di kapal. Kepada dua
yang mendapat tiket saya wanti-wanti agar hal ini jangan sampai diketahui oleh
si Bapak yang beristeri. Sisa yang satu saya niatkan untuk ibu yang memberi
saya tambahan uang saku saat di kapal.
Usai dari coban rondo, rombongan membubarkan
diri di sekitar stadion Gajayana tempat pembukaan muktamar akan digelar bakda
magrib. Masing-masing dengan kegiatannya. Saya hubungi Mas Edy Priono, saya
katakan saya akan ke rumahnya dan saya belum makan. Ternyata dia ada di rumah.
Setelah dibimbingnya melalui hape saya sampai ke rumah mas Edy Priono. Ketika sholat
zhuhur di mesjid Siti Khadijah dekat rumah Mas Edy, terdapat puluhan
penggembira dari Sulawesi Selatan yang menginap di situ dengan segala
keterbatasan fasilitas MCK nya, sangat beda jauh dengan kami. Di rumah mas Edy
saya disuguhi nasi goring dengan porsi jumbo, kemudian ditambahi lagi dengan
cake ringan dan sebotol aqua.Saat itu saya dapat telepon dari teman rombongan
pesawat menanyakan dimana posisi saya. Karena lokasi stadion Gajayana tak jauh
dari rumah mas Edy, dengan berjalan kaki saya pergi ke Gajayana. Karena pintu
stadion akan ditutup pukul 16.00. Disekitar stadion, orang sudah ramai. Badan
saya rasanya tidak bertulang. Kelelahan akrab dengan saya saat itu. Saya
rebahkan badan dipinggir jalan tak jauh dari pintu masuk stadion Gajayana persis
di bawah billboard Presiden SBY dan loga Muhammadiyah. Saat bersamaan hembusan
angin menerbangkan selembar plastik agak tebal ke arah saya. Saya sambar
plastik itu.dan menjadikannya alas kemudian saya rebahan dan saya tertidur
lelap seperti orang mati dan itu berlangsung hanya lima menit. Begitu saya
tersentak, saya lihat jam, ya tidak lebih dari lima menit. Badan saya ringan,
yang tadinya lelah luar biasa, sekarang agak ringan. Saya pandangi orang
sekeliling dengan kegiatan masing-masing. Di sisi saya satu keluarga beranak
kecil kebingungan entah mau kemana karena tidak memiliki undangan masuk. Saya
hubungi mas Priono, menanyakan di mana posisi beliau. Tak lama kemudian, saya
lihat ibu-ibu rombongan saya sudah berpakaian seragam organisasi didampingi mas
Priono. Saya tanyakan perihal ibu Jamilah. Saya mendapat jawaban bahwa ibu
Jamilah masih perlu istirahat. Saya bingung, masing-masing ibu-ibu sudah
memegang undangan masuk. Belakangan saya ketahui, ternyata undangan itu diberi
panitia sebagai tambahan yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan ibu-ibu di
Bukit Cemara Tidar. Termasuk dua nenek-nenek yang datang belakangan. Sebenarnya
ketika ibu Kartini (salah seorang rombongan yang memberi saya tambahan uang
saku di kapal) ditawarkan undangan, setelah menyebut jumlah yang diperlukan,
hitungan beliau tidak masuk kepada dua yang datang belakangan. Kenapa akhirnya
yang dua bisa dapat ?. Rupanya ketika ibu-ibu menjemput ke tempat penginapan
bapak-bapak, bapak yang dicari bareng isterinya tidak ada. Jadi mereka tinggalkan
saja, karena memang tidak ada di rumah. Alhamdulillah, semua rombongan saya,
kecuali ibu Jamilah dan bapak beserta isterinya yang tertinggal, semua dapat
berkumpul karena pintu gerbang masuk undangan kami sama. Bekal penganan yang
diberi mas Edy langsung habis. Posisi kami persis berseberangan dengan podium
tempat Presiden menyampaikan amanah pembukaannya. Jauh sekali. Tapi kami tetap
bergembira, paling tidak karena kami dapat masuk. Belakangan saya dapat
informasi tidak satupun rombongan penggembira dari Binjai yang berangkat dengan
pesawat udara dapat masuk. Bahkan dengan bertengkar sekalipun dengan penjaga
pintu stadion, mereka tetap tidak dapat izin untuk masuk karena tidak memiliki
undangan.
Usai acara pembukaan, saya dimarahi
habis-habisan oleh Bapak yang berangkat dengan isterinya karena menganggap saya
tidak transparan dalam pembagian undangan masuk. Saya kaget, tidak menyangka
sama sekali kenapa bapak ini tiba-tiba ada di situ, persis setelah kami
menyeberang jalan. Sepertinya memang sengaja menunggu saya. Saya tidak bisa
berikan alasan. Saya cuma diam menerima umpatan dan kejengkelan beliau.
Isterinya coba menenangkan suaminya yang kalap. Malah isterinya bilang,
“Bersyukur kita tidak dapat undangan dari si Fuad, karena dengan begitu kita malah
dapat masuk lewat gerbang VIP”. Rupanya ketika mereka sadar ditinggal oleh
rombongan, mereka berinisiatif berangkat berdua saja ke Gajayana. Saat
celingak-celinguk itu, mereka bertemu dengan ibu Mahyunas, peserta utusan dari
Binjai. Jadi oleh penjaga gerbang, dikira bapak dan ibu suami isteri ini juga
utusan/pesera dengan alasan undangan tertinggal. Sungguh demikian, beliau tetap
kecewa dengan sikap saya yang disebutkan beliau tidak transparan. Malah beliau
menuduh saya menerima sejumlah uang dari dua bapak-bapak yang saya beri
undangan. Situasi seperti in, jelas tidak enak. Karena kami satu penginapan.
Saya hubungi mas Edy Priono, agar menjemput saya dan ingin tidur di tempat
beliau. Secara kebetulan, mas Edy memang sedang berada diseputar Gajayana. Tak
lama beliau datang menjemput dengan mobilnya. Saya pamit dengan teman-teman
yang lain dan mohon pengertian mereka. Menjelang rumah mas Edy, pendirian saya
beubah. Biarlah ini saya tanggung. Ini adalah konsekwensi dari tugas saya. Saya
minta mas Edy menghantar saya ke Bukit Cemara Tidar. Tapi saya tidak pulang ke
penginapan. Saya bergabung dengan ibu-ibu yang juga diantaranya ada seorang
bapak.. kami tidur di sofa, ruangan tamu.
Hari senin pagi selesai sarapan, bapak yang tadi
malam memarahi saya habis-habisan pamitan. Beliau akan ke rumah keluarganya di
Bogor. Tinggalah saya dengan dua bapak yang lain, pak Mawardi dan pak Achmadsjah.
Perasaan saya sedikit tenang. Dalam satu kesempatan, saya keluarkan uneg-uneg
hati saya kepada kedua bapak-bapak ini. Saya kecewa dan penasaran, kenapa koq
bapak itu bisa tahu kalau ada pembahagian undangan. Padahal sewaktu di air
terjun Coban Rondo, saya sudah wanti-wanti betul bagaimana supaya pembagian
undangan itu tidak diketahuinya. Karena kenyataannya, kalau bapak dan isterinya
dapat berarti satu diantara bapak bapak itu pasti tidak dapat. Bapak itu satu
kesatuan tapi kenyataan berdua dengan isterinya. Dua tapi satu atau satu tapi
dua. Bahkan sampai keluar ungkapan dari mulut saya omongan yang seharusnya
tidak pantas saya keluarkan. Lebih-lebih pada ke dua bapak-bapak ini. Hal itu
menyebabkan komunikasi antar kamipun jadi tersendat.
Senin pagi kesehata ibu Jamilah sudah membaik.
Beliau sudah kembali bersama rombongan lain. Menjelang siang, beberapa ibu-ibu
pamitan ke saya untuk ke rumah keluarga mereka. Dengan kenderaan mas Priono,
saya menghantarkan ibu jamilah beserta beberapa ibu yang ikut dengannya, ke
rumah keluarganya di perumahan mewah Puncak Dieng. Kemenakan ibu Jamilah
mengurus rumah mewah ini. Pemiliknya sendiri, khabarnya pejabat di Jawa Tengah.
Di rumah ini, malah ada fasilitas kolam renangnya. Saya dan kawan-kawan yang
ikut sempat beristirahan di rumah ini. Pada hari yang sama. Ibu Jamilah
memberitahu saya, bahwa hari Sabtu beliau sudah harus tiba di Binjai. Karena
hari itu ada acara di rumah Beliau. Jadi beliau menyuruh saya mencari informasi
tiket Surabaya-Medan. Sepulang dari Perumahan Puncak Dieng menuju Bukit Cemara
Tidar bareng mas Priono beberapa travel kami singgahi hasilnya nihil..
Dua anak gadis yang mendapat jatah undangan,
malah pamitan ke Surabaya . Dengan modal informasi seadanya dan melibatkan
arahan dari mas Edy Priono, Sugria Kurniawaty dan temannya berangkat dengan
menggunakan taxi. Mas Edy menyesalkan sikap saya yang melepaskan kedua anak
gadis ini pergi. Tapi, saya tidak pula bisa menghalangi niat mereka. Dengan
Bismillah dan Tawakal’alallaahi, menjelang malam mereka sampai ke tempat yang
dituju dengan selamat. Alhamdulillah.
Hari Selasa bakda shubuh, saya jalan-jalan
mengitari perumahan Bukit Cemara Tidar. Dari ketinggian di perumahan ini, wajah
kota Malang terlihat dengan jelas. Diketinggian sekitar 600-an meter dpl.
perumahan ini memiliki hawa sejuk. Tak jauh dari perumahan, tanpa sengaja kami
menemukan situs sejarah Candi Badut. Menururt informasi Mas Priono,
keberadaannya sudah ada sejak masa kerajaan singosari. Dari penelusuran kami,
candi ini cukup terawat walau di sana-sini terdapat kerusakan karena ulah
tangan jahil pengunjung. Hari ini rombongan Binjai semakin berkurang.
Ketika mengikuti salah satu sesi acara bareng
ibu-ibu seorang teman memberitahu saya ada tiket city link Surabaya-Medan. Dia
akan booking jika saya mau. Sayangnya saya tidak bisa mengiyakan kemauannya,
karena harus konfirmasi dulu ke ibu Jamilah. Saya hubungi ibu Jamilah dan teman
serombongan beliau di Perumahan Puncak Dieng, hasilnya satupun tidak dapat
dihubungi. Dengan bantuan mas Priono, saya datangi bu Jamilah dan menjelaskan
apa yang saya alami. Beliau awalnya menyesalkan saya kenapa tidak membooking
tiket city link, tapi akhirnya memaklumi karena ibu Jamilah belum memberikan
uang beli tiket ke saya. Kemudain beliau memberi saya sejumlah uang untuk beli
tiket Dengan uang yang ada di saya pemburuan tiket dilaksanakan, tapi hasilnya
nihil. Sementara beliau tetap bersikeras agar saya dapat mengupayakan tiket
Surabaya-Medan. Saya jelaskan, agak sulit menceri tiket Surabaya-Medan. Tapi
kalaupun ada, Jakarta-Medan.Kalau Jakarta-Medan, Insya allah tiket akan mudah
didapat. Ibu Jamilah keberatan, karena merasa tidak memiliki keluarga di
Jakarta . Saya jelaskan, bahwa saya adalah anak ibu, jadi kakak saya di Jakarta
juga anak ibu, Insya Allah mereka dapat membatu. Saya hubungi keluarga di
Jakarta , dan mereka siap membantu. Akhirnya Ibu Jamilah menyerahkan segalanya
kesaya dan beliau hanya manut saja, setelah saya jelaskan segala sesuatunya
tentang rencana yang akan saya jalankan. Sebagai konsekwensi dari pernyataan
saya ini, saya harus pulang lebih awal dari rencana semula yakni sampai
penutupan muktamar. Ibu Jamilah juga menyampaikan keinginannya untuk mendatangi
keluarganya di luar kota dan rencananya menginap di sana .
Hari Rabu hanya tinggal kami bertiga di
perumahan Bukit Cemara Tidar. Atas permintaan keluarga saya transfer uang ke
Jakarta untuk biaya beli dua tiket Jakarta-Medan dengan jadwal keberangkatan
Sabtu pagi. Karena salah pilih angkot dan tidak pula tanya sana-sini, pulang
dari bank turun dari angkot terpaksa saya naik taxi. Jelas biaya jadi berkali
lipat, apa boleh buat. Tak lama pulang dari bank, saya dan dua bapak-bapak yang
masih tinggal, Pak Mawardi dan pak Ahmadsjah mendapat kunjungan dari Mas Edi
Priono dan keluarganya. Dengan senang hati beliau mengajak kami jalan-jalan dan
makan siang di satu resto lesehan yang bernuansa alami. Saya lupa nama resto
dan lokasinya. Kami juga mampir di lokasi bazaar muktamar dan membeli beberapa
buah tangan. Saya juga membelikan satu set pulpen dengan logo muktamar dan
diukir nama untuk puteri Mas Edi Priono, Lala. Ketika berjalan-jalan itu, pak
Mawardi minta dicarikan tempat penjualan tiket.Saat beliau menanyakan
menanyakan tiket kereta api ke suatu daerah, di travel yang letaknya
berseberangan dengan tempat penjualan tiket kerta api saya iseng menanyakan ada
tidak sheet Jakarta-Medan untuk penerbangan hari Kamis. Kebetulan ada. Setelah
tahu harga tiketnya, dan menururt saya tidak terlalu mahal langsung saja saya
booking. Saya ajak Pak Ahmadsjah untuk berbuat yang sama, seraya mengingatkan
paling tidak untuk pulang kita sudah aman. Akhirnya beliau setuju. Setelah
pulang jalan-jalan, pak Mawardi setengah memaksa agar kami singgah ditempat
penjualan tiket tadi. Untung tiket dengan penerbangan yang sama masih ada
tersisa satu. Terang saja keadaan ini tak disia-siakan beliau dan membuat
beliau senang. Niat naik kereta api ke keluarganya batal dengan alasan
keluarganya tak dapat dihubungi.
Hari Kamis dengan bus kramat jati, diantar mas
Priono saya dan ibu Jamilah beserta adik beliau meninggalkan kota Malang menuju
Jakarta . Kami tiba di rumah kakak saya di perumahan Larangan Indah, Ciledug
menjelang magrib hari jumat tanpa halangan berarti. Adik saya menginformasikan
bahwa pesawat yang bakal ditumpangi adalah pesawat transit dari Malaysia dan
berangkat pukul 05.30 dari Cengkareng. Setelah makan malam dan berbasa-basi,
ibu Jamilah istirahat. Pukul 03.00 dinihari mereka sudah bersiap-siap. Saya
pastikan beliau-beliau ini tidak tidur. Dengan bantuan adik saya Fadly, dengan
taxi kami menuju bandara Cengkareng. Saya sholat shubuh di salah satu sudut
ruangan di bandara. Saya hubungi keluarga ibu Jamilah di Binjai tentang pesawat
yang ditumpangi ibu Jamilah. Ketika saya kembali ke rumah kakak di Larangan,
semua yang saya alami kembali menarik dipelupuk mata saya. Bapak yang
mengundurkan diri, kemudian mendaftar lagi karena melonjaknya harga tiket
pesawat, bahkan mendaftar ulang bareng isterinya. Kemudian komplain dengan
fasilitas bus yang disediakan pihak travel ketika akan berangkat ke Belawan,
kemudian bus L-300 nya yang mengalami kerusakan, kemudian mencari kejelasan
harga tiket saat di kapal, kemudian tercecernya seorang anak gadis di tanjung
priuk akibatnya saya dimarahi habis-habisan oleh orang tua sigadis, kemudian
dituduh menerima uang saat membagi undangan masuk acara pembukaan, kemudian
pulang lebih awal dari jadwal yang direncanakan, kemudian, kemudian,
kemudian.
Akhirnya sesuai jadwal, kami berkumpul kembali
di Cengkareng bareng pak Ahmadsjah, pak Mawardi. Ketika kami tiba di bandara
polonia medan , mobil Toyota kijang putih punya anak pak Mawardi sudah menanti
kami untuk membawa kami kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Muktamar 1 Abad
Muhammadiyah Yogyakarta
Yogya, I am comeback
Muktamar 1 Abad Muhammadiyah memang LUAR
BIASA GAUNG nya. Saya kembali dipercaya sebagai koordinator penggembira, ketuanya Niswansyah. Atas kesepakatan bersama unsur pimpinan memaksimalkan biaya yang ada dan mengambil hikmah/pelajaran
dari pengalaman Muktamar Muhammadiyah sebelumnya di Malang, semua jaringan
kumaksimalkan. Termasuk mohon bantuan kakakku dan suaminya dengan adikku untuk
menghubungi jasa transportasi Jakarta-Yogya. Sebagai tanda turut berbahagia dan
ingin melihat bagaimana besarnya Muhammadiyah disaat berusia 1 abad itu,
kakakku Nefertiti ikut juga. Alhamdillah, malah sekalian dengan adik ibuku.
Masya Allaah. Sesuatu yang tidak pernah kuduga selama ini. Karena kami
membooking 1 bus dengan kapasitas seat penumpang masih tersisa, jadi mereka bisa nimbrung.
Untuk mengantisipasi dan meminimalisir
kesalahan yang mungkin terjadi, 4 pantitia dan utusan Muktamar kulibatkan
mendampingi rombongan penggembira yang naik kapal laut. pada hari yang sama,
sorenya aku naik Batavia untuk menunggu mereka di tanjung priuk dengan bus yang
akan membawa kami ke Yogya nantinya. Karena memungkinkan, isteriku kuajak ikut.
Dia tidak keberatan. Isteriku dan aku belum pernah meninggalkan anak-anak.
Begitu pesawat tinggal landas, air mata galau membasahi pipi isteriku.
Anak-anaknya jadi beban pikirannya. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan
mereka. aku mencoba menghiburnya. Tawaqqal ala llaahi. Bisikku ditelinganya.
Alhamdulillah semua berjalan dengan baik.
Keesokan harinya, diantar abang iparku,
saya bersama isterti, kakakku Nefertiti dan adikku mengambil bus yang sudah
dicarter mereka ke terminal. Dari terminal, bus yang sudah dibooking kami bawa
ke Tanjung priuk. Sebelumnya sempat terjadi silang pendapat perihal biaya bus
Jakarta-Yogya. Mereka meminta biaya lebih dari kesepakatan yang sudah dibuat. Demi semuanya berjalan lancar, saya harus menambah biaya untuk
administrasi bus yang dimaksud. Sore hari bus yang kami sewa stand by di
terminal tunggu Tanjung Priuk. Kegelisahan dan kekhawatiran memikirkan
penggembira yang di kapal membuat saya sempat down. Menjelang magrib kapal
merapat di dermaga. Iqbal, Hairil Anwar dan kawan-kawan yang difasilitasi
panitia penggembira segera saya konfirmasi. Setelah mencek seluruh penumpang,
bus yang kami tumpangi membelah kota Jakarta menuju Yogyakarta. Alhamdulillah,
secara umum berjalan dengan lancar. Rombongan sempat beristirahat di rest area menjelang Yogyakarta.
Bulan Juli 2010, Yuyunku ultah. Tepatnya
tanggal 14 Juli. Saat makan siang rombongan kami beristirahat di rumah makan
Pringsewu. Siapa yang berultah juni-juli oleh pengusaha rumah makan diundang
maju ke depan untuk dirayakan dengan kawan dan anggota lain yang juga
berlangtahun di bulan Juni-Juli itu.Hebat juga kiat pengusaha rumah makan ini.
Harga makanan sangat-sangat mahal. Dan saya sebagai pimpinan rombongan tidak
sedikitpun mendapat potongan. Sementara supir dan kernet makan di ruang lain,
gratis. Padahal sebelumnya sudah kelihatan beberapa rumah makan,
berhenti-tidak, berhenti-tidak. Akhirnya Pringsewu menjadi pilihan.
Dari komunikasi dengan panitia tempat,
saya dan rombongan diinapkan di ranting Muhammadiyah Nitikan. Kami sampai ke
lokasi menjelang sore. Di sini sudah ada rombongan Binjai dibawah koordinasi
Ibu Nurbaiti. Penggembira dari Binjai terbagi dua kelompok, kelompok saya resmi
mendapat SK dari PDM Binjai, rombongan lain dipimpin ibu Nurbaiti. Karena
beliau duluan sampai dan menjual nama Binjai, panitia tanpa melihat kelengkapan
administrasi menerima mereka dengan baik. Fasilitas mereka lebih maksimal. Karena mereka duluan sampai. Apa
boleh buat. Dari informasi yang beredar, ribuan orang tumpah ruah di
Yogyakarta. Sementara beredar juga berita untuk dapat masuk ke stadion dalam
rangka pembukaan muktamar, harus ada undangan. Melalui panitia, saya sudah
usahakan undangan, tidak berhasil.
Hari Pertama di
Yogyakarta.
Pukul 04.00 kurang, shubuh sudah masuk. Saya
sholat di penginapan saja. Tidak ke mesjid. Menjelang pagi datang sarapan
sebanyak 78 porsi sesuai anggota yang saya bawa. Kenyataannya, karena malam itu
juga sudah ada yang keluar, nasi banyak tersisa. Tapi kita tetap membayar kali
10 ribu perporsi. Karena belum ada niat keluar, saya santai-santai saja. Ada
sms masuk ke hp saya. Dari ibu Maimunah. Beliau menyuruh saya dan rombongan
untuk segera ke stadion. Ada tempat yang masih tersisa yang mereka siapkan. Sms
ini tidak saya gubris. Pak As adinata menelepon saya menginformasikan posisi
ibu Nurbaiti yang masuk ke stadion. Ibu Maimunah juga menelepon saya untuk hal
yang sama. Akhirnya informasi itu saya halo-halokan dari kamar ke kamar.
Ternyata seorang ibu rombongan saya menyeletuk, “wajar kalau ibu Nurbaity
masuk, diakan dapat undangan”. Saya kaget. “apa betul ibu melihat dia dapat
undangan ?”. “Betul pak, yang melihat undangannya ibu B”. “Betul bu B, betul
ibu melihat undangan yang ada dengan ibu Nurbaiti ?” Tanya saya ke ibu B.
“Betul pak”, “saya sendiri melihatnya”. Langsung saya telepon pak Adinata.
Akhirnya pak Adinata sendiri maklum.
Kakakku dan bunda Hakimah sudah pergi duluan.
Padahal janji kemaren, mau barengan sekalian menghadiri undangan. Apa boleh
buat. Sementara itu mendengar rombongan pesawat berhasil masuk stadion,
beberapa kawan-kawan protes, bahkan mengajukan keberatan dengan saya dan PRM
Nitikan. Saya dan kawan-kawanpun mengajukan keberatan kepada panitia penerima
muktamar. Kami diterima komandan laskar bapak Hasan, ketua panitia penerima Mas
Akhid dan lain-lain. Setelah semua uneg-uneg dikeluarkan, akhirnya kawan-kawan
dapat menerima dengan rasa penasaran dan gregetan. Apa boleh buat. Beberapa
teman-teman berinisiatif membentuk kelompok sendiri-sendiri.
Saya sendiri bareng isteri dan pak Nurnuh yang
juga dengan isteri sepakat ke stadion mandala krida. Sesampainya di lokasi,
keramaian penggembira muktamar menjadi pemandangan tersendiri yang
mengasyikkan. Kami diantar mas Bahar dangan L-300 nya yang terpaksa menurunkan
kami dalam radius lumayan jauh karena ramainya pengunjung saat pembukaan
Muktamar 1 abad Muhammadiyah tanggal 3 juli 2010.. dengan berjalan kaki,
akhirnya kami sampai di sekitar stadion mandala krida. Karena belum sarapan,
kebetulan bawa cemilan dari penginapan, isteriku dan orang rumah pak nurnuh
mengambil tempat diantara keramaian orang dan mencicipi apa yang dibawa. Sebelum
itu, sempat beberapa butir air turun dari langit yang memang cuacanya sangat
akrab. Walau agak mendung, tapi panasnya lumayan juga.
Gambar di bawah, menunjukkan isteriku dan orang rumah
pak nurnuh sedang menikmati penganan yang dibawa dari penginapan.
Karena mereka sedang makan, kami, saya dan pak
nurnuh meninggalkan mereka. Masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Saya dengan
hape saya dan pak Nurnuh dengan kamera digitalnya.
Pada foto di atas dan di bawah terlihat
antusiasme pengunjung yang ingin masuk ke stadion dan keinginan sebagian
pengunjung yang kegerahan berada I dalam dan ingin keluar. Boleh jadi yang
keluar, berada di stadion sejak dinihari paling tidak bakda shubuh sudah
mengambil posisi di dalam stadion. Akhirnya, karena kurang persiapan, tidak
membawa konsumsi dlsb, akhirnya lapar, lelah, lesu dan letoy. Demi Muhammadiyah
yang sudah 1 abad.
Puas lihat keramaian, saya kembali ke posisi
isteri saya yang saya tinggalkan. Mereka tidak ada. Saya bingung. Saya cari dan
Tanya ke ibu-ibu yang ada di dekat situ. Dua ibu yang saya tanya, dua jawaban
berbeda yang say terima. Bingung tidak menemukan yang saya, saya hubungi pak
Nurnuh. Hp saya tidak berfungsi. Saya coba test telepon ke rumah di Binjai, Hp
saya tidak berfungsi. Saya sumpahi hp saya yang disaat genting dan penting
tidak dapat digunakan. Dari gerbang F stadion, di saat-saat cari mencari
isteri, saya sebenarnya punya kesempatan untuk dapat masuk stadion. Tapi itu
tidak saya lakukan. Saya kembali cari isteri keposisi semula, kali ini baru
berhasil. Rupanya, kecewa karena ditinggal suami, akhirnya mereka berinisiatif
mencari suami masing-masing. Jadilah baku cari. Demikian juga ruoanya yang
dialami bapak Nurnuh.
Foto di atas, dijepret pak Nurnuh, sesaat kami
meninggalkan isteri ketika mereka menggelar sarapan di sela keramaian orang.
Tak enak hati diambil terus, gentian saya yang mengambil foto pak Nurnuh.
Inilah hasilnya.
Setiap kesempatan, pak nurnuh dan saya jadi baku
ambil foto di sekitar stadion. Beberapa hasilnya terlihat di bawah ini. Saya
nimbrung disela-sela petugas keamanan yang berpatisipasi di arena pembukaan
muktamar. Isteri saya dan orang rumah pak Nurnuh sementara saya mencoba sok
akrab dengan petugas keamanannya. Dikejauhan, beberapa pengunjung melepas lelah
di sekitar stadion.
Puas menikmati keramaian orang, kami
meninggalkan arena pembukaan. Disaat-saat seperti itu pak Nurnuh mengambil
momen-momen yang beliau anggap ok untuk diambil. Inilah hasilnya.
Ketika selesai buang air kecil, saya ketemu
dengan kawan yang masih saya ingat betul. Namanya Misdi. Momen seperti ini,
oleh pak Nurnuh diabadikan beliau. Alhamdulillah. Percakapan seru antar teman
yang sudah dua puluhan tahun tak ketemu, berlangsung penuh kekeluargaan.
Sekarang Misdi bertugas di Siglie, Aceh. Karier
beliau bagus. Setahun di Fasas USU B. Arab beliau hijrah ke IAIN dan sukses
menyelesaikan studinya. Sekarang dia kepala sekolah di sana. Siapa sangka,
kalau sudah kehendak yang maha kuasa untuk ketemu, ya ketemu. Padahal itu
diluar rencana dan tidak pernah diduga sama sekali. Sementara kami terlibat
dalam pembicaraan, isteri saya dan orang rumah pak Nurnuh sibuk dengan
aktifitas masing-masing. Inilah yang terlihat ketika saya asyiik bernostalgia
dengan Misdi.
Dalam perjalanan menjauh dari arena stadion,
isteriku dan orang rumah pak Nurnuh menelusuri stand demi stand bazaar yang
digelar di areal UAD atau Universitas Ahmad Dahlan. Kesempatan berfoto dan
mencari momen-momen tepat terus dilakukan oleh Pak Nurnuh. Beberapa hasilnya
seperti terlihat pada uraian foto berikut. Gambar di bawah, dengan latar
belakangstudio ADITV UAD, stasiun televise milik Muhammadiyah yang mengudara
beberapa bulan sebelum Muktamar 1 Abad Muhammadiyah digelar.
Berikutnya, kami ketemu salah seorang
penggembira yang sudah uzur dari daerah Jawa. Oleh pak Nurnuh, momen saya
ngobrol sama Bapak tua, diabadikannya. Inilah hasilnya.
Dalam perjalanan keluar menjauh dari arena
pembukaan muktamar, gerimis kecil menyergap kami. Kami mencari tempat istirah.
Di suatu teras perkantoran, kami beristirahat. Kami sempat kehilangan isteri
masing-masing. Masya Allah, ternyata mereka sudah membawa 4 nasi kotak yang
dibagikan secara cuma-cuma dipelataran gedung tempat kami istirah itu. Semua
merasa lucu. Semua merasa heran. Semua merasa kaget. Pucuk dicinta ulam tiba,
perut lapar nasi kotak dapat. He he he he he. Sebelum menyantap nasi dari
syurga, kami istirah. Lokasinya lumayan bersih. Golek seperti di bawah ini
adalah kesempatan yang sangat mahal. Makanya kesempatan ini tidak disia-siakan.
Walaupun hanya sekian menit, kesegaran minimal sudah di dapat. Yah lumayanlah.
Sementara di teras lebih besar dari tempat kami, orang agak rame,
bersempit-sempit ria. Kami agak ke belakang dari posisi mereka, tapi bersih dan
lapang. Pemandanganpun lepas.
Kata pak Nurnuh, kalau lelah berjalan, sambil
golek kaki dinaikkan. Ya seperti gambar Beliau ini.
Lepas istirah, bersantap ria dengan nasi kotak
rezeki dari langit. Inilah gambarnya.
Usai mengisi kampung tengah kami telusuri jalan
menuju malioboro. Dari petugas yang kami tanyai dengan situsai kepadatan lalu
lintas seperti saat itu disarankannya lebih baikberjalan kaki saja. Itulah yang
kami buat. Dalam perjalanan menuju Malioboro kami melewati jalan Taman siswa.
Saya langsung ingat amanah Pak Mui S dari Binjai , jika ke Yogya usahakan
singgah ke jalan Taman siswa. Rumah keluarga beliau. Dari Tanya sana sini,
akhirnya yang di cari ketemu juga. Kami disuguhi penganan ringan dan makan
siang. Padahal barusan makan. Apa boleh buat. Selesai sholat jamak zhuhur
ashar, kami makan lagi. Selesai makan, kami diantar tuan rumah ke Malioboro.
Macet yang menyergap di sana sini membuat tuan rumah yang menghantar kami agar
repot. Akhirnya kami berganti kenderaan dengan delman. Beberapa foto berikut
menggambarkan situasi saat kami berdelman ria menuju Malioboro.
Hujan lebat menyambut kedatangan kami di
Malioboro. Sambil menuju ke pasar Beringharjo, isteriku dan orang rumah pak
Nurnuh berbelanja di lorong-lorong Malioboro.
Perburuan akan barang-barang diperkirakan murah
dan khas Yogya, diteruskan di Pasar Beringharjo. Dari hasil omong sana-sini,
Pak Nurnuh ketemu sama tetangganya. Pembicaraanpun menjadi ramai.
Menjelang senja, beberapa toko sudah tutup.
Beberapa pedagang yang masih buka, nekat membanting harga.Tawar menawar
berlangsung seru.
Belanja hari itu berakhir juga. Pulangnya,
karena kepadatan kota Yogya di hari pembukaan Muktamar 1 Abad Muhammadiyah
sangat ramai, kami berinisiatif pulang naik beca.
Kembali ke penginapan, berarti kembali untuk
beristirahat. Hari Minggu itu dilalui dengan kelelahan yang lumayan. Istirah
dulu lah. Tak usah mandi. Cukup lap badan dan istirah. Malam itu sebagai
pimpinan rombongan saya diundang panitia tempat, membicarakan keberadaan kami
di Nitikan. Mereka menanyakan biaya administrasi penginapan. Saya jelaskan
bahwa sepanjang yang kami ketahui, penginapan gratis. Dari diskusi bareng
teman-teman rombongan disepakati untuk memberikan sekedar biaya kebersihan.
Ranting Nitikan termasuk ranting yang maju.
Tour de Muhammadiyah
Untuk mengisi kegiatan penggembira,
pantita Muktamar mengadakan acara dengan tajuk Tour De Muhammadiyah. Diantara ratusan ribu penggembira yang hadir
di Muktamar, tak banyak yang tahu bahwa panitia syiar Muktamar menyelenggarakan
paket tour de Muhammadiyah. Paket Tour de Muhammadiyah mengambil 3 jalur rute,
yakni jalur utara, selatan dan timur.
Jalur Selatan melalui Mesjid Gedhe
Kauman, PRM Karangkajen, PRM Nitikan, PRM Imogiri, Ponpes Darul Ulum Sewu Galur
dan Bazaar Muktamar Muhammadiyah.
Jalur Timur melewati Mesjid Gedhe
Kauman, PRM Potorono, PCM Prambanan, Mesjid dan Bazaar Muktamar Aisyiyah.
Jalur Utara melewati Mesjid Gedhe
Kauman, PCM Nanggulan, Kebun Buah Salak turi dan Bazaar Muktamar Muhammadiyah.
Oleh panitia seksi syiar, penyelenggaraan Tour
de Muhammadiyah dimaksudkan untuk menapak tilasi kembali sejarah pertumbuhan
dan perkembangan Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Berikut beberapa foto yang diambil selama proses mengikuti Tour de Muhammadiyah
lewat Lajur Selatan yang saya ikuti :
Mesjid Gedhe Kauman, yang juga jadi bagian dari
logo Muktamar 1 Abad Muhammadiyah adalah titik awal tempat berkumpul seluruh
peserta Tour de Muhammadiyah dari ke tiga Jalur, yakni Selatan, Utara dan
Timur. Sebelum berjalan menelusuri kampung Kauman. Kampung Kauman ini terletak
tepat di Barat Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. Pada tahun 1912 Muhammadiyah
didirikan di kampung ini oleh KHA Dahlan, karena itulah seiring dengan
perkembangan Muhammadiyah, kampung ini menjadi saksi tumbuh, berkembang dan
majunya Muhammadiyah yang kini sudah berusia 100 tahun alias 1 Abad.
Oleh
pantia, kami yang dari awal memilir rute lajur Selatan oleh panitia dialihkan
ke lajur Timur. Apa boleh buat, sebagai kepala rombongan terpaksa saya harus
menjelaskan ke kawan-kawan, tentang perbedaan id card. Karena masing-masing
jalur id cardnya berbeda warna. Terpaksa idcard yang kami pakai id card jalur
Timur (Gambar atas).
Karena sebagian ibu-ibu sudah pernah ke Imogiri, mereka beranggapan akan
sia-sia ikut Tour de Muhammadiyah karena sudah dua kali. Mereka minta ke saya,
khusus rombongan Binjai, Tournya diganti arah agar mengunjungi Candi Borobudur,
atau Candi Prambanan atau ke Parang Tritis. Terpaksa sekali lagi saya harus
meyakinkan bahwa hal itu tidak akan mungkin dilaksanakan.
Sebagian
mereka mengundurkan diri karena berfikir tidak akan memperoleh manfaat apa-apa
dari Tour de Muhammadiyah. Masak iya…………………………Tournya masuk kampung ke luar
kampong jalan kaki lagi. “Mungkin itu yang ada di benak mereka”.
Foto di atas, adalah poster besar yang dibuat dan dipersembahkan oleh SD
Muhammmadiyah Kauman, lokasi pertama yang kami kunjungi selepas dari Mesjid
Gedhe Kauman. Kelihatan urutan pengurus PP Muhammadiyah dari periode awal KHA
Dahlan sampai periode Din Syamsuddin.
Pernyataan
KHA Dahlan terpampang dipintu masuk SD Muhammadiyah Kauman, untuk mengingatkan
seluruh keluarga besar Muhammadiyah, agar tidak lupa akan Muhammadiyah yang
membutuhkan tenaga-tenaga trampil.
Di SD Muhammadiyah ini penggembira juga di hibur oleh penyanyi cilik siswa SD
Muhammadiyah Kauman, pemenang lomba cipta lagu se Yogyakarta.
Keluar dari SD Muhammadiyah Kauman, menelusuri lorong-lorong kecil, kami sampai
ke area pemakaman Nyai Ahmad Dahlan yang terletak di Kauman. Foto di atas
adalah nisan peringatan yang dibuat oleh Pemerintah. Padahal dalam keyakinan
Muhammadiyah, pembangunan nisan seperti ini adalah hal yang tabu.
Menelusuri lorong-lorong, kami sampai kekediaman KHA Dahlan, sebagian peserta
membuka bekal sarapan di rumah ini. Melihat bilik kamar di mana KHA Dahlan
tidur. Konon bangku dan meja yang ada di kamar itu adalah bangku dan meja yang
digunakan oleh KH Ahmad Dahlan dulu. Saat itu pulas tertidur cicit KHA Dahlan,
karena kebisingan ramainya pengunjung tidak merasa dia terganggu. Disisi kiri
rumah Beliau terdapat langgar yang Beliau dirikan.
Langgar
ini, terlihat jelas dalam film Sang Pencerah. Kelihatan, kemiringan arah qiblat
dari bangunan awal sampai setelah berubahnya arah yang menjadi kontroversi di
kalangan ulama saat itu. Ketegangan dan nyaris terjadinya pertumpahan darah di
kalangan sesama Muslim, saat KHA Dahlan melakukan perubahan arah qiblat. Dari lurus
ke barat sampai agak miring sedikit ke kanan
Masih
tidak jauh dari Kauman, peserta tour di bawa ke ke lokasi bersejarah lain,
yakni Suronatan-Notoprajan. Dua kampung ini terletak di kec. Ngampilan yang
dibatasi oleh jl. Nyai Ahmad Dahlan yang dulu namanya jalan Gerjen. Di kampung
ini terdapat SD Muhammadiyah yang juga didirikan oleh KHA Dahlan.. di kampung
ini juga terletak kantor PP Muhammadiyah yang lama.
Lepas dari Suronatan-Notoprajan kami dibawa ke Karangkajen. Sejarah mencatat,
karangkajen tidak dapat dilepaskan dari Kauman. Dakwah Muhammadiyah di
Karangkajen berkembang dengan diadakannya pengajian al Fajr di salah satu
mesjid di sana. Pengajian itu di adopsi dari pengajian al Maun nya KHA Dahlan.
Satu lagi hal yang menarik dari Karangkajen ini, adalah banyaknya makam pendiri
dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah antara lain KH A Badawi, KH Ibrahim, KH Ahmad
Dahlan, KH Noor, KH AR Fakhruddin.
Di
tempat ini juga ada lokasi pembuatan batik. Gambar di atas memperlihatkan salah
seorang karyawan selesai mencuci batik setelah melalui beberapa proses
sebelumnya. Sebelum sampai ke lokasi makam, kami disuguhi minuman agua botol
gratis dan disambut oleh drumband cilik yang dibawa oleh anak-anak TK
ABA.
Dari
Karangkajen, peserta dibawa ke ranting Muhammadiyah Nitikan. Ranting ini tempat
pemondokan penggembira Muktamar Muhammadiyah dari Binjai. Ranting Muhammadiyah
Nitikan yang berdiri tahun 1954 memiliki Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan
pernah menjadi ranting terbaik di lingkungan PWM Yogyakarta. Beberapa sumber
lisan bahkan menceritakan bahwa Muhammad Darwis alias KHA Dahlan kecil lahir di
Nitikan. Di sini juga terdapat mesjid bersejarah yakni Mesjid Sulthaniah. Kami
menginap di TK yang berada di komplek Mesjid Ath Thohirin. Disamping TK ABA, di
sini juga terdapat Pendidikan al quran Nitikan, Toko Al Amin, BMT El Bummi dan
Kantor Sekretariat Ranting.
Ketika pengunjung Tour de Muhammadiyah menerima gambaran mengenai perkembangan
ranting yang disebut juga ranting 1 milyar, waktu ini sebagian peserta Tour de
Muhammadiyah dari Binjai karena menginap di situ memanfaatkannya untuk
beristirahat di kamar masing-masing. Keliling kampung Kauman barusan ternyata
cukup melelahkan. Gambar-gambar di bawah, adalah dinding-dinding pagar sekolah
yang dilukis sehingga kelihatan menarik.
Dari PRM Nitikan, rombongan Tour de Muhammadiyah meneruskan perjalanan ke PRM
Imogiri. Suasana sudah lewat tengah hari. Menurut buku panduan, makan siang
dibagi di ranting Nitikan, kenyataannya berubah diganti menjadi di ranting
Imogiri. Sesampainya di ranting Imogiri, satu pemandangan mengharukan
terpampang di depan mata. Betapa tidak, di siang hari yang lumayan panas,
anak-anak TK ABA kembali menerima kehadiran kami dengan drumband dan lagu
mereka. Rasa haru dan bangga berkecamuk jadi satu dalam diri. Masya allah,
mudah-mudahan keikhlasan yang mereka tampilkan menjadi amaliyah tersendiri bagi
mereka.
Dari bayangan matahari yang menyinari mereka kelihatan bahwa panasnya cukup
maximal, tapi anak-anak tersebut tetap bersemangat. Begitu sampai di area
acara, SMP Muhammadiyah Imogiri, pemandangan lain kembali kami lihat. Ibu-ibu
Aisyiyah ranting menampilkan lagu dan musik khas jawa. Hadir juga dalam
menyambut kedatangan kami, Bapak Camat.
Bukti akte pendirian Aisyiyah di Imogiri, tulisan tangan Nyai Ahmad Dahlan
masih tersimpan baik di sini. Di Imogiri khususnya Karang tengah dikembangkan
pertanian ulat sutera yang dikelola oleh ibu-ibu Aisyiyah setempat.
Di sela-sela acara penjelasan selayang pandang tumbuh dan berkembangnya
Muhammadiyah Imogiri, nasi kotak dibagikan panitia Tour. Apa boleh buat,
konsentrasi jadi berbagi antara mengisi perut dan mendengarkan paparan pembawa
acara.
Dari ranting Imogiri, perjalanan kembali diteruskan. Kali ini ke Madrasah
Wustha Muhammadiyah Sewugalur. Keberadaan Madrasah ini menjadi terkenal di
kalangan Persyarikatan, karena salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah
alumni dari madrasah ini dengan nomor induk siswa 001.yakni KH Abdul Rozzaq
Fahruddin (pak AR). Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama dan dikenal sangat
merakyat dan sederhana, beliau menuntut ilmu di madrasah ini sejak tahun 1930
atas perintah ayahnya. Madrasah ini terletak di desa Wanapel, Kecamatan
Sewugalur, Kabupaten Kulonprogo. Berbeda dengan sambutan di tempat kunjungan
awal, di sini rombongan diterima oleh para pimpinan madrasah, beserta guru-guru
dan pengurus Muhamadiyah.
Dari poster raksasa yang dipajang oleh Madrasah, dapat diketahui kapan Pak AR,
menyelesaikan pendidikannya di Madrasah ini. Acara silaturahim berlangsung
penuh kekeluargaan. Mewakili rombongan penggembira atau peserta Tour de
Muhammadiyah, sambutan disampaikan oleh Bapak As Adinata, penggembira peserta
Tour de Muhammadiyah dari Binjai seperti terlihat di gambar bawah ini.
Menjelang sore, perjalanan terakhir Tour de Muhammadiyah jalur Selatan adalah
bazaar Muhammadiyah di komplek Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menjelang
Maqrib, rombongan sampai ke komplek UMY. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
peserta untuk berbelanja oleh-oleh dan cendera mata khas Muktamar. Kelelahan
selama mengikuti Tour de Muhammadiyah seharian begitu saja sirna. Berganti
kepada situasi menggembirakan.
Beberapa penggembira peserta Tour de Muhammadiyah menyatakan rasa syukurnya
dapat mengikuti Tour de Muhammadiyah. Dari Tour de Muhammadiyah dapat diketahui
jejak sejarah tumbuh dan berkembangnya Muhammadiyah yang dibawakan oleh KHA
Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan. Kalau penggembira lain ke Borobudur atau ke
Prambanan atau ke Parang Tritis itu sudah umum. Dari Tour de Muhammadiyah dapat
dibayangkan bagaimana KHA Dahlan dulu berbuat. Rumah dan Langgarnya masih utuh.
Sekolah yang pertama Beliau dirikan juga masih ada. Bekas dia merubah arah
qiblat, masih kelihatan. Paling tidak sebagian ini persis yang dapat dilihat
pada film Sang Pencerah.